Analisis Pengaruh Implementasi Kebijakan Desentralisasi Terhadap Pembangunan Ekonomi Wilayah di Kabupaten Karo

(1)

ANALISIS PENGARUH IMPLEMENTASI EBIJAKAN

DESENTRALISASI TERHADAP PEMBANGUNAN

EKONOMI WILAYAH DI KABUPATEN KARO

TESIS

Oleh

RANIN PINEM

087003056/PWD

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

ANALISIS PENGARUH IMPLEMENTASI EBIJAKAN

DESENTRALISASI TERHADAP PEMBANGUNAN

EKONOMI WILAYAH DI KABUPATEN KARO

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

RANIN PINEM

087003056/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

Judul Tesis : ANALISIS PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI

TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH DI KABUPATEN KARO

Nama Mahasiswa : Ranin Pinem Nomor Pokok : 087003056

Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA) Ketua

(Kasyful Mahalli, SE, M.Si) (Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada Tanggal : 29 Juli 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA Anggota : 1. Kasyful Mahalli, SE, M.Si

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec 3. Agus Suryadi, S.Sos, M.Si

4. Drs. Rujiman, MA


(5)

ANALISIS PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI TERHADAP PEMBANGUNAN

EKONOMI WILAYAH DI KABUPATEN KARO ABSTRAK

Penelitian ini berupaya menjawab pertanyaan penelitian tentang pengaruh implementasi kebijakan desentralisasi terhadap pengembagan ekonomi wilayah yang dilakukan di Kabupaten Karo. Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan responden 100 orang yang terdiri dari kalangan aparatur Kecamatan, Desa dan Kelurahan pada Kecamatan Berastagi, Kecamatan Kabanjahe, Kecamatan Mardinding dan Kecamatan Lau Baleng. Teknik analisis yamg digunakan menggunakan analisis korelasi product moment dari Karl Pearson dengan bantuan aplikasi komputer SPSS versi 15.00.

Hasil analisis menunjukkan besaran koefisien korelasi sebesar 0.405 dengan taraf signifikansi sebesar 0.000. Pengujian dilakukan dengan pengujian dua ekor (2 tailed) dengan kasus yang berlaku adalah 100 (N=100). Adapun ketentuan bahwa apabila signifikansi di bawah atau sama dengan 0,05 maka Ha (Hipotesis Alternatif) diterima dan Ho (Hipotesis nol) ditolak. Bila dibandingkan dengan tabel nilai r product moment pada taraf signifikansi 5 % dan 1 % dengan N = 100, masing-masing secara berturut-turut 0,195 dan 0,256 berarti 0,405 > 0,256 > 0,195. Kesimpulan yang dapat diambil dari besaran nilai koefisien korelasi product moment tersebut adalah “terdapat hubungan pengaruh yang nyata dan signifikan antara Implementasi Kebijakan Desentralisasi (IKD) terhadap Pembangunan Ekonomi Wilayah (PEW)”. Dengan demikian, data sampel yang diambil dalam penelitian ini dapat digeneralisasikan pada populasi dimana sampel diambil.

Disarankan agar upaya untuk meningkatkan kualitas implementasi kebijakan desentralisasi dapat dilakukan dengan memperbaiki substansi kebijakan sehingga lebih mencerminkan tujuan desentralisasi, memperbaiki struktur kebijakan dengan memperkuat kemitraan yang sinergis antar tiga pilar pemerintahan yakni masyarakat sipil, pemerintah daerah dan sektor swasta. Sedangkan penguatan kultur kebijakan lebih pada upaya sosialisasi kebijakan agar lebih sesuai dengan tingkat pemahaman masyarakat dan nilai-nilai lokal.

Pembangunan ekonomi wilayah juga perlu dilakukan dengan lebih komprehensif melalui kebijakan pembangunan yang memperhatikan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan kelestarian lingkungan.

Penelitian lanjutan yang lebih memperbanyak dan memperluas variabel penelitian untuk mengungkap derajat pencapaian tujuan desentralisasi sejalan dengan rencana perubahan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dirancang untuk memperbaiki pengaturan-pengaturan yang dinilai kurang mampu bekerja secara optimal dalam mencapai tujuan dari kebijakan desentralisasi dan penelitian lanjutan tentang pembangunan ekonomi wilayah dengan cakupan wilayah yang lebih luas dan model yang lebih sesuai khususnya mengukur kesenjangan antar wilayah, pertumbuhan ekonomi wilayah yang berbasis pada wilayah kecamatan.


(6)

Kata Kunci: Implementasi Kebijakan Desentralisasi, Pengembagan Ekonomi Wilayah Pertumbuhan Ekonomi Wilayah.


(7)

ANALYZE INFLUENCE OF DECENTRALIZATION POLICY IMPLEMENTATION TOWARD REGIONAL ECONOMIC

DEVELOPMENT IN KARO REGENCY

ABSTRACT

This research aims is to answer the research question on influence of decentralization policy implementation toward regional economic development in Karo Regency. This research used survey approach with 100 respondents consist of local apparatus from Kecamatan(sub-regency), Kelurahan and Desa (Village) government respectively in Berastagi, Kabanjahe , Mardinding and Lau Baleng. Analytical technique used product moment correlation from Karl Pearson which supported by computer application SPSS 15.00 version.

Result of the research explain that corellation coefficient 0.405 with degree of significancy 0.000, two-tailed test with 100 cases run. In accordance with degree of significancy regulation less or equal with 0.05 then caused the receive alternative hypothesis and Null Hypothesis would be rejected. As a result of correlation measurement (r) is equal with 0.405 compare toward r table value respectively 5% and 1% with N = 100, 0.195 and 0.256 means 0.405>0.256>0.195. From the analysis can be concluded that relationship or influence of Decentralization Policy Implementation toward Regional Economic Development was real and significant.. It means, data from sample can be generalized toward population where the sample derived.

Recommendation proposed deals with endeavour to improve the quality of decentralization policy implementation can be done through resive policy substance more suitable with the goal of decentralization, improve the structure of policy by encourage mutual partnership amongs civil society, local government and private sector. Meanwhile, policy culture can be emphasized through internalized local values and alignment with degree of society understanding on decentralization policy.

Regional economic development need to more comprehensively formulate through development policy with more emphasized on equilibrium amongs economic growth, growth with equity and environment sustainability.

Next research is recommended to enlarge and more variables take into consideration in line with the goal of decentralization policy which designed in Law No.32/2004 revision. The revision of law No.32/2004, it self, design to be improved the regulations that less optimally in achieving of decentralization goal. Beside this, recommendation also addressed to widened area of research and more suitable model of research which could be measure the inequalities among Kecamatan/Sub-Regency and Kecamatan-based regional economic growth.


(8)

Keywords: Decentralization Policy Implementation, Regional Economic Development, Regional Economic Growth.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Pengaruh Implementasi Kebijakan Desentralisasi Terhadap Pembangunan Ekonomi Wilayah di Kabupaten Karo”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD).

Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Segenap perhatian yang diberikan kepada penulis merupakan sumbangsih yang sangat berharga, sehingga penulis patut mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si. dan Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec., masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan ketulusan, kearifan dan kesabaran telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing penyusunan tesis ini.

2. Bapak Agus Suryadi, S.Sos, M.Si, Bapak Drs. Rujiman, MA dan Bapak Dr.Irsyad Lubis, M.Sos, M.Sc, selaku Dosen Pembanding yang telah memberikan banyak masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE selaku Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(10)

4. Bapak Bupati Karo beserta seluruh staf Pemda Karo yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan peneitian di Kabupaten Karo. 5. Bapak/Ibu Dosen, Staf Administrasi dan rekan-rekan mahasiswa Program Studi

Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

6. Rekan saya Anderiasta Tarigan, S.Sos, M.Si, yang telah membantu penyusunan tesis ini.

Secara khusus penulis ingin mengucapkan sayang dan terima kasih yang mendalam kepada ibunda Dk. Sita Sadaarih Br. Ketaren, abangku Dr. Edyan Pinem, Sp. PD, kakakku Dra. Niarita Pinem, Apt. serta adikku Iman Pinem, SE, M.Si, beserta seluruh keluarga atas doa, nasehat, dorongan semangat serta bantuan yang diberikan selama ini.

Kepada suami tercinta AIPTU Henry Sihombing, SH, anak-anakku tersayang Maureen Claudia Sihombng dan Hera Vanesa Sihombing, yang selalu menjadi motivator bagi penulis selama mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD).

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidakdapat disebutkan satu persatu yang turut andil dan memberi bantuan langsung maupun tidak langsung, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Semoga hasil penulisan ini nantinya dapat bermanfaat dan dapat menjadi acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya. .

. Medan, September 2011

Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

Ranin Pinem, lahir di Medan pada tanggal 04 Desember 1966. Anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Ayahanda Drs. DJ. Pinem (Almarhum) dan Ibunda Dk. Sita Sadaarih Br. Ketaren.

Menikah pada tahun 1994 dengan Aiptu Henry Sihombing, SH.

Tamat Sekolah Dasar Kristen Immanuel Medan tahun 1979, melanjutkan ke SMP Kristen Immanuel Medan dan tamat tahun 1982, menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Kristen Immanuel Medan pada tahun 1985, melanjutkan Pendidikan Tinggi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Jurusan Administrasi Negara Universitas Sumatera Utara Medan dan tamat pada tahun 1990.

Pada tahun 1992 sampai sekarang bekerja di Pemerintah Kabupaten Karo. Pada tahun 2009 mengikuti Sekolah Pascasarjana pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Universitas Sumatera Utara.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP………... v

DAFTAR ISI ...………... vi

DAFTAR TABEL ...………..………... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ………..………... 1

1.1 Latar Belakang ...………... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 9

1.3. Hipotesis Penelitian ……….…... 10

1.4. Tujuan Penelitian………... 10

1.5. Manfaat Penelitian ……….... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...…... 11

2.1. Perkembangan Konsep Desentralisasi ..………... 11

2.2. Perkembangan Kebijakan Desentralisasi di Indonesia ... 27

2.3. Konsep Pembangunan Ekonomi Wilayah ... 30

2.3.1. Central Places Theory ... 30

2.3.2. The Growth Pole Theory ... 32

2.4. Penelitian Sebelumnya ... 34

2.5. Kerangka Pemikiran ... 39

BAB III METODE PENELITIAN... 41

3.1. Desain Penelitian………..….………... 41

3.2. Jenis dan Sumber Data ………... 41


(13)

3.3.1. Populasi ... 42

3.3.2. Sampel ... 42

3.4. Definisi Operasionalisasi ………... 44

3.5. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian ... 45

3.6 Teknik Analisis Data ... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………... 50

4.2. Karakteristik Responden ……….…….. 61

4.3. Uji Reliabilitas dan Validitas Instrumen ………….…….. 64

4.4. Gambaran Empirik Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Pembangunan Ekonomi Wilayah ... 65

4.4.1. Implementasi Kebijakan Desentralisasi………... 66

4.4.2. Pembangunan Ekonomi Wilayah ……….... 81

4.5. Pengaruh Implementasi Kebijakan Desentralisasi ... 93

terhadap Pembangunan Ekonomi Wilayah ………... BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………... 100

5.1. Kesimpulan ……….... 100

5.2. Saran ……….. 101


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Konfigurasi Kebijakan Desentralisasi di Indonesia...…... 13

2.1. Kerangka Pemekiran Penelitian ... 13

3.1. Jumlah Responden Menurut Kluster Kecamatan ...…... 43

3.2. Jumlah Responden Menurut Kategori Aparatur …..……... 43

3.3. Operasionalisasi Variabel Penelitian ………... 44

3.4. Kriteria Penilaian Korelasi ………..…... 49

4.1. Jumlah Desa, Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Tahun 2008 …... 53

4.2. Perkembangan PDRB periode tahun 2006-2009 ………..…... 54

4.3. Perkembangan PDRB Kabupaten Karo atas dasar Harga Berlaku Perode Tahun 2006-2009 ….………... 55

4.4. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Karo Tahun 2006-2008 ………..…... 56

4.5. Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Karo Menurut Lapangan Usaha atas dasar Harga Berlaku Thn. 2006-2009 ... 58

4.6. PDRB dan PDRB Per Kapita Kabupaten Karo Tahun 2006-2008 ...….. 59

4.7. Perbandingan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Karo Sebelum dan Setelah Kebijakan Otonomi (2000-2006) ………... 60

4.8. Derajat Reliabilitas Instrumen ………... 64

4.9. Uji Validitas Instrumen ………... 65

4.10. Pemekaran Daerah di Indonesia Tahun 1999-2008 ……... 72

4.11. Trend Perkembangan Pendapatan dan Belanja Daerah 2006 – 2010 ... 75

4.12. Ringkasan APBD Kabupaten Karo Tahun 2008 ...………... 78

4.13. Koefisien Korelasi Produk Moment Antara Implementasi Kebijakan Desentralisasi (Variabel Independen) terhadap Pembangunan Ekonomi Wilayah (Variabel Dependen) …... 93

4.14. Lokasi Penelitian SMERU Tahun 2002 ………... 95


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1 Grafik Perkembangan Komponen Penerimaan Daerah 2008-2010 ... 2

2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ………... 40

4.1 Peta Wilayah Kabupaten Karo ...…….. 51

4.2. Grafik Laju Inflasi di Kabupaten Karo 2003 - 2010 ... 56

4.3. Grafik Profil Responden Menurut Pendidikan ... 62

4.4. Grafik Profil Responden Menurut Jabatan ... 63

4.5. Grafik Persepsi Responden terhadap Substansi Kebijakan Desentralisasi ... 67

4.6. Grafik Persepsi Responden terhadap Struktur Kebijakan Desentralisasi …... 70

4.7. Grafik Persepsi Responden tentang Kultur Kebijakan Desentralisasi 71 4.8. Grafik Kemampuan Keuangan Daerah Tahun 2008-2010 ……... 77

4.9. Grafik Persepsi Responden terkait Pertumbuhan Ekonomi ….…... 82

4.10. Grafik Persepsi Responden terhadap Pemerataan Pertumbuhan ... 83

4.11. Grafik Persepsi Responden terhadap Dimensi Kelestarian Lingkungan ... 84


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Instrumen Penelitian ……… 106 2. Tabulasi Hasil Jawaban Responden ………. 110 3. Foto-foto Penelitian ……….. 115


(17)

ANALISIS PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI TERHADAP PEMBANGUNAN

EKONOMI WILAYAH DI KABUPATEN KARO ABSTRAK

Penelitian ini berupaya menjawab pertanyaan penelitian tentang pengaruh implementasi kebijakan desentralisasi terhadap pengembagan ekonomi wilayah yang dilakukan di Kabupaten Karo. Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan responden 100 orang yang terdiri dari kalangan aparatur Kecamatan, Desa dan Kelurahan pada Kecamatan Berastagi, Kecamatan Kabanjahe, Kecamatan Mardinding dan Kecamatan Lau Baleng. Teknik analisis yamg digunakan menggunakan analisis korelasi product moment dari Karl Pearson dengan bantuan aplikasi komputer SPSS versi 15.00.

Hasil analisis menunjukkan besaran koefisien korelasi sebesar 0.405 dengan taraf signifikansi sebesar 0.000. Pengujian dilakukan dengan pengujian dua ekor (2 tailed) dengan kasus yang berlaku adalah 100 (N=100). Adapun ketentuan bahwa apabila signifikansi di bawah atau sama dengan 0,05 maka Ha (Hipotesis Alternatif) diterima dan Ho (Hipotesis nol) ditolak. Bila dibandingkan dengan tabel nilai r product moment pada taraf signifikansi 5 % dan 1 % dengan N = 100, masing-masing secara berturut-turut 0,195 dan 0,256 berarti 0,405 > 0,256 > 0,195. Kesimpulan yang dapat diambil dari besaran nilai koefisien korelasi product moment tersebut adalah “terdapat hubungan pengaruh yang nyata dan signifikan antara Implementasi Kebijakan Desentralisasi (IKD) terhadap Pembangunan Ekonomi Wilayah (PEW)”. Dengan demikian, data sampel yang diambil dalam penelitian ini dapat digeneralisasikan pada populasi dimana sampel diambil.

Disarankan agar upaya untuk meningkatkan kualitas implementasi kebijakan desentralisasi dapat dilakukan dengan memperbaiki substansi kebijakan sehingga lebih mencerminkan tujuan desentralisasi, memperbaiki struktur kebijakan dengan memperkuat kemitraan yang sinergis antar tiga pilar pemerintahan yakni masyarakat sipil, pemerintah daerah dan sektor swasta. Sedangkan penguatan kultur kebijakan lebih pada upaya sosialisasi kebijakan agar lebih sesuai dengan tingkat pemahaman masyarakat dan nilai-nilai lokal.

Pembangunan ekonomi wilayah juga perlu dilakukan dengan lebih komprehensif melalui kebijakan pembangunan yang memperhatikan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan kelestarian lingkungan.

Penelitian lanjutan yang lebih memperbanyak dan memperluas variabel penelitian untuk mengungkap derajat pencapaian tujuan desentralisasi sejalan dengan rencana perubahan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dirancang untuk memperbaiki pengaturan-pengaturan yang dinilai kurang mampu bekerja secara optimal dalam mencapai tujuan dari kebijakan desentralisasi dan penelitian lanjutan tentang pembangunan ekonomi wilayah dengan cakupan wilayah yang lebih luas dan model yang lebih sesuai khususnya mengukur kesenjangan antar wilayah, pertumbuhan ekonomi wilayah yang berbasis pada wilayah kecamatan.


(18)

Kata Kunci: Implementasi Kebijakan Desentralisasi, Pengembagan Ekonomi Wilayah Pertumbuhan Ekonomi Wilayah.


(19)

ANALYZE INFLUENCE OF DECENTRALIZATION POLICY IMPLEMENTATION TOWARD REGIONAL ECONOMIC

DEVELOPMENT IN KARO REGENCY

ABSTRACT

This research aims is to answer the research question on influence of decentralization policy implementation toward regional economic development in Karo Regency. This research used survey approach with 100 respondents consist of local apparatus from Kecamatan(sub-regency), Kelurahan and Desa (Village) government respectively in Berastagi, Kabanjahe , Mardinding and Lau Baleng. Analytical technique used product moment correlation from Karl Pearson which supported by computer application SPSS 15.00 version.

Result of the research explain that corellation coefficient 0.405 with degree of significancy 0.000, two-tailed test with 100 cases run. In accordance with degree of significancy regulation less or equal with 0.05 then caused the receive alternative hypothesis and Null Hypothesis would be rejected. As a result of correlation measurement (r) is equal with 0.405 compare toward r table value respectively 5% and 1% with N = 100, 0.195 and 0.256 means 0.405>0.256>0.195. From the analysis can be concluded that relationship or influence of Decentralization Policy Implementation toward Regional Economic Development was real and significant.. It means, data from sample can be generalized toward population where the sample derived.

Recommendation proposed deals with endeavour to improve the quality of decentralization policy implementation can be done through resive policy substance more suitable with the goal of decentralization, improve the structure of policy by encourage mutual partnership amongs civil society, local government and private sector. Meanwhile, policy culture can be emphasized through internalized local values and alignment with degree of society understanding on decentralization policy.

Regional economic development need to more comprehensively formulate through development policy with more emphasized on equilibrium amongs economic growth, growth with equity and environment sustainability.

Next research is recommended to enlarge and more variables take into consideration in line with the goal of decentralization policy which designed in Law No.32/2004 revision. The revision of law No.32/2004, it self, design to be improved the regulations that less optimally in achieving of decentralization goal. Beside this, recommendation also addressed to widened area of research and more suitable model of research which could be measure the inequalities among Kecamatan/Sub-Regency and Kecamatan-based regional economic growth.


(20)

Keywords: Decentralization Policy Implementation, Regional Economic Development, Regional Economic Growth.


(21)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Secara teoritis, salah satu cara untuk mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat adalah dengan menerapkan kebijakan desentralisasi (Smith, 1985). Berangkat dari pemahaman konseptual bahwa desentralisasi dapat mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat maka di Indonesia kebijakan desentralisasi senantiasa menjadi bahan perbincangan sepanjang sejarah pemerintahan.

Namun yang sangat disayangkan, di Kabupaten Karo merujuk hasil penelitian lembaga riset SMERU (2001), kebijakan desentralisasi ternyata baru sebatas menambah jumlah organisasi perangkat daerah dan mendongkrak besaran belanja aparatur hingga mencapai 45% dari total APBD pada tahun anggaran 2000.

Hasil riset SMERU di atas, menghadirkan sejumlah kekhawatiran. Apakah implementasi kebijakan desentralisasi benar-benar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peningkatan kualitas layanan publik dan mengembangkan potensi unggulan daerah sebagaimana diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ataukah kebijakan desentralisasi hanya sebatas keleluasaan bagi elit politik di daerah mengeruk kekayaan daerah.

Kekhawatiran tersebut sangat beralasan mengingat secara empirik desentralisasi di Kabupaten Karo sampai saat ini masih ditandai dengan tingginya derajat ketergantungan finansial terhadap pemerintah pusat.


(22)

Ketergantungan finansial dapat ditelaah melalui komponen pembentuk pendapatan daerah, yang mana secara umum masih didominasi oleh dana perimbangan (lihat Grafik 1.1).

Sumber: DPPKAD Kab.Karo, 2010

Gambar 1.1. Grafik Perkembangan Komponen Penerimaan Daerah 2008-2010

Data yang diperlihatkan melalui Gambar 1.1. menunjukan relatif tingginya tingkat ketergantungan terhadap transfer dana dari Pusat. Selama tahun 2008 s/d 2010 rata-rata kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah hanya berkisar 5%. Pada tahun anggaran 2010, Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp. 26.490.000.000,- Dana Perimbangan (DP) sebesar Rp. 478.820.158.477.,- Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah sebesar Rp. 18.630.683.850. Konsekuensinya, ketergantungan pemerintah daerah terhadap transfer dari pusat sangat tinggi.

Terkait dengan pelayanan publik, Roth (1987) menyebutkan bahwa dalam negara kesatuan yang terdesentralisasi, disamping pernerintah pusat terdapat pemerintahan subnasional yakni pemerintah daerah yang keduanya mempunyai tugas


(23)

utama melaksanakan pelayanan kepada masyarakatnya. Hal tersebut dinyatakan oleh Roth (1987:1) bahwa “... that are generally considered the responsibility of government whether central, regional or local”.

Tugas yang diemban oleh pemerintah terutama pemerintah daerah dalam pelayanan, dapat dipisahkan ke dalam beberapa alternatif pemberi layanan. Alternatif tersebut menyangkut pilihan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menurut Leach, et.al. (1994: 4), terdapat empat model alternatif kewenangan yang digunakan dalam memberikan pelayanan, yaitu traditional bureaucratic authority, residual enabling authority, market oriented authority, dan community oriented enabler.

Pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah dengan menganut traditional bureaucratic authority, merupakan pelayanan yang dilakukan secara langsung oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah merasa mampu untuk melakukan pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pelayanan dengan cara ini pada umumnya kebutuhan publik diinterpretasikan oleh pegawai professional pada organisasi pemberi layanan. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan Stewart yang dinyatakan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sebaiknya sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat setempat.

Sementara itu pemerintah daerah yang melakukan pelayanan dengan menggunakan residual enabling authority, adalah pelayanan yang dilakukan dengan dasar kewenangan terbatas. Pada umumnya pelayanan yang dilakukan lebih banyak


(24)

menggunakan mekanisme pasar. Pemerintah daerah hanya melakukan pelayanan yang spesifik. Pelayanan cara ini dianggap ideal dan lebih akuntabel.

Pemerintah daerah yang melaksanakan pelayanan dengan dasar market oriented authority, merupakan kegiatan pemerintah daerah dalam pelayanan yang hampir sama dengan residual enabling authority. Perbedaannya adalah dalam market oriented authority peran pemerintah daerah lebih aktif dan sebagai kunci perencanaan serta agen koordinasi untuk pengembangan ekonomi lokal. Hal ini akan memampukan masyarakat dalam melayani dirinya sendiri. Sementara itu residual enabling authority peran pasar lebih aktif dan peran pemerintah daerah. Pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan dasar kewenangan yang bersifat

community oriented enabler, mendasarkan pelayanan pada asumsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bervariasi. Pelayanannya sendiri dilakukan dengan menggunakan berbagai saluran, misalnya pelayanan yang dilakukan secara langsung oleh pemerintah daerah, sektor privat, sukarela, atau yang dilihat paling pantas. Pelayanan yang dilakukan dengan cara ini menekankan pentingnya pc.rtisipasi komunitas (publik) dan akuntabilitas.

Keempat alternatif di atas memberikan peluang bagi setiap pemerintah daerah untuk memilih cara pemberian pelayanan pada masyarakatnya. Pemilihan kewenangan itu berpengaruh pada penyediaan barang dan jasa yang menjadi tanggung jawab baik pemerintah maupun pemerintah daerah. Pada dasarnya kegiatan yang dilakukan pemerintah sesuai penjelasan Olson dalam Schmidtz (1997) merupakan “... a state is first of all an organization that provides public goods for its


(25)

members the citizens”. Dengan demikian pemerintah merupakan organisasi yang bertanggung jawab penuh terhadap pelayanan.

Teori di atas memberikan gambaran tentang berbagai alternatif pemberian pelayanan. Namun implementasi pelayanan yang dilakukan di Indonesia tidak sepenuhnya menggunakan alternatif-alternatif di atas. Pelayanan di Indonesia menggunakan pendekatan sentralisasi dan desentralisasi. Kedua pendekatan merupakan kontinum dan tidak dikhotomi. Pendekatan sentralisasi dalam pelayanan dapat mencerrninkan adanya negara dan bangsa sebagai refleksi konsepsi Negara Kesatuan. Sedangkan pendekatan desentralisasi dapat merepresentasikan kemajemukan masyarakat serta sekaligus menggambarkan adanya pendemokrasian.

Pelayanan yang dilakukan dengan pendekatan desentralisasi, dijelaskan oleh Hoessein bertujuan untuk efisiensi dan demokrasi. Tujuan efisiensi biasanya berpasangan dengan nilai-nilai komunitas politik yang disebut dengan kesatuan bangsa. Sementara itu, tujuan demokrasi berpasangan dengan kemandirian sebagai penjelmaan dan otonomi, efisiensi, dan pembangunan sosial ekonomi. Dengan kata lain, dalam desentralisasi terkandung makna mengakomondasikan nilai-nilai yang ada pada masyarakat untuk tujuan politik dan birokrasi dalam rangka menciptakan efisiensi birokrasi.

Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, telah mengubah model pemerintahan di Indonesia yang semula menganut model efisiensi struktural menjadi model demokratik. Manan mengatakan bahwa


(26)

dengan undang-undang ini, masyarakat diberi kesempatan yang luas untuk berinovasi, mengembangkan nilai-nilai dan tujuan yang ingin dicapai, serta menghasilkan bentuk pemerintah otonom. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan publik dapat dipenuhi sesuai dengan nilai yang berkembang di masyarakat.

Di sisi lain, pengembangan ekonomi lokal juga diharapkan dapat meningkat seiring dengan penerapan kebijakan desentralisasi. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa kebijakan desentralisasi lebih memberikan peluang bagi daerah memilih kebijakan ekonomi yang lebih sesuai dengan potensi dan kemampuan lokal (Kuncoro, 2004: 110-118).

Banyak ahli mengemukakan pandangan bahwa desentralisasi mampu menjadi pendorong pembangunan ekonomi wilayah (Kuncoro, 2004: Mardiasmo, 2002; Muhammad, 2008). Studi Kuncoro (2004) di Kabupaten Kutai Timut menunjukkan adanya korelasi antara desentralisasi dengan pembanguna ekonomi wilayah. Hal yang sama dikemukakan oleh Fadel Muhammad (2008) bahwa pengembangan ekonomi wilayah dapat dikembangkan dengan pendekatan manajemen kewirausahaan. Inilah yang diterapkan oleh Fadel Mudahmmad di Propinsi Gorontalo.

Memang harus diakui, selama ini kebijakan pembangunan ekonomi masih memberi penekanan pada pertumbuhan ekonomi. Berbagai indikator keberhasilan dapat diamati melalui: 1) pertumbuhan ekonomi selama 30 tahun rata-rata 6,7 s/d 7 persen per-tahun; 2) terjadinya pengurangan jumlah orang miskin dari 70 juta orang pada tahun 1970 menjadi hanya sekitar 23 juta orang pada tahun 1995; 3) perubahan


(27)

struktur perekonomian dari berasas pertanian on-farm menjadi berasas industri dan jasa (Sumodiningrat, 2001).

Namun di balik berbagai prestasi pembangunan, tercatat pula sejumlah sisi gelap pembangunan yang berorientasi pertumbuhan. Semakin meningkatnya pengangguran, bertambahnya hutang luar negeri, bertambahnya berbagai bentuk ketimpangan maupun semakin besarnya ketimpangan antar wilayah (Husaini, 2001).

Fenomena ketimpangan antar wilayah maupun melemahnya efektivitas pemerintahan daerah bermula dari serangkaian pilihan kebijakan pembangunan sektoral, keruangan, maupun politik-administrasi yang dijalankan selama ini. Pilihan kebijakan selama ini ternyata mengandung kekeliruan dan kurang memberi perhatian yang memadai terhadap dinamika internal maupun eksternal yang berlangsung. Dengan demikian, kebijakan desentralisasi maupun pembangunan ekonomi wilayah, ternyata menimbulkan pemerasan ganda (double squeeze)oleh wilayah kota terhadap wilayah desa.

Bentuk pemerasan ganda tersebut berlangsung melalui munculnya gejala

“under employment” dan “under investment” di wilayah-wilayah pedesaan. Gejala tersebut bermula dari adanya capital drain maupun brain drain dari wilayah perdesaan yang tersedot ke wilayah perkotaan. Ekonomi desa tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang proporsional akibat wilayah perkotaan hanya sekedar menjadi lahan/aliran (marketing pipe) bagi arus komoditi primer dari perdesaan (Husaini, 2001).


(28)

Keterkaitan antara wilayah (regional linkages) yang ingin diwujudkan, ternyata menghasilkan kebocoran wilayah (regional leakages). Studi Fu-Chen Lo (1981) menegaskan bahwa kemiskinan kota (urban poverty)berakar pada kemiskinan perdesaan (rural poverty). Penegasan Fu-Chen Lo tersebut, merujuk pengalaman beberapa negara di Asia terutama dalam upayanya meningkatkan keterkaitan desa-kota, diantaranya Thailand, Malaysia, Laos dan Indonesia.

Di Indonesia, kebijakan untuk mengurangi disparitas antar wilayah dilakukan dengan adanya berbagai program/proyek pembangunan perdesaan seperti Pembangunan Desa Terpadu, Projek Desa Tertinggal, Poverty Alleviation through Rural-Urban Linkages (PARUL), SPAKU (Sentra Pengembangan Agrobisnis Komoditas Unggulan), KSP (Kawasan Sentra Produksi), Corporate Farming, dan lain-lain.

Seiring dengan upaya mengurangi disparitas antar wilayah dan mengupayakan keterkaitan antar wilayah, pilihan kebijakan desentralisasi diterapkan dengan perencanaan wilayah yang sesuai. Untuk itulah, konsep perencanaan wilayah pun mengalami perubahan.

Konsep sebelumnya yang relevan dengan sistem pemerintahan yang sentralistik beralih kepada konsep “agropolitan development”, “selective spatial closure”, “development from below”, “locally integrated economic circuits”, yang sesuai dengan konsep desentralisasi.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, perlu dilakukan studi tentang pengaruh kebijakan desentralisasi terhadap pembangunan ekonomi wilayah. Apakah


(29)

kebijakan desentralisasi relevan dalam melakukan akselerasi pembangunan ekonomi wilayah? Atau justru kebijakan desentralisasi menghambat pembangunan ekonomi wilayah. Serangkaian pertanyaan tersebut membutuhkan jawaban melalui studi empirikal.

Terkait dengan kondisi sebagaimana diuraikan, maka permasalahan yang menjadi lokus dan fokus penelitian ini diidentifikasi sebagai berikut:

1. Terjadinya perubahan kebijakan pemerintah yang sangat mendasar dari sentralistik kepada desentralistik belum membawa perubahan signifikan dalam konteks politik maupun administratif;

2. Perubahan strategi pembangunan wilayah dari top-down planning menjadi

bottom-up planning belum menemukan konsep perencanaan wilayah yang sesuai dengan kondisi setempat (local spesific).

3. Pilihan kebijakan desentralisasi belum disinergikan dengan pembangunan ekonomi wilayah.

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pelaksanaan kebijakan desentralisasi di Kabupaten Karo khususnya diukur dari aspek tujuan utama desentralisasi berupa peningkatan pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan peningkatan kualitas demokrasi lokal ?


(30)

2. Bagaimanakah pembangunan ekonomi wilayah dilaksanakan di Kabupaten Karo khususnya dalam aspek pertumbuhan ekonomi, pemerataan pertumbuhan dan kelestarian lingkungan ?

3. Adakah hubungan antara pelaksanaan kebijakan desentralisasi dengan pembangunan ekonomi wilayah Kabupaten Karo?

1.3. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dalam penelitian ini dihipotesiskan bahwa:

1. Implementasi kebijakan desentralisasi di Kabupaten Karo telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan utama desentralisasi berupa peningkatan pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan peningkatan kualitas demokrasi lokal. 2. Pembangunan ekonomi wilayah di Kabupaten Karo ditujukan untuk pertumbuhan

ekonomi, pemerataan pertumbuhan dan kelestarian lingkungan.

3. Implementasi kebijakan desentralisasi memiliki hubungan positif dan nyata dengan pembangunan ekonomi wilayah Kabupaten Karo.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan memperoleh deskripsi dan penjelasan tentang hubungan pelaksanaan kebijakan desentralisasi dengan pembangunan ekonomi wilayah di Kabupaten Karo.


(31)

1.5. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, hasil penelitian ini untuk memahami pengaruh kebijakan desentralisasi terhadap pembangunan ekonomi wilayah. Secara praktis, untuk mengukur kinerja kebijakan desentralisasi dan pembangunan ekonomi wilayah.


(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan konsep dan kebijakan desentralisasi hingga saat ini mengalami perjalanan yang cukup panjang. Demikian pula dengan konsep pembangunan ekonomi wilayah. Untuk menjelaskan kedua konsep besar tersebut pada bagian ini dijelaskan secara singkat perkembangan konsep desentralisasi maupun kebijakan yang mengatur desentralisasi di Indonesia.

Pada bagian selanjutnya dijelaskan pula perkembangan konsep dalam menganalisis pembangunan wilayah. Tinjauan ini perlu dilakukan untuk memilih paduan strategi yang komprehensif dan aplikabel.

Pada bagian akhir tinjauan pustaka ini dikonstruksikan kerangka konseptual penelitian untuk membantu penajaman uraian dan analisis agar tetap fokus dan runtut dalam menjawab permasalahan penelitian yang telah ditentukan.

2.1. Perkembangan Konsep Desentralisasi

Dinamika pelaksanaan desentralisasi pemerintahan menimbulkan beberapa pertanyaan penting tentang bentuk desentralisasi yang ingin dikembangkan di Indonesia, apakah desentralisasi yang sebaiknya dilakukan di Indonesia terbatas pada desentralisasi vertikal atau termasuk juga desentralisasi horisontal (Rondinelli, 2007). Apakah desentralisasi terpisah dari dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagaimana yang digunakan di Indonesia, atau mengikuti klasifikasi Rondinelli dan Cheema (1983) yaitu desentralisasi dapat dilakukan melalui dekonsentrasi, delegasi dan


(33)

devolusi. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu penting menjadi bahan pemikiran bersama dalam mengembangkan kebijakan desentralisasi di Indonesia.

Bentuk desentralisasi memiliki pilihan yang sangat beragam, berupa dekonsentrasi, medebewind, devolusi atau privatisasi. Pelaksanaan kebijakan desentralisasi ini berangkat dari asumsi bahwa kalau pemerintahan berada dalam jangkauan masyarakat, maka pelayanan lebih cepat, hemat, murah, responsif, akomodatif, inovatif, dan produktif.

Semua pihak mengakui bahwa otonomi diperlukan, namun upaya mewujudkannya tidaklah “semudah membalik telapak tangan.” Bahkan, sekalipun kesepakatan telah dicapai melalui undang-undang atau peraturan pemerintah, namun dalam praktek otonomi tetap sulit untuk diwujudkan.

Selama kurun waktu dua periode pelaksanaan otonomi daerah yaitu di era UU No.22/1999 dan UU No.32/2004, ternyata model otonomi daerah yang diberlakukan masih belum final dan belum menemukan pola yang mapan. Sekarang sedang muncul perspektif tentang kemungkinan akan diakomodasinya konsep desentralisasi asimetris, devolusi dan asas privatisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Di Indonesia, prinsip-prinsip otonomi yang dianut dan dasar peraturan perundang-undangan yang menjadi landasannya senantiasa dilakukan perubahan. Dinamika konfigurasi hubungan pusat-daerah sejak masa pendudukan Belanda sampai sekarang (lihat Tabel 2.1 di bawah ini).


(34)

Tabel 2.1. Konfigurasi Kebijakan Desentralisasi di Indonesia Kurun Waktu Prinsip Otonomi dan

Landasan Yuridis

Implementasi 1903 Sentralisasi

Decentralisatie Wet 1903;

Local Radenordonantie No.181 Thn 1905

Tidak terlaksana

1942-1945 Sentralisasi

Osamu Sirei No.27 Thn 2602 (1942)

Tidak terlaksana 1945 sd. 1959 Demokratis, Otonomi Luas,

Desentralisasi UU No.1 Tahun 1945 UU No.22 Tahun 1948 UU No.1 Tahun 1957

Tidak terlaksana

1959 sd. 1966 Otoriter, Sentralistik,Dekonsentrasi Penpres No.18/1959

UU No.18/1965

Tidak Terlaksana

1966 sd. 1969/1971

Demokratis, Otonomi Luas, Desentralisasi

TAP MPRS No.21/1966

Tidak Terlaksana

1971 sd. 1998 Otoriter, Sentralistik, Dekonsentrasi TAP MPR No.IV/1973

UU No.5/1974 UU No.5/1979

Tidak Terlaksana

1998- sekarang Demokratis, Otonomi Luas, Desentralisasi

TAP MPR No.IV/1998 UU No.22/1999 UU No.25/1999 UU No.32/2004 UU No.33/2004 Sudah Terlaksana Masih ada kendala

Sumber: Hossein, 2002

Pada satu sisi, kebijakan desentralisasi membawa nuansa baru dalam tata kelola pemerintahan. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya transfer dana perimbangan dari pusat ke daerah, semakin besarnya diskresi daerah dalam menetapkan kebijakan terkait dengan kepentingan lokal.

Namun di sisi lain, kebijakan desentralisasi juga tak luput dari serangkaian permasalahan. Munculnya pembengkakan organisasi daerah, terjadinya oligarki politik oleh elit lokal maupun gejala pembangkangan daerah terhadap pemerintah pusat adalah sebagian diantaranya (Hidayat, 2003).


(35)

Secara akademik Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak memiliki landasan paradigma yang tegas dan jelas tentang sistem pemerintahan itu sendiri, termasuk landasan paradigma sistem administrasi dan manajemen publik. Sementara itu, secara praktis Undang-undang ini juga memerlukan peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah (memberi beban yang relatif banyak untuk menyusun peraturan pemerintahnya karena terlalu banyak aspek yang diatur) sehingga memperlambat pelaksanaannya.

Kritikan lain yang paling sering dilontarkan oleh pemerintah daerah adalah bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan usaha Pemerintah untuk melakukan resentralisasi, karena mengurangi secara signifikan isi otonomi daerah terutama untuk daerah kabupaten/kota yang telah memperolehnya secara sangat luas pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999.

Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah memberikan otonomi yang jauh lebih luas kepada daerah. Hal ini terjadi karena pemahaman tentang otonomi di negara kesatuan belum dirumuskan secara jelas sehingga banyak menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda, pertanyaan dan bahkan kecurigaan.

Adapula yang berpandangan bahwa Undang-Undang ini dilihat sebagai milik Departemen Dalam Negeri. Akibatnya departemen sektoral merasa tidak harus memperhatikannya apalagi isi Undang ini tidak sejalan dengan Undang-Undang sektoral yang masih berlaku. Undang-Undang-undang tentang pemerintahan daerah seringkali dipersepsikan sebagai “lex generalis” sementara Undang-undang sektoral


(36)

sebagai “lex spesialis”. Departemen sektoral lebih memperhatikan Undang-undang sendiri daripada Undang-undang tentang pemerintahan daerah. Isu ini sangat terkait dengan kurangnya fasilitasi kepada semua stakeholders baik di pusat maupun di daerah.

Akibat beragamnya penafsiran terhadap UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU Nomor 32 Tahun 2004, tidak sedikit daerah otonom melakukan improvisasi yang justru kontra produktif terhadap maksud awal pencapaian tujuan desentralisasi yang dibingkai dalam regulasi tersebut.

Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia memang menghasilkan cerita yang beragam di daerah (Dwiyanto, 2003a and Dwiyanto, 2003b). Walaupun secara umum desentralisasi mampu memperbaiki pelayanan publik tetapi juga menimbulkan banyak masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Pengalaman mengenai kegagalan desentralisasi juga banyak ditemukan di negara-negara lain (Rondinelli, 2007; Fleurke and Hulst, 2006). Karena itu tidak mengherankan kalau dalam beberapa tahun terakhir muncul pertanyaan yang serius ketika harapan tentang hasil yang dijanjikan desentralisasi tidak terwujud.

Pertanyaan yang dikemukakan oleh Turner dan Hulme (1997), misalnya, menyoal tentang desentralisasi itu apanya yang salah, teori atau prakteknya. Pertanyaan Turner dan Hulme tentang sumber masalah dari pelaksanaan desentralisasi, yaitu apakah teori atau praktek, mengingatkan semua pihak secara terbuka dan kritis melihat persoalan yang terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia.


(37)

Persoalan desentralisasi dapat muncul dari keduanya, atau bahkan interaksi antar keduanya. Subtansi yang kabur dalam peraturan perundangan dapat menjadi sumber masalah dalam pelaksanaan desentralisasi sebagaimana juga kegagalan untuk melaksanakan desentralisasi sesuai semangat dari peraturan perundangan yang berlaku. Bahkan, subtansi yang salah dalam pengaturan dapat memicu implementasi yang salah pula.

Banyak penelitian membuktikan bahwa ketidakjelasan dalam pengaturan kebijakan desentralisasi menimbulkan masalah dalam implementasi (Dwiyanto, 2003a). Akibatnya, pelaksanaan desentralisasi tidak dapat berjalan sebagaimana diharapkan oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat luas.

Apa yang terjadi selama ini menunjukkan pentingnya membuat kebijakan desentralisasi yang jelas dan benar, karena kegagalan untuk membuat kebijakan yang tepat dan jelas dapat memicu bukan hanya kegagalan implementasi tetapi juga kegagalan untuk mencapai tujuan dari kebijakan desentralisasi itu sendiri. Untuk itu, upaya yang serius dan menyeluruh perlu dilakukan untuk meninjau kembali berbagai pengaturan yang ada dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 yang dinilai menimbulkan kerancuan dalam memahami tujuan kebijakan desentralisasi dan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.

Serangkaian koreksi terhadap persoalan baik yang sistemik ataupun yang kontekstual diharapkan dapat mewujudkan desentralisasi yang mampu membawa kemajuan, kesejahteraan rakyat di daerah, dan memperkokoh keberadaan NKRI.


(38)

Munculnya paradigma New Public Management (NPM) yang mendoktrinkan agar dilakukan desentralisasi dalam tubuh pemerintahan, membawa implikasi bahwa isu desentralisasi menjadi semakin penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pengalaman tentang keberhasilan di luar negeri seperti di Inggeris, New Zealand, Australia, Amerika Serikat dan Kanada menumbuhkan keyakinan bahwa desentralisasi membawa perbaikan bagi kinerja pemerintah sekaligus kesejahteraan masyarakat. Banyak pihak berharap bahwa desentralisasi mampu memperbaiki kualitas lingkungan, pemberian pelayanan publik, dan peningkatan akuntabilitas pegawai daerah (Kauneckis & Anderson, 2006).

Beberapa pakar yakin bahwa ada banyak keuntungan yang diperoleh dari desentralisasi. Melalui desentralisasi, kesejahteraan masyarakat di daerah akan lebih cepat terwujud karena pemerintah daerah akan lebih fleksibel bertindak dalam respons perubahan lingkungan dan kebutuhan masyarakat di daerah. Desentralisasi juga lebih melibatkan partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan ketimbang menunggu keputusan dari pemerintah pusat sehingga kehidupan demokrasi lebih terwujud, lebih memberi ruang untuk berkreasi dan berinovasi, dan menghasilkan semangat kerja, komitmen dan produktivitas yang lebih tinggi (Osborne & Gaebler, 1993; Pollit, Birchall dan Putman, 1998).

Keunggulan desentralisasi yang lainnya adalah preferensi penduduk lebih terakomodasikan (Oates 1972; Manin, Przeworski and Stokes 1999), tingkat akuntabilitas ditingkat lokal akan menjadi lebih baik karena lebih mudah mempertanggungjawabkan kinerja pemerintah daerah terhadap dewan perwakilan


(39)

setempat (Peterson 1997), manajemen fiskal menjadi lebih baik (Meinzen-Dick, Knox and Gregorio 1999), dan tingkat pertumbuhan ekonomi dan jaminan pasar akan menjadi lebih baik (Wibbels 2000). Pendek kata, cukup banyak literatur sangat optimis bahwa tingkat efisiensi menjadi lebih baik, tingkat korupsi juga akan berkurang (Fisman, dkk. 2002), dan akan terjadi peningkatan demokratisasi dan partisipasi (Crook and Manor 1998).

Meski banyak literatur yang mengandalkan desentralisasi, namun kenyataan atau pengalaman empiris tidak selamanya demikian. Kajian Treisman (2000), Oyono (2004) menyebutkan bahwa dalam implementasi desentralisasi didapati juga hal-hal seperti kinerja pemerintah daerah tidak meningkat, partisipasi dan demokratisasi juga tidak membaik. Justru desentralisasi meningkatkan kesempatan untuk “rent-seeking” dan korupsi.

Meski demikian, desentralisasi tidak sekedar ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi lebih dari itu yaitu memberikan kesempatan belajar berdemokrasi, berpartisipasi, membangun kepercayaan dan tanggungjawab, memberdayakan masyarakat di daerah, dan menjamin pelayanan publik yang lebih luas dan baik.

Desentralisasi adalah kata dengan multi makna. Menurut Conyers (1984: 187), hampir setiap orang mengetahui arti desentralisasi secara umum, namun perbedaan sering timbul dalam mendefinisikan desentralisasi secara tepat karena desentralisasi memiliki banyak aspek, sehingga konteks pembicaraan menjadi sangat penting dalam memahami makna desentralisasi. Sebagai contoh tentang kompleksitas makna


(40)

desentralisasi, Rondinelli (1989: 9-15) sebagaimana dikutip Cohen and Peterson (1995: 10) memberikan pemahaman tentang desentralisasi dalam kaitannya dengan politik, wilayah, pasar dan administrasi.

Di samping itu, desentralisasi juga merupakan suatu peristilahan yang kaya dengan konsep-konsep dan bersifat dinamis. Fesler (1964) mengemukakan, “desentralisasi adalah suatu terminologi yang kaya akan makna konseptual dan makna empiris, terminologi ini dapat menunjukkan dan menggambarkan suatu perubahan yang ideal dan suatu perubahan yang moderat dan bertahap”.

Dalam beberapa dekade terakhir ini, mengenai defenisi desentralisasi dan identifikasi bentuk-bentuk dan tipe-tipe desentralisasi. Salah satu yang terpenting adalah elaborasi konsep pada awal tahun 1980-an yang merupakan hasil kerja Rondinelli dkk, (1983: 14). Menurut mereka, definisi desentralisasi yang relatif luas dan mencakup seluruh fenomena organisasi adalah pendelegasian kewenangan untuk merencanakan, mengambil keputusan, dan mengelola urusan publik dan tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada organisasi atau lembaga pada tingkatan yang lebih rendah.

Berdasarkan tujuannya, Rondinelli (1989) mengklasifikasikan desentralisasi menjadi empat bentuk, yaitu desentralisasi politik, desentratisasi spasial, desentralisasi

pasar, dan desentralisasi administratif. Desentralisasi potitik, digunakan oleh pakar ilmu politik yang menaruh perhatian di bidang demokratisasi dan masyarakat sipil untuk mengidentifikasi transfer kewenangan pengambilan keputusan kepada unit pemerintahan yang lebih rendah atau kepada masyarakat atau kepada lembaga


(41)

perwakilan rakyat. Dengan demikian Desentralisasi poiltik juga melimpahkan kewenangan pengambilan keputusan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, mendorong masyarakat dan perwakilan mereka untuk berpartisipasi di dalam proses pengambilan keputusan. Dalam suatu struktur desentralisasi, pemerintah tingkat bawahan merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan secara independen, tanpa intervensi dan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi.

Desentralisasi politik bertujuan memberikan kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan kepada masyarakat melalui perwakilan yang dipilih oleh masyarakat sehingga dengan demikian masyarakat dapat terlibat dalam penyusunan dan implementasi kebijakan. Biasanya desentralisasi dalam bidang politik merupakan bagian dan upaya demokratisasi sistem pemerintahan. Litvack dkk. (1998) juga menjelaskan sebagai berikut.

Administrative Decentralization seeks to redistribute authority, responsibility, and financial resources for providing public services among different levels of government. It is the transfer of responsibility for planning, financing, and managing certain functions from the central government and its agencies to field units of government agencies, subordinate units or levels government, semi-autonomous public authorities or corporations, or area wide, regional, or functional authorities.

Desentralisasi pasar, umumnya digunakan oleh para ekonom untuk menganalisis dan melakukan promosi barang dan jasa yang diproduksi melalui mekanisme pasar yang sensitif terhadap keinginan dan melalui desentralisasi pasar barang-barang dan pelayanan publik diproduksi oleh perusahaan kecil dan menengah, kelompok masyarakat, koperasi, dan asosiasi swasta sukarela.


(42)

Desentralisasi administratif, memusatkan perhatian pada upaya ahli hukum dan pakar administrasi publik untuk menggambarkan hierarki dan distribusi kewenangan serta fungsi-fungsi di antara unit pemerintah pusat dengan unit pemerintah non pusat (sub-national government).

Rondinelli (1981:133) maupun Cheema and Rondinelli (1983: 18) membagi desentralisasi ke dalam empat bentuk, yaitu dekonsentrasi; delegasi atas organisasi semi-otonomi atau parastaral; devolusi; dan privatisasi (transfer fungsi dan pemerintah ke lembaga non-pemerintah). Sementara itu, Mawhood (1983) menyatakan bahwa desentralisasi adalah pembentukan suatu badan hukum yang terpisah dan pemenintah pusat, di mana lembaga perwakilan lokal memberikan kewenangan formal untuk mengambil keputusan di dalam masalah-masalah publik. Basis politiknya bersifat lokalitas dan bukan merupakan kepanjangan tangan pegawai negeri. Ruang lingkup kewenangannya terbatas, tetapi didalam ruang lingkup kewenangan tersebut mereka mempunyai hak untuk mengambil keputusan yang dilindungi oleh hukum dan hanya dapat dibatalkan oleh perundang-undangan yang baru.

Untuk menjelaskan tentang perbedaan antara dekonsentrasi dengan desentralisasi, Maddick (1963: 23) mengatakan bahwa desentralisasi merupakan pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik maupun fungsi residual yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, sedangkan dekonsentrasi merupakan “the delegation of authority adequate for the discharge of specified functions to staff of a central department who are situated outside the headquarters. Secara singkat, Smith (1967: 2) merumuskan bahwa desentralisasi


(43)

menciptakari “local self government” dan dekonsentrasi menciptakan “local state government” atau “field administration”. Dari pengertian desentalisasi yang dikemukakan oleh Maddick di atas dapat disimpulkan bahwa desentralisasi mengandung dua elemen pokok, yaitu melalui desentralisasi di satu pihak dilakukan pembentukan daerah otonom dan di lain pihak dilakukan penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang pemerintahan tertentu, baik yang dirinci maupun yang dirumuskan secara umum.

Peristilahan desentralisasi yang dinamis mengalami perkembangan dan perluasan arti. Desentralisasi tidak hanya diartikan sebagai pelimpahan kewenangan dari Pusat kepada Daerah, tetapi juga diartikan pelimpahan kewenangan dan pemerintah kepada sektor swasta. Hal tersebut antara lain dikemukakan oleh Litvack dkk. (1998:) yang memberi pengertian desentralisasi sebagai berikut.

Decentralization—the transfer of authority and responsibility for public functions from the central government to subcordinate or quasi independent government or organization or the private sector—covers a broad rang of concepts. Each type of decentralization—political, administrative, fiscal, and market—has different characteristics, policy implications, and conditions for success.

Pergeseran paradigma desentralisasi yang lebih memilih bentuk devolusi, menempatkan daerah otonom kabupaten/kota sebagai daerah otonom murni (split model). Penyelenggaraan pemerintahan daerah pada kabupaten/kota dilaksanakan atas asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Pada provinsi asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi dilaksanakan secara bersamaan. Dalam daerah otonom provinsi melekat


(44)

wilayah administrasi, dan dengan demikian pemerintah propinsi melakukan fungsi otonomi dan fungsi dekonsentrasi.

Sebagai daerah otonom Provinsi dan Kabupaten/kota adalah dua bentuk otonomi yang setara, tidak hierarkhis atau subkordinasi. Dalam kedudukan sebagai daerah otonom, keduanya dapat melakukan kerjasama dalam hubungan yang setara. Selain menjadi daerah otonom, Propinsi juga berkedudukan sebagai wilayah administratif yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari pemerintah kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Pada kedudukan sebagai wakil Pemerintah Pusat, kemudian membentuk hubungan provinsi dan Kabupaten/Kota yang bersifat hirarkhis karena propinsi menjalankan fungsi-fungsi koordinasi, fasilitasi, pembinaan, pengawasan terhadap Kabupateri/Kota.

Studi berbagai kepustakaan menunjukkan bahwa desentralisasi dan sentralisasi dilaksanakan secara simultan dalam suatu negara baik negara berkembang maupun negara maju (Cheema dan Rondinelli, 1983; Conyers, 1983; Deakin, 1985). Hal ini juga ditunjukkan dalam perdebatan antara Slater (1989) dengan Rondinelli (1990) mengenai implikasi potitik dan desentralisasi. Rondinelli tidak sependapat dengan Slater yang menyatakan bahwa sentralisasi dan desentralisasi adalah dua konsep yang saling bertentangan dan bentuk organisasi politik dan administrasi yang lepas satu sama lain. Menurut Rondinelli, seluruh pemerintahan memiliki fungsi yang merupakan campuran antara sentralisasi dan desentralisasi.

Kebanyakan analisis kebijakan desentratisasi memfokuskan diri pada kombinasi yang tepat dan keduanya, bukan pada apakah pemerintah atau sistem politik


(45)

sentralisasi atau desentralisasi seratus persen. Hubungan antara sentralisasi dan desentralisasi sebenarnya lebih kompleks, seperti yang dikemukakan oleh Fesler (1968), Cohen et. all. (1981) Faltas (1982), Apthorpe dan Conyers (1982).

Mengingat hubungan yang demikian kompleks, sangat penting untuk memahami bahwa sentralisasi dan desentralisasi lebih tepat dilihat sebagai suatu perubahan (variable) ketimbang keadaan yang statis (attribute), dan tidak realistis apabila sistem pemerintahan sentralistis sepenuhnya atau sistem pemerintahan desentralistis diterapkan sepenuhnya. Dengan demikian, jangan melihat desentralisasi dan sentralisasi sebagai hal yang dikotomis, tetapi lebih realistis memandang desentralisasi dan sentralisasi sebagai serangkaian kontinum.

Sampai sejauh ini, dan berbagai definisi mengenal pengertian desentralisasi yang diberikan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa ada persamaan mengenai obyek yang didesentralisasikan, yaitu fungsi dan masalah publik; kewenangan, kekuasaan, atau kebebasan bertindak dengan tidak bertentangan terhadap perencanan, pengambilan keputusan, dan pengelolaan; tanggung jawab; dan pembiayaan (sumber-sumber). Dengan demikian, terlihat bahwa pembagian urusan pemerintahan sebenarnya merupakan salah satu substansi atau elemen inti dan proses desentralisasi. Elemen desentralisasi lainnya sebagaimana dikemukakan oleh Smith (1985) meliputi pembagian wilayah; kewenangan (politis dan birokratis); peran dan fungsi. Program desentralisasi di Inggris merupakan salah satu bagian dan banyak debat besar tentang pembagian kewenangan dan fungsi di antara semua tingkat politik dan administrasi yang berbeda-beda.


(46)

Sehubungan dengan itu, pengertian desentralisasi dalam kajian akademis ini adalah penyerahan urusan pemerintahan dan Pusat kepada Daerah atau yang lazim disebut sebagai desentralisasi teritorial. Pengertian tersebut juga dipergunakan dalam Pasal 18 UUD 1945 setelah amandemen dan berbagai UU tentang pemerintahan daerah.

Menurut Hoessein (1993) desentralisasi yang dimaksud dalam UUD 1945 Pasal 18 dan berbagai perundang-undangan yang mengatur pemenintah daerah terbatas pada desentralisasi teritorial dan desentralisasi pemerintahan.

Dari uraian di atas terlihat bahwa kajian peran dan fungsi termasuk dalam kajian administrasi. Sementara tergambar dalam “preface” buku editorialnya, Farazmand mengutarakan bahwa “As a worldwide phenomenon, administrative reform has been a widespread challenge to almost all national and sub-national governments around the globe”.

Dalam kajian akademis fokus desentralisasi umumnya pada kajian kedudukan, kewenangan, peran dan fungsi daerah otonom. Keberhasilan pembangunan di negara maju memicu munculnya gelombang kebutuhan untuk meningkatkan kualitas hidup dalam bidang perekonomian dan sosial. Hal ini menjadikan sebagai agenda untuk memajukan negara dan bangsa.

Pemerintah diharuskan memiliki inisiatif untuk membangun sistem yang lebih efisien, efektif, dan bahkan lebih responsif. Selain itu, didasarkan pada asumsi bahwa birokrasi pemerintah selayaknya dapat memainkan peran dan fungsi utama dalam membangun bangsa.


(47)

Desentralisasi dan Otonomi Daerah merupakan keputusan politik yang sangat mendasar yang telah mengalihkan sentralisme dari pusat ke kekuasaan di daerah kabupaten/kota. Pengalihan sentralisme dari pusat ke kabupaten/kota mengakibatkan terjadi sentralisasi pemerintahan, pembinaan kemasyarakatan dan pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Dampak politis yang cukup nyata dari hal tersebut adalah terjadinya pelimpahan kekuasaan dan kewenangan yang berada di bawah kabupaten/kota dalam menghadapi masyarakat/warga atau publiknya.

Otonomi daerah yang sangat luas dan bertanggungjawab melalui tuntutan sosial kemasyarakatan, ekonomi, dan politik yang digerakkan oleh berbagai elemen masyarakat yang menuntut koreksi total dan fundamental terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang sangat desentralistik. Hoessein (1993) menggambarkan pencanangan kebijakan memperkuat otonomi daerah sebagai hasil bekerjanya dua kekuatan besar. Pertama, kekuatan internal dalam negeri berupa gerakan yang melanda tanah air dengan tuntutannya demokratisasi di segala bidang kehidupan.

Kedua, kekuatan supra nasional berupa globalisasi dengan berbagai konsekuensi dan implikasinya yang memerlukan tanggap dalam negeri melalui proses penyesuaian terhadap struktur dan mekanisme pemerintahan demokratik di tingkat lokal. Implikasinya terjadi perubahan landasan hukum mendasar dalam tata pemerintahan yang membawa dampak pada perubahan berbagai aspek dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah mulai dari tataran filosofi hingga kepada tataran praktis.

Berdasarkan hal tersebut, secara makro perlu diikuti secara mikro pada unit-unit perangkat daerah yang melaksanakan kebijakan pemerintah lokal. Perubahan


(48)

mendasar di dalam peran dan fungsi merupakan bentuk pemerintahan lokal secara mikro yang diharapkan menjadi motor penggerak dan lini terdepan dalam pemerintahan dan pelayanan.

Untuk konteks Indonesia, yang memiliki kompleksitas geografis, suku/etnis, agama, budaya, nampak tidak ada pilihan lain yaitu sistem pemerintahan yang desentralistis. Sistem ini akan lebih responsif terhadap tuntutan kebutuhan, situasi dan kondisi lokal, sementara pemerintah pusat akan memusatkan perhatiannya pada hal-hal yang bersifat strategis dan urusan-urusan lintas propinsi.

Mencermati uraian perkembangan konsep desentralisasi, maka tidak berlebihan kiranya pandangan Fakih et.all (2001) bahwa sebuah kebijakan senantiasa mengandung 3 (tiga) dimensi, yakni content atau substansi muatan hukum sebuah kebijakan publik, struktur atau pelembagaan hubungan antar aktor dalam sebuah kebijakan publik maupun kultur atau nilai-nilai yang dianut dalam sebuah kebijakan publik sebagai satu kesatuan. Demikian halnya kebijakan desentralisasi, ketiga unsur tergambar dari muatan pasal-pasal yang dituangkan dalam peraturan perundangan tersebut sebagai content, struktur dan sebagai kultur.

2.2. Perkembangan Kebijakan Desentralisasi di Indonesia

Sejarah pemerintahan Indonesia sejak kemerdekaan selalu menghadirkan otonomi sebagai sistem bernegara. Dalam setiap UUD yang pernah berlaku selalu terdapat pasal yang mengatur penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia.

Untuk mewujudkan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan UUD, hampir setiap kabinet yang terbentuk di masa lalu mencantumkan desentralisasi sebagai salah


(49)

satu program kerjanya. Amanat konstitusi tersebut diterjemahkan dan diimplementasikan oleh pemerintah yang silih berganti secara berbeda-beda dalam hal gradasi, skala, dan besaran subtansi desentralisasi, sebagai hasil sintesis dari kondisi sosial politik pada masanya.

Setidaknya, sampai kini, tujuh undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah dengan masing-masing corak dan kecenderungan, yaitu: UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 2 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan terakhir UU No. 32 Tahun 2004.

Dinamika kebijakan desentralisasi serta dampaknya terhadap berbagai aspek dalam pembangunan daerah juga telah banyak dikaji. Secara umum, dalam perjalanan sejarah kebijakan desentralisasi selalu saja terjadi tarik menarik antara dua ekstrim sentralisasi dan desentralisasi.

Ketika reformasi bergulir, di mana desentralisasi merupakan aspirasi yang masif dan intensif disuarakan rakyat sebagai antitesis langgam pemerintahan yang sangat sentralistis di masa Orde Baru, lahirlah UU No. 22 Tahun 1999 yang sangat desentralistis. Sayangnya, sebagaimana dikemukakan desentralisasi yang dimaksud UU No. 22 Tahun 1999 dipahami dan dilaksanakan secara kebablasan oleh elit di daerah.

Sebagai koreksi atas hal itu lahirlah UU No. 32 Tahun 2004 yang ternyata merupakan pengaturan yang sama sekali baru dan dinilai banyak kalangan merupakan “resentralisasi” atas kewenangan otonomi yang sempat diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999. Dinamika otonomi dan pembangunan daerah ternyata cukup beragam di bawah


(50)

Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah (khususnya UU nomor 22 Tahun 1999 dan UU nomor 32 Tahun 2004).

Studi yang dilakukan Mudrajad Kuncoro yang dibukukan di bawah judul

Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang

(2004) mengungkap sejumlah fakta empirik terkait praktika desentralisasi di Indonesia. Berbagai studi kasus yang diangkat dalam buku tersebut membuka nuansa pemahaman bahwa otonomi senantiasa membawa peluang sekaligus tantangan.

Perkembangan kebijakan desentralisasi yang cukup intensif ternyata kurang baik dalam membangun sistem yang padu. Revisi kebijakan dari UU Nomor 22 Tahun 1999 ke UU Nomor 32 Tahun 2004 misalnya, dilakukan dengan sangat tergesa-gesa dan nyaris menutup ruang partisipasi publik dalam proses penyusunannya. Bersamaan dengan itu terjadi perubahan (amandemen) konstitusi, yang belakangan dinilai masih menyimpan banyak kekurangan dan kelemahan yang menyebabkan kerancuan dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan.

Proses revisi yang terkesan tergesa-gesa digabung dengan proses amandemen konstitusi yang belum tuntas/belum sempurna menyebabkan UU No. 32 Tahun 2004 mengandung problematik yang cukup serius. Semakin problematik jika proses penyusunan UU No 32 Tahun 2004 didasarkan pada asumsi bahwa pelaksanaan otonomi luas di bawah UU No. 22 Tahun 1999 akan mengancam NKRI dan menyebabkan disintegrasi nasional, KKN baru yang menghasilkan “raja-raja kecil” di daerah, ekonomi biaya tinggi, dan atas nama itu semua diperlukan “resentralisasi.” Untuk itu, relevanlah pandangan Wasistiono (2010) yang menyebutkan bahwa revisi


(51)

UU Nomor 32 Tahun 2004 yang dilakukan hendaknya membawa kembali desentralisasi pada titik keseimbangan (tentunya keseimbangan antar pelbagai dimensi hubungan pusat-daerah).

2.3. Konsep Pembangunan Ekonomi Wilayah 2.3.1. Central Places Theory

Teori central places awalnya dikembangkan di Jerman pada tahun 1933 oleh Christaller. Sejak saat itu teori ini mulai digemari utamanya dalam konteks pembangunan wilayah di berbagai negara.

Teori ini berbicara mengenai pengambilan keputusan di mana sebaiknya lokasi dari lembaga penyedia layanan publik maupun layanan privat (misalnya: pasar, sekolah, universitas, rumah sakit) ditempatkan agar dapat melayani konsumen secara optimal.

Teori ini bertujuan untuk menjelaskan pilihan lokasi baik oleh privat dan atau pemerintah, serta untuk tujuan intervensi pemerintah yang dibutuhkan agar tempat lokasi layanan dapat memberikan service yang optimum (concerning supply of services to the population and minimising costs).

Hipotesis pokok yang dianut adalah, pilihan atas lokasi lembaga penyedia layanan ditentukan oleh dua faktor yakni: 1) kapasitas minimum yang dimiliki lembaga penyedia jasa layanan hendaknya masih dalam batas yang menguntungkan dari segi pasar/ekonomis; 2) jarak maksimum lokasi yang masih memungkinkan bagi konsumen untuk mengunjunginya.


(52)

Menurut teori ini, paduan antara jarak minimum dan maksimum menentukan lokasi dan jenis kegiatan perdagangan yang dibutuhkan. Dengan demikian, terbentuklah hirarki lokasi dan jenis kegiatan yang sesuai dilaksanakan di lokasi tersebut.

Sebagai contoh, pusat desa cocok untuk menyediakan barang-barang yang dibutuhkan setiap hari, kota menengah cocok untuk menyediakan kebutuhan periodik, dan kota besar sebagai pusat utama lebih cocok untuk kebutuhan-kebutuhan luxury.

Konsekuensinya, dalam melakukan perencanaan wilayah, prinsip-prinsip di atas diaplikasikan untuk memutuskan lokasi penyediaan layanan. Seperti lokasi untuk Sekolah Dasar, didasarkan pada jumlah murid yang akan masuk dan jarak yang cocok untuk murid tersebut pergi ke sekolah.

Bagi pemerintah hal ini menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan pembangunan sarana dan prasarana pendukung agar memberikan akses yang luas bagi para warganya untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing.

Contoh penerapan model ini, misalnya, di Malawi, di mana pusat layanan perdesaan didirikan untuk melayani sekitar 20,000 - 40,000 warga, yang tinggal sejauh 5 sampai dengan 10 mil dari lokasi pusat layanan. Layanan yang disediakan meliputi: sekolah, rumah sakit, pasar musiman, maupun pengolahan hasil pertanian.

Melalui gambaran teoritis di atas, maka teori central places ini merupakan salah satu upaya untuk mengkompromikan antara kebutuhan akan biaya yang minimum dan tanggungjawab penyediaan layanan yang sejauh mungkin dapat diakses oleh sebagian besar warga.


(53)

Namun demikian, konsep ini cenderung melakukan sentralisasi layanan lebih daripada yang dibutuhkan. Tampaknya lokasi yang terdesentralisasi lebih sesuai untuk mengurangi kecenderungan tersebut, selain itu sarana dan prasarana yang dibangun hendaknya sedapat mungkin menggunakan bahan baku lokal.

2.3.2. The Growth Pole Theory

Konsep pusat pertumbuhan (growth pole) ini diperkenalkan sejak 1949 oleh seorang ekonom Perancis bernama Francois Perroux. Pandangan Perroux sebagaimana dikutip oleh Darwent (1969) pada awalnya terlepas dari konteks geografis atau persoalan keruangan.

Nuansa konsep growth pole lebih berorintasi pemikiran ekonomi dibanding kewilayahan. Hal tersebut dapat dilihat misalnya dari definisi yang diberikan terhadap

growth pole itu sendiri sebagai “... centers (poles or foci) from which centrifugal forces emanate and to which centripetal forces are attracted. Each center being a center of attraction and repulsion has its proper field which is set in the field of all other centers” (Darwent, 1969: 5).

Konsep yang semula didasari pemikiran ekonomi tersebut semakin dilekatkan dengan konteks kewilayahan yang mengadopsi pemikiran bahwa satu wilayah geografis adalah satu skala ekonomi. Dalam konteks pemikiran inilah dikonsepsikan adanya tiga tipe perwilayahan ekonomis, yaitu homogenous, polarized, dan planning regions (Boudeville, 1966).

Homogenous merupakan suatu perwilayahan yang terpusat dengan adanya satu karakteristik inti (core characteristic). Polarized merupakan satu kawasan yang


(54)

ditandai dengan adanya hubungan antar pusat dengan inti (central-periphery relationship). Planning region merupakan wilayah pengembangan yang dapat dirancang ulang sesuai karakteristik yang dimiliki.

Konsep Growth Pole banyak diterapkan di negara-negara berkembang sebab diyakini mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraaan masyarakat dengan melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di wilayah perkotaan. Selanjutnya diharapkan dengan sendirinya akan menyebar pada pembangunan wilayah pedesaan. Ini sering disebut sebagai “trickle down effect” yang terjadi sebagai akibat tekanan daripada pasaran bebas (free market forces) sehingga menciptakan pertumbuhan ekonomi dari urban ke rural area (Rondinelli,1985).

Sebenarnya Growth Pole itu sendiri merupakan sistem sentralisasi pembangunan dari atas ke bawah (top down planning) yang selama ini diterapkan di Indonesia. Namun berdasarkan hasil penelitian (Firman, 1996) disebutkan bahwa konsep Growth Pole gagal diterapkan pada Perluasan Kawasan Metropolitan Bandung (Extended Bandung Metropolitan Region). Pada proyek ini, kota Bandung awalnya diharapkan mampu sebagai magnet (magnet strategy) untuk membangun kota-kota kedua. Ternyata pembangunan fisik kota Bandung sendiri sangat lambat bahkan kota Bandung hanya berperan sebagai “kota asrama” (Dormitory City).

Apabila ditelaah lebih dalam maka konsep pusat pertumbuhan (Growth Pole) inilah yang menjadi konsep “agropolitan” hanya saja perancangannya dari bawah ke atas (bottom-up planning). Douglas dan Friedmann (1978) menekankan bahawa pembangunan perkotaan (urban development) mesti dihubungkan dengan


(55)

pembangunan pedesaan (rural development) pada tingkat bawah (local level). Pada prinsipnya kota di pedesaan dilihat sebagai fungsi non-agrikultural dan fungsi administratif, bukan sebagai pusat pertumbuhan (Growth Pole).

2.4. Penelitian Sebelumnya

Berbagai penelitian telah dilakukan terkait dengan topik desentralisasi. Demikian pula penelitian yang terkait dengan pembangunan ekonomi wilayah. Namun penelitian yang secara khusus melihat pengaruh kebijakan desentralisasi terhadap pembangunan ekonomi wilayah masih terbatas.

Umumnya penelitian tentang pengaruh desentralisasi lebih cenderung dikaitkan dengan tata kelola pemerintahan, dinamika politik lokal maupun kualitas pelayanan publik yang ditinjau dari perspektif administrasi maupun politik.

Namun demikian, beberapa hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan fokus penelitian ini dapat disebutkan antara lain: 1) riset lembaga penelitian SMERU (2002); 2) Priyo Hari Adi (2005); 3) Depdagri (2009).

Hasil riset SMERU misalnya, dilakukan pada tahun 2001-2002. Lembaga ini melakukan kajian perjalanan kebijakan desentralisasi sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sampai saat ini ketika revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sedang dilakukan (laporan lengkap dapat diakses secara online pada www.smeru.or.id).

Riset yang dilakukan sejak April 2000 sampai Juli 2002, mengunjungi 15 kabupaten dan 3 kota di 12 propinsi (Sukabumi, Cirebon, Garut, Ciamis, Kudus, Magetan, Bandar Lampung, Solok, Karo, Simalungun, Deli Serdang, Lombok Barat,


(56)

Sumba Timur, Sanggau, Banjarmasin, Minahasa, Bolmong, Gorontalo – cetak miring adalah kota) melalui empat tahap/kegiatan penelitian. Daerah yang dikunjungi tersebar di seluruh Indonesia, mewakili wilayah Indonesia Bagian Timur, Jawa, dan Indonesia Bagian Barat.

Tingkat produk domestik regional bruto (PDRB) digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pemilihan daerah agar diperoleh ketersebaran berdasarkan variasi kondisi sosial ekonomi berbagai daerah di Indonesia.

Metode riset yang digunakan adalah diskusi kelompok terfokus dan pengamatan cepat (rapid assessment)sesuai tema studi yang dibagi dalam empat topik, terdiri dari (SMERU, 2002):

1. Studi Persiapan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2000. 2. Studi Otonomi Daerah dan Iklim Usaha, 2001.

3. Studi Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2001.

4. Studi Dampak Desentralisasi dan Otonomi Daerah atas Kinerja Pelayanan Publik, 2002.

Hasil kajian SMERU tidak menemukan adanya perbedaan pelaksanaan desentralisasi dan otda yang disebabkan perbedaan PDRB atau wilayah. Dengan kata lain, daerah dengan PDRB lebih tinggi tidak dapat dikatakan melaksanakan kebijakan ini lebih baik dibandingkan dengan daerah yang PDRB lebih rendah. Demikian pula, daerah di Jawa tidak lebih baik dalam melaksanakan desentralisasi dan otda dibanding daerah di luar Jawa. Perbedaan yang tampak adalah bahwa daerah kabupaten dan kota yang akan mendapat kewenangan lebih besar memiliki antusiasme lebih tinggi dalam


(57)

melaksanakan desentralisasi dan otda dibandingkan propinsi yang kewenangannya akan berkurang.

Merujuk hasil riset SMERU, terdapat persepsi umum di daerah bahwa pemerintah pusat masih setengah hati dalam melaksanakan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, ditunjukkan oleh tiga hal, yakni:

1. Pemerintah pusat dinilai lambat dalam mengeluarkan berbagai peraturan yang diperlukan untuk menjabarkan UU No. 22, 1999 dan UU No. 25, 1999.

2. Pemerintah pusat dinilai tidak konsisten dalam melaksanakan kedua UU tersebut sebagaimana terlihat dari “ditariknya” kembali beberapa kewenangan daerah oleh pusat.

3. Pemerintah pusat terlihat “reaktif” dalam mengeluarkan beberapa peraturan seperti dalam hal PP No. 20 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan PP No. 56 tahun 2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang dikeluarkan setelah ada kasus-kasus pemerintah kabupaten dan kota yang “meremehkan” pemerintah propinsi. Misalnya, beberapa bupati dan walikota tidak menghadiri secara langsung rapat koordinasi yang dilakukan oleh gubernur, tetapi mewakilkannya kepada pejabat lainnya. Selain itu, dalam menangani atau mengklarifikasi suatu masalah, kabupaten/kota memilih untuk langsung menghubungi atau melapor ke


(58)

Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, hal-hal seperti ini tidak pernah terjadi. Pemerintah daerah menyadari bahwa mereka masih mempunyai keterbatasan dalam melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah. UU No. 22 Tahun 1999 hanya memberi kewenangan pengalokasian dana, tidak menambah kewenangan di bidang fiskal kepada daerah. Oleh karenanya, salah satu usaha daerah adalah meningkatkan penerimaan melalui pendapatan asli daerah (PAD) berdasarkan UU No. 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Selanjutnya, melalui riset yang dilakukan oleh Adi (2005) dapat dilakukan pengukuran dampak desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi se-Jawa dan Bali. Metode analisis uji beda dan analisis varians dipilih sebagai teknik analisis untuk melihat apakah terdapat perbedaan dampak sebelum dan setelah desentralisasi dilaksanakan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Daerah lebih peka terhadap kebutuhan dan kekuatan ekonomi lokal. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lin dan Liu (2000) yang menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal mempunyai hubungan positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Namun demikian hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua daerah benar-benar siap memasuki desentralisasi fiskal. Data awal menunjukkan ada 46% daerah yang pertumbuhan ekonomi maupun pendapatan perkapitanya dibawah


(59)

rata-rata. Faktor inilah yang diindikasikan sebagai alasan terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi yang positif antar daerah setelah memasuki era desentralisasi fiskal.

Bila dilakukan analisis secara parsial, perbedaan yang terjadi, hanya antara beberapa daerah saja. Bukti empiris menunjukkan adanya kenaikan pertumbuhan ekonomi pada daerah-daerah yang diindikasi kurang siap menghadapi desentralisasi fiskal (daerah relatif tertinggal tersisa 21%). Namun demikian, pertumbuhan ekonomi ini tidak diikuti dengan kenaikan pertumbuhan pendapatan perkapita yang signifikan.

Penelitian terkini dilakukan oleh Ditjen Otda Kementerian Dalam Negeri (2009). Setelah dilakukan proses monitoring dan evaluasi perjalanan desentralisasi maka diambil kebijakan untuk melakukan revisi atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Revisi atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut diniati mampu menjawab serangkaian permasalahan yang selama ini terjadi di lapangan. Naskah akademik yang disusun tim ahli bekerjasama dengan Ditjen Otda Kementerian Dalam Negeri merekomendasikan bahwa arah revisi memilah UU Nomor 32 Tahun 2004 menjadi 3 (tiga) paket RUU yakni RUU tentang Pemerintahan Daerah; RUU tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan RUU tentang Desa.

Terkait dengan pembangunan ekonomi wilayah, saat ini telah disusun grand strategy otonomi daerah yang memuat desain besar kebijakan desentralisasi ke depan meliputi aspek urusan pemerintahan, kelembagaan, kepegawaian, keuangan daerah,


(60)

perencanaan pembangunan, pelayanan publik maupun pengembangan ekonomi (Depdagri, 2009).

2.5. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan uraian tinjauan pustaka di atas, kerangka pemikiran yang dianut dalam penelitian adalah terdapat hubungan yang erat antara kebijakan pembangunan wilayah dan kebijakan desentralisasi. Hubungan tersebut dapat diamati melalui isu-isu yang berkembang seputar pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional, regional maupun lokal berupa ketimpangan antar wilayah, pengangguran dan kemiskinan, krisis ekonomi maupun pemerasan ganda (double squeeze) oleh kota terhadap desa. Secara visual kerangka pemikiran penelitian ini diformulasikan sebagai berikut (lihat bagan 2.1.):


(61)

Kebijakan Pembangunan  Nasional 

National

Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Penelitian

Saat Ini 

Desentralisasi 

Kompetensi Inti Daerah

Perencanaan bottom­up 

dan top­down Masa Lalu 

Munculnya Konglomerat 

Sentralisasi  

Perencanaan dari atas  

Hasil Penelitian

Desentralisasi dan 

Pembangunan Ekonomi 

Wilayah 

Analisis and Evaluasi

Regional


(1)

Lampiran 2 : Tabulasi Hasil Jawaban Responden

No.

Resp. X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 ∑X Y9 Y10 Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Y16 Y17 ∑Y

1 3 3 3 3 3 3 3 3 24 4 3 3 3 3 3 3 3 4 29

2 4 4 4 4 4 4 4 4 32 4 3 4 4 4 4 3 4 4 34

3 4 3 3 3 4 4 4 4 29 4 3 4 4 4 4 3 4 4 34

4 4 4 4 4 4 4 3 4 31 4 3 4 4 4 4 3 4 4 34

5 4 4 3 4 3 4 4 4 30 4 3 4 4 4 4 3 4 4 34

6 4 4 3 4 3 4 3 4 29 4 3 4 4 4 4 3 4 4 34

7 4 4 3 4 3 4 3 4 29 4 3 4 4 4 4 3 4 4 34

8 4 4 3 4 3 4 3 4 29 4 3 4 4 4 4 3 4 4 34

9 4 4 3 4 3 4 3 4 29 4 3 4 4 4 4 3 4 4 34

10 4 4 3 4 3 4 3 4 29 4 3 4 4 4 3 3 4 4 33

11 4 4 3 4 4 4 3 4 30 4 3 4 4 4 3 3 4 4 33

12 4 4 3 4 4 4 3 4 30 4 3 4 4 4 3 3 4 4 33

13 4 4 3 4 4 4 3 4 30 4 3 4 4 4 3 3 4 4 33

14 4 4 4 4 4 4 4 4 32 4 3 4 4 4 3 3 4 4 33

15 4 4 4 4 4 4 4 4 32 4 3 3 4 3 3 4 4 4 32

16 4 4 4 4 4 4 4 4 32 4 3 4 4 4 4 4 4 4 35

17 4 4 4 4 4 4 4 4 32 4 4 4 4 4 4 4 4 4 36


(2)

24 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 3 4 4 3 3 3 4 3 31

25 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

26 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

27 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

28 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

29 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

30 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

31 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

32 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

33 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

34 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

35 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

36 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

37 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

38 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

39 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

40 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

41 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31


(3)

43 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

44 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

45 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

46 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

47 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

48 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

49 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

50 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

51 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

52 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

53 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

54 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

55 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

56 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

57 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

58 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

59 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

60 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

61 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31


(4)

68 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

69 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

70 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

71 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

72 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

73 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

74 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

75 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

76 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

77 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

78 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

79 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

80 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

81 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

82 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

83 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

84 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

85 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31


(5)

87 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

88 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

89 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

90 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

91 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

92 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

93 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

94 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

95 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

96 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

97 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

98 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

99 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31

100 4 4 4 4 4 4 3 3 30 4 4 3 4 3 3 3 4 3 31


(6)