Latar Belakang Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan Dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan bagi Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Serdang Bedagai

12 BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Ketahanan Pangan merupakan isu yang sangat krusial di Indonesia maupun di dunia internasional. Masalah ketahanan pangan telah menjadi ancaman yang menakutkan bagi dunia saat ini. Hal ini disebabkan karena masalah pangan merupakan masalah penentu hidup matinya seseorang. Setiap orang dapat bertahan hidup hanya karena adanya makanan yang di konsumsi. Dan sungguh sangat mengerikan jika kebutuhan akan pangan tidak dapat dipenuhi maka akan mengakibatkan busung lapar dan pada akhirnya menuju pada kematian. Hal inilah yang membuat masalah ketahanan pangan menjadi sangat penting untuk diperhatikan dan diselesaikan. Dunia internasional telah menyadari pentingnya masalah ketahanan pangan. Masalah ketahanan pangan telah diperbincangkan oleh dunia internasioanal pada tahun 1974 dengan diadakannya konferensi pangan dunia untuk pertama kalinya. Hal ini tentu didorong oleh kekuatiran dari pemimpin-pemimpin negara di dunia internasional akan ketahanan pangan. Krisis pangan yang melanda beberapa negara di benua Afrika dan Asia memberikan sinyal ancaman bagi dunia internasional. Lebih lagi, produksi pangan yang tidak menunjukkan angka yang signifikan pada waktu itu Universitas Sumatera Utara 13 dan ditambah dengan peningkatan jumlah penduduk yang tak terkendali. Kesadaran dan kekuatiran tersebut pada akhirnya mendorong terselenggaranya konferensi pangan internasional. Atas dasar permasalahan tersebut, kemudian Thomas R. Malthus mencetuskan Revolusi hijau untuk menjawab permasalahan pangan Global. Revolusi hijau pada waktu itu menjadi sebuah gerakan bersama dari setiap Negara di dunia untuk meningkat produktivitas pertanian mereka melalui pengembangan dan penelitian pertanian serta modernisasi pertanian dengan menggunakan teknologi canggih dalam pertanaian. Namun Paradigma ketahanan pangan telah gagal mencapai target dalam menurunkan angka kelaparan dunia. Berdasarkan laporan Organisasi Pangan Dunia FAO pada 17 September 2014, angka kelaparan mencapai 805 juta jiwa. Jumlah ini jauh meleset dari target World Food Summit pada tahun 1996, yang saat itu menggadang-gadang konsep ketahanan pangan akan mampu mengurangi setengah angka kelaparan dunia pada tahun 2015, yakni dari 1,0145 milyar juta jiwa menjadi 507,25 juta jiwa. Laporan FAO itu juga menyampaikan bahwa angka kelaparan negara dunia berkembang masih pada angka 790,7 juta jiwa. Dengan kata lain satu dari sembilan orang di dunia atau satu dari delapan orang di Negara-negara berkembang tidak mempunyai pangan cukup untuk aktif dan hidup sehat. Hal ini tentu kembali membuat kekuatiran bagi dunia dan harus menempatkan masalah ketahanan pangan sebagai suatu permasalahan yang harus diselesaikan sebelum semakin menjadi kompleks. Di Indonesia, lahirnya otonomi daerah mendesak terjadinya perubahan pola kebijakan ketahanan pangan Indonesia. Kebijakan ketahanan pangan Indonesia pada Universitas Sumatera Utara 14 masa orde baru yang lebih sentralistik, kini berubah menjadi desentralistik. Hal ini sesuai dengan semangat reformasi dan otonomi daerah yang saat ini kerap di dengungkan. Lahirnya undang-undang no 22 tahun 1999 dan kemudian direvisi dengan undang-undang no 32 tahun 2004 merupakan sebuah landasan hukum adanya penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia. Penyelenggaraan otonomi daerah yang diharapkan melalui undang-undang no 32 tahun 2004 tidak dapat berjalan dengan baik karena belum adanya peraturan pemerintah yang mengatur kewenangan antara pusat dan daerah. Namun pada tahun 2007 lahirlah Peraturan pemerintah no. 38 yang memperjelas kewenangan antara pusat dan daerah. Di dalam Peraturan pemerintah tersebut menegaskan adanya penyerahan 31 urusan yang di serahkan kepada daerah. Sementara yang termasuk sebagai kategori urusan wajib terdapat 26 urusan yang wajib ditangani oleh pemerintahan daerah dan terdapat 8 urusan sebagai urusan pilihan. Salah satu dari 26 urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah adalah Ketahanan pangan. Inilah yang menjadi dasar hukum perubahan pola sistem kebijakan ketahanan pangan Indonesia. Kebijakan ketahanan pangan pada masa orde baru yang berpola Top-Down sebenarnya berhasil memacu peningkatan produksi pangan. Sejak tahun 1980-an kondisi ketahanan pangan Indonesia cukup menjanjikan, karena besarnya perhatian pemerintah di sektor pertanian. Dengan melaksanakan revolusi hijau pada masa pemerintahan orde baru sebagaimana yang diterapkan dibannyak negara agraris lainnya di dunia Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan. Kebijakan proteksi diterapkan dalam sektor pertanian dengan pemberian subsidi bibit, pupuk, pestisida dan insektisida. Serta membentuk Bulog Badan Urusan Logistik sebagai Universitas Sumatera Utara 15 instansi yang memiliki tugas strategis untuk mengatasi masalah ketahanan pangan, bergerak dengan menyediakan pasar bagi produk-produk pertanian dan menetapkan harga bagi para petani. Kemudian Bulog mendistribusikan kewenangannya melalui KUD Koperasi Unit Desa yang ditempatkan di level pedesaan. KUD merupakan lumbung bagi stok cadangan yang digunakan ketika stok pangan nasional menipis. Pemerintah berusaha menjaga tingkat harga pangan tetap dapat dibeli oleh rakyat banyak. Kebijakan ini jelas merupakan kebijakan yang sangat sentralistik. Sistem kebijakan ketahanan pangan yang begitu sentaralistik nyatanya dapat berhasil pada masa orde baru. Namun adanya semangat otonomi daerah dengan lahirnya UU pemerintah daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Semangat inilah yang pada akhirnya mengkritik kebijakan ketahanan pangan masa orde baru yang dianggap gagal. Peran aktif pemerintah pusat pada masa orde baru dianggap telah mengubah perilaku masyarakat hingga selalu tergantung pada program pemerintah serta mengurangi kreatifitas dan kemandiriannya. Tidak hanya itu, kebijakan ketahanan pangan yang sentralistik dan berpola Top-Down ini juga diklaim sebagai penyebab terjadinya penyeragaman pembangunan hingga tak mampu merespon masalah dan kebutuhan masyarakat yang bergam antar daerah. Atas alasan-alasan tersebut maka kebijakan ketahanan pangan yang sentralistik dan berpola Top-Down di ubah sesuai dengan kebijakan desentralis yang berpola Bottom-Up sesuai dengan UU pemerintahan daerah. Adanya penyerahan tugas dan kewenangan kepada daerah untuk mengurusi persoalan pangan daerahnya sendiri diatur dengan PP No.38 tahun 2007. Di dalam Universitas Sumatera Utara 16 peraturan pemerintah ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk membentuk badan ketahanan pangan daerah yang mempunyai tugas untuk menyediakan pangan bagi setiap rumah tangga. Melalui pembentukan badan ketahanan pangan daerah ini maka setiap pemerintah daerah dituntut untuk dapat mengetahui potensi pangan di daerahnya serta mampu mengelolanya agar mampu menyediakan pangan secara berkelanjutan. Pemerintah daerah diberikan keleluasaan untuk mempergunakan sumber dayanya untuk menciptakan ketahanan pangan di daerahnya. Sebagai mana kritik yang di lontarkan pada masa orde baru yang terkesan sangat sentralistik dan pemerintah pusat dianggap tidak mengerti persoalaan dan potensi daerah. Maka pada kebijakan Desentralisasi pangan ini seharusnya mampu membuktikan kebenaran dari kritik yang pernah dilontarkan tersebut. Kebijakan desentralisasi hampir 16 tahun berjalannya sejak dikeluarkannya UU No.22 tahun 1999 dan lebih jelas lagi sudah 8 tahun sejak dikeluarkannya PP No.38 tahun 2007 tidak menunjukkan tanda-tanda yang membaik dari kebijakan desentralisasi pangan. Walaupun demikian pemerintah republik Indonesia dapat mencukupi kebutuhan pangan Indonesia dengan kebijakan impor pangan. Kecukupan pangan dalam negeri melalui kebijakan impor tentunya telah dilakukan dengan perhitungan yang matang antara produksi dalam negeri dan kebutuhan konsumsi pangan nasional. Namun pada kenyataannya pemenuhan kebutuhan tersebut dengan menekankan pada ketersediaan pangan nasional tentu tidak dapat dijadikan tolak ukur sebuah ketahanan pangan nasional. Terbukti dengan masih adanya kasus-kasus kelaparan di beberapa daerah di Indonesia yang bisa menjadi indikasi kuat bahwa masalah pangan bukan hanya masalah ketersediaan pangan. Universitas Sumatera Utara 17 Lebih lagi di Kabupaten Serdang Bedagai, kabupaten ini telah berhasil mencapai Swasembada beras dan menjadi lumbung pangan Provinsi Sumatera Utara. Hal ini tentu akan menjadi sebuah prestasi yang membanggakan bagi perangkat daerah di Kabupaten ini. Namun ada hal yang perlu untuk diwaspadai, angka kemiskinan yang ada di Serdang Bedagai jika melihat data dari BPS Kabupaten Serdang Bedagai dengan menggunakan komponen Garis Kemiskinan GK, yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan GKM dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan GKBM Sangat tinggi. Tercatat sebanyak 10.61 tahun 2008, 9.51 tahun 2009 dan 10.59 tahun 2010 jumlah pernduduk Kabupaten Serdang Bedagai yang masih hidup dalam kemiskinan. Hal ini tentu harus menjadi perhatian pemerintah. Di dalam kondisi kelimpahan pangan tetapi masih ada warga masyarakatnya yang masih hidup dalam kemiskinan berdasarkan garis k emiskinan makanan dan garis kemiskinan non makanan yang ditetapkan oleh BPS kabupaten Serdang Bedagai. Selain itu berdasarkan hasil data dari badan pelasksana penyuluhan dan ketahanan pangan kabupaten serdang bedagai terdapat 3 kecamatan yang digolongkan sebagai daerah rawan pangan. Badan Pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan kabupaten Serdang Bedagai menetapkan indikator penetapan daerah rawan pangan dengan melihat potensi pertanian dan jumlah penduduk di kecamatan tersebut. Apabila suatu kecamatan tersebut memiliki potensi pertanian dan dibandingkan dengan jumlah penduduknya, kecamatan tersebut surplus pangan maka ditetapkan sebagai kecamatan yang aman akan pangan, dan sebaliknya. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana jika kecamatan tersebut merupakan Universitas Sumatera Utara 18 daerah yang tidak memiliki potensi pertanian, tetapi lebih mengedepankan perkebunan, jasa ataupun sektor usaha lainnya selain pertanian. Sebagaimana dengan yang di tetapkan oleh badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan sebagai daerah rawan pangan, tentu bagaimana peranan pemerintah utamanya badan penyuluhan dan ketahanan pangan untuk meningkatkan akses pangan bagi daerah tersebut. Hal inilah akan di ungkap oleh peneliti melalui penelitian yang berjudul “bagaimana Peran koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam peningkatan Aksesibilitas pangan di daerah rawan pangan kabupaten Serdang bedagai.”

I.2. Fokus Permasalahan