Uji Reliabilitas dan Validitas Instrumen Pengaruh Implementasi Kebijakan Desentralisasi terhadap Pembangunan

pimpinan pejabat struktural. Apabila dicermati, hanya di Kecamatan Mardinding jumlah responden dari unsur pejabat struktural lebih banyak dari unsur staf, selebihnya lebih dominan staf daripada pejabat struktural dalam menjawab pertanyaan penelitian ini. Dengan adanya responden yang cukup representatif dan mampu menjawab serangkaian pertanyaan penelitian, diharapkan penelitian ini dapat dilakukan lebih objektif dan berimbang.

4.3. Uji Reliabilitas dan Validitas Instrumen

Reliabilitas instrumen ditunjukkan oleh nilai koefisien alpha yang dihitung dengan bantuan aplikasi SPSS versi 15.00 for windows, di mana tes instrumen dilakukan terhadap 20 orang responden dengan hasil sebagai berikut lihat Tabel. 4.8: Tabel. 4.8. Derajat Reliabilitas Instrumen Cronbachs Alpha Cronbachs Alpha Based on Standardized Items N of Items .611 .632 2 Sumber: Data hasil analisis melalui SPSS 15.00 Validitas instrumen penelitian diukur pada tingkat kepercayaan 0.05 5 dengan koefisien korelasi product moment sebesar 0.462 lihat Tabel 4.8. Universitas Sumatera Utara Tabel 4.9. Uji Validitas Instrumen IKD PEW Pearson Correlation 1 .462 Sig. 2-tailed .040 Sum of Squares and Cross- products 98.950 33.400 Covariance 5.208 1.758 IKD N 20 20 Pearson Correlation .462 1 Sig. 2-tailed .040 Sum of Squares and Cross- products 33.400 52.800 Covariance 1.758 2.779 PEW N 20 20 Correlation is significant at the 0.05 level 2-tailed. Sumber: Data hasil analisis melalui SPSS 15.00

4.4. Gambaran Empirik Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan

Pembangunan Ekonomi Wilayah Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian, maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data secara deskriptif maupun eksplanatif berupa pengujian hipotesa. Untuk itu, bagian ini akan diawali dengan gambaran empirik pelaksanaan kebijakan desentralisasi yang memuat pandangan responden tentang substansi kebijakan, struktur kebijakan maupun kultur kebijakan. Pada bagian selanjutnya diuraikan pula persepsi responden tentang pembangunan ekonomi wilayah yang mengukur tingkat keberlanjutan pembangunan, pemerataan dan kelestarian lingkungan hidup. Hasil pengamatan empirik maupun analisis dokumen yang terkait dengan fokus penelitian menjadi bahan utama dalam uraian ini. Universitas Sumatera Utara Namun demikian, untuk melengkapi uraian beberapa catatan lapangan baik hasil studi dokumen maupun hasil wawancara dengan responden disajikan sepanjang dipandang relevan dengan substansi penelitian. 4.4.1. Implementasi Kebijakan Desentralisasi Pengukuran kinerja implementasi kebijakan desentralisasi dalam penelitian ini diukur dengan 3 tiga dimensi yang memuat 8 delapan indikator. Berdasarkan indikator dari masing-masing dimensi variabel tersebut dilakukan pemetaan jawaban responden khususnya menyangkut substansi kebijakan, struktur kebijakan dan kultur kebijakan. Substansi kebijakan memuat pertanyaan seputar kesesuaian kebijakan desentralisasi dengan 3 tiga tujuan utama desentralisasi yakni peningkatan pelayanan publik, kesejahteraan masyarakat dan penguatan demokrasi lokal. Struktur kebijakan memuat aspek kesepakatan dan komitmen stakeholder, mekanisme penyusunan kebijakan yang partisipatif dan adanya prinsip kesetaraan dan kemitraan. Sedangan aspek kultur kebijakan terkait dengan tingkat pemahaman masyarakat dan sejauh mana kebijakan sesuai dengan nilai-nilai lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari segi substansi kebijakan, secara umum 89 sd 99 responden berpendapat bahwa kebijakan desentralisasi yang ditetapkan melalui berbagai regulasi UU, PP, Peraturan Menteri maupun Peraturan Daerah sesuai dengan tujuan peningkatan pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan demokrasi lokal lihat Gambar 4.5 Universitas Sumatera Utara Sumber: Data primer dari jawaban responden pada kuesioner diolah, 2010 Gambar 4.5. Grafik Persepsi Responden terhadap Substansi Kebijakan Desentralisasi Sementara itu, terdapat sekitar 1 sd 11 responden tidak menyatakan pendapat. Adanya responden yang tidak memberikan pendapat ini mengindikasikan masih adanya keraguan di kalangan aparatur pemerintahan daerah mengenai tingkat efektifitas pencapaian tujuan utama desentralisasi. Tanpa mengabaikan adanya sebagian responden yang tidak memberikan pendapat tentang kesesuaian substansi kebijakan dengan tujuan desentralisasi, gambaran empirik di atas menjelaskan bahwa terdapat kesejajaran antara pendapat responden dengan substansi kebijakan deentralisasi yang diterbitkan, khususnya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Universitas Sumatera Utara Apabila diperhatikan persepsi responden terkait desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah di bawah UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menunjukkan adanya kesejajaran pemahaman bahwa secara normatif kebijakan yang ditetapkan diyakini mampu mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan, pemberdayaan masyarakat, penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum, serta dalam derajat tertentu berupaya meningkatkan kualitas demokrasi lokal Hossein, 2002; Wasistiono, 2010. Namun demikian, komitmen saja tidak cukup, harus dibarengi dengan kerja keras dan kesungguhan segenap aktor penyelenggara pemerintahan daerah, pusat dan segenap warga. Sinergi tiga pilar, yakni antara pemerintah, masyarakat dan sektor privat diperkuat melalui revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sedikitnya 3 RUU akan diterbitkan sebagai upaya revisi terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004, yakni RUU tentang Pemerintahan Daerah, RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah, dan RUU tentang Desa. Sementara itu, terkait dengan pelayanan publik telah diterbitkan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Memang harus diakui pencapaian tujuan desentralisasi sebagaimana diamanatkan Undang-Undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah tidaklah semudah yang dibayangkan. Merujuk hasil kajian SMERU 2001 yang menyebutkan bahwa pada tahap awal desentralisasi di Kabupaten Karo belum sepenuhnya menunjukkan kesiapan dalam menjalankan kewenangan yang relatif besar. Setelah 5 tahun kemudian, kajian yang dilakukan USAID melalui program LGSP Local Governance Support Programme, kondisi tersebut belum banyak Universitas Sumatera Utara berubah. Hasil kajian ini menegaskan kembali kesimpulan Peter Senge 2001 dalam bukunya The Fifth Discipline: The Art and practice of Learning Organization, bahwa perubahan sektor publik menjadi organisasi pembelajar memang sulit dilakukan karena adanya ketidakmampuan belajar dan “syndrome kodok rebus” yang sangat kentara di dalam pemerintahan daerah. Selanjutnya, setelah memperoleh pemahaman atas persepsi responden terkait dengan substansi, maka implementasi kebijakan desentralisasi perlu juga ditinjau dari sudut struktur kebijakan. Struktur kebijakan diukur dari kesesuaian dengan kesepakatan dan komitmen para pelaku, mekanisme kebijakan yang partisipatif dan dikedepankannya prinsip kesetaraan dan kemitraan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Responden berpandangan bahwa kebijakan desentralisasi dari segi struktur secara nyata mengedepankan hal-hal yang disebutkan di atas. Indikasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.6 Merujuk Gambar 4.7. dapat diketahui bahwa 90 responden menyebutkan bahwa prinsip kesetaraan, mekanisme partisipatif dan kesepakatan dan komitmen antar pelaku menjadi basis dalam menata hubungan antar aktor penyelenggara pemerintahan daerah. Universitas Sumatera Utara Sumber: Data primer dari jawaban responden pada kuesioner diolah, 2010 Gambar 4.6. Grafik Persepsi Responden terhadap Struktur Kebijakan Desentralisasi Setelah mengetahui persepsi responden terkait dengan aspek substansi dan aspek struktur kebijakan desentralisasi, salah satu aspek lainnya yang tidak kalah pentingnya dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan desentralisasi adalah aspek kultur. Aspek kultur kebijakan desentralisasi yang diukur dalam penelitian ini terkait dengan kesesuaian kebijakan desentralisasi dengan tingkat pemahaman masyarakat dan nilai-nilai lokal. Pentingnya kedua indikator aspek kultural ini terkait dengan fakta empirik sejarah kebijakan desentralisasi di tanah air. Tidak diakomodasinya nilai-nilai lokal dan absennya ruang bagi sosialisasi kebijakan justru memicu konflik horizontal maupun vertikal di tanah air. Persepsi responden terkait dengan tingkat pemahamannya dan kesesuaian dengan nilai-nilai lokal ditunjukkan melalui Gambar 4.7. Pemahaman yang dapat Universitas Sumatera Utara diperoleh melalui Gambar 4.7 adalah terdapat kecenderungan responden tidak memberikan pendapat di atas 90. Sumber: Data primer dari jawaban responden pada kuesioner diolah, 2010 Gambar 4.7. Grafik Persepsi Responden tentang Kultur Kebijakan Desentralisasi Kecenderungan mengabaikan nilai-nilai lokal dalam implementasi kebijakan desentralisasi seringkali mengakibatkan masyarakat lokal belum sepenuhnya menikmati desentralisasi fungsi dan fiskal yang diberikan ke daerah. Banyak bagian-bagian dari daerah yang kecewa terhadap kebijakan daerah otonom maupun pemerintah pusat yang pada gilirannya kemudian menuntut mandiri menjadi daerah otonom sendiri. Fenomena inilah seringkali mendorong dilakukannya pemekaran daerah. Data pemekaran daerah sejak Oktober 1999 sampai Januari 2008, tercatat telah terbentuk 164 daerah baru sebagaimana dilihat dalam Tabel 4.10 berikut ini. Universitas Sumatera Utara Tabel 4.10. Pemekaran Daerah di Indonesia Tahun 1999-2008 Tahun Bulan Jumlah Provinsi Baru Jumlah Kab. Baru Jumlah Kota Baru Total 1999 Oktober - 26 1 27 Juni 2 - - 2 Oktober 1 - - 1 2000 Desember 2 1 - 3 2001 Juni - - 12 12 April - 19 3 22 2002 Oktober 1 - - 1 Februari - 9 3 12 April - 17 - 17 Mei - 12 - 12 2003 Desember - 23 - 23 2004 Oktober 1 - - 1 Januari - 14 2 16 Maret - 1 - 1 2007 Agustus - 6 2 8 2008 Januari - 6 - 6 Total 7 134 23 164 Sumber: Pratikno et.al 2009: 13-14, Grand Design Penataan Daerah, Kemdagri Fenomena pemekaran daerah pada dasarnya merupakan bentuk lain dari upaya daerah dalam menarik perhatian pusat. Jika pada era Orde Lama daerah menyuarakan tuntutannya melalui pemberontakan, pada era Orde Baru pemberontakan daerah diredam melalui mekanisme penyuapan loyalitas yang elitis dari pusat, maka pada era reformasi pusat merespon tuntutan dari daerah dengan lebih terlembaga melalui pemberian rekognisi politik dan kultural serta alokasi sumberdaya ekonomi yang tidak merata ke seluruh bagian daerah. Sebagian besar kajian akademis tentang pemekaran daerah menunjukkan bahwa inisiasi pemekaran daerah dipicu oleh kebutuhan untuk pemerataan ekonomi, Universitas Sumatera Utara dan upaya memperbaiki kondisi pelayanan publik dengan menghadirkan negara di tengah-tengah masyarakat. Disamping itu, adanya insentif pemekaran dalam bentuk alokasi DAU dan DAK juga menjadi daya tarik tersendiri bagi daerah-daerah untuk mengajukan usul pemekaran. Beberapa hal menarik lainnya terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi di Kabupaten Karo terungkap melalui hasil wawancara dengan beberapa responden, antara lain Sekcam Kecamatan Kabanjahe dan Sekcam Kecamatan Berastagi. Menurut Sekcam Kecamatan Kabanjahe, wawancara pada tanggal 20 Januari 2011 disebutkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan desentralisasi terjadi berbagai kecenderungan yang mengurangi makna otonomi daerah ditandai dengan beberapa gejala berikut ini: Sepengetahuan saya, banyak juga hal negatif sejak implementasi kebijakan desentralisasi digulirkan, antara lain: 1. Disharmoni antara Kepala Daerah dengan DPRD. Ini dapat diamati setiap pembahasan APBD terjadi keterlambatan; 2 Penempatan pejabat struktural yang kurang memperhatikan kompetensi. Hal ini sebagai akibat diterapkannya pemilihan kepala daerah secara langsung sehingga birokrasi mengalami politisasi; 3 Terlambatnya pelaksanaan kegiatan dan anggaran. Hal ini saya kira disebabkan banyaknya kasus hukum yang menimpa pejabat daerah. Kecenderungan ini mengakibatkan banyak PNS enggan menjadi pelaksana kegiatan. Hal-hal yang dikemukakan oleh Sekcam Kecamatan Kabanjahe sebagaimana kutipan di atas tampaknya umum terjadi di daerah-daerah seluruh Indonesia. Pemilihan Kepala Daerah, disharmoni hubungan KDH-DPRD maupun keengganan melaksanakan kegiatan merupakan implikasi negatif dari maraknya politisasi birokrasi Universitas Sumatera Utara seiring dengan implementasi kebijakan desentralisasi, khususnya penerapan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung. Tidak jauh berbeda, pandangan yang dikemukakan oleh Sekcam Kecamatan Berastagi. Menurut Sekcam Kecamatan Berastagi pada salah satu wawancara dengan peneliti 30 Januari 2010, disebutkan berbagai hal yang terkait dengan rendahnya kualitas pelayanan publik, berikut petikannya: Kecamatan Berastagi sebagai daerah tujuan wisata dunia sebenarnya merupakan asset bagi daerah ini. Namun demikian, infrastruktur fisik dasar berupa fasilitas umum dan fasilitas sosial tidak sepenuhnya diberikan perhatian. Umumnya prioritas pembangunan daerah Kabupaten Karo yakni pertanian dan pariwisata masih sebatas dokumen di atas kertas, faktanya kedua sektor tersebut belum diberikan perhatian secara berimbang. Terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi, masih terdapat hal lain yang relevan dikemukakan untuk melengkapi uraian persepsi responden dan hasil wawancara, yakni desentralisasi fiskal dan penataan organisasi perangkat daerah. Dari sisi desentralisasi fiskal terdapat kecenderungan peningkatan jumlah dana transfer ke daerah dari pemerintah pusat yang mengakibatkan ketergantungan fiskal. Sementara itu, dari sisi penataan organisasi justru kontraproduktif terhadap makna reformasi birokrasi itu sendiri. Kedua fenomena ini diuraikan secara singkat berikut ini. Desentraliasi fiskal diamati melalui trend perkembangan pendapatan dan belanja daerah dalam kurun waktu 5 tahun terakhir 2006-2010. Tabel 4.10. menyajikan data bahwa pendapatan Kabupaten Karo mengalami peningkatan pendapatan sebesar 28.2 selama tahun 2006-2007. Universitas Sumatera Utara Tabel 4.11. Trend Perkembangan Pendapatan dan Belanja Daerah 2006-2010 Tahun Pendapatan Peningkatan Belanja Peningkatan 2006 400,673,029,991.13 - 355,588,057,914.13 - 2007 516,152,494,454.27 28.82 482,842,220,858.00 35.79 2008 520,261,598,779.49 0.80 473,346,458,666.71 -1.97 2009 545,235,186,332.26 4.80 590,173,605,328.20 24.68 2010 523,940,842,327.00 -3.91 511,148,786,000.00 Tahun 2008 pendapatan Kabupaten Karo menjadi Rp 520,261,598,779.49 atau meningkat sebesar 0,80. Sedangkan pada tahun 2009 menjadi sebesar Rp. 545,235,186,332.26 atau meningkat sebesar 4,80 dan pada tahun 2010 pendapatan menjadi sebesar Rp. 523,940,842,327.00 -13.39 Sumber: DPPKAD Kab.Karo, 2010 Pada tahun anggaran 2010, Pendapatan Asli Daerah terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Laba Usaha Daerah dan Lain-lain Pendapatan, secara keseluruhan sebesar Rp. 26.490.000.000,- Dana Perimbangan direncanakan sebesar Rp. 478.820.158.477,- Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah direncanakan sebesar Rp. 18.630.683.850. Terkait dengan perkembangan pendapatan daerah sebagaimana diuraikan di atas, ditempuh sejumlah kebijakan pengelolaan pendapatan daerah antara lain: a. Optimalisasi penggunaan dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan yang dilaksanakan oleh SKPD; Universitas Sumatera Utara b. Bekerjasama dengan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kabanjahe dalam pemutakhiran data objek pajak dan administrasi pajak dan persiapan pengalihan PBB dan BPHTB sebagai pajak daerah. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Karo tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan BPHTB sebagai tindaklanjut pasal 180 UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah saat ini sudah diajukan ke DPRD. Hal lain yang terkait erat dengan desentralisasi fiskal adalah kemampuan keuangan daerah. Kapasitas fiskal daerah terkait dengan kemampuan daerah dalam membiayai kebutuhan operasional dan pembangunanya. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2007 memberikan batasan kelompok kemampuan keuangan daerah adalah klasifikasiklaster suatu daerah untuk menentukan kelompok kemampuan keuangan daerah tertentu yang ditetapkan dengan formula sebagai dasar penghitungan besaran Tunjanga Komunikasi Intensif dan Belanja Penunjang Operasional Pimpinan pada setiap klaster. Kendatipun pada Peraturan tersebut perhitungan kemampuan keuangan daerah dikaitkan dengan besaran Tunjangan Komunikasi Intensif dan Belanja Penunjang Operasional bagi Pimpinan dan Anggota DPRD, pada prinsipnya perhitungan tersebut dapat digunakan sebagai referensi dalam mengukur kemampuan keuangan daerah terkait dengan kebutuhan analisis lainnya. Penentuan kelompok kemampuan keuangan daerah dihitung dengan menggunakan formula kemampuan keuangan daerah sama dengan pendapatan umum daerah dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah PNSD. Pendapatan umum Universitas Sumatera Utara daerah terdiri atas pendapatan asli daerah ditambah dana bagi hasil dan dana alokasi umum. Belanja PNSD terdiri atas gaji dan tunjangan Pegawai Negeri Sipil Daerah yang meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan, tunjangan beras, dan tunjangan pajak penghasilan PPh Pasal 21. Merujuk formula tersebut, maka secara matematis kemampuan keuangan daerah dapat dinotasikan: KKD=PUD-BPNSD. Dengan menggunakan formula ini dapat dihitung kemampuan keuangan daerah kabupaten karo selama kurun waktu 2008-2010. Perhitungan dapat disederhanakan melalui grafik berikut: Sumber: DPPKAD Kabupaten Karo, 2010 Catatan: 1=Tahun 2008; 2=Tahun 2009; 3=Tahun 2010 Gambar 4.8. Grafik Kemampuan Keuangan Daerah Tahun 2008-2010 Data kemampuan keuangan daerah yang disajikan melalui Gambar 4.8 tersebut menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2008-2010 kemampuan keuangan daerah termasuk kategori rendah. Pengelompokan ini merujuk klasifikasi pasal 5 ayat 2 huruf c Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2007 yang menetapkan Universitas Sumatera Utara bahwa kemampuan keuangan di bawah Rp.200.000.000.000,00 dua ratus milyar dikelompokkan pada kemampuan keuangan daerah rendah. Isu lainnya terkait dengan kemampuan fiskal adalah proporsi belanja langsung dibanding proporsi belanja tidak langsung. Selanjutnya, dalam kelompok belanja langsung itu sendiri harus dilihat lagi proporsi antara belanja barang dan jasa dibandingkan dengan belanja modal. Untuk melihat perbandingan antara kelompok belanja maupun antar jenis belanja dalam kelompok belanja langsung tersebut, berikut cuplikan Perda Kabupaten Karo Nomor 16 Tahun 2008 tentang APBD Tahun Anggaran 2008, sebagai berikut: Tabel 4.12. Ringkasan APBD Kabupaten Karo Tahun 2008 No Uraian Jumlah Rp 1 1.1. 1.2. 1.3. 2 2.1. 2.2. 2.2.1. 2.2.2. 2.2.3 3 3.1. 3.2. Pendapatan PAD Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah Belanja Belanja Tidak Langsung Belanja Langsung Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal SurplusDefisit Pembiayaan Penerimaan pembiayaan Pengeluaran pembiayaan Pembiayaan netto 513.981.107.890 18.497.349.800 477.665.309.890 17.818.448.200 577.258.959.353 333.611.815.224 243.647.141.129 32.133.049.000 68.647.774.093 142.866.318.036 63.277.848.463 79.598.118.362 79.598.118.362 16.320.269.899 63.277.848.463 Sumber: Lampiran 1 Perda Kabupaten Karo Nomor 16 Tahun 2008 Berdasarkan sajian pada Tabel 4.12 di atas, dapat dicermati bahwa belanja tidak langsung sebesar Rp. 333.611.815.224 sekitar 58 dari total belanja lebih besar dari porsi belanja langsung yang hanya sebesar Rp. 243.647.141.129 sekitar 42 dari total belanja. Proporsi belanja langsung lebih besar dari belanja tidak Universitas Sumatera Utara langsung secara yuridis memang tidak secara tegas diatur, namun demikian secara etika tidaklah dapat diterima birokrasi melayani dirinya sendiri. Lebih lanjut, dalam kelompok belanja langsung itu sendiri, apabila porsi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, masih lebih besar dari belanja modal dapat dimaknai bahwa birokrasi kurang memiliki kepekaan terhadap preferensi warga. Demikian pula halnya dengan belanja modal, kendatipun belanja modal lebih besar dari dua jenis belanja lainnya, apabila barang modal yang diadakan melalui APBD hanya berupa perlengkapan kantor bagi birokrasi, sama saja tidak akan terjadi perubahan nasib bagi warga baik dalam bentuk pelayanan publik maupun peningkatan kesejahteraannya. Untuk itu, khusus kelompok belanja langsung perlu ditelaah lebih lanjut. Merujuk pada Tabel 4.12 dapat dicermati bahwa akumulasi belanja pegawai ditambah belanja barang dan jasa mencapai Rp. 100.780.823.093 41 dari total belanja langsung. Dengan komposisi tersebut dapat dikatakan bahwa hampir separuh belanja langsung diambil kembali oleh birokrasi dengan menerima honorarium danatau pengadaan belanja pakai habis kantor, alat tulis kantor yang rawan dimanipulasi. Sementara itu, dari segi penataan organisasi perangkat daerah menurut PP Nomor 41 tahun 2007 juncto Permendagri nomor 57 tahun 2007 memuat beberapa poin penting sebagai berikut: 1. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas Universitas Sumatera Utara 2. Kriteria untuk menentukan jumlah besaran organisasi perangkat daerah masing- masing pemerintah daerah dengan variabel jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah APBD, yang kemudian ditetapkan pembobotan masing-masing variabel yaitu 40 empat puluh persen untuk variabel jumlah penduduk, 35 tiga puluh lima persen untuk variabel luas wilayah dan 25 dua puluh lima persen untuk variabel jumlah APBD, serta menetapkan variabel tersebut dalam beberapa kelas interval, sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini. Demikian juga mengenai jumlah susunan organisasi disesuaikan dengan beban tugas masing-masing perangkat daerah. 3. Untuk Kabupaten Karo dapat dilakukan perhitungan skor sebagai berikut. Nilai Kabupaten Karo dapat dihitung dengan menjumlahkan nilai x bobot variabel, yakni: 1 Variabel Jumlah Penduduk, nilai 24 x bobot 40, dengan demikian skor nilai = 9,6; 2 Variabel Luas Wilayah, nilai 21 x bobot 35, dengan demikian skor nilai = 7,35; 3 Variabel APBD, nilai 15 x bobot 25, dengan demikian skor nilai = 3,75. Total skor nilai = 20,7 atau kurang dari nilai 40 yang hanya dapat membentuk organisasi perangkat daerah, Setda paling banyak 3 asisten; dinas Universitas Sumatera Utara Namun yang sangat disayangkan, penataan organisasi justru menambah beban anggaran daerah. Penambahan jumlah pejabat struktural akibat dilakukannya penataan organisasi cukup signifikan dalam meningkatkan biaya operasional. Jumlah pejabat struktural yang bertambah secara berturut-turut adalah sebagai berikut: eseleon IIb bertambah sebanyak 8 orang; eselon IIIa berkurang sebanyak 49 orang; eselon IIIb bertambah sebanyak 90 orang; eselon IVa bertambah sebanyak 66 orang; eselon IVb bertambah sebanyak 56 orang, dan eselon Va bertambah sebanyak 34 orang. Secara keseluruhan tunjangan jabatan struktural yang dibutuhkan berkisar Rp. 7,9 Miliyar dan tambahan penghasilan sebesar Rp. 16, 8 Miliyar.

4.4.2. Pembangunan Ekonomi Wilayah

Pembangunan ekonomi wilayah dalam penelitian ini diukur dari 3 tiga aspekdimensi yang saling terkait yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan pertumbuhan dan kelestarian lingkungan. Terkait dengan pertumbuhan ekonomi ditanyakan persepsi responden mengenai pendapatan perkapita, daya beli dan kemampuan ekonomi rumah tangga. Sementara itu, terkait dengan pemerataan pertumbuhan menanyakan tanggapan responden berkaitan dengan tingkat kesenjangan yang terjadi baik antar wilayah kecamatan, antar desa-kota maupun antar sektor pembangunan. Terakhir mengenai kelestarian lingkungan menanyakan tanggapanpersepsi responden mengenai kesinambungan pembangunan, menjaga kelestarian alam, dan pemanfaatan sumber daya alam secara proporsional. Universitas Sumatera Utara Persepsi responden terhadap 3 tiga dimensi tersebut disajikan secara berturut- turut berikut ini. Pada Gambar 4.6 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden 80 - 90 menyatakan pembangunan ekonomi wilayah yang ditinjau dari aspek pertumbuhan ekonomi sesuai untuk meningkatkan income percapita maupun daya beli. Namun tidak demikian halnya dengan kemampuan ekonomi rumah tangga. Sebagian besar responden + 80 justru tidak memberikan pendapat terkait dengan kemampuan ekonomi rumah tangga. Selengkapnya mengenai perbandingan jawaban responden terhadap inidikator pembangunan ekonomi wilayah dari aspek pertumbuhan ekonomi menurut pandangan responden dapat disimak Gambar 4.7. Sumber: Data primer dari jawaban responden pada kuesioner diolah, 2010 Gambar 4.9. Grafik Persepsi Responden Terkait Pertumbuhan Ekonomi Selain pertumbuhan ekonomi, indikator lain yang erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi adalah pemerataan pertumbuhan. Mengenai hal ini sebagian Universitas Sumatera Utara besar responden 80-90 menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi wilayah mengurangi kesenjangan antar wilayah kecamatan maupun antar desa-kota. Namun ketika dikonfirmasi mengenai keterkaitan pembangunan sektoral dalam konteks pembangunan ekonomi wilayah diperoleh keterangan bahwa sekitar 80 responden tidak memberikan pendapat lihat Gambar 4.9. Sumber: Data primer dari jawaban responden pada kuesioner diolah, 2010 Gambar 4.9. Grafik Persepsi Responden terhadap Pemerataan Pertumbuhan Indikator lainnya dalam mengukur variabel pembangunan ekonomi wilayah adalah dimensi kelestarian lingkungan. Kelestarian lingkungan dalam penelitian ini diukur melalui indikator kesinambungan pembangunan, kelestarian pembangunan, dan pemanfaatan sumber daya alam secara proporsional. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa untuk indikator kesinambungan pembangunan, secara umum di atas 80 responden sepakat bahwa pembangunan ekonomi wilayah memperhatikan kesinambungan pembangunan. Namun demikian, Universitas Sumatera Utara terkait dengan indikator pemanfaatan sumber daya alam SDA secara proporsional dan menjaga kelestarian sumber daya alam di atas 75 bahkan sampai 85 responden tidak berpendapat. Hal ini mengindikasikan bahwa dimensi kelestarian lingkungan dalam pembangunan ekonomi wilayah masih sulit mengukurnya. Aparat pemerintah daerah yang menjadi responden dalam penelitian ini lebih memilih tidak memberikan pendapatnya selengkapnya lihat Gambar 4.10. Sumber: Data primer dari jawaban responden pada kuesioner diolah, 2010 Gambar 4.10. Grafik Persepsi Responden terhadap Dimensi Kelestarian Lingkungan Uraian deskriptif mengenai persepsi responden terhadap masing-masing indikator variabel penelitian sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan indikasi adanya keterkaitan yang erat antara impementasi kebijakan desentralisasi dan pembangunan ekonomi wilayah. Hal ini sejalan dengan kerangka konseptual yang Universitas Sumatera Utara dianut serangkaian regulasi yang mengatur tentang desentralisasi maupun berbagai hasil penelitian seputar tema desentralisasi. Salah satu hasil penelitian terkini terkait dengan tema desentralisasi dalam hubungannya dengan pembangunan ekonomi wilayah, khususnya kinerja perekonomian daerah adalah studi yang dilakukan Bappenas dan UNDP 2009. Merujuk hasil riset tersebut dapat diketahui bahwa peningkatan nilai tambah di perekonomian mengisyaratkan peningkatan aktivitas ekonomi, baik yang sifatnya internal di daerah yang bersangkutan, maupun dalam kaitannya dengan interaksi antardaerah. Kajian lain dilakukan oleh Brodjonegoro 2008 yang menyebutkan bahwa semakin tinggi peran industri pengolahan dalam satu wilayah, maka semakin maju daerah tersebut. Lebih lanjut disebutkan bawah pada periode pemulihan pascakrisis, sektor yang relatif berkembang adalah industri manufaktur. Hal ini menguntungkan bagi daerah-daerah yang sektor industri manufakturnya relatif besar. Kajian lain yang relevan dikemukakan di sini adalah kajian Departemen Dalam Negeri pada tahun 2008, khususnya terkait dengan pemekaran daerah dikaitkan dengan tujuan desentralisasi. Menurut hasil kajian tersebut, diketahui bahwa jumlah daerah kabupatenkota seluruh Indonesia sebanyak 471 buah dengan kemungkinan dalam waktu dekat akan bertambah 12 kabupatenkota baru, karena rancangan undang- undangnya sedang dibahas di parlemen bersama pemerintah. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata setiap provinsi memiliki 14,27 kabupatenkota. Apabila ditambah dengan daerah kabupatenkota yang akan dibentuk tersebut, maka angka Universitas Sumatera Utara rata-ratanya naik menjadi 15 buah. Provinsi dengan jumlah kabupatenkota terkecil yakni Provinsi Sulawesi Barat diluar Provinsi DKI Jakarta dan DI Yogyakarta, karena keduanya bersifat khusus dan istimewa dengan lima kabupaten diwilayahnya. Provinsi dengan jumlah kabupatenkota terbanyak yakni Provinsi Jawa Timur dengan 38 kabupatenkota. Sedangkan modus jumlah kabupatenkota dalam satu provinsi adalah 11 buah. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa selama ini tidak ada parameter yang jelas mengenai rentang kendali ideal antara provinsi terhadap kabupatenkota. Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki rentang kendali terhadap kabupatenkota banyak dengan jumlah penduduk sangat besar, tetapi memiliki jaringan transportasi dan komunikasi yang relatif baik. Pada sisi lain, Provinsi Papua juga memiliki rentang kendali kabupatenkota yang cukup banyak dengan wilayah sangat luas serta fasilitas transportasi dan komunikasi yang masih sangat terbatas. Konsekuensi logisnya beban tugas dan tanggung jawab gubernur baik sebagai kepala daerah otonom maupun sebagai wakil pemerintah pusat di daerah untuk masing-masing provinsi menjadi berbeda-beda. Tetapi selama ini pemerintah pusat melihatnya sebagai sesuatu yang serba seragam. Dengan perkataan lain, pembinaan dan pendampingan terhadap provinsi oleh pemerintah pusat perlu dilakukan secara kasus demi kasus, sesuai potensi dan permasalahannya. Dalam rangka penyusunan strategi dasar penataan daerah otonom di Indonesia, perbedaan situasi dan kondisi masing-masing provinsi perlu menjadi pertimbangan, Universitas Sumatera Utara baik dalam rangka membentuk provinsi, kabupaten, kota baru maupun dalam rangka menata kembali persyaratan ideal sebuah daerah otonom provinsi, kabupaten, kota dilihat dari luas wilayah, cakupan wilayah, jumlah penduduk maupun potensi ekonominya. Seperti telah dijelaskan pada uraian sebelumnya bahwa terdapat 3 tiga tujuan utama desentralisasi yakni peningkatan pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penguatan demokrasi lokal. Ketiga tujuan ini dapat dikelompokkan sebagai tujuan politik, tujuan administrasi dan tujuan ekonomi dari desentralisasi. Tujuan politik dari desentralisasi adalah untuk membangun suprastruktur dan infrastruktur politik yang demokratis, baik dalam proses pengisiannya, proses pembuatan kebijakannya maupun dalam akuntabilitasnya kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Tujuan ini awalnya dapat dilihat dari seberapa besar isi otonomi pada daerah otonom provinsi. Pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, isi otonomi daerah provinsi lebih besar dibanding daerah kabupatenkota, karena digunakan pendekatan tingkatan dalam pembagian daerah otonom level approach serta pembagian urusan pemerintahan secara berjenjang. Pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999, digunakan pendekatan pembagian daerah menurut ukuran dan isi size and content approach, yang ditandai dengan adanya daerah otonom yang besar dan kecil serta dengan isi otonomi yang luas dan terbatas. Daerah otonom provinsi merupakan daerah otonom yang besar tetapi dengan isi otonomi yang terbatas, karena provinsi lebih banyak diposisikan untuk menjalankan fungsi dekonsentrasi. Universitas Sumatera Utara Pada masa UU Nomor 32 Tahun 2004, digunakan pendekatan desentralisasi berkeseimbangan equilibrium decentralization, baik secara vertikal maupun horisontal. Dalam hal pembagian urusan pemerintahan antar susunan pemerintahan, nampak pada PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Dengan Pemerintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah KabupatenKota. Jenis urusan pemerintahan konkuren yang ditangani antara daerah otonom provinsi dengan daerah otonom kabupatenkota relatif sama. Perbedaannya terletak pada ruang lingkup atau cakupannya. Isi otonomi daerah provinsi bersifat lintas kabupatenkota serta yang berskala regional, sedangkan isi otonomi daerah kabupatenkota berskala setempat. Salah satu ciri pemerintahan yang demokratis yakni adanya wakil-wakil rakyat yang dipilih guna mewakili kepentingan publik untuk merumuskan dan mengawasi kebijakan publik. Setiap daerah provinsi di Indonesia memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum. Jumlahnya minimal 50 orang dan maksimal 100 orang, tergantung pada jumlah keseluruhan konstituen dalam provinsi yang diwakilinya. Anggota DPRD provinsi mewakili konstituennya untuk kepentingan yang berskala regional. Sedangkan jumlah anggota DPRD kabupatenkota berkisar antara 20 orang sampai 45 orang. Ciri lain dari pemerintahan yang demokratis yaitu pengisian pejabat publik pada tingkat puncak dilakukan melalui pemilihan, bukan melalui pengangkatan. Gubernur yang berkedudukan ganda yakni sebagai kepala daerah provinsi dan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dipilih melalui pemilihan umum yang langsung, Universitas Sumatera Utara umum, bebas dan rahasia. Dalam kedudukannya sebagai kepala daerah provinsi, gubernur sejajar dengan bupatiwalikota, karena antara daerah otonom yang satu dengan lainnya tidak saling membawahi. Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur mempunyai posisi lebih tinggi dibanding bupatiwalikota. Gubernur memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan kabupatenkota. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dapat dikatakan sebagai alteregonya presiden di daerah, sehingga dapat melakukan koordinasi terhadap semua instansi vertikal yang ada di tingkat provinsi maupun melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap semua instansi vertikal maupun daerah otonom tingkat kabupatenkota. Sesuai prinsip dasar demokrasi yakni dari, oleh dan untuk rakyat, sudah sewajarnya apabila rakyat terlibat dalam proses perumusan, pelaksanaan serta evaluasi kebijakan publik yang akan ditujukan kepada mereka. Secara yuridis, UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, telah memberi dasar hukum yang kuat bagi ruang partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik- baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan daerah. Praktek pemerintahan yang berjalan ini menunjukkan bahwa proses penyusunan kebijakan publik dilakukan tanpa konsultasi publik ataupun menyebarluaskan rancangan peraturan untuk memperoleh masukan dari masyarakat, sehingga kebijakan publik yang dibuat terkesan masih sangat elitis. Dalam pelaksanaan penataan daerah otonom di Indonesia, baik terhadap daerah otonom yang sudah ada maupun yang akan dibentuk, perlu dikaji secara mendalam Universitas Sumatera Utara apakah tujuan politik dari desentralisasi sudah terpenuhi atau belum. Gejala yang nampak menunjukkan bahwa pembentukan daerah otonom seringkali didasarkan pada pertimbangan etnis dan agama, yang ditandai dengan memberi nama daerah otonom dengan nama etnis tertentu. Hal ini sebenarnya menunjukkan kemunduran dilihat dari perspektif kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada masa lalu tidak ada nama daerah otonom baik provinsi, kabupaten maupun kota yang merupakan nama sebuah suku. Pada masa sekarang justru muncul banyak sekali keinginan untuk menamai daerah otonom dengan nama sebuah suku, sehingga terkesan bahwa daerah otonom tersebut “milik” suku tersebut. Konsekuensi logisnya mereka menuntut hak-hak priviledge seperti untuk pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta pengisian jabatan negeri lainnya. Tujuan selanjutnya dari diselenggarakannya desentralisasi adalah tujuan administratif. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan kebijakan, proses dan tindakan administratif agar pelayanan kepada masyarakat dalam semua aspek menjadi lebih cepat, murah, transparan dan akuntabel. Aspek pertama yang perlu diperhatikan adalah perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta alokasi penggunaan dana publik yang telah diserahkan kepada daerah. Sejak reformasi dana perimbangan yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah dari waktu ke waktu jumlahnya semakin besar. Tetapi kucuran dana yang besar ke daerah tidak serta merta membuat pembangunan daerah menjadi lebih baik dan merata dibandingkan pada saat digunakannya sistem pemerintahan sentralistik pada masa orde baru. Angka kemiskinan dari tahun ke tahun Universitas Sumatera Utara tetap saja tinggi, padahal berbagai urusan pemerintahan yang menyangkut kebutuhan dasar masyarakat termasuk sumber pembiayaannya sudah diserahkan kepada daerah. Nampaknya diperlukan strategi baru agar daerah memiliki kepatuhan terhadap program pembangunan jangka panjang dan jangka menengah dari pemerintah pusat. Aspek kedua dari tujuan administrasi adalah terbangunnya organisasi pemerintahan daerah yang ramping, efektif dan efisien serta berorientasi kepada kepentingan publik. Fakta yang ada sekarang justru menunjukkan bahwa organisasi pemerintah daerah cenderung untuk membesar. Konsekuensi logisnya, sebagian besar dana publik habis digunakan untuk membiayai birokrasi. Penggunaan paradigma organisasi struktural yang cocok untuk sistem sentralistik, perlu digantikan dengan paradigma organisasi fungsional yang berbasis pada keahlian. Perubahannya harus dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan, sehingga tidak menimbulkan gejolak pada tubuh birokrasi. Seiring dengan menguatnya semangat desentralisasi, maka organisasi pemerintah di tingkat nasional perlu dirampingkan dan diisi oleh orang-orang profesional dalam pembuatan kebijakan serta melalukan pembinaan dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerah. Sedangkan organisasi pemerintah daerah lebih banyak diisi oleh orang-orang profesional teknis sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom bersangkutan. Tanpa perubahan paradigma, sulit untuk membangun birokrasi yang profesional. Aspek lain dari tujuan administrasi adalah mengenai gambaran kinerjanya. Berbeda dengan sektor swasta yang kegiatannya serba terukur, kinerja sektor pemerintah belum semuanya terukur dengan baik. Meskipun sudah ada Peraturan Universitas Sumatera Utara Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, tetapi belum semua daerah melaksanakan ketentuan tersebut secara konsisten. Tanpa parameter yang jelas, tidak tertutup kemungkinan terjadinya penggunaan dana negara yang tidak fokus kepada kepentingan publik. Aspek lain yang perlu dilihat dari tujuan administrasi adalah luasnya jangkauan pelayanan publik yang diberikan serta tingkat kepuasaan masyarakat terhadapnya. Praktek pemerintahan yang ada menunjukkan belum semua daerah melakukan survey pengukuran kepuasan masyarakat secara periodik, meskipun sudah ada dasar hukum yang memerintahkannya yakni Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 25.M.Pan2000 tentang Indeks Kepuasan Masyarakat. Padahal survey tersebut sangat penting untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap kinerja pelayanan publik yang telah diselenggarakan oleh pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupatenkota. Meskipun disebutkan terakhir, tetapi tujuan sosial ekonomi merupakan puncak dari tujuan desentralisasi, yakni membuat rakyat lebih sejahtera secara lahir dan batin dalam suasana demokratis. Salah satu parameter tingkat kesejahteraan masyarakat adalah melalui Indeks Pembangunan Manusia IPM. Selain IPM, tujuan sosial ekonomi dari desentralisasi dapat dilihat dari tingkat ketahanan masyarakat dalam menghadapi berbagai perubahan. Indikatornya antara lain adalah tingkat kerukunan masyarakat, rasa kebersamaan, tingkat solidaritas sosial dan lain sebagainya. Universitas Sumatera Utara

4.5. Pengaruh Implementasi Kebijakan Desentralisasi terhadap Pembangunan

Ekonomi Wilayah Setelah mengetahui besarnya nilai koefisien korelasi dan besaran nilai tabel, langkah selanjutnya adalah pengujian hipotesis penelitian. Untuk kebutuhan tersebut, berikut disajikan nilai koefisien korelasi hasil analisis SPSS 15 melalui Tabel 4.13 berikut. Tabel. 4.13. Koefisien Korelasi Produk Moment Antara Implementasi Kebijakan Desentralisasi Variabel Independen terhadap Pembangunan Ekonomi Wilayah Variabel Dependen IKD PEW Pearson Correlation 1 .405 Sig. 2-tailed .000 Sum of Squares and Cross- products 74.750 45.200 Covariance .755 .457 IKD N 100 100 Pearson Correlation .405 1 Sig. 2-tailed .000 Sum of Squares and Cross- products 45.200 166.640 Covariance .457 1.683 PEW N 100 100 Correlation is significant at the 0.01 level 2-tailed. IKD = Implementasi Kebijakan Desentralisasi; PEW = Pembangunan Ekonomi Wilayah Merujuk hasil perhitungan sebagaimana disajikan pada Tabel 4.13. maka diketahui bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0.405 dengan taraf signifikansi sebesar 0.000. Pengujian dilakukan dengan pengujian dua ekor 2 tailed dengan kasus yang berlaku adalah 100 N=100. Adapun ketentuan bahwa apabila signifikansi di bawah ata sama dengan 0.05 maka Ha Hipotesis alternatif diteriman dan Ho Hipotesis nol ditolak. Universitas Sumatera Utara Bila dibandingkan dengan tabel nilai r product moment pada taraf signifikansi 5 dan 1 dengan N = 100, masing-masing secara berturut-turut 0.195 dan 0.256 berarti 0.4050.2560.195. Kesimpulan yang dapat diambil dari besaran nilai koefisien korelasi product moment tersebut adalah “terdapat hubungan pengaruh yang nyata dan signifikan antara Implementasi Kebijakan Desentralisasi IKD terhadap Pembangunan Ekonomi Wilayah PEW”. Dengan demikian, data sampel yang diambil dalam penelitian ini dapat digeneralisasikan pada populasi di mana sampel diambil. Selanjutnya, untuk memberi interpretasi mengenai kuat atau lemahnya hubungan pengaruh implementasi kebijakan desentralisasi terhadap pembangunan ekonomi wilayah, nilai koefiesien korelasi r hitung dikonfirmasi terhadap Tabel 4.13. Merujuk klasifikasi pada Tabel 4.13 diketahui bahwa hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen tergolong moderat sedang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan desentralisasi di Kabupaten Karo secara moderat mampu menjelaskan pembangunan ekonomi wilayah yang terjadi. Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan kesimpulan studi Sutarno dan Kuncoro 2004 di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah khususnya keterkaitan antara pembangunan ekonomi dan ketimpangan antar wilayah. Menurut studi Sutarno dan Kuncoro dalam Kuncoro 2004: 129-138 di Kabupaten Banyumas, pertumbuhan ekonomi yang terjadi seiring dengan kebijakan desentralisasi masih belum memperhatikan dimensi spasial. Implikasi pembangunan yang kurang Universitas Sumatera Utara memberi perhatian terhadap dimensi keruangan ini a-spasial dapat dilihat dari beberapa hal berikut ini Kuncoro 138: a Menurut tingkat pertumbuhan dan pendapatan per kapita terdapat kesenjangan antar kecamatan. Kesenjangan antar kecamatan ini dapat dipetakan dengan adanya tipologi kecamatan yang diklasifikasikan dalam 4 empat kelompok, yakni: daerah cepat, maju dan cepat tumbuh, daerah yang cepat maju tapi tertekan, daerah yang berkembang cepat, dan daerah tertinggal. b Pada periode pengamatan 1993-2000, terjadi kecenderungan peningkatan ketimpangan, baik dianalisis dengan indeks Wiliamson maupun indeks entropi Theil. Ketimpangan ini salah satunya disebabkan oleh konsentrasi aktivitas ekonomi secara spasial. c Hipotesis Kuznets mengenai ketimpangan yang berbentuk kurva U terbalik berlaku di Kabupaten Banyumas. Selain hasil penelitian Sutarno dan Kuncoro 2004, terkait dengan implikasi kebijakan desentralisasi terhadap pelayanan publik dilakukan juga oleh lembaga penelitian SMERU secara cross sectional pada 12 kabupatenkota waktu penelitian dan lokasi penelitian - lihat Tabel 4.14.. Tabel 4.14. Lokasi Penelitian SMERU Tahun 2002. KabupatenKota Sampel Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des 1. Lombok Barat, NTB 2. B a n d a r L a m p u n g , LAMPUNG 3. Ponorogo, JATIM 4. Sumba Timur, NTT 5. Minahasa, SULUT 6. Soppeng, SULSEL 7. B a n j a r m a s i n , KALSEL 8. Sanggau, KALBAR 9. Kudus, JATENG

10. S u k a b u m i , JABAR 11. Solok, SUMBAR

12. Karo, SUMUT Sumber: SMERU, 2002: Dampak Otda terhadap Pelayanan Publik, 42. Cetak tebal dan miring pada tabel adalah Kota lokasi kajian. Universitas Sumatera Utara