Biosintesis Vitamin C Dari Substrat D-Sorbitol Oleh Acetobacter Xylinum Dengan Metode Fermentasi Sistem Batch Culture Teraduk Kontinu

(1)

BIOSINTESIS VITAMIN C DARI SUBSTRAT D-SORBITOL

OLEH ACETOBACTER XYLINUM DENGAN METODE

FERMENTASI SISTEM BATCH CULTURE

TERADUK KONTINU

TESIS

Oleh

ENGELLINA

107006005/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

BIOSINTESIS VITAMIN C DARI SUBSTRAT D-SORBITOL

OLEH ACETOBACTER XYLINUM DENGAN METODE

FERMENTASI SISTEM BATCH CULTURE

TERADUK KONTINU

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Kimia pada Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Oleh

ENGELLINA

107006005/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

Judul Tesis :

BIOSINTESIS VITAMIN C DARI

SUBSTRAT D-SORBITOL OLEH

ACETOBACTER XYLINUM DENGAN

METODE FERMENTASI SISTEM

BATCH CULTURE TERADUK

KONTINU

Nama Mahasiswa : ENGELLINA

Nomor Pokok : 107006005

Program Studi : Magister Ilmu Kimia

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Dr.Yuniarti Yusak,M.S) (

Ketua Anggota

Dr.Ribu Surbakti,M.S)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof.Basuki Wirjosentono,M.S,Ph.D) (Dr.Sutarman,M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 23 Januari 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr.Yuniarti Yusak, M.S Anggota : 1. Dr.Ribu Surbakti, M.S

2. Dr.Rumondang Bulan, M.S

3. Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc 4. Prof.Basuki Wirjosentono, M.S, Ph.D


(5)

PERNYATAAN ORISINALITAS

BIOSINTESIS VITAMIN C DARI SUBSTRAT D-SORBITOL OLEH

ACETOBACTER XYLINUM

DENGAN METODE FERMENTASI

SISTEM BATCH CULTURE TERADUK KONTINU

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil karya saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar

Medan, 23 Januari 2013

ENGELLINA 107006005


(6)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai Sivitas Akademis Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Engellina NIM : 107006005

Program Studi : Magister Ilmu Kimia Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul :

BIOSINTESIS VITAMIN C DARI SUBSTRAT D-SORBITOL OLEH

ACETOBACTER XYLINUM

DENGAN METODE FERMENTASI

SISTEM BATCH CULTURE TERADUK KONTINU

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya

Medan, 23 Januari 2013


(7)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama Lengkap : Engellina

Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 16 Oktober 1986

Alamat Rumah : Jl. Sun Yat Sen No. 18/30 Medan Telepon / HP : (061) 7343877 / 08126496319

Email :

DATA PENDIDIKAN

SD : SD METHODIST-3 MEDAN (1993-1999) SLTP : SLTP METHODIST-3 MEDAN (1999-2002) SMA : SMA SUTOMO-1 MEDAN (2002-2005) STRATA-1 : KIMIA USU MEDAN (2005-2010) STRATA-2 : KIMIA USU MEDAN (2010-2013)


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis kepada Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, dengan limpahan karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan dalam waktu yang ditetapkan.

Dengan rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr.Yuniarti Yusak,M.S dan Bapak Dr.Ribu Surbakti,M.S selaku pembimbing I dan pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan serta memberikan motivasi kepada penulis selama melakukan penelitian hingga penyusunan tesis ini.

2. Bapak Prof.Basuki Wirjosentono,M.S,Ph.D dan Bapak Dr.Hamonangan Nainggolan,M.Sc selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Kimia Pascasarjana USU.

3. Ibu Dra.Nunuk Priyani,M.Sc selaku Kepala Laboratorium Mikrobiologi FMIPA-USU.

4. Bapak Dekan dan Pembantu Dekan FMIPA-USU.

5. Bapak Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Farmasi-USU.

6. Seluruh teman-teman Mahasiswa Magister Ilmu Kimia Stambuk 2010 yang telah membantu penulis selama kuliah dan penelitian.

7. Asisten Laboratorium Mikrobiologi FMIPA-USU stambuk 2008, 2009 khususnya Mirza dan Ria; Asisten Laboratorium Biokimia FMIPA-USU khususnya Dian Pratiwi dan Putri; Asisten Laboratorium Sentral Biologi FMIPA-USU khususnya Imam dan Asisten Laboratorium Pusat Penelitian Fakultas Farmasi-USU; Bapak Alhamra selaku Kepala Laboratorium MMH Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan yang telah banyak membantu dengan memberikan informasi dan saran kepada penulis.


(9)

Dan akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada keluargaku yang sangat kukasihi dan kucintai : Ayahku Edy Susanto dan Ibuku Lidyawati yang telah banyak membantu dengan dukungan doa, moral dan dana kepada penulis; Adik-adik Darwin Susanto dan Selviani yang memberikan dukungan doa kepada penulis; Rizky dan Bang Sianturi yang telah membantu dan memberikan saran kepada penulis; Kak Sugiatik yang telah membantu penulis; Sahabat-sahabatku Kartika Eberta dan Jenny yang memberikan dukungan doa kepada penulis; Kak Lely Ratnawati selaku pegawai administrasi program studi ilmu kimia Pascasarjana USU yang telah membantu penulis selama kuliah; Suandi yang memberikan dukungan doa kepada penulis.

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada kita semua.

Medan, 23 Januari 2013 Hormat Saya,


(10)

BIOSINTESIS VITAMIN C DARI SUBSTRAT D-SORBITOL

OLEH ACETOBACTER XYLINUM DENGAN METODE

FERMENTASI SISTEM BATCH CULTURE

TERADUK KONTINU

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang biosintesis vitamin C dari substrat D-sorbitol oleh Acetobacter xylinum dengan metode fermentasi sistem batch culture teraduk kontinu. Dalam penelitian ini, digunakan D-sorbitol sebagai substrat dan sumber makanan bagi bakteri Acetobacter xylinum. Penentuan kadar vitamin C dilakukan dengan metoda Polarimetri, Titrasi Iodometri, Spektrofotometri UV-Visible dan untuk menghitung jumlah bakteri yang digunakan dilakukan dengan metode Hitungan Cawan. Dengan metoda Polarimetri ; Titrasi Iodometri dan Spektrofotometri UV-Visible untuk larutan sorbitol 50 g/L setelah fermentasi diperoleh vitamin C sebesar 1,5333 g/L ; 0,105 g/L dan 1,7084 g/L. Hasil fermentasi larutan 100 g/L sorbitol setelah diuji dengan metoda Polarimetri ; Titrasi Iodometri dan Spektrofotometri UV-Visible kadar vitamin C yang diperoleh sebesar 3,6 g/L ; 0,152 g/L dan 1,7286 g/L. Dengan metoda Polarimetri ; Titrasi Iodometri dan Spektrofotometri UV-Visible untuk konsentrasi larutan sorbitol 150 g/L setelah fermentasi diperoleh vitamin C sebesar 3,5 g/L ; 0,076 g/L dan Spektrofotometri UV-Visible 0,7972 g/L. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa sudut putar bidang polarisasi D-sorbitol telah berubah tanda (+) sebelum fermentasi menjadi (-) setelah fermentasi sehingga diperoleh asam L-askorbat.


(11)

BIOSYNTHESIS VITAMIN C FROM D-SORBITOL SUBSTRATE BY

ACETOBACTER XYLINUM WITH FERMENTATION

METHOD BATCH CULTURE CONTINUOUS

MIXING SYSTEM

ABSTRACT

The research of biosynthesis vitamin C from D-sorbitol substrate by Acetobacter xylinum with fermentation method of batch culture continuous mixing system is done. In this research, I used D-sorbitol as substrate and food supply for Acetobacter xylinum. The determination quantity of vitamin C using Polarimetri method, Iodometri Titration, Spectrophotometri UV-Visible and for accounting quantity of bacteria using Plate Count method. By using Polarimetri method ; Iodometri Titration and Spectrophotometri UV-Visible for 50 g/L sorbitol solution after the fermentation gave 1,5333 g/L ; 0,105 g/L and 1,7084 g/L of vitamin C. The result of 100 g/L sorbitol solution after it tested with Polarimetri method, Iodometri Titration and Spectrophotometri UV-Visible of vitamin C gave 3,6 g/L ; 0,152 g/L and 1,7286 g/L. By using Polarimetri method ; Iodometri Titration and Spectrophotometri UV-Visible for 150 g/L sorbitol solution after the fermentation gave 3,5 g/L ; 0,076 g/L and 0,7972 g/L of vitamin C From this research, it is known that turning angle of D-sorbitol polarization already changed from (+) marked before fermentation became (-) marked after fermentation with the result of L-ascorbic acid.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR viii

ABSTRAK x

ABSTRACT xi

DAFTAR ISI xii

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1Latar Belakang 1

1.2Perumusan Masalah 3

1.3Pembatasan Masalah 3

1.4Tujuan Penelitian 3

1.5Manfaat Penelitian 4

1.6Metodologi Penelitian 4

1.7Lokasi Penelitian 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1 Struktur dan Sifat-Sifat Vitamin C 6 2.2 Sorbitol, Struktur dan Sifat-Sifatnya 11

2.3 Sorbosa 12

2.4 Fermentasi Vitamin C 12

2.5 Kinetika Pertumbuhan Mikroba 20 2.6 Kinetika Pembentukan Produk 24

2.7 Pemilihan Bioreaktor 25

2.8 Acetobacter Xylinum 29

2.9 Enzim 30

2.10 Metoda Hitungan Cawan 31

2.11 Metoda Analisa Vitamin C 33 2.12 Penentuan Vitamin C secara Metoda Spektroskopi Ultraviolet-Sinar Tampak 35 2.13 Penentuan Vitamin C secara Metoda Polarimeter 38 2.14 Penentuan Vitamin C secara Metoda Iodometri 41


(13)

BAB 3 METODOLOGI 42

3.1 Alat 42

3.2 Bahan 43

3.3 Prosedur Penelitian 44

3.3.1 Preparasi Media dan Pembuatan Larutan Pereaksi untuk Identifikasi Bakteri Acetobacter xylinum 44

3.3.1.1 Pembuatan Media Hassid Barker Agar (HBA) 44 3.3.1.2 Pembuatan Media Sorbitol 50 g/L 44 3.3.1.3 Pembuatan Media Sorbitol 100 g/L 44 3.3.1.4 Pembuatan Media Sorbitol 150 g/L 44 3.3.1.5 Pembuatan Media Plate Count Agar (PCA) 44 3.3.1.6 Pembuatan Larutan Triple Sugar Iron Agar (TSIA) 45 3.3.1.7 Pembuatan Larutan Simmons Citrate Agar (SCA) 45 3.3.1.8 Pembuatan Larutan SIM (Sulfide Indole Motility Medium) 45 3.3.1.9 Pembuatan Larutan Gelatin 45 3.3.1.10 Pembuatan Media Starch 45 3.3.1.11 Larutan Asam Asetat Glasial 1,96% 45 3.3.1.12 Pembuatan Larutan Vitamin C Standar 45 3.3.2 Perlakuan terhadap Sampel dan Metode Pengukuran Sampel 46

3.3.2.1 Identifikasi Bakteri Acetobacter xylinum dengan Metoda

Pewarnaan Gram 46 3.3.2.2 Penentuan Jumlah Koloni Bakteri dengan Metoda Hitungan

Cawan 46

3.3.2.3 Pembuatan Starter 46 3.2.2.4 Fermentasi Larutan Fermentasi D-Sorbitol menjadi Vitamin C 47 3.3.2.5 Penentuan Vitamin C dengan Metoda Polarimetri 47 3.3.2.6 Pemanenan Hasil Larutan Fermentasi dengan Metoda Sentrifuge 47 3.3.2.7 Penentuan Vitamin C dengan Metoda Spektrofotometri

UV-Visible 48 3.3.2.8 Penentuan Vitamin C dengan Metode Titrasi Iodometri 48

3.4 Bagan Penelitian 49

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 55

4.1 Hasil Penelitian 55

4.2 Perhitungan 55 4.2.1 Penentuan Vitamin C dengan Metoda Polarimetri 55 4.2.2 Penentuan Vitamin C dengan Metoda Titrasi Iodometri 56 4.2.3 Penentuan Vitamin C dengan Metoda Spektrofotometri UV-Vis 58 4.2.4 Penentuan Jumlah Koloni Bakteri dengan Metoda Hitungan Cawan 58


(14)

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 63

5.1 Kesimpulan 63

5.2 Saran 63

DAFTAR PUSTAKA 64


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 4.2.1 Penentuan Vitamin C dengan Metoda Polarimetri 55 Tabel 4.2.2 Penentuan Vitamin C dengan Metoda Titrasi Iodometri 56 Tabel 4.2.3 Penentuan Vitamin C dengan Metoda Spektrofotometri

UV-Visible 58 Tabel 4.2.4 Penentuan Jumlah Koloni Bakteri dengan Metoda


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 1 Metode Pewarnaan Gram pada Bakteri Acetobacter xylinum 68

Gambar 2 Media Hassid Barker Agar (HBA) 68 Gambar 3 Identifikasi Bakteri Acetobacter xylinum 69

Gambar 4 Uji Kualitatif Vitamin C pada Larutan Fermentasi 50 g/L;


(17)

BIOSINTESIS VITAMIN C DARI SUBSTRAT D-SORBITOL

OLEH ACETOBACTER XYLINUM DENGAN METODE

FERMENTASI SISTEM BATCH CULTURE

TERADUK KONTINU

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang biosintesis vitamin C dari substrat D-sorbitol oleh Acetobacter xylinum dengan metode fermentasi sistem batch culture teraduk kontinu. Dalam penelitian ini, digunakan D-sorbitol sebagai substrat dan sumber makanan bagi bakteri Acetobacter xylinum. Penentuan kadar vitamin C dilakukan dengan metoda Polarimetri, Titrasi Iodometri, Spektrofotometri UV-Visible dan untuk menghitung jumlah bakteri yang digunakan dilakukan dengan metode Hitungan Cawan. Dengan metoda Polarimetri ; Titrasi Iodometri dan Spektrofotometri UV-Visible untuk larutan sorbitol 50 g/L setelah fermentasi diperoleh vitamin C sebesar 1,5333 g/L ; 0,105 g/L dan 1,7084 g/L. Hasil fermentasi larutan 100 g/L sorbitol setelah diuji dengan metoda Polarimetri ; Titrasi Iodometri dan Spektrofotometri UV-Visible kadar vitamin C yang diperoleh sebesar 3,6 g/L ; 0,152 g/L dan 1,7286 g/L. Dengan metoda Polarimetri ; Titrasi Iodometri dan Spektrofotometri UV-Visible untuk konsentrasi larutan sorbitol 150 g/L setelah fermentasi diperoleh vitamin C sebesar 3,5 g/L ; 0,076 g/L dan Spektrofotometri UV-Visible 0,7972 g/L. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa sudut putar bidang polarisasi D-sorbitol telah berubah tanda (+) sebelum fermentasi menjadi (-) setelah fermentasi sehingga diperoleh asam L-askorbat.


(18)

BIOSYNTHESIS VITAMIN C FROM D-SORBITOL SUBSTRATE BY

ACETOBACTER XYLINUM WITH FERMENTATION

METHOD BATCH CULTURE CONTINUOUS

MIXING SYSTEM

ABSTRACT

The research of biosynthesis vitamin C from D-sorbitol substrate by Acetobacter xylinum with fermentation method of batch culture continuous mixing system is done. In this research, I used D-sorbitol as substrate and food supply for Acetobacter xylinum. The determination quantity of vitamin C using Polarimetri method, Iodometri Titration, Spectrophotometri UV-Visible and for accounting quantity of bacteria using Plate Count method. By using Polarimetri method ; Iodometri Titration and Spectrophotometri UV-Visible for 50 g/L sorbitol solution after the fermentation gave 1,5333 g/L ; 0,105 g/L and 1,7084 g/L of vitamin C. The result of 100 g/L sorbitol solution after it tested with Polarimetri method, Iodometri Titration and Spectrophotometri UV-Visible of vitamin C gave 3,6 g/L ; 0,152 g/L and 1,7286 g/L. By using Polarimetri method ; Iodometri Titration and Spectrophotometri UV-Visible for 150 g/L sorbitol solution after the fermentation gave 3,5 g/L ; 0,076 g/L and 0,7972 g/L of vitamin C From this research, it is known that turning angle of D-sorbitol polarization already changed from (+) marked before fermentation became (-) marked after fermentation with the result of L-ascorbic acid.


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengetahuan manusia tentang bioteknologi berawal dari pembuatan makanan dan minuman secara fermentasi. Minuman khas Jepang seperti sake, bir, anggur, makanan keju, yoghurt, tempe, oncom, acar dan lain-lain merupakan contoh kecil proses bioteknologi tradisional yang sudah lama dikenal.

Pada tahun 1929 s/d 1944 bioteknologi tahap kedua (lebih modern) telah dikemukakan oleh Flemming Yi telah ditemukannnya penelitian dengan cara fermentasi. Sejak itu berkembanglah kegiatan bioteknologi untuk menghasilkan antibiotik, vitamin-vitamin serta asam-asam organik seperti aseton, butanol, asam sitrat dengan metode fermentasi (Higgins, 1985).

Struktur asam askorbat pertama sekali dikemukakan oleh Haworth. Asam askorbat disintesa secara komersial dengan bantuan bakteri berlangsung sebagai berikut :

red oks

D-glukosa D-sorbitol L-sorbosa Vitamin C Acetobacter

(West, 1966).

Isolasi kristalin asam askorbat pada tahun 1928 dilakukan oleh Szent-Gyorgyi yang dilanjutkan dengan identifikasi vitamin C oleh Waugh dan King serta Svirbely dan Szent-Gyorgyi pada tahun 1932.

Laporan pertama tentang oksidasi D-sorbitol menjadi L-sorbosa oleh bantuan bakteri ditemukan Bertrand pada tahun 1896. Bakteri tersebut diidentifikasi dengan bakteri Acetobacter xylinum (Robinson, 1976).


(20)

Pada tahun 1953 dibuat beberapa studi dimana proses fermentasi vitamin C dengan bantuan mikroorganisme hanya terjadi dalam 2 langkah. Hori dan Nakatani mengubah glukosa oleh Acetobacter suboxydans menjadi asam 5-keto-D-glukonat, yang selanjutnya oleh bantuan katalis enzim dirubah menjadi asam L-idonat.

Fermentasi dengan Pseudomonas, Acetobacter, atau Aerobacter inversi senyawa akhir menjadi asam 2-keto-L-gulonat, dimana intermediat yang lazim dikenal menjadi asam L-askorbat (Hori, 1953).

Boudrant menyatakan bahwa dengan menggunakan metoda Reichstein dan glukosa sebagai substrat, pembentukan asam askorbat dengan metoda fermentasi oleh bakteri Acetobacter xylinum atau Acetobacter suboxyydans hanya berlangsung dengan 5 tahap reaksi (Boudrant, 1990).

Hancock menyatakan bahwa dengan menggunakan Saccharomyces cerevisiae

dan substrat L-galaktosa, L-galaktono-1,4-lakton dan L-gulono-1,4-lakton akan dihasilkan asam askorbat sedangkan bila menggunakan substrat glukosa, D-galaktosa atau D-manosa akan dihasilkan asam D-erithroaskorbat (Hancock, 2000).

Running menyatakan bahwa fermentasi aerobik dari D-glukosa dan pemilihan strain yang tepat akan dihasilkan asam askorbat ekstraseluler sebesar 76 mg/L (Running, 2002).

Rewatkar menyatakan bahwa dengan menggunakan 5 gram sorbitol; 0,5 gram ekstrak yeast dan 2 gram agar yang dilarutkan dalam 100 mL H2

Dengan cara yang sama tetapi menggunakan bakteri Pseudomonas aeruginosa

akan dihasilkan 3,217 mg/L (4,0213%). Sedangkan bila digunakan Saccharomyces cerevisiae akan dihasilkan 1,882 mg/L (2,3525%) asam askorbat (Rewatkar, 2010).

O setelah difermentasi selama 7 hari oleh Acetobacter suboxydans akan diperoleh sebanyak 4,997 mg/L (6,2213%) asam askorbat.

Manusia tidak dapat mensintesis vitamin C karena tidak mempunyai fungsi gen penghasil L-gulono-1,4-lactone oxidase, dimana enzim tersebut diperlukan di dalam biosintesis asam askorbat yang terdapat pada hewan (Wolucka, 2001).


(21)

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan proses biosintesis vitamin C dari D-sorbitol dengan bantuan bakteri Acetobacter xylinum dalam pengembangan bioteknologi.

1.2 Perumusan Masalah

Seberapa besar kemampuan Acetobacter xylinum mensintesis D-sorbitol menjadi vitamin C (asam askorbat) dengan pengaturan pH 4-4,5 dalam jangka waktu fermentasi 72 jam dengan menggunakan alat fermentor jenis Batch Culture teraduk kontinu.

1.3 Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini objek masalah dibatasi sebagai berikut : 1. D-sorbitol digunakan sebagai bahan pengganti glukosa.

2. Proses fermentasi vitamin C dari D-sorbitol dengan bantuan bakteri

Acetobacter xylinum.

3. Waktu fermentasi yang dilakukan adalah 72 jam dengan pengaturan kondisi yang telah disesuaikan antara lain pH, temperatur serta pengadukan yang teratur dan kontinu.

4. Metoda fermentasi yang digunakan adalah metoda Batch Culture teraduk kontinu.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk membuktikan bahwa vitamin C dapat dibuat dengan cara fermentasi dari bahan baku D-sorbitol.

2. Untuk mengetahui kadar vitamin C yang diperoleh dengan proses fermentasi oleh bantuan bakteri Acetobacter xylinum.


(22)

3. Untuk mensosialisasikan metoda-metoda bioteknologi.

4. Untuk memproduksi bahan dan jasa dengan biaya relatif murah, aman, terbarukan dan sekaligus dapat mengurangi pencemaran lingkungan.

1.5 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi pada bidang Biokimia/KBM (Kimia Bahan Makanan) dimana D-sorbitol dapat dimanfaatkan sebagai sumber biosintesis vitamin C dengan bantuan bakteri

Acetobacter xylinum.

1.6 Metodologi Penelitian

Adapun langkah-langkah analisisnya sebagai berikut : 1. Penelitian ini adalah eksperimental laboratorium.

2. Sampel yang digunakan adalah D-sorbitol sebagai bahan pengganti glukosa. 3. Waktu fermentasi oleh bakteri Acetobacter xylinum selama 72 jam.

4. Metoda fermenter yang digunakan adalah metoda Batch Culture teraduk kontinu.

5. Sampel yang mengandung bakteri Acetobacter xylinum dilakukan pengaturan pH 4-4,5 pada suhu kamar dan diatur pengadukan yang teratur dan kontinu di dalam wadah yang telah dipreparasi.

6. Hasil fermentasi diuji dengan Polarimeter, Spektrofotometer UV-Visible, Titrasi Iodometri dan Metoda Hitungan Cawan.

1.7 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU; Uji Sentrifuge dilakukan di Laboratorium Penelitian Farmasi USU dan Laboratorium Sentral Biologi FMIPA USU; Uji Polarimeter dilakukan di Balai Riset dan Standarisasi Industri


(23)

Medan; Uji Spektrofotometer UV-Visible dilakukan di Laboratorium Biologi Dasar (LIDA) USU; dan Uji Titrasi Iodometri dilakukan di Laboratorium Biokimia FMIPA USU, Medan.


(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Struktur dan Sifat - Sifat Vitamin C

Vitamin C

Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 176,13 dengan rumus molekul C6H8O6

Pada pH rendah vitamin C lebih stabil daripada pH tinggi. Vitamin C mudah teroksidasi, lebih-lebih apabila terdapat katalisator Fe, Cu, enzim Askorbat oksidase, sinar, temperatur yang tinggi. Larutan encer vitamin C pada pH kurang dari 7,5 masih stabil apabila tidak ada katalisator seperti di atas. Oksidasi vitamin C akan terbentuk asam dihidroaskorbat. Vitamin C dengan iodin akan membentuk ikatan dengan atom C normor 2 dan 3 sehingga ikatan rangkap hilang (Sudarmadji, 1989).

. Dalam bentuk kristal tidak berwarna, titik cair 190-192°C. Bersifat larut dalam air sedikit larut dalam aseton atau alkohol yang mempunyai berat molekul rendah. Vitamin C sukar larut dalam kloroform, eter dan benzen. Dengan logam membentuk garam. Sifat asam ditentukan dengan ionisasi enol grup pada atom C nomor tiga.

Vitamin C merupakan senyawa turunan gula yang sangat penting. Banyak dijumpai dalam berbagai tanaman seperti sitrus, Hungarian Paprika, Green Wallnuts serta beberapa jaringan hewan. Vitamin C diperlukan di dalam diet (diet essensial) untuk mencegah penyakit scurvy sehingga biasa juga disebut vitamin anti skorbut.


(25)

Struktur asam askorbat pertama sekali dikemukakan oleh Haworth. Asam askorbat disintesa secara komersial dengan bantuan bakteri berlangsung sebagai berikut :

red oks

Acetobacter

red oks

D-glukosa D-sorbitol L-sorbosa Vitamin C Acetobacter

Vitamin C merupakan asam kuat dengan nilai pKa 4,21 dalam bentuk kristal, cukup stabil tetapi sangat mudah teroksidasi bila dalam bentuk larutan dan di udara terbuka. Tes iodin dan 2,6-dichlorophenolindophenol adalah merupakan tes kuantitatif yang spesifik untuk menentukan konsentrasi asam askorbat (West, 1966).

Asam askorbat (vitamin C) adalah suatu zat organik yang merupakan ko-enzim atau ko-faktor pada berbagai reaksi biokimia di dalam tubuh. Salah satu peran utama asam askorbat adalah proses hidroksilasi prolin dan lisin pada pembentukan kolagen.

Kolagen adalah komponen penting jaringan ikat, oleh sebab itu vitamin C penting untuk kelangsungan hidup jaringan ikat. Dengan demikian vitamin C berperan penting pada proses penyembuhan luka, adaptasi tubuh terhadap trauma dan infeksi.

Vitamin C ini harus tersedia secara kontinu dalam makanan sehari-hari agar tidak sampai timbul gejala defisiensi. Khususnya pada manusia (juga pada binatang jenis primata lainnya, dan pada marmut), vitamin C ini tidak dapat dibuat sendiri di dalam


(26)

tubuh. Defisiensi vitamin C ini disebut sebagai skorbut. Kebutuhan yang dianjurkan untuk orang dewasa di Indonesia adalah 30 mg/hari. Vitamin C adalah sebuah reduktor, di mana sangat berperan pada proses respirasi jaringan.

Vitamin C akan diekskresikan bila berlebihan, tetapi apabila hal ini berjalan terus, khususnya pada pemberian vitamin C dosis tinggi secara intravena dapat meningkatkan kadar keasaman darah. Ekskresi vitamin C melalui urine yang berlebihan akan meningkatkan kadar keasaman urine, ini mungkin tidak mengganggu, tetapi dalam keadaan tertentu, penurunan pH darah, tidak diharapkan.

Pada binatang tertentu, vitamin C ini dapat langsung diubah menjadi CO2 dan H2

Telah diketahui bahwa manusia dan marmut tak mempunyai enzim gulonalakton oksidase, yang mengoksidasi 1-gulonalakton menjadi 2-keto-1-gulonalakton. Evolusi ini terjadi 25 sampai 60 juta tahun yang menyebabkan hilangnya kemampuan manusia dan kelompok hewan tersebut di atas untuk mensintesis vitamin C sendiri. Apakah rekayasa genetika dapat memperbaiki ketidakmampuan tersebut di masa mendatang sehingga dapat memasukkan kembali enzim tersebut dalam sel manusia (Goodman,1996).

O, sehingga kelebihan vitamin C ini tidak akan menimbulkan masalah. Dilihat dari sudut gizi, pemasukan vitamin C itu harus disesuaikan dengan pemasukan zat-zat gizi lainnya (baik dalam jumlah maupun proporsinya) agar kesehatan dapat terbina (Tjokronegoro, 1985).

Sudah sejak dahulu kala orang telah mengenal penyakit skorbut (Scurvy). Gejala-gejala penyakit yang kemudian dikenal sebagai gejala defisiensi vitamin C (asam askorbat) ini, sudah dilaporkan sejak zaman Mesir kuno, Yunani kuno dan zaman Romawi. Gejala-gejala penyakit tadi terutama timbul pada mereka yang sedang melakukan pelayaran jarak jauh, atau mereka yang sedang melakukan ekspedisi-ekspedisi militer yang lama.


(27)

Pengobatan dan pencegahan penyakit ini baru tampak setelah James Lind, seorang tabib Inggris pada pertengahan abad 18, memberikan jeruk segar pada penderita-penderita penyakit skorbut ini.

Kini vitamin C sudah sangat dikenal masyarakat luas, sebagai vitamin populer yang selalu dikaitkan dengan faktor-faktor kesehatan, dan kesegaran jasmani seseorang. Umumnya pada binatang, gejala defisiensi vitamin C ini sukar sekali terjadi, karena vitamin C ini dapat disintesa sendiri di dalam tubuh mereka. Tetapi pada manusia, marmut, primata, jenis kelelawar dan jenis burung tertentu tidak dapat membuat vitamin C sendiri. Oleh karena itu manusia harus mendapat vitamin C dalam makanan sehari-hari.

Jumlah masukan vitamin C yang diperlukan pada orang dewasa agar jangan sampai terjadi gejala defisiensi adalah 10 mg/hari. Sedangkan di Indonesia, kebutuhan yang dianjurkan adalah 30 mg/hari.

Apabila dosis vitamin C yang diberikan berlebihan, maka vitamin C yang berlebih ini akan diekskresikan melalui urine. Sebagian dari vitamin C tadi akan diubah menjadi garam-garam oksalat, dan pada keadaan fisiologis, kira-kira 40-50 mg garam oksalat yang diekskresikan berasal dari vitamin C, yakni kira-kira setengah dari seluruh ekskresi oksalat.

Apabila dosis vitamin terus ditinggikan maka proporsi vitamin C yang diubah menjadi oksalat ternyata akan menurun. Tetapi apabila orang tersebut memang menderita gangguan metabolisme oksalat, hal ini dapat menimbulkan masalah.

Kelebihan vitamin C juga dapat menaikkan kadar keasaman darah khususnya yang mendapat vitamin C dosis tinggi secara intravena. Pada keadaan tertentu, penurunan pH darah tidak diharapkan. Kelebihan vitamin C akan meningkatkan keasaman urine. Pada keadaan tertentu (gangguan metabolisme urat dan/atau oksalat dan lain-lain) dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya batu saluran kemih.

Defisiensi vitamin C menimbulkan penyakit skorbut. Gejala-gejala klinik antara lain : nyeri pada tungkai, pseudoparalysis, pembengkakan pada tungkai, fraktur pada


(28)

daerah epiphisis, pendarahan dan pembengkakan gusi dan lain-lain. Penderita dengan gejala-gejala skorbut yang jelas kini sudah jarang dijumpai. Apabila pengobatan terlambat dilakukan, skorbut ini dapat menimbulkan kematian.

Sumber vitamin C dapat kita jumpai pada sayuran dan buah-buahan segar. Atau dapat pula dengan tablet-tablet vitamin C yang sekarang banyak dipasarkan. Perubahan primer yang terjadi pada skorbut disebabkan karena fungsi vitamin C ialah dalam hal pembentukan dan mempertahankan bahan interseluler dan kolagen.

Pada defisiensi vitamin C kolagen menghilang, pendarahan timbul karena kerusakan bahan semen dan kapiler. Gejala utama penyakit skorbut timbul akibat kelainan tulang dan pembuluh darah. Terjadi pendarahan subperiosteal, resorpsi dentin dan degenerasi odon-toblast.

Fragilitas dinding kapiler meningkat dan terjadi pendarahan pada trauma, misalnya pada kulit, otot tulang, gusi. Gejala ini sulit dikenal bila defisiensi hanya marginal, sehingga perlu diketahui tanda-tandanya, sehingga dapat diambil tindakan yang efisien. Tanda marginal defisiensi nutrien dibagi beberapa tahap, yaitu :

1. Tahap permulaan : penurunan cadangan nutrien dalam jaringan karena penurunan masukan, penyerapan dan metabolisme yang abnormal. Juga terjadi penurunan ekskresi nutrien tersebut.

2. Tahap biokimia : penurunan aktivitas enzim, perubahan metabolisme dan tak terlihat ekskresi urin.

3. Tahap fisiologik : kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, tak dapat tidur, mudah marah. Metabolisme obat terganggu.

4. Tahap klinik : terlihat tanda-tanda klinik defisiensi.

5. Tahap morfologik : perubahan bentuk jaringan yang dapat menimbulkan kematian, kecuali diobati dengan nutrien tersebut.

Koreksi pada tahap dini tentu lebih menguntungkan dibanding pengobatan pada tahap yang sudah lanjut (Tjokronegoro, 1985).


(29)

2.2 Sorbitol, Struktur dan Sifat-Sifatnya

Glukosa mempunyai 6 jumlah rantai atom C, 4 diantaranya merupakan atom C asimetris sehingga banyak isomer yang dapat digambarkan dari molekul glukosa tersebut. Salah satu isomer yang penting adalah isomer D-sorbitol karena merupakan prekursor di dalam fermentasi vitamin C oleh Acetobacter xylinum.

Konversi struktur D-sorbitol ke dalam bentuk L-sorbosa sangatlah penting karena L-sorbosa merupakan prekursor dari sintetis L-asam askorbat dengan menggunakan larutan sorbitol 15% setelah difermentasi selama 24 jam oleh bakteri

Acetobacter suboxydans akan dihasilkan 93% L-sorbosa melalui reaksi di bawah ini :

CH2OH CH2 H – C – OH oksigen H – C – OH

OH

HO – C – H HO – C – H H - C - OH dehidrogenase H – C – OH H - C - OH - H2

CH

O C = O

2OH CH2

D-sorbitol L-sorbosa OH

Pada tahap awal fermentasi, senyawa D-sorbitol akan berubah menjadi bentuk L-sorbosa dengan adanya enzim yang dihasilkan oleh bakteri. Perubahan bentuk D-sorbitol menjadi bentuk L-sorbosa dapat diuji dengan alat polarimeter yaitu dari putaran sudut polarisasi dari kanan [D(+)] ke kiri [L(-)].

Gugus alkohol dari senyawa-senyawa gula dapat dioksidasi menjadi bentuk ketosa oleh beberapa jenis bakteri dengan adanya oksigen. Sebagai contoh, D-sorbitol dioksidasi oleh bakteri Acetobacter suboxydans sebagai berikut :

D-sorbitol + O2 → L-sorbosa + H2

L-sorbosa difermentasi lebih lanjut menjadi asam askorbat (West, 1966). O


(30)

2.3 Sorbosa

L-sorbosa adalah zat antara dalam produksi industri vitamin C dan L-sorbosa oleh enzim invertase yang dihasilkan oleh mikroba maka terjadi inversi D-sorbitol menjadi L-sorbosa yang merupakan prekursor di dalam biosintesis vitamin C. Sejak ditemukan reaksi inversi ini maka industri pembentukan L-sorbosa (prekursor dalam biosintesis vitamin C) berkembang pesat guna memenuhi bahan baku industri vitamin C. Produksi sorbosa ditunjukkan dengan menggunakan inhibisi substrat dan produk secara bersamaan. Angka oksidasi menurun secara drastis dengan penambahan konsentrasi awal sorbitol dalam bioreaktor batch (Giridhar, 2000).

2.4 Fermentasi Vitamin C

Metode untuk mendapatkan vitamin C secara sintesis dengan urutan langkah yang diperlukan dengan bantuan mikroba. Perkembangan vitamin C dianggap penting sekali. Isolasi kristalin asam askorbat pada tahun 1928 dilakukan oleh Szent-Gyorgyi yang dilanjutkan dengan identifikasi vitamin C oleh Waugh dan King serta Svirbely dan Szent-Gyorgyi pada tahun 1932.

Vitamin C pertama kali diperoleh secara sintetis. Berbagai jenis sintetis vitamin C diklasifikasikan menjadi empat metoda yang terpenting.

Metoda pertama dimana secara industri meliputi konversi D-glukosa menjadi asam askorbat atau vitamin C. Langkah dari metoda tersebut meliputi oksidasi mikrobiologi dari gugus hidroksil kedua 2,3,4,6-diisopropylidene derivative menjadi gugus karbonil L-ascorbic acid (Vitamin C). Konfigurasi lanjutan yang penting adalah L-sorbose, suatu senyawa gula yang jarang ditemukan. L-Sorbose dihasilkan dalam skala besar dari D-glucitol (sorbitol) dengan pertumbuhan Acetobacter suboxydans. Penggunaan 15% larutan sorbitol, dihasilkan L-sorbose sebesar 93% setelah difermentasi selama 24 jam dari waktu inokulasi yang ditemukan oleh Wells, Stubbs, Lockwood, dan Roe.


(31)

Sorbitol ditemukan secara umum dalam skala besar dengan cara hidrogenasi katalitik dari D-glukosa. Laporan pertama tentang oksidasi D-sorbitol menjadi L-sorbosa oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri yang ditemukan Bertrand pada tahun 1896. Bakteri tersebut diidentifikasi dengan bakteri Acetobacter xylinum.

D-glucose D-glucitol (D-sorbitol) L-sorbose

2,3,4,6-diisopropylidene derivative

2,3,4,6-diisopropylidene-2-keto-L-gulonic acid

L-ascorbic acid (Vitamin C)

Untuk menyelesaikan sintetis tersebut, L-sorbosa diubah menjadi derivat 2,3,4,6-diisopropilidena. Gugus hidroksil pertama derivat tersebut dioksidasi oleh ion permanganat dalam larutan alkali menghasilkan asam 2,3,4,6-diisopropilidena-2-keto-L-gulonat berdasarkan Reichstein dan Grussner. Asam 2-keto-2,3,4,6-diisopropilidena-2-keto-L-gulonat atau derivat diisopropilidena diubah menjadi asam L-askorbat dengan bermacam teknik untuk mendapatkan hasil sempurna (Robinson, 1976).

Pada tahun 1953 dibuat beberapa studi dimana proses fermentasi vitamin C dengan bantuan mikroorganisme hanya terjadi dalam 2 langkah. Hori dan Nakatani mengubah glukosa oleh Acetobacter suboxydans menjadi asam 5-keto-D-glukonat, yang selanjutnya oleh bantuan katalis enzim dirubah menjadi asam L-idonat. Fermentasi dengan Pseudomonas, Acetobacter, atau Aerobacter inversi senyawa akhir menjadi asam 2-keto-L-gulonat, yaitu suatu senyawa antara (intermediat) yang lazim dikenal menjadi asam L-askorbat (Hori, 1953).

Pada tahun 1990, Boudrant menyatakan bahwa dengan menggunakan metode Reichstein dan glukosa sebagai substrat, pembentukan asam askorbat dengan metode


(32)

fermentasi hanya berlangsung dengan 5 tahap reaksi sebagai berikut : reduksi glukosa menjadi sorbitol dengan menggunakan katalis nikel; oksidasi sorbitol menjadi L-sorbosa; hasil diaseton sorbosa atau 2,3:4,6-diisopropilidena-L-xylo-2-heksofuranosa setelah perlakuan dengan aseton dan asam sulfat; oksidasi 2,3,4,6-diisopropilidena-L-xylo-2-heksofuranosa menjadi asam 2-keto-L-gulonat dengan menggunakan katalis platinium; enolisasi dan laktonisasi internal asam 2-keto-gulonat menjadi asam L-askorbat.

Asam L-askorbat seperti jalur di bawah ini :


(33)

Pada zaman sekarang, ditemukan ada enam proses fermentasi bakteri untuk menghasilkan vitamin C. Semua proses tersebut memperlihatkan prekursor langsung dari asam L-askorbat, asam gulonat, dimana dinamakan asam 2-keto-L-idonat. Perbedaan keenam jalur ini ditandai dari senyawa intermediat yang terbentuk selama proses fermentasi.

Keenam jalur tersebut dapat dilihat sebagai berikut : 1.Jalur Sorbitol

2.Jalur asam L-idonat 3.Jalur asam L-gulonat

4.Jalur asam 2-keto-D-glukonat 5.Jalur asam 2,5-diketo-D-glukonat 6.Jalur asam 2-keto-L-gulonat


(34)

Diagram jalur biosintesis vitamin C oleh berbagai jenis mikroorganisme :

(Boudrant, 1990).

1. Jalur Sorbitol

Biosintesis ini dinyatakan pertama kali oleh Motizuki. Sorbitol ditransformasikan dengan cara fermentasi menjadi asam 2-keto-L-gulonat. Transformasi diperoleh dari beberapa genus Pseudomonas dan Acetobacter, tetapi jenis metabolisme ini belum dikenal secara umum.

Hasil transformasi dari sorbitol menjadi asam 2-keto-gulonat tidak melampaui 10%, walaupun hasil 70% dicatat dari Acetobacter cerenusote. Selain asam 2-keto-L-gulonat, produk lain juga terbentuk. Okazaki menyarankan jalur biosintesis sebagai berikut :


(35)

Sorbitol

L-sorbose

L-idose

L-idonic acid

2-keto-L-gulonic acid

2. Jalur asam L-idonat

Biosintesis menggunakan asam L-idonat sebagai zat antara adalah transformasi multistep. Metabolisme multistep dikenal adalah asam D-glukonat, asam 5-keto-D-glukonat, asam L-idonat, dan asam 2-keto-L-idonat.

Oksidasi pertama, transformasi D-glukosa menjadi asam D-glukonat, tidak dijelaskan secara terperinci.

3. Jalur asam L-gulonat

Jalur asam L-gulonat terdapat pada jalur L-idonat yang meliputi dua langkah (oksidasi asam D-glukonat dan reduksi asam 5-keto-D-glukonat). Tetapi reaksi ini berkembang menjadi asam L-gulonat, prekursor asam 2-keto-D-idonat. Oksidasi asam L-gulonat disampaikan oleh Kita. Menurut Kita, transformasi asam 5-keto-D-glukonat dapat dihasilkan dengan menggunakan Xanthomonas transluscens, dengan hasil 90% dan konsentrasi 100 g L-1, atau Xanthomonas trifolii (Erwinia lahyri).


(36)

4. Jalur asam 2-keto-D-glukonat Ada tiga langkah pada jalur ini : 1.Oksidasi asam D-glukonat

Kebanyakan akan mentransformasi D-glukosa menjadi asam D-glukonat dengan menggunakan jalur ini. Transformasi D-glukosa menjadi asam 2,5-diketo-gulonat yang diidentifikasikan oleh Katznelson dalam Acetobacter melanogenum

dan Pseudomonas albosesamae.

Dikenal bahwa Acetobacter suboxydans, untuk sintesis asam 5-keto-D-glukonat dari asam D-glukonat, dapat mensintesis asam 2-keto-D-glukonat.

Pada tahun 1982, Sonoyama menjelaskan kemampuan pertama kali Erwinia spp, untuk akumulasi asam D-glukonat dan asam 2-keto-D-glukonat.

2.Oksidasi asam 2-keto-D-glukonat

Oksidasi ini diselesaikan oleh Bacterium hoshigaki dan Bacterium glucunicum

dengan produk asam 2,5-D-diketo-D-glukonat. Juga dibiosintesis oleh

Acetobacter spp khususnya Acetobacter melanogenum. Ilustrasi biokonversi glukosa dengan asam D-glukonat dan asam 2-keto-D-glukonat sebagai zat antara. Proses transformasi langsung D-glukosa menjadi asam 2,5-diketo-D-glukonat menggunakan Acetobacter fragum atau Acetomonas albosesamae yang diumumkan secara luas.

3.Reduksi asam 2,5-diketo-D-glukonat

Pada tahun 1975, Sonoyama menjelaskan proses yang menghasilkan asam 2-keto-D-gulonat dari asam 2,5-diketo-D-glukonat, dapat dilakukan oleh genus

Brevibacterium, Arthrobacter, Micrococcus, Staphylococcus, Pseudomonas, dan

Bacillus. Dengan Brevibacterium ketosporum, hasilnya mencapai 15% ketika konsentrasi substrat 50 g L-1. Dengan mikroorganisme lain, hasilnya tidak lebih dari 1%. Penggunaan Corynebacterium sejak tahun 1976, pertama kali


(37)

menghasilkan hasil produk asam 2-keto-L-gulonat sekitar 10%. Pada masa kini, diperoleh hasil mendekati 80%. Proses lain juga dijelaskan dengan menggunakan

Citrobacter. Dapat dikatalisis hanya dengan transformasi asam 2,5-diketo-D-gulonat, dan permulaan digunakan Acetobacter cerenus. Dengan beberapa mikroorganisme, hasilnya sekitar 30%, dengan konsentrasi substrat 100 g L-1.

5.Jalur asam 2.5-diketo-D-glukonat

Proses produksi asam 2,5-diketo-D-glukonat pada langkah utama. Genus

Erwinia dijelaskan pada transformasi ini. Dijelaskan bahwa konsentrasi glukosa 200 g L-1

Proses fermentasi dengan menggunakan Acetobacter cerenus memberikan hasil sekitar 90%.

dan waktu fermentasi 20 jam yang memberikan hasil sekitar 75%.

6.Jalur asam 2-keto-L-gulonat

Jalur ini rupanya terjadi secara langsung, dan menghasilkan asam 2-keto-L-gulonat, prekursor langsung asam L-askorbat dari glukosa. Jalur ini kemungkinan terjadi dengan pengembangan yang baru.

Beberapa diantaranya :

1.Kultur tingkat kedua atau campuran 2.Seleksi mutan

3.Isolasi reduksi asam 2,5-diketo-D-glukonat pada Corynebacterium

4.Transfer gen reduksi asam 2,5-diketo-D-glukonat pada Corynebacterium dan

Erwinia (Boudrant, 1990).

Hancock menyatakan bahwa dengan menggunakan Saccharomyces cerevisiae

dan substrat L-galaktosa, L-galaktono-1,4-lakton dan L-gulono-1,4-lakton akan dihasilkan asam askorbat sedangkan bila menggunakan substrat glukosa, D-galaktosa atau D-manosa akan dihasilkan asam D-erithroaskorbat (Hancock, 2000).


(38)

Running menyatakan bahwa fermentasi aerobik dan pemilihan strain yang tepat akan dihasilkan asam askorbat ekstraseluler sebesar 76 mg/L. Dengan mutagen klasik dan metoda seleksi, kami menciptakan mutan Prototheca moriformis ATCC 75669 yang menghasilkan kuantitas asam askorbat terbesar daripada strain tipe alamiah (78,4 vs 21,9 mg AA/g sel) (Running, 2002).

Rewatkar menyatakan bahwa dengan menggunakan 5 gram sorbitol; 0,5 gram ekstrak yeast dan 2 gram agar yang dilarutkan dalam 100 mL H2

Salah satu aspek yang penting dari proses-proses fermentasi adalah cara pemanenan dan memurnikan hasil produk fermentasi atau bioproduk. Proses ini dikenal dengan proses hilir (Kroner, 1984).

O setelah difermentasi selama 7 hari oleh Acetobacter suboxydans akan diperoleh sebanyak 4,997 mg/L (6,2213%) asam askorbat. Dengan cara yang sama tetapi menggunakan bakteri

Pseudomonas aeruginosa akan dihasilkan 3,217 mg/L (4,0213%). Sedangkan bila digunakan Saccharomyces cerevisiae akan dihasilkan 1,882 mg/L (2,3525%) asam askorbat (Rewatkar, 2010).


(39)

2.5 Kinetika Pertumbuhan Mikroba

Mikroba dapat tumbuh lebih baik pada media yang memenuhi persyaratan untuk pertumbuhannya. Apabila suatu sel mikroba (misalnya bakteri) ditumbuhkan pada suatu medium yang memenuhi syarat untuk tumbuh, maka mikroba tersebut akan mengadakan multiplikasi secara aseksual dengan pembelahan sel menjadi dua sel vegetatif yang serupa dan selanjutnya proses tersebut berlangsung terus-menerus selama nutrisi, energi, dan persyaratan lingkungan lain masih memenuhi syarat tumbuh.

Waktu antara yang ditentukan sel untuk membelah disebut waktu generasi(g). Waktu generasi masing-masing pembelahan sel berbeda-beda tergantung dari spesies dan kondisi lingkungan. Namun demikian, sebagian besar bakteri mempunyai waktu generasi antara 10-60 menit.

Kurva pertumbuhan mikroba dalam kultur :


(40)

1. Fase Adaptasi

Jika mikroba ditumbuhkan pada suatu media, pada awalnya akan mengalami fase adaptasi (fase lag), yaitu fase untuk menyesuaikan dengan substrat dan kondisi lingkungan sekitarnya. Pada fase ini belum terjadi pembelahan sel karena beberapa enzim mungkin belum disintesis. Jumlah sel pada fase ini mungkin tetap, tetapi kadang-kadang menurun. Lamanya fase adaptasi setiap jenis mikroba sangat bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain media dan lingkungan pertumbuhan serta jumlah inokulum.

a. Media dan lingkungan pertumbuhan

Mikroba yang ditumbuhkan pada media dan lingkungan pertumbuhan yang berbeda dengan media dan lingkungan pertumbuhan sebelumnya akan melakukan adaptasi selama beberapa waktu. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa selama adaptasi ini mikroba juga mensintesis enzim-enzim yang dibutuhkan dalam metabolisme. Kecuali jika media dan lingkungannya sama seperti media dan lingkungan sebelumnya, mungkin tidak diperlukan waktu adaptasi. Kalaupun memerlukan waktu, ini tidak akan berlangsung lama melainkan sangat singkat.

b. Jumlah inokulum

Jumlah sel (mikroba) awal yang semakin tinggi akan memperlambat waktu fase adaptasi.

2. Fase Pertumbuhan Awal

Setelah penyesuaian diri, maka sel mikroba mulai membelah dengan kecepatan rendah.


(41)

Pada fase ini pertumbuhan mencapai kecepatan maksimum. Selama fase pertumbuhan logaritmik, tumbuh sel-sel muda yang mendominasi sebagian besar fase ini, dimana pertambahan jumlah sel-sel muda ini mengikuti kurva logaritmik. Kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh media (sering kali disebut medium) tempat tumbuhnya, seperti pH dan kandungan nutrisi, juga kondisi lingkungan termasuk suhu dan kelembaban udara relatif. Pada fase ini sel membutuhkan energi lebih banyak dibandingkan fase lainnya, tetapi pada fase ini justru sel-selnya sangat sensitif terhadap keadaan lingkungan.

4. Fase Pertumbuhan Lambat

Pada fase ini pertumbuhan populasi mikroba diperlambat, karena nutrisi di dalam media mulai berkurang dan adanya hasil-hasil metabolisme yang barangkali beracun atau dapat menghambat pertumbuhan mikroba itu sendiri. Pada fase ini pertumbuhan sel tidak stabil, tetapi populasi mikroba tetap naik karena jumlah sel yang tumbuh masih lebih banyak daripada sel yang mati.

5. Fase Pertumbuhan Tetap (Statis)

Pada fase ini jumlah sel yang mati seimbang dengan sel yang tumbuh. Hal ini disebabkan komposisi media tidak memenuhi syarat pertumbuhan dan kemungkinan adanya racun yang diproduksi oleh mikroba itu sendiri. Ukuran sel pada fase ini menjadi lebih kecil karena sel tetap membelah meskipun kekurangan nutrisi.

6. Fase Menuju Kematian dan Fase Kematian

Pada fase ini sebagian populasi mikroba mulai mengalami kematian yang disebabkan karena tiadanya nutrisi di dalam media dan habisnya energi cadangan di dalam sel. Jumlah sel yang mati kian banyak sesuai dengan


(42)

umurnya. Kecepatan kematian ini dipengaruhi oleh kondisi nutrisi, lingkungan, dan jenis mikroba (Nurwantoro, 1997).

Setiap bahan pangan (biasa disebut pangan) selalu mengandung mikroba yang jumlah dan jenisnya berbeda. Beberapa jenis mikroba yang banyak terdapat dalam bahan pangan adalah bakteri, kapang, dan khamir.Pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : faktor fisika, kimia dan biologis.

Faktor-faktor tersebut meliputi:

1. Faktor intrinsik, merupakan sifat-sifat fisika, kimia, dan struktur yang dimiliki oleh bahan pangan itu sendiri. Faktor intrinsik dalam bahan pangan berupa kandungan nutrisi, pH pangan, aktivitas air(aw) pangan, potensial reduksi oksidasi, senyawa antimikroba alamiah dalam pangan, dan struktur biologi;

2. Faktor ekstrinsik, yaitu kondisi lingkungan pada penanganan dan penyimpanan bahan pangan, seperti suhu kelembaban, susunan gas di atmosfer. Faktor-faktor ekstrinsik yang berpengaruh terhadap kehidupan mikroba, antara lain suhu, kelembaban, dan susunan gas di atmosfer;

3. Faktor implisit, yang merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh mikroba itu sendiri. Faktor ini sangat dipengaruhi oleh susunan biotik mikroba dalam bahan pangan. Faktor-faktor implisit yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba adalah sinergisme dan antagonisme;

4. Faktor pengolahan, karena perubahan mikroba awal sebagai akibat pengolahan bahan pangan (misalnya pemanasan, pendinginan, irradiasi, penambahan bahan pengawet). Mikroba spesifik yang terdapat di dalam bahan-bahan pangan dapat dikurangi jumlahnya oleh berbagai jenis metode pengolahan atau pengawetan pangan. Jenis-jenis pengolahan/pengawetan pangan yang berpengaruh terhadap kehidupan mikroba antara lain suhu tinggi, suhu rendah, penambahan bahan pengawet, dan irradiasi (pengaruh berbagai metoda pengolahan/pengawetan pangan terhadap kehidupan mikroba) (Sudarmadji, 1989).


(43)

2.6 Kinetika Pembentukan Produk

Sangat jarang dijumpai bioproses yang menghasilkan produk tunggal. Setiap pertumbuhan mikroba selalu diikuti dengan pembentukan produksi satu atau beberapa metabolit maka reaksi secara keseluruhan selalu stoikiometri serta mengikuti hukum kekekalan massa. Selain pemantauan biomassa secara serentak juga dilakukan pengukuran produk metabolit serta berkurangnya substrat persatuan waktu. Hubungan ini umumnya disajikan dalam bentuk kurva. Hubungan kinetika pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit tergantung pada peranan produk di dalam metabolisme sel.

Ada tiga pola yang dikenal dalam hubungan tersebut

a.Pola pertumbuhan yang berasosiasi dengan pembentukan produk

Pada umumnya dijumpai pada proses yang produknya merupakan hasil langsung pada suatu jalur katabolik, misalnya pada fermentasi gula menjadi etanol

b.Pola pembentukan produk yang tidak berasosiasi dengan pertumbuhan

Pada pembentukan produk yang tidak berasosiasi dengan pertumbuhan umumnya terjadi pada fermentasi yang menghasilkan metabolit sekunder misalnya pada fermentasi antibiotik dimana pembentukan produk terjadi pada akhir fermentasi

c.Pola campuran pertumbuhan berasosiasi dan tak berasosiasi

Pada beberapa fermentasi pertumbuhan dan pembentukan produk mempunyai hubungan sebagian misalnya pada fermentasi asam laktat, pululan dan xanthan. Pola ini disebut campuran pertumbuhan berasosiasi dan tak berasosiasi, dan laju pembentukan produk berbanding lurus baik dengan konsentrasi sel maupun laju pertumbuhan. Model ini dikemukakan oleh Leudeking dan Piret (1959) sehingga disebut dengan model kinetika Leudeking Piret (Bailey, 1986).


(44)

Bioreaktor adalah suatu unit alat yang digunakan untuk tempat berlangsungnya suatu proses biokimia dari bahan mentah menjadi bahan jadi atau zat tertentu yang dikehendaki, dikatalisis oleh suatu enzim yang terdapat pada mikroorganisme hidup atau enzim-enzim terisolasi. Suatu bioreaktor harus dapat memberikan kondisi optimum kepada mikroba penghasil enzim ataupun enzim terisolasi agar produksi bahan yang dikehendaki memperoleh hasil maksimum. Untuk itu umumnya suatu bioreaktor memerlukan pengatur-pengatur suhu, pH dan oksigen terlarut. Di samping itu diperlukan bahan baku, bahan nutrisi yang cukup dan serasi dengan sifat enzimnya (Muljono, 1992).

Reaktor biokimia atau bioreaktor diklasifikasikan menjadi dua kategori utama : 1) Fermenter mikrobial

2) Reaktor enzim (Rao,2005).

Dalam kegiatan bioproses terdapat 2 komponen penting yaitu biokatalis enzim atau sel hayati penghasil enzim dan kondisi lingkungan. Kedua komponen tersebut sangat penting dan berguna agar katalis dapat bekerja secara optimal. Lingkungan optimal ini dapat dicapai dengan menempatkan biokatalis dalam wahana yang disebut bioreaktor atau biofermentor.

Oleh karena itu bioreaktor dan seluruh sistem dalam bioreaktor harus dirancang sebaik mungkin agar proses yang dilakukan oleh biokatalis dapat berlangsung seoptimal mungkin. Selama proses suasana reaksi harus dapat dipantau dan dikendalikan.

Bioreaktor harus memberikan lingkungan fisik sehingga biokatalis dapat melakukan interaksi dengan lingkungan dan bahan nutrisi yang dimasukkan ke dalamnya. Dalam praktek dikenal 2 sistem bioreaktor yakni bioreaktor monoseptik misalnya dalam pembuatan ragi roti (yeast) dimana pembuang limbah (sisa fermentasi) dari dalam bioreaktor dapat dilakukan tanpa sterilisasi tapi cukup dicuci saja.

Bioreaktor aseptis misalnya dalam pembuatan antibiotik asam-asam amino, protein sel tunggal (PST) dimana setelah pembuang limbah alat harus disterilisasi pada


(45)

autoklaf. Optimasi pertumbuhan biokatalis dan pembentukan produk dalam bioreaktor harus memperhatikan faktor-faktor berikut ini

1.PH 2.Suhu

3.Media/Sumber Energi 4.Inhibitor

5.Inokulum yang baik

6.Kondisi fisiko kimiawi yang baik yang optimal

Bioreaktor sebagai wahana proses memegang peran penting dalam industri yang mendayagunakan reaksi-reaksi biokimia yang dilakukan oleh sel (mikroba, tanaman atau hewan) sebagai penghasil enzim (Aiba, 1973). Alat atau perlengkapan yang memberi kondisi untuk berlangsungnya bioreaksi dinamakan pula fermentor. Alat ini dapat dibuat dalam berbagai tipe. Menurut Denbigh dan Turner, jenis fermentor dapat digolongkan dalam tipe berikut :

1.Fermentor Batch (FB)

2.Fermentor Teraduk Kontinu (FTK) 3.Fermentor Tubular (FT)

4.Fermentor Bed Cair (FBC)

Perkembangan terciptanya tipe-tipe tersebut sebagian besar dipengaruhi sifat-sifat dasar mikroorganisme yang sangat bervariasi. Salah satu sifat-sifat mikroorganisme yang menguntungkan adalah pada umumnya kadar airnya cukup tinggi sekitar

60-95% sehingga kerapatannya hanya berbeda sedikit dari air. Jadi untuk menjaga suspensi bakteri hanya diperlukan gerakan hidrodinamik yang kecil, antara lain dapat dilakukan dengan menggerakkan perlahan-lahan cairan sekitarnya dengan alat pengaduk atau mekanik mengalirkan udara melalui media atau mengoncangnya.

Fermentor tipe batch (FB) adalah jenis yang asli yang mempunyai kelemahan terutama dalam kecepatan produksi. Kondisi bahan maupun mikroorganisme dalam fermentor batch secara menyeluruh mengalami perubahan seiring dengan waktu


(46)

sampai pada tingkat tertentu saat pemanenan harus dilakukan untuk proses lebih lanjut, seperti pemurnian dan lain sebagainya.

Pada fermentor teraduk kontinu terdiri dari deretan bejana silindrik yang dilengkapi masing-masing dengan alat pengaduk. Pemasukan bahan diberikan ke dalam bejana secara periodik. Bahan terfermentasi sebagian dipindahkan ke bejana selanjutnya dalam periode yang sama dalam pemberian pertama. Setelah melalui bejana, bahan terfermentasi dipanen untuk diproses lebih lanjut. Fermentor demikian mudah mengontrol pH dan suhunya.

Fermentor tubular terdri dari suatu tabung yang biasanya agak memanjang untuk menjamin berlangsungnya fermentasi secukupnya selama proses dalam tabung untuk dipanen pada terminal terakhir. Fermentor demikian umumnya lebih sulit untuk dilengkapi dengan sarana kontrol kondisi dan penyiapan alatnya sedemikian rupa sehingga menjamin homogenitas untuk seluruh ruangan dan mengurangi pengaruh perubahan fisik terhadap waktu proses (Muljono, 1992).

Sistem bioreaktor bagi pertumbuhan mikroorganisme dapat diklasifikasikan sebagai sistem tertutup atau terbuka. Suatu sistem dipandang tertutup bila bagian esensial sistem tersebut tidak dapat memasuki atau meninggalkan sistem tersebut. Jadi, dalam sistem batch tradisional atau sistem fermentasi tertutup, semua komponen nutrien ditambahkan pada awal proses fermentasi dan sebagai hasilnya, laju pertumbuhan organisme yang ada di dalamnya akhirnya akan berkurang hingga mencapai jumlah nol karena penurunan jumlah nutrien atau pemupukan limbah yang beracun.

Karena alasan inilah, metabolisme organisme dalam proses batch tertutup selalu berada dalam keadaan berubah-ubah. Akan tetapi, sebagian besar sistem bioteknologi yang mutakhir akan bekerja sebagai proses batch dengan kondisi yang dibuat optimal untuk menghasilkan pembentukan maksimal produk yang dikehendaki, misalnya dalam proses pembuatan bir, antibiotik dan enzim.


(47)

Ukuran bioreaktor produksi dalam industri berkisar antara 10.000 hingga 20.000 liter walaupun sebuah bioreaktor raksasa yang berukuran 4 juta liter baru-baru ini diizinkan pembangunannya. Bioreaktor yang berukuran kecil terutama digunakan untuk menghasilkan produk dengan volume rendah dan harga tinggi, seperti enzim serta zat-zat kimia tertentu, sementara bioreaktor yang berukuran besar digunakan secara luas untuk menghasilkan antibiotik, asam-asam organik, dan lain-lain.

Modifikasi pada proses batch tersebut adalah sistem fed-batch dan dalam sistem ini dapat ditambahkan sejumlah nutrien selama proses fermentasi untuk mengatasi deplesi nutrien, atau ditambahkan sejumlah senyawa yang baru sebagai aktivator selektif, misalnya dalam proses membuat ragi untuk industri pembuatan roti. Namun demikian, sistem tersebut tetap tertutup karena tidak ada aliran keluar yang kontinu.

Berbeda dengan sistem di atas, suatu sistem fermentasi dianggap terbuka bila semua komponen pada sistem tersebut (seperti organisme dan nutrien) dapat terus-menerus memasuki dan meninggalkan bioreaktor. Jadi, sistem bioreaktor terbuka atau aliran kontinu mempunyai masukan media nutrien yang baru dan keluaran biomassa serta produk lainnya secara kontinu (Smith, 1995).

Dari penelitian yang dilakukan, digunakan alat pengaduk pada proses fermentasi untuk memutuskan proses terbentuknya asam asetat dengan bantuan bakteri

Acetobacter xylinum sehingga diperoleh hasil vitamin C. Peneliti juga mengatur pH 4-4,5 pada suhu kamar dengan menjaga kondisi optimal bakteri dalam proses biosintesis vitamin C.

2.8 Acetobacter Xylinum

Acetobacter mempunyai sel-sel yang terbentuk elips atau tongkat yang melengkung.

Acetobacter merupakan bakteri aerob, yang memerlukan respirasi dalam metabolisme.

Acetobacter dapat mengoksidasi etanol menjadi asam asetat, juga dapat mengoksidasi asetat dan laktat menjadi CO2 dan H2O. Berbagai spesies Acetobacter dapat ditemukan


(48)

pada buah-buahan dan sayur-sayuran. Bakteri inilah yang menyebabkan pengasaman jus buah-buahan dan minuman beralkohol (bir dan anggur) (Banwart,1981).

Spesies Acetobacter yang telah dikenal antara lain : A.aceti, A.orleanensis,

A.liquefasiensis, dan A.xylinum. Meskipun ciri-ciri yang dimiliki hampir sama dengan spesies lainnya. A.xylinum dapat dibedakan dengan spesies yang lainnya karena sifatnya yang unik.

Bila A.xylinum ditumbuhkan pada medium yang mengandung gula, bakteri itu dapat memecah komponen gula dan mampu membentuk suatu polisakarida yang dikenal dengan selulosa ekstraseluler. Selain itu mempunyai aktivitas oksidasi lanjutan atau “over oxydizer” yaitu mampu mengoksidasi lebih lanjut asam asetat menjadi CO2 dan H2

Sifat inilah yang umumnya mempunyai sifat “under oxydizer” yaitu hanya mengubah alkohol menjadi asam asetat. Dalam medium cair Acetobacter xylinum

mampu membentuk suatu lapisan yang dapat mencapai ketebalan beberapa sentimeter. Bakteri terperangkap dalam massa benang-benang yang dibuatnya. Untuk menghasilkan massa yang kokoh, kenyal, tebal, putih dan tembus pandang perlu diperhatikan suhu fermentasi (inkubasi), komposisi medium dan pH medium.

O.

Menurut Warisno, biakan murni Acetobacter xylinum digunakan sebagai starter yang bisa mensintesa air kelapa hingga menjadi nata de coco. Biakan murni ini bisa diperbanyak menjadi bibit atau starter. Bibit atau starter berisi mikroba dengan jumlah dan kondisi fisiologis yang siap diinokulasi ke dalam media fermentasi (Daulay,2003).


(49)

Berdasarkan metabolisme di atas, terjadi reaksi enzimatis dimana substrat glukosa dapat diubah menjadi D-sorbitol melalui proses hidrogenasi dengan pengaturan tekanan pada 80-125 atm, suhu 140°C - 150°C dan penggunaan katalis Ni. Selanjutnya D-sorbitol diubah menjadi L-asam askorbat dengan bantuan enzim yang dihasilkan oleh bakteri. Adapun enzim-enzim yang dihasilkan oleh bakteri dalam proses biosintesis vitamin C sebagai berikut :

1. Enzim D-sorbitol dehydrogenase pada proses perubahan D-sorbitol menjadi L-sorbose


(50)

2. Enzim sorbose dehydrogenase pada proses perubahan sorbose menjadi L-sorbosone

3. Enzim L-sorbosone dehydrogenase pada proses perubahan L-sorbosone menjadi 2-keto-L-gulonic acid

Selanjutnya melalui proses esterifikasi/laktonisasi, 2-keto-L-gulonic acid dapat diubah menjadi L-asam askorbat (Hancock, 2002).

2.10 Metoda Hitungan Cawan

Metoda hitungan cawan didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi suatu koloni. Jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks jumlah mikroba yang hidup terkandung dalam sampel. Hal yang perlu dikuasai dalam hal ini adalah teknik pengenceran. Setelah inkubasi, jumlah koloni masing-masing cawan diamati. Untuk memenuhi persyaratan statistik, cawan yang dipilih untuk dihitung mengandung 30-300 koloni. Untuk memenuhi persyaratan tersebut harus melakukan sederetan pengenceran dan pencawanan. Jumlah mikroba dalam sampel ditentukan dengan mengalikan jumlah koloni dengan faktor pengenceran pada cawan yang bersangkutan.

Prinsip dari metoda hitungan cawan adalah bila sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan pada medium, maka mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung, dan kemudian dihitung tanpa menggunakan mikroskop. Metoda ini merupakan cara yang paling sensitif untuk menentukan jumlah jasad renik, dengan alasan :

- Hanya sel mikroba yang hidup yang dapat dihitung - Beberapa jasad renik dapat dihitung sekaligus

- Dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi mikroba, karena koloni yang terbentuk mungkin berasal dari mikroba yang mempunyai penampakan spesifik Selain keuntungan-keuntungan tersebut di atas, metoda hitungan cawan juga memiliki kelemahan sebagai berikut :


(51)

- Hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel yang sebenarnya, karena beberapa sel yang berdekatan mungkin membentuk koloni

- Medium dan kondisi inkubasi yang berbeda mungkin menghasilkan jumlah yang berbeda pula

- Mikroba yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada medium padat dan membentuk koloni yang kompak, jelas, tidak menyebar

- Memerlukan persiapan dan waktu inkubasi relatif lama sehingga pertumbuhan koloni dapat dihitung

Dalam metoda hitungan cawan, bahan yang diperkirakan mengandung lebih dari 300 sel mikroba per ml atau per gram atau per cm (jika pengambilan sampel dilakukan pada permukaan), memerlukan perlakuan pengenceran sebelumnya ditumbuhkan pada medium agar di dalam cawan petri. Setelah inkubasi, akan terbentuk koloni pada cawan tersebut dalam jumlah yang dapat dihitung, di mana jumlah yang terbaik adalah di antara 30 sampai 300 koloni. Pengenceran biasanya dilakukan secara desimal, yaitu 1:10, 1:100, 1:1000, dan seterusnya. Larutan yang digunakan untuk pengenceran dapat berupa larutan buffer fosfat, 0,85% NaCl atau larutan Ringer. Metoda hitungan cawan dibedakan atas dua cara, yakni metoda tuang (pour plate) dan metoda permukaan (surface/spread plate) (Waluyo,L.,2010).

2.11 Metoda Analisa Vitamin C

Metoda analisa vitamin C dalam bahan pangan dapat dikelompakkan menjadi beberapa metoda.

1. Metoda fisika

a. Metoda spektroskopi

Metoda ini berdasarkan pada kemampuan vitamin C yang terlarut dalam air untuk menyerap sinar ultraviolet, dengan panjang gelombang maksimum 265 nm. Karena vitamin C dalam larutan mudah sekali mengalami kerusakan, maka pengukuran


(52)

dengan cara ini harus dilakukan secepat mungkin. Untuk memperbaiki hasil pengukuran, sebaiknya ditambahkan senyawa pereduksi yang lebih kuat dari vitamin C. Hasil terbaik diperoleh dengan menambahkan sejumlah ekuimolar (kira-kira) larutan KCN (sebagai stabilizer) ke dalam larutan vitamin.

b. Metoda polarografik

Metoda ini berdasarkan pada potensial oksidasi asam askorbat dalam larutan asam atau bahan pangan yang bersifat asam, misalnya ekstrak buah-buahan dan sayuran.

2. Metoda Kimia

Metoda kimia merupakan cara pengukuran vitamin C paling banyak macamnya dan paling sering digunakan. Sebagian besar metode kimia didasarkan pada kemampuan vitamin C karena senyawa dehidro asam askorbat (memiliki aktivitas vitamin C sebesar 80%) tidak bersifat pereduksi, maka untuk mengukur vitamin C dalam bahan pangan terlebih dahulu harus dilakukan perlakuan pendahuluan menggunakan senyawa pereduksi seperti H2S untuk mengubah dehidro asam askorbat menjadi asam askorbat. Di samping itu, terdapat sejumlah vitamin C yang terikat dengan komponen protein dan bersifat non pereduksi. Bentuk terikat ini harus dibebaskan lebih dahulu dalam penentuan kandungan vitamin C dalam suatu bahan.

3. Metoda Biokimia (Metoda asam askorbat oksidase)

Metoda ini berdasarkan kemampuan enzim asam askorbat oksidase untuk mengoksidasi asam askorbat. Reaksi oksidasi ini ternyata tidak bersifat spesifik untuk menghasilkan hasil yang memuaskan karena enzim tersebut dapat juga mengoksidasi komponen-komponen organik lain yang terdapat dalam ekstrak jaringan hewan, terutama senyawa organik yang dapat mereduksi biru metilen (methyken blue). Lebih lanjut dibuktikan bahwa enzim asam askorbat yang diisolasi dari labu tidak bereaksi dengan vitamin C dalam urine manusia, cairan sumsum tulang belakang dan susu sapi.


(53)

4. Metoda Biologi

Walaupun banyak diganti dengan metoda fisika dan kimia untuk menentukan vitamin C, metoda biologi tetap merupakan metoda penentuan vitamin C yang paling realistis dan paling mendekati kebenaran

5. Larutan 2,6-diklorofenol indofenol dalam suasana netral atau basis akan berwarna biru sedang dalam suasana asam akan berwarna merah muda. Apabila 2,6-diklorofenol indofenol direduksi oleh asam askorbat maka akan menjadi tidak berwarna, dan bila semua asam askorbat sudah mereduksi 2,6-diklorofenol indofenol maka kelebihan larutan 2,6-diklorofenol indofenol sedikit saja sudah akan terlihat dengan terjadinya pewarnaan. Untuk perhitungan maka perlu dilakukan standarisasi larutan dengan vitamin C standar (Sudarmadji, 1989).

Dalam metoda biologi untuk mengukur vitamin C, hewan percobaan yang digunakan hanya marmot (guinea pigs). Jika mereka diberi ransum tanpa vitamin C, dalam waktu 2-3 minggu akan menderita Scurvy.

Terdapat 3 cara pengukuran biologis dengan menggunakan guinea pigs yaitu: a. Metoda preventif, untuk mengukur jumlah terkecil vitamin C yang dapat mencegah timbulnya tanda-tanda Scurvy secara makro, misalnya penurunan berat badan.

b. Metoda kuratif, untuk mengukur jumlah vitamin C terkecil untuk menyembuh guinea pigs yang menderita Scurvy

c. Metoda histology, memeriksa gigi guinea pigs, lapisan odontoblas tidak teratur, terjadi pengapuran predentive dan terbentuk lapisan tulang yang tidak beraturan di antara odontoblast dan predentive


(54)

2.12 Penentuan Vitamin C secara Metoda Spektroskopi Ultraviolet-Sinar Tampak

Prinsip spektroskopi didasarkan adanya interaksi dari energi radiasi elektromagnetik dengan zat kimia. Dengan mengetahui interaksi yang terjadi, dikembangkan teknik-teknik analisis kimia yang memanfaatkan sifat-sifat dari interaksi tersebut. Hasil interaksi tersebut bisa menimbulkan satu atau lebih peristiwa seperti : pemanasan, pembiasan, interferensi, difraksi, penyerapan (absorpsi), fluoresensi, fosforiensi dan ionisasi. Dalam analisis kimia, peristiwa absorpsi merupakan dasar dari cara spektroskopi karena proses absorpsi tersebut bersifat unik/spesifik untuk setiap zat kimia atau segolongan zat kimia (aplikasi kualitatif). Di samping itu adalah kenyataan bahwa banyaknya absorpsi berbanding lurus dengan banyaknya zat kimia (aplikasi kuantitatif) (Sudarmadji, 1989).

Radiasi ultraviolet dan sinar tampak diabsorpsi oleh molekul organik aromatik, molekul yang mengandung elektron-π terkonjugasi dan/atau atom yang mengandung elektron-n, menyebabkan transisi elektron di orbit terluarnya dari tingkat energi elektron dasar ke tingkat energi elektron tereksitasi lebih tinggi. Besarnya absorban radiasi tersebut sebanding dengan banyaknya molekul analit yang mengabsorpsi dan dapat digunakan untuk analisa kuantitatif. Frekuensi radiasi ultraviolet dan sinar tampak, terletak antara 1,5x108 Hz sampai 4,28x107 Hz, dengan panjang gelombang antara 200 nm sampai 700 nm, serta energi yang besarnya antara 9,939x10-26 joule sampai 2,836x10-26

aromatik, molekul yang mengandung elektron-π terkonjugasi dan/atau molekul heterosiklik mengandung atom dengan elektron-n, untuk meningkatkan elektron dalam orbit molekul terluarnya ke tingkat tereksitasi. Kegunaan spektrofotometri ultraviolet dan sinar tampak dalam analisis kualitatif sangat terbatas, karena rentang daerah radiasi yang relatif sempit (500 nm) hanya dapat mengakomodasi sedikit sekali puncak absorpsi maksimum dan minimum, karena itu identifikasi senyawa yang tidak diketahui, tidak memungkinkan.


(55)

Penggunaan utama spektroskopi ultraviolet-sinar tampak adalah dalam analisis kuantitatif. Apabila dalam alur radiasi spektrofotometer terdapat senyawa yang mengabsorpsi radiasi, akan terjadi pengurangan kekuatan radiasi yang mencapai detektor. Parameter kekuatan energi radiasi khas yang diabsorpsi oleh molekul adalah absorban (A) yang dalam batas konsentrasi rendah nilainya sebanding dengan banyaknya molekul yang mengabsorpsi radiasi dan merupakan dasar analisis kuantitatif. Kurva absorpsi di daerah ultraviolet pada umumnya lebih sempit daripada kurva absorpsi di daerah sinar tampak. Penentuan kadar dilakukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang absorban maksimum (puncak kurva), agar dapat memberikan absorban tertinggi untuk setiap konsentrasi. Bila suatu senyawa mempunyai lebih dari satu puncak absorpsi maksimum, lebih diutamakan panjang gelombang absorpsi maksimum yang absorptivitasnya terbesar dan memberikan kurva kalibrasi linier dalam rentang konsentrasi yang relatif lebar. Pada penentuan analit yang terdapat dalam suatu matriks diperlukan pengukuran dari blanko matriks untuk meralat kesalahan yang disebabkan oleh matriks. Bila komponen matriks untuk blanko tidak dapat diperoleh, standar dua sampai lima kali yang ditambahkan dengan konsentrasi yang meningkat secara teratur (Satiadarma, 2004).

Suatu spektrum ultra ungu diperoleh secara langsung dari suatu alat yang secara sederhana memetakan panjang gelombang dari suatu serapan terhadap intensitas serapan (absorbans atau transmitans). Datanya seringkali diubah menjadi suatu grafik dari panjang gelombang terhadap serapan molar (εmaks atau log εmaks

T = I/I

). Intensitas dari serapan dapat dinyatakan sebagai transmitans (T) didefinisikan sebagai :

dimana I

o

o adalah intensitas dari energi pancaran yang mengenai cuplikan, dan I adalah intensitas pancaran yang keluar dari cuplikan. Rumusan yang tepat dari intensitas serapan adalah yang diturunkan dari hukum Lambert-Beer yang memantapkan hubungan antara transmitans dengan tebalnya cuplikan, dan konsentrasi dari bahan yang menyerap. Hubungan ini dinyatakan sebagai berikut :


(56)

log 10 (Io dimana :

/I) = kcb = A

k = suatu tetapan khas dari bahan larutan c = konsentrasi dari larutan

b = panjang jalur

A = absorbans (kerapatan optik. serapan)

Bila c dinyatakan dalam mol per liter, dan panjang jalur (b) dinyatakan dalam sentimeter, persamaan menjadi :

A = εcb

Istilah ε diketahui sebagai absorptivitas molar, dahulu dikenal sebagai koefisien ekstingsi molar (molar extinction coefficient). Di dalam konsentrasi (c) dari larutan yang didefinisikan sebagai g/liter, persamaan menjadi :

A = abc

dimana a adalah absortifitas (absorptivity), jadi berhubungan dengan absorptifitas molar melalui

ε = aM

dimana M adalah berat molekul dari larutan (Silverstein, 1986).

2.13 Penentuan Vitamin C secara Metoda Polarimeter

Satu properti cahaya yang penting dan berguna adalah kenyataan bahwa ia bisa dipolarisasi. Untuk memahami apa maksudnya, mari kita meneliti gelombang yang berjalan pada tali. Tali dapat digetarkan pada bidang vertikal atau pada bidang horizontal. Pada kedua kasus, gelombang dikatakan terpolarisasi bidang yaitu osilasi terjadi pada bidang. Jika sekarang kita letakkan penghalang berupa celah vertikal pada lintasan gelombang. Gelombang terpolarisasi vertikal akan lewat, tetapi yang terpolarisasi horizontal tidak. Jika digunakan celah horizontal, gelombang terpolarisasi vertikal akan terhenti. Jika kedua jenis celah digunakan, kedua jenis gelombang akan terhenti. Perhatikan bahwa polarisasi hanya dapat terjadi untuk gelombang transversal,


(57)

dan tidak untuk gelombang longitudinal seperti bunyi. Bunyi bergetar hanya sepanjang arah gerak, dan baik orientasi maupun celah tidak akan menghentikannya. Teori Maxwell mengenai cahaya sebagai gelombang elektromagnetik (EM) meramalkan bahwa cahaya dapat terpolarisasi karena gelombang EM merupakan gelombang transversal. Arah polarisasi pada gelombang EM yang terpolarisasi bidang diambil sebagai arah vektor medan listrik. Cahaya tidak harus terpolarisasi. Ia dapat tidak terpolarisasi, yang berarti bahwa sumber memiliki getaran di banyak tempat sekaligus. Bola lampu pijar biasa memancarkan cahaya yang tidak terpolarisasi, sebagaimana Matahari.

Cahaya yang terpolarisasi bidang bisa didapat dari cahaya yang tidak terpolarisasi dengan menggunakan kristal-kristal tertentu seperti turmalin (bahan-bahan listrik yang digunakan sebagai perhiasan). Atau, lebih umum saat ini, kita dapat menggunakan lembar Polaroid (Materi Polaroid ditemukan pada tahun 1929 oleh Edwin Land). Lembar Polaroid terdiri dari molekul panjang yang rumit yang tersusun paralel satu sama lain. Polaroid seperti ini berfungsi seperti serangkaian celah paralel untuk memungkinkan satu orientasi polarisasi untuk lewat hampir tanpa berkurang (arah ini disebut sumbu Polaroid), sementara polarisasi tegak lurus hampir terserap sempurna. Jika satu berkas cahaya terpolarisasi bidang jatuh pada Polaroid yang sumbunya membentuk sudut θ terhadap arah polarisasi datang, berkas akan terpolarisasi bidang yang paralel dengan sumbu Polaroid dan amplitudonya akan diperkecil sebesar cos θ. Dengan demikian, Polaroid hanya melewatkan komponen polarisasi (vektor medan listrik, E) yang paralel dengan sumbunya. Karena intensitas berkas cahaya sebanding dengan kuadrat amplitudo, kita lihat bahwa intensitas berkas terpolarisasi bidang yang ditransmisikan oleh alat polarisasi adalah

I = Io cos2

dimana θ adalah sudut antara sumbu alat polarisasi dan bidang polarisasi gelombang datang, dan I

θ


(58)

Cahaya yang tidak terpolarisasi terdiri dari cahaya dengan arah polarisasi (vektor medan listrik) yang acak. Masing-masing arah polarisasi ini dapat diuraikan menjadi komponen sepanjang dua arah yang saling tegak lurus. Dengan demikian, berkas yang tidak terpolarisasi dapat dianggap sebagai dua berkas terpolarisasi bidang dengan besar yang sama dan tegak lurus satu sama lain. Ketika cahaya yang tidak terpolarisasi melewati alat polarisasi, satu dari komponen-komponennya dihilangkan. Jadi intensitas cahaya yang lewat akan diperkecil setengahnya karena setengah dari cahaya tersebut dihilangkan, I = ½Io

Apabila radiasi garis-D natrium yang terpolarisasi linier memasuki larutan yang mengandung molekul senyawa kiral, antaraksi radiasi dengan molekul menyebabkan vibrasi radiasi terpolarisasi tersebut mengalami rotasi searah atau berlawanan arah dengan putaran jarum jam dan rotasi spesifik yang dihitung dapat digunakan untuk karakterisasi identitas dan kemurnian senyawa kiral tersebut. Polarimetri adalah pengukuran rotasi arah vibrasi radiasi terpolarisasi linier (bidang) pada waktu berantaraksi dengan molekul senyawa yang aktif optik. Aktivitas optik suatu senyawa bersumber pada struktur molekulnya yang tidak mempunyai bidang atau pusat simetrik. Ketidaksimetrikan itu mungkin merupakan struktur molekul bawaan yang disebut kiral, mungkin juga merupakan keistimewaan dari bentuk kristal yang tidak diberikan oleh fase larutan atau gasnya atau terdapat juga pada sebagian kecil dari konformasi molekul tertentu, seperti heliks polipeptida.

(Giancoli,2001).

Rotasi optik yang diakibatkan oleh senyawa kiral tergantung kepada tebal alur dan konsentrasi larutan yang dilewati radiasi terpolarisasi linier, panjang gelombang, jenis pelarut, pH, dan temperatur larutannya. Pengukuran rotasi optik pada umumnya distandarkan, menggunakan garis hijau raksa, 5461 A atau doblet kuning natrium, 5890 dan 5896 A, pada temperatur 20°C. Rotasi spesifik, [α], dihitung dari rotasi optik yang diamati,α, dengan rumus :


(59)

b = tebal alur larutan dalam cm C = konsentrasi dalam g/L

Polarimetri dengan radiasi sinar tampak dapat diamati dengan mata, tetapi jika menggunakan radiasi ultraviolet atau inframerah diperlukan fotodetektor. Pelarut yang digunakan untuk polarimetri pada umumnya air, tetapi dapat juga digunakan pelarut lain, seperti etanol, dioksan atau kloroform. Pelarut harus dapat melarutkan analit dengan baik, mempunyai kerapatan optik pada panjang gelombang pengukuran cukup kecil, hingga radiasi dapat mencapai detektor dengan cukup intensitas. Temperatur berpengaruh pada rotasi optik, karena mengubah konsentrasi dan kekuatan rotasi (rotatory power) dari molekul. Perubahan konsentrasi yang disebabkan oleh ekspansi termal, cukup berarti. Ketergantungan kepada temperatur dapat besar sekali, sehingga menyebabkan perubahan pada rotasi spesifik. Pada sebagian besar molekul senyawa, perubahan rotasi optik oleh temperatur disebabkan oleh perubahan kesetimbangan konformasi, hingga rotasi optik dapat digunakan untuk analisis konformasi molekul senyawa yang aktif optik (Satiadarma, 2004).

2.14 Penentuan Vitamin C secara Metoda Iodometri

Iodin dalam medium yang alkalis dapat terkonversi dengan cepat menjadi hipoiodida. Hipoiodida dapat mengoksida aldosa,sedangkan untuk ketosa hanya sedikit yang mengalami oksidasi. Sampel yang telah dalam bentuk larutan ditambah iodin encer dan NaOH kemudian dicampur secepatnya (karena iodium dapat berubah menjadi iodat dan tidak reaktif terhadap gula dalam larutan alkalis). Setelah itu diasamkan dengan asam klorida atau asam sulfat dan dibiarkan beberapa menit. Kemudian kelebihan iodin dititrasi dengan larutan tiosulfat standar.

Dalam keadaan optimal dan kondisi terkontrol hanya 1% dari ketosa yang ada dalam sampel teroksidasi sehingga tidak mempengaruhi dalam penentuan aldosa. Untuk memperbesar ketelitian penentuan cara ini maka adanya zat yang dapat mempengaruhi harus dihilangkan misalnya etanol, aseton, manitol, gliserin, Na laktat,


(60)

Na format dan Urea. Zat-zat tersebut dapat bereaksi dengan iodin. Apabila dalam larutan yang ditera juga mengandung ketosa misalnya fruktosa, maka jumlahnya dapat ditentukan dengan cara-cara yang lazim digunakan misalnya dengan cara oksidasi dengan kupri setelah dilakukan penentuan gula dengan iodometri.

Larutan 2,6-diklorofenol indofenol dalam suasana netral atau basis akan berwarna biru sedang dalam suasana asam akan berwarna merah muda. Apabila 2,6-diklorofenol indofenol direduksi oleh asam askorbat maka akan menjadi tidak berwarna, dan bila semua asam askorbat sudah mereduksi 2,6-diklorofenol indofenol maka kelebihan larutan 2,6-diklorofenol indofenol sedikit saja sudah akan terlihat dengan terjadinya pewarnaan. Untuk perhitungan maka perlu dilakukan standarisasi larutan dengan vitamin C standar (Sudarmadji, 1989).


(61)

BAB 3 METODOLOGI

3.1 Alat

- Fermentor

- PH meter HANNA

- Cawan petri

- Gelas ukur Pyrex - Jarum ose

- Tabung reaksi - Bunsen - Hockey stick - Oven

- Autoclave YAMATO

- Neraca analitis Mettler Toledo - Vortex Fisons WhirliMixer - Hot plate

- Penangas air

- Mikroskop Griffin Carton - Erlenmeyer

- Pipet serologi - Kaca objek - Bola karet

- Polarimeter KRUSS

- Centrifuge Dynamic, Thermo Scientific Fisher

- Buret Pyrex

- Labu takar Pyrex - Pipet tetes


(62)

- Spectrophotometer UV-Vis Cary 50

3.2 Bahan

- D-sorbitol (p.a) - Yeast extract (p.a) - MgSO4.7H2 - NH

O (p.a) 4H2PO4

- Agar

(p.a)

- Plate Count Agar (p.a) - Triple Sugar Iron Agar (p.a) - Simmons Citrate Agar (p.a) - SIM Medium (p.a)

- Gelatin (p.a) - Starch (p.a) - H2O2 - Sukrosa

(p.a)

- Etanol (aq) - (NH4)2SO4 - K

(p.a) 2HPO4

- Larutan iodium (aq) (p.a)

- Asam asetat glasial (aq) - Larutan kristal ungu (aq) - Indikator amilum - Larutan iodin (aq) - Larutan safranin (aq) - NaOH (s)

- Asam askorbat (s) - Akuades


(63)

- Starter air kelapa

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Preparasi Media dan Pembuatan Larutan Pereaksi untuk Identifikasi Bakteri Acetobacter xylinum

3.3.1.1 Pembuatan Media Hassid Barker Agar (HBA)

Ditimbang 10 gram sukrosa; 0,06 gram (NH4)2SO4; 0,5 gram K2HPO4; 0,25 gram yeast extract; 2 mL asam asetat glasial 1,96% dan 6 gram agar lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian dilarutkan dalam 100 mL akuades.

3.3.1.2 Pembuatan Media Sorbitol 50 g/L

Ditimbang 12,5 gram sorbitol lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian dilarutkan dalam 250 mL akuades.

3.3.1.3 Pembuatan Media Sorbitol 100 g/L

Ditimbang 25 gram sorbitol lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian dilarutkan dalam 250 mL akuades.

3.3.1.4 Pembuatan Media Sorbitol 150 g/L

Ditimbang 37,5 gram sorbitol lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian dilarutkan dalam 250 mL akuades.

3.3.1.5 Pembuatan Media Plate Count Agar (PCA)

Ditimbang 2,3 gram media PCA lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian dilarutkan dalam 100 mL akuades.


(64)

3.3.1.6 Pembuatan Larutan Triple Sugar Iron Agar (TSIA)

Ditimbang 0,65 gram media TSIA lalu dimasukkan ke dalam gelas beaker kemudian dilarutkan dalam 10 mL akuades.

3.3.1.7 Pembuatan Larutan Simmons Citrate Agar (SCA)

Ditimbang 0,23 gram media SCA lalu dimasukkan ke dalam gelas beaker kemudian dilarutkan dalam 10 mL akuades.

3.3.1.8 Pembuatan Larutan SIM (Sulfide Indole Motility Medium)

Ditimbang 0,3 gram media SIM lalu dimasukkan ke dalam gelas beaker kemudian dilarutkan dalam 10 mL akuades.

3.3.1.9 Pembuatan Larutan Gelatin

Ditimbang 1,26 gram Gelatin lalu dimasukkan ke dalam gelas beaker kemudian dilarutkan dalam 10 mL akuades.

3.3.1.10 Pembuatan Media Starch

Ditimbang 0,03 gram Starch dan 0,3 gram agar lalu dimasukkan ke dalam gelas beaker kemudian dilarutkan dalam 10 mL akuades.

3.3.1.11 Pembuatan Larutan Asam Asetat Glasial 1,96%

Diukur 1 mL asam asetat glasial 100% lalu dimasukkan ke dalam botol reagen kemudian dilarutkan dalam 50 mL akuades.


(65)

3.3.1.12 Pembuatan Larutan Vitamin C Standar

Ditimbang 0,25 gram vitamin C lalu dimasukkan ke dalam ke dalam botol reagen kemudian dilarutkan dalam 250 mL akuades.

3.3.2 Perlakuan terhadap Sampel dan Metoda Pengukuran Sampel

3.3.2.1Identifikasi Bakteri Acetobacter xylinum dengan Metoda Pewarnaan Gram

Dibuat preparat untuk penempatan bakteri kemudian disterilkan di atas api. Lalu diberikan kristal ungu selama 1 menit dan dimiringkan kaca objek di atas bak pewarna kemudian dibilas dengan akuades. Ditiriskan kaca objek di atas kertas serap dan ditempatkan di atas rak pada bak pewarna. Diberikan larutan iodium selama 2 menit dan dimiringkan kaca objek kemudian dibilas dengan akuades. Dicuci dengan etanol setetes demi setetes selama 30 detik sampai zat warna kristal ungu, tidak terlihat lagi lalu dicuci dengan akuades kemudian ditiriskan dan ditempatkan di atas rak pada bak pewarna. Diberikan safranin selama 30 detik pada kaca objek kemudian dibilas dengan air. Ditiriskan kaca objek dan diserap kelebihan akuades pada olesan dengan menekankan kertas serap. Diamati di bawah mikroskop dengan lensa objektif lalu dicatat hasilnya.

3.3.2.2 Penentuan Jumlah Koloni Bakteri dengan Metoda Hitungan Cawan

Ditimbang 2,3 gram media PCA lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian dilarutkan dalam 100 mL akuades. Diencerkan media PCA pada erlenmeyer dalam air mendidih lalu didinginkan agar dalam penangas air kemudian dituangkan masing-masing sebanyak 10 mL media PCA pada 2 buah cawan petri dan dibiarkan sampai dingin. Dibuat pengenceran dari sampel lalu dimasukkan 6,5x105 koloni bakteri kemudian diratakan dengan menggunakan alat penyebar untuk meratakan suspensi di atas permukaan lempengan agar kemudian dibalikkan cawan petri dan dimasukkan ke inkubator selama 24 jam. Dihitung jumlah mikroba hidup dengan mengalikan faktor pengenceran yang digunakan. Diamati hasilnya.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Aiba,S.,Arthur,E.H. and Nancy,F.M.,1973.,Biochemical Engineering.,Second Edition., University of Tokyo Press.,Pages 110-122.

Bailey,J. and Ollis,D.F.,1986.,Biochemical Engineering Fundamental.,Second Edition., Mc.GrawHill Kogakusha., Tokyo., Pages 30-34.

Banwart,G.K. 1981. Basic Food Microbiology. New York: Van Nostrand Reinhold Company.

Boudrant,J.,1990.,Microbial Processes for Ascorbic Acid Biosynthesis:A Review.,Volume 12., CNRS-ENSAIA., France., Pages 322-329.

Daulay.,2003.,Studi Pengaruh Penambahan Starter dan Lama Fermentasi terhadap Pembuatan Nata de Aloe Vera (Lidah Buaya).,Universitas Sumatera Utara.,Medan.

Giancoli,D.C., 2001.,Fisika.,Edisi kelima.,Jilid 2.,Erlangga.,Jakarta.

Giridhar,R. and Srivastava,A.K.,2000.,Model Based Constant Feed Fed-Batch L-Sorbose Production Process for Improvement in L-L-Sorbose Productivity., Chem.Biochem.Eng.,Volume 14.,Pages 133-140.

Giridhar,R. and Srivastava,A.K.,2001.,L-Sorbose Production in a Continuous Fermenter with and without Cell Recycle.,Kluwer Academic Publishers.,Volume 17.,Pages 185-187.

Goodman,S.,1996.,Ester-C Vitamin C Generasi III.,Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.,Jakarta.

Hancock,R.D.,Galphin,J.R. and Viola,R.,2000.,Biosynthesis of L-Ascorbic Acid (Vitamin C) by Saccharomyces cerevisiae.,Elsevier Science.,Volume 186.,Pages 245-250.

Hancock,R.D. and Viola,R.,2002.,Biotechnological Approaches for Ascorbic Acid Production.,Trends in Biotechnology.,Volume 20.,Pages 299-305.

Higgins,J.,1985.,Biotechnology Principle and Applications.,Blackwell Scientific Publisher.,London.,Pages 4-10.


(2)

Hori,I. and Nakatani,T.,1953.,J.Fermentation Technol.,Japan.,Volume 31.,Page 72. Kroner,K.H.,Kula,M.R. dan Husted,H.,1984.,Proses Biochem.,Volume 19.,Page 170. Misgiyarta,2007.,Teknologi Pembuatan Nata de Coco.,Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Pascapanen Pertanian.,Pages 1-10.

Metode Analisa Vitamin

Muljono,J.,Abdul,A.D. dan Endang,G.S.,1992.,Teknologi Fermentasi.,Penerbit Rajawali Pers.,Jakarta.

Nurwantoro dan Djarijah,A.S.,1997.,Mikrobiologi Pangan Hewani-Nabati.,Penerbit Kanisius.,Yogyakarta.

Rao,D.G.,2005.,Introduction to Biochemical Engineering.,TataMcGraw-Hill.,New Delhi.

Rewatkar,A.R.,2010.,Microbial Production of L-Ascorbic Acid from Sorbitol.,Asiatic Journal of Biotechnological Resources.,Volume 3.,Pages 268-274.

Robinson,S.R., 1976.,Perspectives in Organic Chemistry.,Merck & Co.,Inc.,New Jersey.

Running,J.A.,Severson,D.K. and Schneider,K.J.,2002.,Extracellular Production of L-Ascorbic Acid by Chlorella Protothecoides,Prototheca Species, and Mutants of P.Moriformis during Aerobic Culturing at Low pH.Nature Publishing Group.,Volume 29.,Pages 93-98.

Satiadarma,K.,Mulja,H.M.,Tjahjono,D.H., dan Kartasasmita,R.E.,2004.,Asas Pengembangan Prosedur Analisis.,Cetakan 1.,Penerbit Airlangga University Press., Surabaya.


(3)

Tjokronegoro,A.,1985.,Vitamin C dan Penggunaannya Dewasa ini.,Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.,Jakarta.

Vitamin C

Waluyo,L.,2010.,Teknik dan Metode Dasar dalam Mikrobiologi.,Cetakan Kedua.,UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah.,Malang.

West,E.S.,Todd,W.R.,Mason,H.S. and Van Bruggen,J.T.,1966.,Text Book of Biochemistry.,The Macmillan Company.,London.

Wolucka,B.A.,Persiau,G.,Doorsselaere,J.V.,Davey,M.W.,Demol,D.,Vandekerckhove J.,Montagu,M.V.,Zabeau,M. and Boerjan,W.,2001.,PNAS.,Volume 98.,Pages 14843-14848.


(4)

(5)

Gambar 1 Metode Pewarnaan Gram pada Bakteri Acetobacter xylinum


(6)