pembangunan pedesaan rural development pada tingkat bawah local level. Pada prinsipnya kota di pedesaan dilihat sebagai fungsi non-agrikultural dan fungsi
administratif, bukan sebagai pusat pertumbuhan Growth Pole.
2.4. Penelitian Sebelumnya
Berbagai penelitian telah dilakukan terkait dengan topik desentralisasi. Demikian pula penelitian yang terkait dengan pembangunan ekonomi wilayah. Namun
penelitian yang secara khusus melihat pengaruh kebijakan desentralisasi terhadap pembangunan ekonomi wilayah masih terbatas.
Umumnya penelitian tentang pengaruh desentralisasi lebih cenderung dikaitkan dengan tata kelola pemerintahan, dinamika politik lokal maupun kualitas pelayanan
publik yang ditinjau dari perspektif administrasi maupun politik. Namun demikian, beberapa hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan
fokus penelitian ini dapat disebutkan antara lain: 1 riset lembaga penelitian SMERU 2002; 2 Priyo Hari Adi 2005; 3 Depdagri 2009.
Hasil riset SMERU misalnya, dilakukan pada tahun 2001-2002. Lembaga ini melakukan kajian perjalanan kebijakan desentralisasi sejak diundangkannya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sampai saat ini ketika revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sedang
dilakukan laporan lengkap dapat diakses secara online pada www.smeru.or.id. Riset yang dilakukan sejak April 2000 sampai Juli 2002, mengunjungi 15
kabupaten dan 3 kota di 12 propinsi Sukabumi, Cirebon, Garut, Ciamis, Kudus, Magetan, Bandar Lampung, Solok, Karo, Simalungun, Deli Serdang, Lombok Barat,
Universitas Sumatera Utara
Sumba Timur, Sanggau, Banjarmasin, Minahasa, Bolmong, Gorontalo – cetak miring adalah kota melalui empat tahapkegiatan penelitian. Daerah yang dikunjungi tersebar
di seluruh Indonesia, mewakili wilayah Indonesia Bagian Timur, Jawa, dan Indonesia Bagian Barat.
Tingkat produk domestik regional bruto PDRB digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pemilihan daerah agar diperoleh ketersebaran berdasarkan variasi
kondisi sosial ekonomi berbagai daerah di Indonesia. Metode riset yang digunakan adalah diskusi kelompok terfokus dan
pengamatan cepat rapid assessment sesuai tema studi yang dibagi dalam empat topik, terdiri dari SMERU, 2002:
1. Studi Persiapan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2000.
2. Studi Otonomi Daerah dan Iklim Usaha, 2001.
3. Studi Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2001.
4. Studi Dampak Desentralisasi dan Otonomi Daerah atas Kinerja Pelayanan Publik,
2002. Hasil kajian SMERU tidak menemukan adanya perbedaan pelaksanaan
desentralisasi dan otda yang disebabkan perbedaan PDRB atau wilayah. Dengan kata lain, daerah dengan PDRB lebih tinggi tidak dapat dikatakan melaksanakan kebijakan
ini lebih baik dibandingkan dengan daerah yang PDRB lebih rendah. Demikian pula, daerah di Jawa tidak lebih baik dalam melaksanakan desentralisasi dan otda dibanding
daerah di luar Jawa. Perbedaan yang tampak adalah bahwa daerah kabupaten dan kota yang akan mendapat kewenangan lebih besar memiliki antusiasme lebih tinggi dalam
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan desentralisasi dan otda dibandingkan propinsi yang kewenangannya akan berkurang.
Merujuk hasil riset SMERU, terdapat persepsi umum di daerah bahwa pemerintah pusat masih setengah hati dalam melaksanakan kebijakan desentralisasi
dan otonomi daerah, ditunjukkan oleh tiga hal, yakni: 1.
Pemerintah pusat dinilai lambat dalam mengeluarkan berbagai peraturan yang diperlukan untuk menjabarkan UU No. 22, 1999 dan UU No. 25,
1999. 2.
Pemerintah pusat dinilai tidak konsisten dalam melaksanakan kedua UU tersebut sebagaimana terlihat dari “ditariknya” kembali beberapa
kewenangan daerah oleh pusat. 3.
Pemerintah pusat terlihat “reaktif” dalam mengeluarkan beberapa peraturan seperti dalam hal PP No. 20 tahun 2001 tentang Pembinaan dan
Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan PP No. 56 tahun 2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang
dikeluarkan setelah ada kasus-kasus pemerintah kabupaten dan kota yang “meremehkan” pemerintah propinsi. Misalnya, beberapa bupati dan
walikota tidak menghadiri secara langsung rapat koordinasi yang dilakukan oleh gubernur, tetapi mewakilkannya kepada pejabat lainnya.
Selain itu, dalam menangani atau mengklarifikasi suatu masalah, kabupatenkota memilih untuk langsung menghubungi atau melapor ke
Universitas Sumatera Utara
Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, hal-hal seperti ini tidak pernah terjadi. Pemerintah daerah menyadari bahwa mereka masih mempunyai keterbatasan dalam
melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah. UU No. 22 Tahun 1999 hanya memberi kewenangan pengalokasian dana, tidak menambah kewenangan di bidang
fiskal kepada daerah. Oleh karenanya, salah satu usaha daerah adalah meningkatkan penerimaan melalui pendapatan asli daerah PAD berdasarkan UU No. 34 tahun 2000
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Selanjutnya, melalui riset yang dilakukan oleh Adi 2005 dapat dilakukan
pengukuran dampak desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi se-Jawa dan Bali. Metode analisis uji beda dan analisis varians dipilih sebagai teknik analisis untuk
melihat apakah terdapat perbedaan dampak sebelum dan setelah desentralisasi dilaksanakan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Daerah lebih peka terhadap kebutuhan
dan kekuatan ekonomi lokal. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lin dan Liu 2000 yang menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal mempunyai hubungan positif
dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun demikian hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua daerah
benar-benar siap memasuki desentralisasi fiskal. Data awal menunjukkan ada 46 daerah yang pertumbuhan ekonomi maupun pendapatan perkapitanya dibawah rata-
Universitas Sumatera Utara
rata. Faktor inilah yang diindikasikan sebagai alasan terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi yang positif antar daerah setelah memasuki era desentralisasi
fiskal. Bila dilakukan analisis secara parsial, perbedaan yang terjadi, hanya antara
beberapa daerah saja. Bukti empiris menunjukkan adanya kenaikan pertumbuhan ekonomi pada daerah-daerah yang diindikasi kurang siap menghadapi desentralisasi
fiskal daerah relatif tertinggal tersisa 21. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi ini tidak diikuti dengan kenaikan pertumbuhan pendapatan perkapita yang signifikan.
Penelitian terkini dilakukan oleh Ditjen Otda Kementerian Dalam Negeri 2009. Setelah dilakukan proses monitoring dan evaluasi perjalanan desentralisasi
maka diambil kebijakan untuk melakukan revisi atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Revisi atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut diniati mampu menjawab serangkaian permasalahan yang selama ini terjadi di lapangan. Naskah
akademik yang disusun tim ahli bekerjasama dengan Ditjen Otda Kementerian Dalam Negeri merekomendasikan bahwa arah revisi memilah UU Nomor 32 Tahun 2004
menjadi 3 tiga paket RUU yakni RUU tentang Pemerintahan Daerah; RUU tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan RUU tentang Desa.
Terkait dengan pembangunan ekonomi wilayah, saat ini telah disusun grand strategy otonomi daerah yang memuat desain besar kebijakan desentralisasi ke depan
meliputi aspek urusan pemerintahan, kelembagaan, kepegawaian, keuangan daerah,
Universitas Sumatera Utara
perencanaan pembangunan, pelayanan publik maupun pengembangan ekonomi Depdagri, 2009.
2.5. Kerangka Pemikiran