Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan Dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan bagi Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Serdang Bedagai

(1)

“PERAN KOORDINASI BADAN PELAKSANA PENYULUHAN DAN KETAHANAN PANGAN DALAM PENINGKATAN AKSESIBILITAS PANGAN BAGI DAERAH RAWAN PANGAN DI KABUPATEN SERDANG

BEDAGAI”

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh:

OBED FIRDAUS NABABAN 110903093

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Terpujilah Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasihNya dalam kehidupan kita. Layaklah segala puji, hormat dan sembah hanya kepada Tuhan saja. Penulis sangat bersyukur untuk setiap kebaikan dalam hidup penulis yang kembali Tuhan nyatakan lewat pengerjaan skripsi yang berjudul “Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan Dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas

Pangan bagi Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Serdang Bedagai”. Untuk itu,

skripsi ini pun penulis persembahkan untuk kemuliaan Tuhan yang menjadi sumber kekuatan dan perisai kita semua.

Selama proses pengerjaan skripsi ini, penulis menyadari sangat banyak pihak yang telah membantu penulis. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga teristimewa kepada orang tua penulis S.Nababan (Alm) dan D. br Sirait. Terima kasih untuk didikan bapak dan mamak, untuk kasih sayang dan doa – doanya. Terima kasih untuk nasihat dari bapak selama bapak masih ada ditengah – tengah keluarga kita bahkan untuk mamak yang selalu memperjuangkan ketujuh anaknya, tetap kuat dan tegar di tengah – tengah kondisi apapun, aku belajar banyak dari ketegaran mamak. Semoga aku juga bisa menjadi anak yang dapat membanggakan. Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada saudara – saudara penulis: Kak Tina, Kak Fitri S.Pd, Kak Marini S.Pd, Kak Endang S.PAK, Kak Riris dan dek Echa. Terima kasih untuk dukungan dan perhatian kalian. Semoga tetap menjadi anak yang takut akan Tuhan dan kelak kita bisa menjadi kebanggaan bagi keluarga, bangsa dan negara.

Pada kesempatan ini, tak lupa penulis juga ingin mengucapkan rasa terima kasih yang teramat dalam bagi pihak – pihak lainnya yang telah turut serta berpartisipasi membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, yakni :


(3)

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. M. Rasudin Ginting, M.Si, selaku Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakulatas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Elita Dewi, M.SP, selaku Sekretaris Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakulatas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak Dadang Darmawan Pasaribu S.Sos.M.Si, selaku dosen pembimbing

yang telah bersedia membimbing penulis, memberikan waktu, tenaga, sumbangan pemikiran, dan mengarahkan penulis dari awal hingga selesainya skripsi ini. Biarlah Tuhan yang membalas kebaikan Bapak kepada kami mahasiswa/i bimbingan bapak.

5. Ibu Dra. Asimayanti Siahaan, MA., Ph.d, selaku dosen penguji dari penulis dari proposal penelitian sampai meja hijau. Terima kasih untuk masukan dari bapak yang membantu pengembangan isi skripsi ini.

6. Bapak Drs. Alwi Hasyim Batubara M.Si, selaku dosen PA penulis dan dosen pembimbing magang penulis. Terima kasih untuk arahan dari bapak sejak semester 1 – 8.

7. Bapak/Ibu Staf Pengajar serta Pegawai FISIP USU yang telah berjasa mendidik penulis selama masa perkuliahan, khususnya untuk Kak Mega dan Kak Dian yang telah membantu segala urusan dan prosedur administrasi perkuliahan.


(4)

8. Bapak/Ibu di di Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Serdang Bedagai yang telah membantu penulis selama penelitian di lapangan, terkhusus untuk Ibu Ratih Pane, Pak Bliher Sinaga, Pak Nurhadi, Bapak Setiyarno dan yang lainnya. Terima kasih untuk waktu, tenaga, dan tempat yang bapak/ibu telah berikan.

9. Buat keluarga besar Nababan dan Sirait, terima kasih untuk motivasi dan bantuan dalam bentuk apapun dari kalian.

10.Buat Arini Marta Lubis, sahabat penulis yang telah memberikan Motivasi dalam pengerjaan Skripsi ini. Terima kasih atas semua dukungannya.

11.Buat teman – teman magang Kelompok VII : Reza, Chandra, Ipol, Devi, Titin, Liak, Frans, Giok, Febri, Grace, dan Clara. Terima kasih untuk setiap hal yang boleh kita lewati selama dua minggu kelurahan Labuhan Ruku, bahkan untuk kerja sama yang baik dari kalian dalam pengerjaan laporan magang.

12.Buat Kelompok Kecil “Patriot Of Trut (POT)”, terkhusus buat Bang Mian, Terima kasih untuk perhatian kakak, kepedulian kakak, bahkan kesabaran kakak untuk membimbing kami adik – adikmu.Sabam, Martin, dan Bidadari Fanny Terima kasih banyak untuk doa – doa, semangat, dan dukungan kalian adik – adikku.

13.Buat keluarga besar UKM KMK UP PEMA FISIP, Terima kasih untuk pelayanan dan persekutuan kita selama ini. Semoga kita tetap semangat melayani Dia.


(5)

14.Buat teman – teman Administrasi Negara 2011, dan terkhusus buat anak-anak “DMK”, serta seluruh abang/kakak senior dan adik – adik junior di Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP USU Terima kasih ketika kita boleh saling berbagi ilmu dan pengetahuan di jurusan ini. Tetap semangat para administrator muda!

15. Buat Teman Sepelayan di Sekretariat GPdI Shalom dan Jajaran Pelprap GPdI Shalom terima kasih atas dukungannya.

16. Untuk semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk doa – doa dan kebaikan kalian bahkan untuk inspirasi yang telah kalian berikan sehingga penulis tetap semangat dalam pengerjaan skripsi ini.

Penulis juga menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, besar harapan penulis ada kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk perbaikan skripsi ini kedepannya. Akhir kata, semoga penelitian ini bermanfaat.

Lubukpakam, Juli 2015 Penulis,

Obed Firdaus Nababan


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... 2

DAFTAR ISI ... 6

DAFTAR GAMBAR ... 9

DAFTAR TABEL... 10

ABSTRAK ... 11

BAB I PENDAHULUAN ...12

I.1 Latar Belakang ... 12

I.2 Fokus Masalah ... 18

I.3 Perumusan Masalah ...18

I.4 Tujuan Penelitian... 19

I.5 Manfaat Penelitian ... 19

I.6 Sistematika Penulisan ... 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 22

II.1 Kebijakan Publik... 22

II.1.1 Pengertian Kebijakan Publik ... 22

II.1.2 Implementasi Kebijakan Publik ... 23

II.1.3. Model-model Implementasi Kebijakan ... 29

II.1.4 Aktor-aktor Implementasi... 33

II.1.5 Analisis Antar-Organisasi dan implementasi ... 35

II.1.6 Kegagalan Kebijakan ... 37

II.2 Koordinasi ... 40

II.2.1. Pengertian Koordinasi... 40

II.2.2. Jenis-Jenis Koordinasi ... 43

II.2.3. Prinsip-Prinsip Koordinasi ... 44

II.2.4. Mekanisme dan Proses Koordinasi ... 45

II.2.5. Hambatan Koordinasi ... 46


(7)

II.3.1. Pengertian Ketahanan Pangan ... 48

II.3.2. Aksesibilitas Pangan ... 50

II.3.3. Daerah Rawan Pangan ... 51

II.4 Defenisi Konsep... 52

BAB III METODE PENELITIAN ... 55

III.1 Bentuk Penelitian ... 55

III.2 Lokasi Penelitian ...55

III.3 Informan Penelitian ... 56

III.4 Teknik Pengumpulan Data ... 57

III.5 Teknik Analisis Data ...58

III.6 Pengujian Keabsahan Data... 60

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 62

IV.1. Gambaran Umum Kabupaten Serdang Bedagai ... 62

IV.1.1. Sejarah Kabupaten Serdang Bedagai ... 62

IV.1.2. Kondisi Geografis dan Luas Wilayah ... 65

IV.1.3. Lambang Daerah Kabupaten Serdang Bedagai ... 66

IV.1.4. Visi Dan Misi Kabupaten Serdang Bedagai 2010-2015 ... 68

IV.1.5. Kependudukan ... 69

IV.1.6. Kemiskinan ... 71

IV.2. Gambaran Umum Badan Pelaksana Penyuluhan Dan Ketahanan Pangan (Bp2kp) Kabupaten Serdang Bedagai ... 73

IV.2.1. Landasan Hukum ... 73

IV.2.2. Visi dan misi Badan Pelaksana Penyuluhan Dan Ketahanan Pangan (BP2KP) Kabupaten Serdang Bedagai ... 75

IV.2.3. Tujuan Dan Sasaran Organisasi ... 75

IV.2.4. Kebijaksanaan Umum Organisasi ... 77

IV.2.5. Susunan Organisasi ... 83

IV.2.6. Tugas Pokok Dan Fungsi... 84


(8)

IV.2.8. Susunan Pejabat Struktural Yang Sedang Bertugas: ... 107

IV.2.9 Daftar Seluruh Pejabat Dan Staf Organisasi ... 108

IV.2.10. Prestasi Yang Pernah Diraih ... 115

IV.2.11. Permasalahan Yang Dihadapi ... 120

BAB V PENYAJIAN ANALISIS DATA ... 121

V.1.1 Program-Program Ketahanan Pangan Di Serdang Bedagai... 121

V.1.1 Operasional Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) ... 121

V.1.2. Kegiatan Distribusi Pangan Masyarakat ... 123

V.1.3. Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan Perbatasan ... 123

V.1.4. Operasionalisasi Kelompok Kerja Pangan dan Gizi ... 124

V.2. Analisis Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan Dan Ketahanan Pangan (BP2KP) ... 134

V.2.1. Analisis koordinasi program sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) dalam Mengatasi Daerah Rawan Pangan... 136

V.2.2 Analisis koordinasi program Distribusi Pangan Masyarakat dalam Meningkatkan Akses Pangan di Daerah Rawan Pangan ... 136

V.2.3 Analisis Koordinasi Program Kawasan Mandiri Pangan Perbatasan dalam Meningkatkan Akses Pangan di Daerah Rawan Pangan ... 146

V.2.4 Analisis koordinasi Operasionalisasi Kelompok Kerja Pangan dan Gizi dalam Meningkatkan Akses Pangan di Daerah Rawan Pangan ... 148

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 154

VI.1 Kesimpulan ... 154


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1

Gambar 5.1


(10)

DAFTAR TABEL Tabel 4.1 :


(11)

ABSTRAK

Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan di Daerah Rawan Pangan Kabupaten

Serdang Bedagai

Nama : Obed Firdaus Nababan

Nim : 110903093

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Dadang Darmawan Pasaribu, M.Si

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam meningkatkan aksesibilitas pangan di daerah rawan pangan di Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Analisis peran koordinasi Badan Pelaksana penyuluhan dan ketahanan Pangan ini menggunakan teori Mooney dan Reiley, Urwick, dan Barnard yang membagi prinsip koordinasi dalam tiga kerangka yaitu Prinsip, Proses dan Hasil/efek.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa Koordinasi yang dilakukan oleh Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan pangan Kabupaten Serdang Bedagai dalam meningkatkan aksesibilitas pangan di daerah rawan pangan belum terjadi secara maksimal. Koordniasi internnya sudah berjalan dengan baik. Namun koordinasi eksternalnya masih belum berjalan secara maksimal, karena masih banyaknya kendala-kendala yang dihadapi oleh badan ini dalam menjalankan koordinasi eksternalnya.

Dengan melihat kendala-kendala tersebut peneliti menyarankan untuk melakukan pembenahan dalam sistem penanggulangan kerawanan pangan. Dalam pembentukan Kelompok kerja diharapakan bukan Badan pelaksana Penyuluhan dan ketahanan pangan yang harus mengeluarkannya melainkan SK mengenai pembentukan Kelompok kerja Pangan dan Gizi yang terdapat multi instansi perlu dikeluarkan oleh Sekretaris daerah agar seluruh SKPD yang berkaitan dengan permasalahan pangan dapat bergerak bersama untuk mengatasi masalah daerah rawan pangan


(12)

ABSTRAK

Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan di Daerah Rawan Pangan Kabupaten

Serdang Bedagai

Nama : Obed Firdaus Nababan

Nim : 110903093

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Dadang Darmawan Pasaribu, M.Si

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam meningkatkan aksesibilitas pangan di daerah rawan pangan di Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Analisis peran koordinasi Badan Pelaksana penyuluhan dan ketahanan Pangan ini menggunakan teori Mooney dan Reiley, Urwick, dan Barnard yang membagi prinsip koordinasi dalam tiga kerangka yaitu Prinsip, Proses dan Hasil/efek.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa Koordinasi yang dilakukan oleh Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan pangan Kabupaten Serdang Bedagai dalam meningkatkan aksesibilitas pangan di daerah rawan pangan belum terjadi secara maksimal. Koordniasi internnya sudah berjalan dengan baik. Namun koordinasi eksternalnya masih belum berjalan secara maksimal, karena masih banyaknya kendala-kendala yang dihadapi oleh badan ini dalam menjalankan koordinasi eksternalnya.

Dengan melihat kendala-kendala tersebut peneliti menyarankan untuk melakukan pembenahan dalam sistem penanggulangan kerawanan pangan. Dalam pembentukan Kelompok kerja diharapakan bukan Badan pelaksana Penyuluhan dan ketahanan pangan yang harus mengeluarkannya melainkan SK mengenai pembentukan Kelompok kerja Pangan dan Gizi yang terdapat multi instansi perlu dikeluarkan oleh Sekretaris daerah agar seluruh SKPD yang berkaitan dengan permasalahan pangan dapat bergerak bersama untuk mengatasi masalah daerah rawan pangan


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Ketahanan Pangan merupakan isu yang sangat krusial di Indonesia maupun di dunia internasional. Masalah ketahanan pangan telah menjadi ancaman yang menakutkan bagi dunia saat ini. Hal ini disebabkan karena masalah pangan merupakan masalah penentu hidup matinya seseorang. Setiap orang dapat bertahan hidup hanya karena adanya makanan yang di konsumsi. Dan sungguh sangat mengerikan jika kebutuhan akan pangan tidak dapat dipenuhi maka akan mengakibatkan busung lapar dan pada akhirnya menuju pada kematian. Hal inilah yang membuat masalah ketahanan pangan menjadi sangat penting untuk diperhatikan dan diselesaikan.

Dunia internasional telah menyadari pentingnya masalah ketahanan pangan. Masalah ketahanan pangan telah diperbincangkan oleh dunia internasioanal pada tahun 1974 dengan diadakannya konferensi pangan dunia untuk pertama kalinya. Hal ini tentu didorong oleh kekuatiran dari pemimpin-pemimpin negara di dunia internasional akan ketahanan pangan. Krisis pangan yang melanda beberapa negara di benua Afrika dan Asia memberikan sinyal ancaman bagi dunia internasional. Lebih lagi, produksi pangan yang tidak menunjukkan angka yang signifikan pada waktu itu


(14)

dan ditambah dengan peningkatan jumlah penduduk yang tak terkendali. Kesadaran dan kekuatiran tersebut pada akhirnya mendorong terselenggaranya konferensi pangan internasional. Atas dasar permasalahan tersebut, kemudian Thomas R. Malthus mencetuskan Revolusi hijau untuk menjawab permasalahan pangan Global. Revolusi hijau pada waktu itu menjadi sebuah gerakan bersama dari setiap Negara di dunia untuk meningkat produktivitas pertanian mereka melalui pengembangan dan penelitian pertanian serta modernisasi pertanian dengan menggunakan teknologi canggih dalam pertanaian.

Namun Paradigma ketahanan pangan telah gagal mencapai target dalam menurunkan angka kelaparan dunia. Berdasarkan laporan Organisasi Pangan Dunia (FAO) pada 17 September 2014, angka kelaparan mencapai 805 juta jiwa. Jumlah ini jauh meleset dari target World Food Summit pada tahun 1996, yang saat itu menggadang-gadang konsep ketahanan pangan akan mampu mengurangi setengah angka kelaparan dunia pada tahun 2015, yakni dari 1,0145 milyar juta jiwa menjadi 507,25 juta jiwa. Laporan FAO itu juga menyampaikan bahwa angka kelaparan negara dunia berkembang masih pada angka 790,7 juta jiwa. Dengan kata lain satu dari sembilan orang di dunia atau satu dari delapan orang di Negara-negara berkembang tidak mempunyai pangan cukup untuk aktif dan hidup sehat. Hal ini tentu kembali membuat kekuatiran bagi dunia dan harus menempatkan masalah ketahanan pangan sebagai suatu permasalahan yang harus diselesaikan sebelum semakin menjadi kompleks.

Di Indonesia, lahirnya otonomi daerah mendesak terjadinya perubahan pola kebijakan ketahanan pangan Indonesia. Kebijakan ketahanan pangan Indonesia pada


(15)

masa orde baru yang lebih sentralistik, kini berubah menjadi desentralistik. Hal ini sesuai dengan semangat reformasi dan otonomi daerah yang saat ini kerap di dengungkan. Lahirnya undang-undang no 22 tahun 1999 dan kemudian direvisi dengan undang-undang no 32 tahun 2004 merupakan sebuah landasan hukum adanya penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia. Penyelenggaraan otonomi daerah yang diharapkan melalui undang-undang no 32 tahun 2004 tidak dapat berjalan dengan baik karena belum adanya peraturan pemerintah yang mengatur kewenangan antara pusat dan daerah. Namun pada tahun 2007 lahirlah Peraturan pemerintah no. 38 yang memperjelas kewenangan antara pusat dan daerah. Di dalam Peraturan pemerintah tersebut menegaskan adanya penyerahan 31 urusan yang di serahkan kepada daerah. Sementara yang termasuk sebagai kategori urusan wajib terdapat 26 urusan yang wajib ditangani oleh pemerintahan daerah dan terdapat 8 urusan sebagai urusan pilihan. Salah satu dari 26 urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah adalah Ketahanan pangan. Inilah yang menjadi dasar hukum perubahan pola sistem kebijakan ketahanan pangan Indonesia.

Kebijakan ketahanan pangan pada masa orde baru yang berpola Top-Down sebenarnya berhasil memacu peningkatan produksi pangan. Sejak tahun 1980-an kondisi ketahanan pangan Indonesia cukup menjanjikan, karena besarnya perhatian pemerintah di sektor pertanian. Dengan melaksanakan revolusi hijau pada masa pemerintahan orde baru sebagaimana yang diterapkan dibannyak negara agraris lainnya di dunia Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan. Kebijakan proteksi diterapkan dalam sektor pertanian dengan pemberian subsidi bibit, pupuk, pestisida dan insektisida. Serta membentuk Bulog (Badan Urusan Logistik) sebagai


(16)

instansi yang memiliki tugas strategis untuk mengatasi masalah ketahanan pangan, bergerak dengan menyediakan pasar bagi produk-produk pertanian dan menetapkan harga bagi para petani. Kemudian Bulog mendistribusikan kewenangannya melalui KUD Koperasi Unit Desa) yang ditempatkan di level pedesaan. KUD merupakan lumbung bagi stok cadangan yang digunakan ketika stok pangan nasional menipis. Pemerintah berusaha menjaga tingkat harga pangan tetap dapat dibeli oleh rakyat banyak. Kebijakan ini jelas merupakan kebijakan yang sangat sentralistik. Sistem kebijakan ketahanan pangan yang begitu sentaralistik nyatanya dapat berhasil pada masa orde baru.

Namun adanya semangat otonomi daerah dengan lahirnya UU pemerintah daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Semangat inilah yang pada akhirnya mengkritik kebijakan ketahanan pangan masa orde baru yang dianggap gagal. Peran aktif pemerintah pusat pada masa orde baru dianggap telah mengubah perilaku masyarakat hingga selalu tergantung pada program pemerintah serta mengurangi kreatifitas dan kemandiriannya. Tidak hanya itu, kebijakan ketahanan pangan yang sentralistik dan berpola Top-Down ini juga diklaim sebagai penyebab terjadinya penyeragaman pembangunan hingga tak mampu merespon masalah dan kebutuhan masyarakat yang bergam antar daerah. Atas alasan-alasan tersebut maka kebijakan ketahanan pangan yang sentralistik dan berpola Top-Down di ubah sesuai dengan kebijakan desentralis yang berpola Bottom-Up sesuai dengan UU pemerintahan daerah.

Adanya penyerahan tugas dan kewenangan kepada daerah untuk mengurusi persoalan pangan daerahnya sendiri diatur dengan PP No.38 tahun 2007. Di dalam


(17)

peraturan pemerintah ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk membentuk badan ketahanan pangan daerah yang mempunyai tugas untuk menyediakan pangan bagi setiap rumah tangga. Melalui pembentukan badan ketahanan pangan daerah ini maka setiap pemerintah daerah dituntut untuk dapat mengetahui potensi pangan di daerahnya serta mampu mengelolanya agar mampu menyediakan pangan secara berkelanjutan. Pemerintah daerah diberikan keleluasaan untuk mempergunakan sumber dayanya untuk menciptakan ketahanan pangan di daerahnya. Sebagai mana kritik yang di lontarkan pada masa orde baru yang terkesan sangat sentralistik dan pemerintah pusat dianggap tidak mengerti persoalaan dan potensi daerah. Maka pada kebijakan Desentralisasi pangan ini seharusnya mampu membuktikan kebenaran dari kritik yang pernah dilontarkan tersebut.

Kebijakan desentralisasi hampir 16 tahun berjalannya sejak dikeluarkannya UU No.22 tahun 1999 dan lebih jelas lagi sudah 8 tahun sejak dikeluarkannya PP No.38 tahun 2007 tidak menunjukkan tanda-tanda yang membaik dari kebijakan desentralisasi pangan. Walaupun demikian pemerintah republik Indonesia dapat mencukupi kebutuhan pangan Indonesia dengan kebijakan impor pangan. Kecukupan pangan dalam negeri melalui kebijakan impor tentunya telah dilakukan dengan perhitungan yang matang antara produksi dalam negeri dan kebutuhan konsumsi pangan nasional. Namun pada kenyataannya pemenuhan kebutuhan tersebut dengan menekankan pada ketersediaan pangan nasional tentu tidak dapat dijadikan tolak ukur sebuah ketahanan pangan nasional. Terbukti dengan masih adanya kasus-kasus kelaparan di beberapa daerah di Indonesia yang bisa menjadi indikasi kuat bahwa masalah pangan bukan hanya masalah ketersediaan pangan.


(18)

Lebih lagi di Kabupaten Serdang Bedagai, kabupaten ini telah berhasil mencapai Swasembada beras dan menjadi lumbung pangan Provinsi Sumatera Utara. Hal ini tentu akan menjadi sebuah prestasi yang membanggakan bagi perangkat daerah di Kabupaten ini. Namun ada hal yang perlu untuk diwaspadai, angka kemiskinan yang ada di Serdang Bedagai jika melihat data dari BPS Kabupaten Serdang Bedagai dengan menggunakan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) Sangat tinggi. Tercatat sebanyak 10.61% tahun 2008, 9.51% tahun 2009 dan 10.59% tahun 2010 jumlah pernduduk Kabupaten Serdang Bedagai yang masih hidup dalam kemiskinan. Hal ini tentu harus menjadi perhatian pemerintah. Di dalam kondisi kelimpahan pangan tetapi masih ada warga masyarakatnya yang masih hidup dalam kemiskinan berdasarkan garis k emiskinan makanan dan garis kemiskinan non makanan yang ditetapkan oleh BPS kabupaten Serdang Bedagai.

Selain itu berdasarkan hasil data dari badan pelasksana penyuluhan dan ketahanan pangan kabupaten serdang bedagai terdapat 3 kecamatan yang digolongkan sebagai daerah rawan pangan. Badan Pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan kabupaten Serdang Bedagai menetapkan indikator penetapan daerah rawan pangan dengan melihat potensi pertanian dan jumlah penduduk di kecamatan tersebut. Apabila suatu kecamatan tersebut memiliki potensi pertanian dan dibandingkan dengan jumlah penduduknya, kecamatan tersebut surplus pangan maka ditetapkan sebagai kecamatan yang aman akan pangan, dan sebaliknya. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana jika kecamatan tersebut merupakan


(19)

daerah yang tidak memiliki potensi pertanian, tetapi lebih mengedepankan perkebunan, jasa ataupun sektor usaha lainnya selain pertanian. Sebagaimana dengan yang di tetapkan oleh badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan sebagai daerah rawan pangan, tentu bagaimana peranan pemerintah utamanya badan penyuluhan dan ketahanan pangan untuk meningkatkan akses pangan bagi daerah tersebut. Hal inilah akan di ungkap oleh peneliti melalui penelitian yang berjudul “bagaimana Peran koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam peningkatan Aksesibilitas pangan di daerah rawan pangan kabupaten Serdang bedagai.”

I.2. Fokus Permasalahan

Penelitian ini memiliki fokus masalah yang menjadi batasan peneliti dalam melakukan penelitian. Peneliti melakukan fokus masalah yang akan diteliti karena begitu banyak teori dalam ilmu sosial dengan persepsi yang berbeda-beda sehingga perlu dilakukan fokus masalah agar menjadi acuan bagi peneliti dalam melakukan penelitian di lapangan.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan di daerah rawan pangan Kabupaten Serdang Bedagai?

I.3. Rumusan Permasalahan

Untuk dapat memudahkan penelitian ini selanjutnya dan supaya peneliti dapat terarah dalam menginterpretasikan fakta dan data dalam pembahasannya. Masalah merupakan bagian pokok dari suatu kegiatan penlitian dimana penulis mengajukan


(20)

pertanyaan terhadap dirinya tentang hal hal yang akan dicari jawabnya melalui kegiatan penelitian.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan yang menjadi perhatian penulis dalam penelitian ini adalah: “bagaimana Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan di daerah rawan pangan Kabupaten Serdang Bedagai.

I.4. Tujuan Penelitian

Di dalam usulan/rancangan penelitian, apapun format penelitian yang digunakan (deskriptif eksplanasi, studi kasus, survei eksperimen), juga perlu secara tegas dan jelas merumuskan tujuan penelitian yang hendak dihasilkan. Tujuan Penelitian ini ialah untuk menjawab perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, yakni untuk mengetahui bagaimana Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan di daerah rawan pangan Kabupaten Serdang Bedagai?

I.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini ialah:

1. Manfaat secara ilmiah, penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan serta mengembangkan kemampuan berpikir melalui penulisan karya ilmiah dibidang ilmu Administrasi Negara serta Kebijakan Publik.

2. Manfaat secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaaat dapat memberikan masukan bagi instansi terkait demi peningkatan Ketahanan Pangan Daerah.


(21)

3. Manfaat secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara.

I.6. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memuat kerangka teori, defenisi konsep dan sisitematika penelitian.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian , teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan gambaran umum lokasi penelitian, sejarah singkat lokasi penelitian dan gambaran umum mengenai instansi tempat penelitian.


(22)

Bab ini berisikan hasil data yang diperoleh dari lapangan dan atau berupa dokumen yang akan di analisis serta berisikan tentang uraian data- data yang diperoleh setelah melaksanakan penelitian

BAB VI : PENUTUP

Bab ini memuat kesimpulan dan saran- saran yang diperoleh dari hasil peneliti


(23)

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kebijakan Publik

II.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Dimulai dari pengertian kata publik menurut Wayne Parsons (2008:2) mengartikan bahwa publik itu sendiri berisi aktivitas manusia yang dipandang pelu untuk diatur dan diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama. Publik itu dianggap suatu ruang dengan domain dalam kehidupan bukan privat atau murni milik individu tetapi milik bersama atau milik umum. Dari pengertian yang digagaskan oleh ahli tersebut dapat kita lihat bahwa publik itu adalah sesuatu yang kompleks dan luas dan menyangkut kepentingan masyarakat yang tidak terbatas. Tetapi dengan dengan adanya pengertian perlu ada intervensi terhadap aktivitas manusia ini berarti bahwa publik memiliki cirri masyarakat yang mau diintervensi dari orang yang punya wewenang terhadap masyarakat atau aturan yang disepakati. Oleh karena itu dapat kita lihat bisa kita simpulkan bahwa publik itu adalah sejumlah individu yang mempunyai kesepahaman untuk membentuk kelompok dengan sistem tersendiri. Sistem dalam hal ini menyangkut apakah masyarakat itu bergerak dengan diintervensi pemerintah, aturan social yang berlaku atau hal lain. Dalam hal ini pemakalah menekankan bahwa publik itu adalah daerah kekuasaan yang diintervensi dari pemerintah

Sedangkan kebijakan itu sendiri menurut pandangan Waine Parsons (2008:3) adalah sesuatu yang lebih besar dari keputusan tetapi lebih kecil dari gerakan sosial. Dari segi analisis kebijakan kebijakan itu berada ditengah-tengah. Sedangkan


(24)

pengertian dari keputusan adalah adalah sesuatu yang disepakati secara rasional oleh setiap anggota, terserah dengan cara apa untuk memperoleh kesepakatan. Sementara itu gerakan sosial adalah suatu pola tertentu yang sudah tumbuh dibenak masyarakat dalam suatu batasan wilayah tertentu yang menjadi dasar dalam melakukan segala kegiatan. Melihat tadi, bahwa kebijakan itu ada ditengah antara keputusan dan gerkan sosial maka secara sederhana dapat kita defenisikan bahwa kebijakan itu adalah sesuatu yang dapat mengikat masyarakat yang berada lebih dari satu golongan tetapi tidak untuk semua masyarakat.

Jika kita melihat pengertian asal kata dari kebijakan publik diatas dapatlah kita simpulkan bahwa kebijakan publik itu adalah apa yang dilakukan pemerintah untuk mengikat daerah yang diintervensinya. Ini sama artinya dengan pendapat Thomas Dye (dalam Tangkilisan, 2003:1) yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan.

Disisi lain, terdapat banyak batasan dan defenisi mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan publik (publik policy). Masing- masing defenisi tersebut memberi penekanan yang berbeda- beda. Perbedaan itu timbul karena masing – masing ahli


(25)

mempunyai latar belakang yang beragam. Berikut kita dapat melihat pandangan ahli tersebut, Anderson (dalam Winarno 2014:21) misalnya mendefenisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu (dalam Abidin, 2004:21). Tidak jauh berbeda, menurut Chandler dan Plano (dalam Tangkilisan, 2003:30) juga berpendapat bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya- sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Dalam kenyataaannya kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus – menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan yang luas.

Jika berpatokan pada pendapat Chandler dan Plano ini maka kita dapat menyatakan bahwa pembentukan badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan Kabupaten Serdang Bedagai yang merupakan produk kebijakan publik yang berupa Peraturan Daerah No. 3 tahun 2010 mempunyai tujuan untuk memecahkan masalah ketahanan pangan di serdang bedagai. Badan ini diberikan wewenang untuk mengintervensi persoalan pangan demi kepentingan kelompok yang kurang mampu.

Lebih lengkap lagi Solichin Abdul Wahab (2008:4) merincikan konsep mengenai kebijakan publik dalam beberapa poin antara lain, pertama kebijaksanaan Negara lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebuah


(26)

perilaku atau tindakan yang serba acak. Kedua kebijaksananaan pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri. Ketiga kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dialakukan oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu dengan bidang-bidang yang lainnya. Keempat kebijakan Negara kemungkinan berbentuk positif maupun negatif. Dalam bentuk posistif kebijakan Negara mungkina akan mencakup beberapatindakan pemerintah untuk mempengaruhi masalah tertentu. Sedangkan dalam bentuk negative berupa keputusan pemerintah untuk tidak bertindak, atau tidak melakukan apapun dalam masalah-masalah dimana campur tangan pemerintah justru diperlukan.

Dari penjelasan para ahli diatas bisa kita simpulkan bahwa pada dasarnya kebijakan publik adalah segala sesuatau yang dilakukan pemerintah lewat keputusan bersama aktor-aktor politik untuk pencapaian tujuan negara secara utuh. Dan berkaitan dengan penelitian ini, adanya kebijakan pembentukan Badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan di Kabupaten Serdang Bedagai, tentu merupakan hasil dari kebijakan dari pemerintah pusat hingga daerah. Dimana pemerintah pusat telah menetapkan bahwa urusan ketahanan pangan merupakan urusan pemerintah daerah melalui sebuah produk kebijakan yaitu Peraturan Pemerintah 38 tahun 2007. II.1.2 Implementasi Kebijakan Publik

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa timbulnya kebijakan publik disebabkan karena adanya gejala yang muncul atau dirasakan didalam masyarakat. Jadi kebijakan menurut tangkilisan (2003:19) tidak hanya bertumpu pada


(27)

keadaan-keadaan dalam organisasai saja yang bersifat enthrophi akan tetapi lebih dinamis karena bersumber dari kehidupan masyarakat.berkenan dengan itu di satu pihak kebijakan publik menekannkan pada keinginana rakyat banyak yang hidup dalam masyarakat banyak yang hidup dalam masyarakat luas publik, dan tidak hanya berdasarkan kemauan elit yang berkuasa. Sedangkan dipihak menurut pendapat yang sama lain bentuk organisasi tidak menekankan pada sistem enthrophi dan memerlukan proses pengembangan dan pembinaan organisasi yang terus menerus.

Sistem birokrasi yang menekankan pada formalitas saja, tanpa mengindahkan dan menghargai unsure manusia secara utuh akan mengakibatkan kebijakan publik relatif tidak tepat sasaran. Oleh karena itu para ahli berpendapat hal yang paling esensial dalam kebijakan publik adalah usaha melaksanakan kebijakan publik. Jika suatu kebijakan telah diputuskan kebijakan tersebut tidak berhasil dan terwujud bilamana tidak dilaksanakan

Pejabat politik harus memikirkan bagaiman memilih dan membuat kebijakan publik. Sekarang timbul pertanyaan bagaiman kebijakan itu dilakasanakan. Usaha untuk melaksanakan kebijakan tentunya membutuhkan suatu keahlian dan ketrampilan, menguasai persoalan yang hendak dikerjakan, didalam hal ini kedudukan birokrasi menempati kedudukan yang strategis karena birokrasilah yang berkewajiban melaksanakan kebijakan tersebut, sehingga birokrasi senantias dituntut untuk mempunyai keahlian dan ketrampilan yang tinggi.

Implementasi kebijakan merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu kegiatan dirumuskan. Menururt Robert Nakamura dan Frank Smallwood (dalam Tangkilisan, 2003:19) hal-hal yang berhubungan dengan implementasi adalah keberhasilan dalam


(28)

mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan kedalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus. Sedangkan menurut Pressman implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam menghubungkan kausal antara yang diinginkan dengan cara mencapainya.

Menurut Patton dan Sawicki implementasi kebijakan adalah berbagai kegiatan yang dilakukan untuk merealisasikan program, dimana eksekutif berperan mengatur cara dalam mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi (dalam Tangkilisan, 2003:20). Hal ini didasarkan pada pendapat Jones yang menganalisis masalah pelaksanaan kebijakan dengan mendasarkan pada konsepsi kegiatan-kegiatan fungsional. Beliau mengemukakan beberapa dimensi dari implementasi pemerintahan mengenai program-program yang sudah disahkan, kemudian menetukan implementasi, juga membahas actor-akto yang terlibat, dengan memfokuskan pada birokrasi yang merupakan lembaga eksekutor. Jadi implementasi merupakan suatu proses dinamis yang melibatkan secara terus-menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program pada tujuan kebijakan yang diinginkan.

Menurut jones (dalam Tangkilisan, 2003:18) tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan adalah

1. penafsiran yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahakan makna program kedalam pengaturan yang dapat diteriman da dapat dijalankan


(29)

2. organisasi merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program kedalam tujuan kebijakan

3. penerapan yang berhubungan denga perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah dan lain-lainnya

Dengan penjelasan tersebut implementasi kebijakan dapat dipandang sebagi suatu proses melaksankan keputusan kebijaksanaan, biasanya dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Pemerintah Eksekutif,atau Instruksi Presiden

Menurut wibawa implementasi kebijakan merupakan pengejawantahan keputusan mengenai kebijakan yang mendasar, biasanya tertuang dalam suatu Undang-Undang namun juga dapat berbentuk instruksi-instruksi eksekutif yang penting atau keputusan perundang- undangan. Idealnya keputusan-keputusan tersebut menjelaskan masalah-masalah yang hendak ditangani, menetukan tujuan yang hendak dicapai dan dalam berbagai cara menggambarkan struktur proses implementasi tersebut. Tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah.

Dari uraian daiatas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan yang dimaksud kan dalam penelitian ini adalah pengimplementasian Peraturan Pemerintah (PP) 38 tahun 2007 dan Peraturan daerah Kabupaten Serdang Bedagai No. 3 tahun 2010 yang mengatur tentang kebijakan ketahanan pangan di kabupaten Serdang Bedagai.


(30)

Gambar 1: Gambaran implementasi kebijakan

II.1.3. Model-model Implementasi Kebijakan

Penggunaan model analisis kebijakan untuk kepentingan analisis maupun penelitian sedikit banyak akan tergantung pada kompleksitas permaslahan kebijakan yang dikaji serta tujuan analisis itu sendiri. pedoman awal yang dikemukakan oleh Solichin (2004: 70) adalah semakin kompleks permasalahan kebijakan dan semakin mendalam analisis yang dilakukan semakin model yang relatif operasional, model yang mampu menghubungkan kausalitas antar variable yang menjadi fokus masalah. Ada bermacam-macam model implemntasi yang dikemukakan oleh para ahli dan salah satunya adalah model Van Meter dan Van Horn. Untuk melihat bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung secara efektif, maka dapat melihat dari sudut pandang Van Meter dan Van Horn.


(31)

Model Van Meter dan Van Horn (dalam Solichin, 2004:78) menyatakan perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi sifat kebijaksanaan yang akan dilaksanakan. Ahli tersebut menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijaksanaan dengan implementasi dan suatu model keonseptual yang mempertalikan kebijaksanaan dengan prestasi kerja. Karena Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara liniear dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Kedua ahli ini menegaskan bahwa perubahan, control dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Atas dasar pandangan ini kedua ahli ini berusaha membuat tipologi kebijakan menurut 1. Jumlah masing-masing yang akan dihasilkan

2. Jangkauan atau lingkup kesepaktan taerhadap tujuan diatara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implemetasi

Alasan dikemukakannya hal ini adalah bahwa proses implemetasi akan dipengaruhi dimensi-dimensi kebijaksanaan semacam itu, dalam artian bahwa implemetasi kebanyakan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relative sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari mereka yang mengoperasikan program dilapangan relative tinggi.

Model implementasi kebijakan oleh Van Meter dan Van Horn ini dipengaruhi oleh enam faktor yaitu :

1. Standar dan Sasaran Kebijakan

Standar dan Sasaran Kebijakan Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan sasaran kebijakan


(32)

kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi.

2. Sumber Daya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia misalnya dana yang dingunakan untuk mendukung implementasi kebijakan.

3. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas

Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

4. Karakteristik agen pelaksana

Karakteristik Agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua hal tersebut akan mempengaruhi implementasi suatu program.

5. Kondisi sosial, ekonomi dan politik

Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok -kelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.


(33)

Ini mencakup tiga hal, yakni: (a) respon implementor terhadap kebijakan yang akan dipengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, (b) kognisi, pemahaman para agen pelaksana terhadap kebijakan, dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar berikut

Gambar 2. Model Van meter Horn

Dari gambar tersebut dapat kita lihat bahwa varibel-variabel kebijaksanaan bersangkutpaut dengan tujuan-tujuan yang telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat pehatian pada badan-badan pelaksana maliputi baik organisai formal maupun informal ; sedangkan komunikasi antar organisasi terkait beserta kegiatan-kegiatan pelaksanaannya mencakup antar hubungan didalam lingkungan sistem politik dengan kelompok-kelompok sasaran. Van meter dan Horn ini mampu menjelaskan sukses atau tidaknya suatu kebijakan melalui variable-variabel yang


(34)

dikemukannya. Dalam menganalisis implementasi suatu kebijakan model ini dapat menjadi acuan yang tentunya harus juga disesuaikan dengan kondisi yang ada. Dengan model ini, akan menolong dan menuntun peneliti dalam mengupas masalah penelitian yang akan diteliti.

II.1.4 Aktor-aktor Implementasi

Suatu kebijakan yang telah dirumuskan oleh Pembuat Kebijakan (Decision Making) menuntut agar segera dieksekusi. Untuk mengeksekusi kebijakan tersebut maka perlu adanya organisasi pelaksana yang menjadi aktor kesuksesan suatu kebijakan. Secara tradisonal, aktor implementasi kebijakan adalah birokrat sebagai tangan pemerintah. Nugroho (2014:236) mengatakan kita mengenal istilah “ birokrat jalanan” yang menganggap pemerintah punya segalanya untuk mengelola kehidupan publik. Hal ini yang membuat peranan publik tidak dipandang sebagai sesuatu yang penting dan selalu mengharapankan pemerintah yang turun tangan. Dampaknya adalah orang –orang sangat tergantung kepada pemerintah dan setiap masalah publik harus segera dibawa kepada pemerintah untuk diselesaikan.

Berbeda dengan Nugroho, Winarno (2014:221-224) menyebutkan ada 5 pelaksana/implementor suatu kebijakan yaitu

a. Birokrasi

Pada saat kongres penetapan sebuah undang-undang publik dan presiden telah menandatangani, langkah berikutnya adalah badan-badan administrasi harus segera memulai proses implementasi. Badan-badan administrasi ini melakukan tugas pemerintah sehari-hari dan berhadapan dengan warga


(35)

Negara secara langsung dalam tindakan-tindakan mereka dibandingkan pengaruh dari unit-unit pemerintah lainnya. Anderson (dalam Winarno, 2014:221-222) menambahkan bahwa badan-badan (birokrasi) ini mempunyai keleluasaan yang besar dalam menjalankan kebijakan-kebijakan publik yang berda dalam yuridiksinya karena mereka seringkali bekerja berdasarkan mandat perundang-undangan yang luas dan ambigu.

b. Lembaga Legislatif

Secara tradisional asumsi dalam banyak literature administrasi publik menyatakan bahwa ilmu politik dan administrasi merupakan kegiatan-kegiatan yang tak terpisahkan. Asumsi ini dipersoalkan karena cabang-cabang administrative seringkali dalam perumusan maupun dalam imlemntasi kebijakan. Dan sebaliknya badan-badan legislatif sering terlibat dalam proses implementasi kebijakan publik.

c. Lembaga Peradilan

Keterlibatan lembaga peradilan dalam implementasi kebijakan publik adalah dalam konteks memengaruhi tata kelola /administrasi melalui interpretasi nyata terhadap perundang-undangan, peraturan-peraturan administrasi, regulasi dan pengkajian ulang terhadap keputusan administratif dalam kasus yang dibawa ke pengadilan.

d. Kelompok-kelompok penekan

Oleh karena diskresi seringkali diberikan kepada badan-badan administrasi publik, maka membuka kesempatan kepada badan administrasi untuk melakukan distorsi. Berdasarkan diskresi yang berlaku dalam banyak badan


(36)

administrasi, sebuah kelompok yang berhasil memengaruhi tindakan suatu badan administrsi mungkin mempunyai efek secara substansial pada arah dan dampak dari kebijakan publik. Kadangkala hubungan antara suatu kelompok kepentingan dengan suatu badan administrasi bias begitu dekat, sehingga disimpulkan bahwa suatu kelompok kepentingan telah “menguasai” suatu badan administrasi.

e. Organisasi-organisasi masyarakat

Organisasi-organisasi masyarakat seringkali terlibat dalam implementasi program-program publik. Kebijakan publik yang dikeluarkan sering mengharapkan keterlibatan masyarakat yang biasanya diwujudkan melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ada.

Dalam penelitian ini yang akan menjadi aktor dari kebijakan publik ini adalah badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan serta organisasi perangkat daerah dan organisasi-organisasi lainnya yang berkaitan dengan ketahanan pangan di kabupaten Serdang Bedagai. Yang dimaksud berkaitan dengan bidang ini adalah setiap organisasi baik organisasi pemerintah maupun swasta yang menjalin koordinasi dengan badan Pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan. Selain itu, turut juga organisasi pemerintah pusat dan setiap organisasi lainnya yang memiliki tujuan yang sama yang telah ditetap.

II.1.5 Analisis Antar-Organisasi dan implementasi

Fokus utama dari studi implementasi adalah persoalan tentang bagaimana organisasi berperilaku, atau bagaimana orang berperilaku dalam organisasi. Akan


(37)

tetapi, jika kita menerima bahwa implementasi adalah sebuah proses yang melibatkan “jaringan” atau multiplisitas organisasi, pertanyaaannya adalah bagaimana organisasi berinteraksi satu sama lain. Ada dua pendekatan yang muncul dalam persoalan ini (Parson,2008:484). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan dari setiap organisasi-organisasi pelaksana dalam mensukseskan suatu kebijakan yang telah dirumuskan. Interaksi antar organisasi pelaksana dilapangan menjadi keharusan untuk diperhatikan dalam implementasi kebijakan. Ada dua pendekatan yang muncul untuk mengungkap hal ini, yaitu:

1. Kekuasaan dan ketergantungan sumberdaya

Pendekatan ini berargumen bahwa interaksi organisasi adalah produk dari hubungan kekuasaan dimana organisasi-organisasi dapat membuat organisasi yang lebih lemah dan lebih tergantung untuk berinteraksi dengan mereka. Pada gilirannya, organisasiorganisasi yang tergantung pada organisasi yang lebih kuat harus menjalankan strategi bekerjasama dengan organisasi yang lebih kuat untuk mengamankan kepentingan mereka dan mempertahankan otonomi relatifnya atau mempertahankan ruang mereka untuk beroperasi (Aldrich dalam parson, 2008:484). Dalam hal ini, Aldrich ingin mengungkapkan bahwa setiap organisasi pelaksana yang lemah akan selalu bergantung pada organisasi pelaksana yang lebih kuat. Namun keadaan itu akan terus berlanjut jika organisasi pelaksana yang lemah tersebut berinteraksi dengan organisasi pelaksana yang lebih lemah lagi. Maka organisasi yang lebih lemah itu akan sangat bergantung pada organisasi yang lemah tersebut.


(38)

2. Pertukaran Organisasional

Pendekatan ini ingin mengungkap bahwa organisasi bekerja dengan organisasi lain dengan saling mempertukarkan manfaat mutual. Levine dan white (1961) dalam parson (2008:485) mengatakan bahwa ciri utama dari pertukaran antar-organisasi adalah pertukaran itu merupakan interaksi sukarela yang dilakukan demi mencapai tujuan masing-masing pihak. Hal ini didukung oleh pernyataan Scharpf (dalam Parson, 2008:485) bahwa “ Sementara pihak yang tampak dominan mungkin menguasai sumber daya moneter, pada saat yang sama ia mungkin juga tergantung sepenuhnya kepada keahlian spesialis, kontak klien, dan informasi yang hanya tersedia untuk unit bawahan…ringkasnya hubungan dependensi-unilateral yang stabil di sepanjang waktu adalah kasus yang langka, dan dependensi mutual jauh lebih banyak dijumpai. Jadi, jarang dijumpai adanya otoritas hierarki dan arus anggaran satu arah dalam relasi antar organisasi.

II.1.6 Kegagalan Kebijakan

Gordon chase (dalam parson, 2008:483) memberikan kerangka untuk memeriksa rintangan yang menghadang implementasi kebijakan publik. Melalui kerangka tersebut dapat digunakan oleh pihak pengimplementasi sebagai peta agar mereka bisa mengidentifikasi persoalan-persoalan utama dalam program mereka. Yang signifikan dalam analisisnya adalah dia meninjukkan bahwa dalam mengimplementasikan kebijakan pelayanan manusia, konteksnya lebih kompleks dan tak pasti, bahkan dalam soal-soal seperti ruang dan sumber perlengkapan sekalipun.


(39)

Dari tiga bagian kerangka yang disusun oleh Gordon chase tersebut, peneliti hanya akan menggunakan 2 kerangka yang akan digunakan sebagai peta untuk mengidentifikasi persoalan implementasi. Seperti yang kita ketahui Badan lebih bersifat koordinatif bukan bersifat teknis, oleh sebab itu kesulitan yang berasal dari tuntutan operasional pada badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan tidak dapat dilihat. Adapun kerangka yang dikemukan oleh Gordon tersebut adalah sebagai berikut:

Kesulitan yang berasal dari sifat dan ketersediaan sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan program.

1. Uang: berapa batas dana, dan adakah kemungkinan untuk dilebihkan?

2. Personel: apakah mereka siap, dan punya kualifikasi yang tepat? Apakah programnya sudah punya cukup personel?

3. Ruang: apakah program punya ruang yang cukup? Apakah perlu ditambah? 4. Suplai dan perlengkapan teknis: apakah tersedia dan dapat digunakan?

Apakah teknologi berperan penting?

Kesulitan yang berasal dari kebutuhan manajer program untuk berbagi otoritas atau mempertahankan dukungan dari aktor politik dan birokratik lain.

1. Agen Overhead: berapa banyak agen yang harus ditangai manajer, dan apakah mereka akan bersifat suportif?

2. Agen lini: berapa banyak yang terlibat dan dapatkah orang-orang itu bekerja sama? Apakah tanggung jawab masing-masing lini sudah jelas?


(40)

4. Mana level pemerintah lebih tinggi yang terlibat?

5. Penyedia sector-privat: seberapa banyakkah manajer program membutuhkan penyedia sector privat? Seberapa baikkah manajer program mampu mengontrol kontraktor privat?

6. Kelompok kepentingan khusus: apa kepentingan politik mereka dan apa pengaruhnya?

7. Media massa: akankah program bias terlihat? Apakah media bias membantu atau justru mengganggu?

Khusus bagi negara-negara berkembang, sebaiknya tidak gagal dalam perumusan kebijakan atau dalam membuat keputusan, karena apabila gagal maka akan memperlemah kredibilitas pembuat kebijakan, pemerintah yang berkuasa. Menurut Nugroho (2014:251), perumusan kebijakan tidak dapat dipisahkan dari implementasi kebijakan; oleh karena itu perumusan kebijakan di negara-negara berkembang dianggap gagal jika:

1. Kebijakan berhasil dirumuskan, tetapi kebjakan tidak mampu untuk diimplementasikan. Hal ini dinamakan sebagai kegagalan manajemen, karena kebijakan kemudian undermanage atau tidak mampu di-manage.

2. Kebijakan berhasil dirumuskan, tetapi implementasi nya juga berhasil, tetapi implementasinya mahal. Hal ini dinamakan kegagalan administratif.

3. Kebijakan berhasil dirumuskan dan implementasinya juga berhasil, tetapi hasilnya tidak seperti yang didesain. Kegagalan ini dinamakan kegagalan desain.


(41)

4. Kebijakan berhasil dirumuskan, implementasinya sama berhasilnya seperti desain, tetapi tidak cocok dengan kearifan kebijakan dari hasil yang diharapkan. Kegagalan ini dinamakan kegagalan teori.

5. Kebijakan berhasil dirumuskan, tetapi implementasinya diambil alih oleh kepentingan politik lain atau administrasi lain, hingga akhirnya menciptakan hasil yang berbeda total. Kegagalan ini dinamakan kegagalan yang keluar rel.

Para pembuat kebijakan telah memahami bahwa daerahlah yang mengerti keadaannya dan seharusnyalah daerah yang menyelesaikan permasalahannya sesuai dengan kondisi daerahnya tersebut. Pemahaman inilah yang mendorong pembagian kewenangan daerah dan pemerintah pusat. Dan salah satunya ialah kewenangan untuk mengatasi masalah pangan. Kebijakan yang telah dibuat tersebut akan berjalan dilapangan dan tentukan akan memiliki hasil yang dapat dilihat.

II.2 Koordinasi

II.2.1. Pengertian Koordinasi

Menurut Stoner (dalam Sugandha 1991:12) Koordinasi adalah Proses penyatu-paduan sasaran-sasaran dan kegiatan-kegiatan dari unit-unit yang berpisah (bagian atau bidang fungsional) dari sesuatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Senada dengan itu Sugandha juga menyebutkan bahwa koordinasi merupakan penyatupaduan gerak dari seluruh potensi dan unit-unit organisasi atau organisasi-organisasi yang berbeda fungsi agar secara benar-benar mengarah pada sasaran yang sama guna memudahkan pencapaiannya dengan efisien (1991:12). Fayol (dalam Arsyad, 2002) menjelaskan bahwa koordinasi adalah suatu


(42)

usaha untuk mengharmoniskan dalam rangkaian struktur yang ada. Fayol (dalam Moekijat : 1989) juga menambahkan bahwa koordinasi merupakan suatu unsur manajemen yang diartikan sebagai penggabungan usaha dan peraturan semua kegiatan perusahaan agar sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan.

Adapun Brech (dalam Hasibuan, 2011) memberikan pengertian koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok kepada masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri.

Hal di atas dapat dipahami bahwa dalam melaksanakan koordinasi harus ada kesesuaian antara peraturan dan tindakan serta kerja sama antar anggota yang pada akhirnya menimbulkan keharmonisan kerja sehingga tidak adanya pekerjaan yang tumpang tindih dan semua usaha atau kegiatan yang dilaksanakan berjalan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan.

Hasibuan (2011) menyatakan bahwa koordinasi adalah kegiatan mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsur-unsur manajemen dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi. Koordinasi mengimplikasikan bahwa elemen-elemen sebuah organisasi saling berhubungan dan mereka menunjukkan keterkaitan sedemikian rupa, sehingga semua orang melaksanakan tindakan-tindakan tepat, pada waktu tepat dalam rangka upaya mencapai tujuan-tujuan.

Dari beberapa pengertian koordinasi di atas dapat disimpulkan bahwa koordinasi adalah kerjasama antar bagian atau sektor yang menciptakan


(43)

keharmonisan kerja dalam melaksanakan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan bersama yang sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.

Adapun unsur-unsur koordinasi adalah sebagai berikut:

a) Unit-unit adalah kelompok-kelompok kerja didalam suatu organisasi yang tentunya mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini kita akan melihat bagaimana setiap unit-unit yang berbeda-beda dalam mengatasi masalah pangan.

b) Sumber-sumber atau potensi yang ada pada unit-unit suatu organisasi atau pada organisasi-organisasi adalah tenaga kerja’ keterampilan dan pengetahuan personilnya, teknologi, anggaran, serta fasilitas kerja lainnya. c) Gerak kegiatan adalah segala daya upaya, segala sesuatu tindakan yang

dikerjakan oleh pejabat-pejabat maupun kelompok kerja dalam melakukan tugasnya.

d) Kesatupasuan artinya terdapat pertautan atau hubungan di antara sesamanya sehingga mewujudkan suatu integritas atau suatu kesatuan yang kompak. e) Keserasian, berarti adanya urutan-urutan pengerjaan sesuatu yang tersusun

secara logis, sistematis, atau dilakukan dalam waktu yang bersamaan akan tetapi tidak menimbulkan duplikasi (pengulangan), perjumbuhan maupun pertentangan.

f) Arah yang sama, dalam hal ini sebagai pedoman ialah sasaran yang sudah ditetapkan. Segala potensi itu diarahkan ke sasaran yang satu itu juga, sehingga tak terjadi penyimpangan.


(44)

Fungsi koordinasi ini demikian penting, apalagi bila administrasi harus berjalan sebagai suatu system , sebagai suatu kesatuan yang bulan dari bagian-bagian yang saling berhubungan, saling menunjang dan saling bergantung agar administrasi mencapai tujuan.

II.2.2. Jenis-Jenis Koordinasi

Menurut Sugandha (1991:25), jenis-jenis koordinasi menurut lingkupnya terdiri dari koordinasi intern yaitu koordinasi antar pejabat atau antar unit di dalam suatu organisasi dan koordinasi ekstern yaitu koordinasi antar pejabat dari berbagai organisasi atau antar organisasi. Umumnya organisasi memiliki tipe koordinasi yang dipilih dan disesuaikan dengan kebutuhan atau kondisi-kondisi tertentu yang diperlukan untuk melaksanakan tugas agar pencapaian tujuan tercapai dengan baik.

Sugandha (1991:26) juga menambahkan pembagian jenis koordinasi yang dibedakan menurut arahnya, terdapat 4 jenis koordinasi ini yaitu sebagai berikut :

a. Koordinasi Vertikal

Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit, kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggung jawabnya. Tegasnya, atasan mengkoordinasikan semua aparat yang ada di bawah tanggung jawabnya secara langsung. Koordinasi vertikal ini secara relatif mudah dilakukan, karena atasan dapat memberikan sanksi kepada aparat yang sulit diatur.

b. Koordinasi Horizontal

Koordinasi horizontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan


(45)

dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat. Koordinasi horizontal ini dibagi atas interdisciplinary dan interrelated.

Interdisciplinary adalah suatu koordinasi dalam rangka mengarahkan, menyatukan tindakan-tindakan, mewujudkan, dan menciptakan disiplin antara unit yang satu dengan unit yang lain secara intern maupun secara ekstern pada unit-unit yang sama tugasnya.

Interrelated adalah koordinasi antarbadan (instansi); unit-unit yang fungsinya berbeda, tetapi instansi yang satu dengan yang lain saling bergantung atau mempunyai kaitan, baik secara intern maupun secara ekstern yang levelnya setaraf. Koordinasi horizontal ini relatif sulit dilakukan karena koordinator tidak dapat memberikan sanksi kepada pejabat yang sulit diatur sebab kedudukannya yang setingkat.

c. Koordinasi diagonal

Koordinasi diagonal adalah kooordinasi antar pejabat atau unit atau unit yang berbeda fungsi dan berbeda tingkatan hierarkhinya.

d. Koodinasi fungsional

Koodinasi fungsional adalah koordinasi antar pejabat , antar unit antar organisasi yang didasarkan atas kesamaan fungsi, atau karena koordinatornya mempunyai fungsi tertentu.

II.2.3. Prinsip-Prinsip Koordinasi

Sugandha (1991:16) menyatakan ada beberapa prinsip yang perlu diterapkan dalam menciptakan koordinasi antara lain adanya kesepakatan dan kesatuan


(46)

pengertian mengenai sasaran yang harus dicapai sebagai arah kegiatan bersama, adanya kesepakatan mengenai kegiatan atau tindakan yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak, termasuk target dan jadwalnya, setelah itu adanya kataatan atau loyalitas dari setiap pihak terhadap bagian tugas masing-masing serta jadwal yang telah diterapkan.

Kemudian adanya saling tukar informasi dari semua pihak yang bekerja sama mengenai kegiatan dan hasilnya pada suatu saat tertentu, termasuk masalah-masalah yang dihadapi masing-masing, didukung dengan adanya koordinator yang dapat memimpin dan menggerakkan serta memonitor kerjasama tersebut, serta memimpin pemecahan masalah bersama, dan adanya informasi dari berbagai pihak yang mengalir kepada koordinator sehingga koordinator dapat memonitor seluruh pelaksanaan kerjasama dan mengerti masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh semua pihak, serta dilengkapi denagn adanya saling hormati terhadap wewenang fungsional masing-masing pihak sehingga tercipta semangat untk saling bantu.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa prinsip-prinsip koordinasi adalah suatu usaha dalam menyatukan informasi yang disertai dengan kepatuhan terhadap pemimpin dan peraturan.

II.2.4. Mekanisme dan Proses Koordinasi

Mekanisme koordinasi yaitu adanya kesadaran dan kesediaan sukarela dari semua anggota organisasi atau pemimpin-pemimpin organisasi untuk kerjasama antarinstansi, adanya komunikasi yang efektif, tujuan kerjasamanya, dan peranan dari tiap pihak yang terlibat, harus dapat menciptakan organisasinya sendiri sedemikian


(47)

rupa sehingga menjadi suatu organisasi yang mampu memipin organisasi-organisasi lainnya, meminta ketaatan, kesetiaan, dan displin kerja tiap pihak yang terlibat, terciptanya koordinasi di dalam suatu organnisasi akan menunjukkan bahwa organisasi tersebut benar-benar bergerak sebagai suatu sistem, dan pemimpin akan bertindak sebagai fasilitator dan tenaga pendorong (dalam Sugandha, 1991:27-28).

Siagian (1991) berpendapat mengenai cara-cara yang dapat dilakukan dalam mengkoordinasi, yaitu dengan melakukan briefing staf untuk memberitahukan kebijaksanaan pimpinan organisasi kepada staf yang dalam waktu sesingkat mungkin harus diketahui dan mendapat perumusan. Setelah itu diadakan rapat staf untuk mengadakan pengecekan terhadap kegiatan yang telah dan sedang dilakukan oleh staf serta mengadakan integrasi daripada pkok-pokok hasil pekerjaan staf. Lalu mengumpulkan laporan-laporan mengenai pelaksanaan keputusan pimpinan organisasi. Selanjutnya mengadakan kunjungan serta inspeksi mengenai pelaksanaan keputusan pimpinan organisasi serta memberikan petunjuk-petunjuk sesuai dengan pedoman atau ketentuan yang telah ditetapkan oleh pimpinan organisasi.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa mekanisme dan proses koordinasi bertujuan untuk menjaga keharmonisan komunikasi dan hubungan antara pimpinan dan bawahannya pada kegiatan koordinasi.

II.2.5. Hambatan Koordinasi

Menurut Sugandha (1991:24-25) hambatan-hambatan yang terjadi dalam koordinasi akan menimbulkan beberapa kesalahan yang sering dilakukan seseorang dalam melakukan usaha pengkoordinasian, yaitu


(48)

1. kesalahan anggapan orang mengenai organisasinya sendiri,

Suatu instansi sering dianggap oleh para anggotanya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi sehingga sukar bagi mereka untuk merendahjan diri dan berada dibawah koordinasi instansi yang sederajat.

2. kesalahan anggapan orang mengenai instansi induknya,

Suatu instansi vertical sering menganggap bahwa organisasi induk atau markas besarnya adalah sumber segala-galanya. Hanya organisasi induklah yang berwewenag meminta loyalitasnya. Dengan demikian timbul keengganan bila instansi yang sederajat meminta loyalitasnya untuk melakukan kerja sama.

3. kesalahan pandangan mengenai arti koordinasi sendiri, dan

Masih banyak orang yang menganggap bahwa kewenangan koordinasi identik dengan kewenangan komando. Karena itu, pada satu pihak yaitu instansi yang mempunyai fungsi tertentu yang berwenang mengkoordinasikan nasa permintaan bantuannya akan lebih bersifat perintah. Pihak yang lain menganggap bahwa pemerintah seharusnya hanya datang dari atasan (induk) sehingga selalu akan bersikap apatis terhadap ajakan-ajakan berkoordinasi. 4. kesalahan pandangan mengenai kedudukan departemennya di pusat.

Pandangan ini bertitik tolak dari fungsi dan tugas pokoknya yang skhusus sehingga merasa tidak ada kaitan dengan fungsi dan tugas pokok lainnya. Dengan anggapan bahwa kotak mereka sendiri sudah jelas maka hanya fungis dan tugas pokoknya sendirilah yang menjadi perhatiannya yang penuh.


(49)

II.3 Ketahanan Pangan

II.3.1. Pengertian Ketahanan Pangan

Defenisi ketahanan pangan (food security) memiliki perbedaan dalam setiap konteks, waktu dan tempat. Istilah ketahanan pangan sendiri sebagai sebuah konsep kebijakan baru muncul pertama kali tahun 1974, yakni ketika dilaksanakannya konferensi pangan dunia. Secara formal, setidaknya ada lima organisasi internasional yang memberikan pengertian dengan sikap saling melengkapi defenisi yang satu dengan yang lainnya. Pertama, menurut

First world food conference 1974, united Nations 1975, ketahanan pangan adalah

“Ketersediaan pangan dunia yang mcukup dalam segala waktu untuk menjaga keberlanjutan

konsumsi pangan dan menyeimbangkan fluktuasi produksi dan harga.” Kedua, menurut FAO (Food And Agricultural Organization) 1992, Ketahanan pangan adalah “Situasi semua orang

dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman dan bergizi demi kehipuan yang sehat dan aktif. Ketiga, menurut world bank (1996), ketahanan pangan adalah

“akses oleh semua orang pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.”

Keempat, menurut OXFAM (2001), ketahanan pangan adalah kondisi dimana “ setiap orang dalam segala waktu memiliki akses dan control atas jumlah pangan yang cukup dan kualitas baik demi hidup sehat dan aktif. Dua kandunagn makna yang tercantum disini yakni: ketersediaandalam arti kualitas, kuantitas dan akses (hak atas pangan melalui

pembelian, pertukaran maupun klaim).” Kelima, menurut FIVIMS (2005), ketahanan pangan

adalah kondisi dimana “semua orang pada segala waktu secara fisik, social dan ekonomi

memiliki akses atas pangan yang cukup. Aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi (dietary need) dan pilihan pangan (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.


(50)

Pemerintah Indonesia sendiri melalui Undang-undang (UU) No.7 tahun 1996

mendefenisikan ketahanan pangan sebagai “kondisi dimana terjadi kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari kecukupan pangan dalam jumlah dan kualitas dan juga adanya jaminan atas keamanan (Safety), distribusi yang merata dan kemampuan

membeli. ”Undang-undang ini juga mempertegas defenisi ketahanan pangan sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedia pangan yang cukup,

baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”.

Lebih spesifik lagi, Maxwell dan Selter (dalam winarno, 2014:302-303)

melakukan pelacakan atas berbagai defenisi ketahanan pangan sepanjang waktu dan menemukan bahwa wacana ketahanan pangan berubah sedemikian cepatnya dari focus pada ketersediaan-penyediaan ke perspektif hak dan akses (entitlements) menurut Maxwell, setidaknya terdapat empat elemen ketahanan pangan berkelanjutan (sustainable food security) di level keluarga sebagai berikut:

1. Kecukupan pangan yang didefenisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang efektif dan sehat.

2. Akses atas pangan, yang didefenisikan sebagai hak (entitlements) untuk produksi, membeli atau menukarkan (ex change) pangan ataupun menerima sebagai pemberian (transfer).

3. Ketahanan yang didefenisikan sebagai keseimbangan antara kerentanan, reseiko, dan jaminan pengaman social.

4. Fungsi waktu manakala ketahanan pangan dapat bersifat kronis/kritis, transisi, dan atau siklus.

Senada dengan yang diungkap oleh Maxwell dan Slater, Pribadi mendefenisikan ketahanan pangan sebagai keadaan dimana semua penduduk


(51)

memiliki akses fisik ekonomi terhadap pangan untuk mendapatkan gizi yang cukup bagi kehidupannya yang produktif dan sehat (dalam winarno, 2014:288). Lebih jauh, Amartya Sen (dalam winarno, 2014:288), mendefenisikan ketahanan pangan tidak sekedar ketersediaan, tetapi juga akses. Melalui Studinya di India dan di Afrika, sen berada pada suatu kesimpulan bahwa ketidaktahanan pangan dan kelaparan terjadi bukan karena tersedia atau tidaknya kebutuhan pangan di suatu Negara atau wilayah tetapi lebih pada ada atau tidaknya akses atas pangan.

Lebih lanjut lagi, Bustanul Arifin (dalam winarno, 2014:302) meyebutkan bahwa tonggak ketahanan pangan terdiri atas ketesediaan atau kecukupan pangan dan aksesibilitas bahan pangan oleh anggota masyarakat. Aksesibilitas setiap individu terhadap bahan pangan dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan system pasar serta mekanisme yang efektif dan efisien, yang juga dapat di sempurnakan melalui kebijakan tata niaga, atau distribusi bahan pangan dari sentra produksi sampai ke tangan konsumen. Akses individu ini dapat juga ditopang oleh intervensi kebijakan harga yang memadai, menguntungkan dan memuaskan berbagai pihak yang terlibat.

II.3.2. Aksesibilitas Pangan

Tercukupinya pasokan pangan tidak berarti akses terhadap pangan menjadi mudah bagi semua penduduk atau rumah tangga. Akses pangan menurut khaeron (2012:131) menyangkut 2 hal yaitu distribusi dan daya kemampuan membeli. Ketika pasokan cukup tidak berarti proses distribusinya lancar sehingga tidak menimbulkan persoalan. Selain itu, persoalan akses juga menjadi sesuatu yang penting berkaitan dengan beragamnya kemampuan daya beli masyarakat.


(52)

Meskipun pasokan pangan tersedia, bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, pengeluaran untuk membeli pangan terasa berat. Berbeda dengan golongan masyarakat berpenghasilan tinggi, pos belanja pangan (pokok) adalah sebagian kecil dari total pengeluarannya. Kondisinya menjadi semakin sulit ketika pasokan pangan seringkali menghadapi kendala, baik pasokan maupun distribusinya. Persoalan akses pangan menjadi suatu yang krusial dan berdimensi luas, apalagi jika dikaitkan dengan aspek keadilan.

II.3.3. Daerah Rawan Pangan

Istilah “rawan pangan” (food insecurity) merupakan kondisi kebalikan dari “ketahanan pangan” (food security). Istilah ini sering diperhalus dengan istilah “terjadi penurunan ketahanan pangan”, meskipun pada dasarnya pengertiannya sama. Terdapat 2 (dua) jenis kondisi rawan pangan, yaitu yang bersifat kronis (chronical food insecurity) dan yang bersifat sementara (transitory food insecurity). Rawan pangan kronis merupakan kondisi kurang pangan (untuk tingkat rumah tangga berarti kepemilikan pangan lebih sedikit dari pada kebutuhan dan untuk tingkat individu konsumsi pangan lebih rendah dari kebutuhan biologis) yang terjadi sepanjang waktu. Sedangkan pengertian rawan pangan akut atau transitory mencakup rawan pangan musiman (seasonal). Rawan pangan ini dapat terjadi karena adanya kejutan (shock) yang mendadak dan tak terduga seperti kekeringan dan ledakan serangan hama, yang sangat membatasi kepemilikan pangan oleh rumah tangga, terutama mereka yang berada di pedesaan. Bagi rumah tangga di perkotaan rawan pangan tersebut dapat disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja dan pengangguran.


(53)

Rawan pangan adalah kondisi yang didalamnya tidak hanya mengandung unsur yang berhubungan dengan state of poverty saja seperti masalah kelangkaan sumber daya alam, kekurangan modal, miskin motivasi, dan sifat malas yang menyebabkan ketidakmampuan mereka mencukupi konsumsi pangan. Namun juga mengandung unsur yang bersifat dinamis yang berkaitan dengan proses bagaimana pangan yang diperlukan didistribusikan dan dapat diperoleh setiap individu / rumah tangga melalui proses pertukaran guna memenuhi kebutuhan pangan mereka.

Kerawanan pangan terjadi manakala rumah tangga , masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggotanya. Ada tiga hal penting yang mempengaruhi tingkat rawan pangan, yaitu : (a) kemampuan penyediaan pangan kepada individu/rumah, (b) kemampuan individu / rumah tangga untuk mendapatkan pangan, dan (c) proses distribusi dan pertukaran pangan yang tersedia dengan sumber daya yang dimiliki oleh individu/rumah tangga. Ketiga hal tersebut, pada kondisi rawan pangan yang akut atau kronis dapat muncul secara simultan dan bersifat relatif permanen. Sedang pada kasus rawan pangan yang musiman dan sementara, faktor yang berpengaruh kemungkinan hanya salah satu atau dua faktor saja dan sifatnya tidak permanen. Menurut Husein Sawit (2000:1), Antara kemiskinan dan risiko rawan pangan berkorelasi erat dan positif, karena di dalamnya terkandung daya jangkau RT miskin terhadap pangan.

II.5 Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok, atau individu yang menjadi pusat


(54)

perhatian ilmu sosial. Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interpretasi ganda dari variabel yang diteliti. (Singarimbun, 1995:37). Oleh karena itu untuk mendapatkan batasan yang jelas dari masing masing konsep yang akan diteliti, maka penulis mengemukakan definisi konsep dari penelitian ini yaitu:

a. Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah segala sesuatau yang dilakukan pemerintah lewat keputusan bersama aktor-aktor politik untuk pencapaian menjamin adanya ketahanan pangan bagi setiap rumah tangga dengan cara pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya- sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah- masalah pangan.

b. Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan adalah suatu tindakan nyata dari pemerintah dalam menjalankan setiap keputusan/kebijakan yang telah dirumuskan agar tercapainya tujuan yang diinginkan.

c. Koordinasi

Penyatupaduan seluruh unit-unit organisasi pelaksana ketahanan pangan di pemerintah daerah yang bergerak dengan mengerahkan segala sumberdaya untuk menciptakan ketahanan pangan.

d. Organisasi pelaksana

Organisasi pelaksana adalah setiap organisasi baik pemerintah maupun non pemerintah yang bertugas untuk melaksanakan setiap kebijakan/keputusan yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan.


(55)

e. Aksesibilitas Pangan

Aksesibilitas Pangan adalah kemudahan dalam menjangkau pangan baik karena adanya pemerataan distribusi maupun masalah harga yang terjangkau.

f. Ketahanan pangan

Ketahanan Pangan adalah kondisi dimana terjadi kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari kecukupan pangan dalam jumlah dan kualitas dan juga adanya jaminan atas keamanan (Safety), distribusi yang merata dan kemampuan membeli.


(1)

Serdang Bedagai. Adapun Koordinasinya dapat dilihat melalui pendelegasian tugas dan wewenang kepada masing-masing anggota, system komando yang berjenjang dalam mengerahkan potensi yang mereka miliki dan melalui hasil yang pada akhirnya dapat kita nilai yaitu bagaimana keberhasilannya dalam menangani daerah rawan pangan. Dimana didalam penelitian telah dilihat adanya pembagian tugas dalam tim SKPG ini dan garis komanado yang berjenjang telah terlihat hanya hanya adanya kekurangan dana membuat tim ini tidak mampu berbuat banyak bagi daerah- daerah rawan pangan tersebut.

2. Kegiatan Distribusi Pangan Masyarakat

Kegiatan Distribusi Pangan Masyarakat Kabupaten Serdang Bedagai dilakukan untuk memperkuat kemampuan kelompok Lumbung Pangan khususnya pada unit distribusi/Pemasaran/Pengolahan agar mampu membantu anggotanya dalam memasarkan hasil produksi pangannya disaat mengahdapi panen raya dan unit Pengelolah cadangan pangan agar mampu menyediakan cadangan pangan saat menghadapi paceklik. Terbentuknya wadah Lumbung Pangan merupakan keinginan petani atas dasar adanya kepentingan bersama. Didalam program ini koordinasi yang terlihat ada koordinasi eksternal yakni bagaimana koordinasi antara Badan pelaksana Penyuluhan dan ketahanan pangan dengan kelompok tani yang ada guna untuk menyediakan lumbung padi di setiap kecamatan di Kabupaten. Dalam penelitian ini di dapati bahwa koordinasinya dijalankan sudah berjalan dengan baik.


(2)

Konsepsi Kerangka Pusat Kawasan Strategis Nasional terkait Upaya pemecahan permasalahan Ketahanan Pangan diwilayah perbatasan diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial, dan budaya, serta keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga. Wilayah perbatasan di Kabupaten Serdang Bedagai terdapat di Kecamatan Teluk Mengkudu, Tanjung Beringin, Pantai Cermin,dan Bandar Khalipah. Sedangkan Yang menjadi fokus kegiatan Mandiri Pangan Kawasan Perbatasan di Kabupaten Serdang bedagai adalah terletak di 2 (Dua) kecamatan yaitu Kecamatan Teluk Mengkudu dan Tanjung Beringin.

4. Operasionalisasi Kelompok Kerja Pangan dan Gizi

Kelompok kerja Pangan dan Gizi yang dibentuk oleh Badan Pelaksana Penyuluhan dan ketahanan Pangan Kabupaten Serdang Bedagai merupakan kelompok kerja yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan penanganan Daerah Rawan Pangan serta sebagai wadah koordinasi dan kerjasama antar instansi di Kabupaten Serdang Bedagai. Kelompok kerja ini dibentuk berdasarkan SK Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 18.29/ /BP2KP/I/ Tahun 2014. Peranan Pokja ini yang ditekankan pada koordinasi antar SKPD dalam kesiapan menanggapi laporan tim SKPG mengenai laporan daerah rawan pangan di Kabupaten Serdang Bedagai. Secara umum Pokja yang seharusnya menjadi wadah bagi instansi-instansi yang berkaitan dengan ketahanan pangan di Kabupaten Serdang Bedagai ini belum berjalan dengan maksimal.


(3)

VI. 2. Saran

Adapun saran yang diberikan peneliti atas peran koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan ketahanan pangan dalam meningkatkan Aksesibilitas Pangan di daerah rawan pangan dalah sebagai berikut:

VI. 2.1. Kepada Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan

1. Sebagai Badan yang bertugas untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan Pangan di Kabupaten Serdang Bedagai tentunya Badan ini harus lebih bersifat fleksibel. Kompleksitas masalahan pangan menuntut adanya dukungan dari berbagai pihak untuk mengatasi permasalahan pangan ini. Maka BP2KP ini dituntut untuk dapat mampu mengkomunikasikan setiap penemuan-penemuannya kepada instansi-instansi terkait dengan cara mengirimkan secara rutin data-data yang telah diolah oleh tim SKPG kepada Instansi-instansi terkait.

2. Dalam menarik dukungan dan sebagai media informasi mengenai permasalahan pangan, BP2KP ini di harapakan mempunyai Website tersendiri. Dengan adanya informasi yang update mengenai daerah-daerah yang rawan pangan maka dapat menarik perhatian dari berbagai pihak untuk terjun langsung mengantisipasi permasalahan pangan di daerah itu.

3. Selanjutnya kemampuan BP2KP dalam mengintervensi pasar untuk menekan harga komoditi pangan dan membrantas praktek-praktek mafia pangan yang kerapa memainkan harga pangan harus menjadi keharusan untuk


(4)

VI. 2.2. Kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai

1. Bupati sebagai pemerintah daerah kabupaten memiliki tanggup jawab dalam masalah ketahanan pangan di daerahnya. Memastikan setiap rumah tangga untuk dapat mengakses pangan yang sehat menjadi tanggung jawab Bupati. Maka diperlukan kebijakan Pemda untuk memprioritaskan pembangunan di daerah-daerah yang sulit terjangkau. Hal itu dimaksudkan untuk meningkatkan jalur distribusi pangan diseluruh wilayah serdang bedagai. 2. Megantisipasi maraknya alihfungsi lahan pertanian menjadi lahan non

pertanian baik untuk perkebunan, industrialisasi, pemukiman maupun infrastruktur harus menjadi perhatian Pemda. Dalam rangka menjaga pangan berkelanjutan maka perlu dibina minat dari generasi muda untuk bertani. Pembangunan SMK khusus pertanian yang berkualitas perlu dilakukan di Serdang Bedagai agar gelar lumbung padi Sumatera utara dapat tetap disandang oleh Kabupaten ini.

3. Bupati harus mampu menghidupkan kembali fungsi dewan pangan dan menjadi pemimpin langsung dalam mengkoordinasikan setiap SKPD nya yang berkaitan dengan permasalahan pangan dengan cara mengeluarkan SK mengenai kelompok kerja pangan dan gizi. Karena Pokja yang dibentuk oleh BP2KP terasa kurang maksimal. Hal ini karena ada anggapan bahwa Badan itu lebih rendah posisinya dari pada dinas, sehingga kerapkali dinas terasa enggan diperintah oleh badan itu sendiri.


(5)

DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku

Abidin, Said Zainal. 2004. Kebijakan Publik. Jakarta: Pancur Siwah

Arikunto, Suharsimi. 2000. Prosedur penelitian : suatu pendekatan praktek. Jakarta. Rineka cipta

Boediono, 2003. Pelayanan Prima Perpajakan. Jakarta : Rineka Cipta

Bungian, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif (Pemahaman Filosofis Dan Metodologis Kearah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Emzir. 2010. Metode Penelitian Kualitatif Analisis Data, Jakarta :Rajawali

Herdiansyah, Haris. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba Humanik

Indiahono, Widianto. 2009. Kebijakan Publik berbasis Dinamic Policy Analysis. Yogyakarta : Penerbit Grava Media

Idrus, Muhammad. 2009. Metode penelitian ilmu sosial pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Yogyakarta : PT Gelora Aksara Pratama.

Moleong, lexi. 2006. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung. PT Remaja. Rosdakarya

Nugroho, Riant. 2014 .Kebijakan Publik Di Negara-Negara Berkembang. Jakarta: Pustaka pelajar

Singarimbun, Masri. 2006. Metode Penelitian Survay. LP3ES: Jakarta

Solichin, H Abdul Wahab. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. UMM Press: Malang

Sugiyono. 2008. Metode penelitian kuantitatif, kualitatif R &D. Bandung. Alfabeta Sutedi, Adrian. 2011. Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayan Publik. Jakarta : Sinar Grafika

Tangkilisan, Hesel Nogi. 2003. Implementasi Kebijakan Publik. Lukman Offset YPAPI: Yogyakarta.


(6)

Parsons, Wayne.2005. Publik Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisis kebijakan. Jakarta : Penerbit Kencana Prenada Media group

Winarno, Budi.2014. Kebijakan Publik Teori, Proses dan Studi Kasus. Yogyakarta: CAPS (Center of Academik Publishing service)

Zuriah, Nurul. 2006. Metode penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Sumber Undang-Undang dan Peraturan

Undang-undang Dasar 1945

Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan Daerah

Undang-undang (UU) Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

Kepmenpan No.63/63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Tata Organisasi Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai

Sumber Jurnal

Husein Sawit. 2000. “Kebijakan Ketahanan Pangan Orde Baru, Orde Reformasi Dan Era Otoda: Sebuah Penilaian”. Jurnal ekonomi pertanian. Volume I.

Sumber Internet

http://www.spi.or.id/?p=726, diakses tanggal 14 Januari 2015 pukul 10.00 Wib http://ilmu-gizi.blogspot.com/2010/10/konsep-rawan-pangan.html, diakses tanggal 26 juni 2015 pukul 23:43 Wib