The Growth Pole Theory

Namun demikian, konsep ini cenderung melakukan sentralisasi layanan lebih daripada yang dibutuhkan. Tampaknya lokasi yang terdesentralisasi lebih sesuai untuk mengurangi kecenderungan tersebut, selain itu sarana dan prasarana yang dibangun hendaknya sedapat mungkin menggunakan bahan baku lokal.

2.3.2. The Growth Pole Theory

Konsep pusat pertumbuhan growth pole ini diperkenalkan sejak 1949 oleh seorang ekonom Perancis bernama Francois Perroux. Pandangan Perroux sebagaimana dikutip oleh Darwent 1969 pada awalnya terlepas dari konteks geografis atau persoalan keruangan. Nuansa konsep growth pole lebih berorintasi pemikiran ekonomi dibanding kewilayahan. Hal tersebut dapat dilihat misalnya dari definisi yang diberikan terhadap growth pole itu sendiri sebagai “... centers poles or foci from which centrifugal forces emanate and to which centripetal forces are attracted. Each center being a center of attraction and repulsion has its proper field which is set in the field of all other centers” Darwent, 1969: 5. Konsep yang semula didasari pemikiran ekonomi tersebut semakin dilekatkan dengan konteks kewilayahan yang mengadopsi pemikiran bahwa satu wilayah geografis adalah satu skala ekonomi. Dalam konteks pemikiran inilah dikonsepsikan adanya tiga tipe perwilayahan ekonomis, yaitu homogenous, polarized, dan planning regions Boudeville, 1966. Homogenous merupakan suatu perwilayahan yang terpusat dengan adanya satu karakteristik inti core characteristic. Polarized merupakan satu kawasan yang Universitas Sumatera Utara ditandai dengan adanya hubungan antar pusat dengan inti central-periphery relationship. Planning region merupakan wilayah pengembangan yang dapat dirancang ulang sesuai karakteristik yang dimiliki. Konsep Growth Pole banyak diterapkan di negara-negara berkembang sebab diyakini mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraaan masyarakat dengan melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di wilayah perkotaan. Selanjutnya diharapkan dengan sendirinya akan menyebar pada pembangunan wilayah pedesaan. Ini sering disebut sebagai “trickle down effect” yang terjadi sebagai akibat tekanan daripada pasaran bebas free market forces sehingga menciptakan pertumbuhan ekonomi dari urban ke rural area Rondinelli,1985. Sebenarnya Growth Pole itu sendiri merupakan sistem sentralisasi pembangunan dari atas ke bawah top down planning yang selama ini diterapkan di Indonesia. Namun berdasarkan hasil penelitian Firman, 1996 disebutkan bahwa konsep Growth Pole gagal diterapkan pada Perluasan Kawasan Metropolitan Bandung Extended Bandung Metropolitan Region. Pada proyek ini, kota Bandung awalnya diharapkan mampu sebagai magnet magnet strategy untuk membangun kota-kota kedua. Ternyata pembangunan fisik kota Bandung sendiri sangat lambat bahkan kota Bandung hanya berperan sebagai “kota asrama” Dormitory City. Apabila ditelaah lebih dalam maka konsep pusat pertumbuhan Growth Pole inilah yang menjadi konsep “agropolitan” hanya saja perancangannya dari bawah ke atas bottom-up planning. Douglas dan Friedmann 1978 menekankan bahawa pembangunan perkotaan urban development mesti dihubungkan dengan Universitas Sumatera Utara pembangunan pedesaan rural development pada tingkat bawah local level. Pada prinsipnya kota di pedesaan dilihat sebagai fungsi non-agrikultural dan fungsi administratif, bukan sebagai pusat pertumbuhan Growth Pole.

2.4. Penelitian Sebelumnya