20 3.
Manfaat secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kepustakaan Departemen Ilmu
Administrasi Negara.
I.6. Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini memuat kerangka teori, defenisi konsep dan sisitematika penelitian.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian , teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.
BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan gambaran umum lokasi penelitian, sejarah singkat lokasi penelitian dan gambaran umum mengenai instansi tempat
penelitian.
BAB V : PENYAJIAN DAN ANALISIS TEMUAN
Universitas Sumatera Utara
21 Bab ini berisikan hasil data yang diperoleh dari lapangan dan atau
berupa dokumen yang akan di analisis serta berisikan tentang uraian data- data yang diperoleh setelah melaksanakan penelitian
BAB VI : PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan dan saran- saran yang diperoleh dari hasil peneliti
BAB II
Universitas Sumatera Utara
22
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Kebijakan Publik II.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
Dimulai dari pengertian kata publik menurut Wayne Parsons 2008:2 mengartikan bahwa publik itu sendiri berisi aktivitas manusia yang dipandang pelu
untuk diatur dan diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama. Publik itu dianggap suatu ruang dengan domain dalam kehidupan
bukan privat atau murni milik individu tetapi milik bersama atau milik umum. Dari pengertian yang digagaskan oleh ahli tersebut dapat kita lihat bahwa publik itu adalah
sesuatu yang kompleks dan luas dan menyangkut kepentingan masyarakat yang tidak terbatas. Tetapi dengan dengan adanya pengertian perlu ada intervensi terhadap
aktivitas manusia ini berarti bahwa publik memiliki cirri masyarakat yang mau diintervensi dari orang yang punya wewenang terhadap masyarakat atau aturan yang
disepakati. Oleh karena itu dapat kita lihat bisa kita simpulkan bahwa publik itu adalah sejumlah individu yang mempunyai kesepahaman untuk membentuk
kelompok dengan sistem tersendiri. Sistem dalam hal ini menyangkut apakah masyarakat itu bergerak dengan diintervensi pemerintah, aturan social yang berlaku
atau hal lain. Dalam hal ini pemakalah menekankan bahwa publik itu adalah daerah kekuasaan yang diintervensi dari pemerintah
Sedangkan kebijakan itu sendiri menurut pandangan Waine Parsons 2008:3 adalah sesuatu yang lebih besar dari keputusan tetapi lebih kecil dari gerakan sosial.
Dari segi analisis kebijakan kebijakan itu berada ditengah-tengah. Sedangkan
Universitas Sumatera Utara
23 pengertian dari keputusan adalah adalah sesuatu yang disepakati secara rasional oleh
setiap anggota, terserah dengan cara apa untuk memperoleh kesepakatan. Sementara itu gerakan sosial adalah suatu pola tertentu yang sudah tumbuh dibenak masyarakat
dalam suatu batasan wilayah tertentu yang menjadi dasar dalam melakukan segala kegiatan. Melihat tadi, bahwa kebijakan itu ada ditengah antara keputusan dan gerkan
sosial maka secara sederhana dapat kita defenisikan bahwa kebijakan itu adalah sesuatu yang dapat mengikat masyarakat yang berada lebih dari satu golongan tetapi
tidak untuk semua masyarakat.
Jika kita melihat pengertian asal kata dari kebijakan publik diatas dapatlah kita simpulkan bahwa kebijakan publik itu adalah apa yang dilakukan pemerintah
untuk mengikat daerah yang diintervensinya. Ini sama artinya dengan pendapat Thomas Dye dalam Tangkilisan, 2003:1 yang mengatakan bahwa kebijakan publik
adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan
bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya
tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana
dalam menetapkan suatu kebijakan. Disisi lain, terdapat banyak batasan dan defenisi mengenai apa yang dimaksud
dengan kebijakan publik publik policy. Masing- masing defenisi tersebut memberi penekanan yang berbeda- beda. Perbedaan itu timbul karena masing
– masing ahli
Universitas Sumatera Utara
24 mempunyai latar belakang yang beragam. Berikut kita dapat melihat pandangan ahli
tersebut, Anderson dalam Winarno 2014:21 misalnya mendefenisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan
dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu dalam Abidin, 2004:21. Tidak jauh berbeda, menurut Chandler dan
Plano dalam Tangkilisan, 2003:30 juga berpendapat bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya- sumber daya yang ada untuk
memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Dalam kenyataaannya kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi
pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi
yang dilakukan secara terus – menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok
yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan yang luas.
Jika berpatokan pada pendapat Chandler dan Plano ini maka kita dapat menyatakan bahwa pembentukan badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan
Kabupaten Serdang Bedagai yang merupakan produk kebijakan publik yang berupa Peraturan Daerah No. 3 tahun 2010 mempunyai tujuan untuk memecahkan masalah
ketahanan pangan di serdang bedagai. Badan ini diberikan wewenang untuk mengintervensi persoalan pangan demi kepentingan kelompok yang kurang mampu.
Lebih lengkap lagi Solichin Abdul Wahab 2008:4 merincikan konsep mengenai kebijakan publik dalam beberapa poin antara lain, pertama kebijaksanaan
Negara lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebuah
Universitas Sumatera Utara
25 perilaku atau tindakan yang serba acak. Kedua kebijaksananaan pada hakekatnya
terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dan bukan merupakan
keputusan-keputusan yang berdiri sendiri. Ketiga kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dialakukan oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu
dengan bidang-bidang yang lainnya. Keempat kebijakan Negara kemungkinan berbentuk positif maupun negatif. Dalam bentuk posistif kebijakan Negara mungkina
akan mencakup beberapatindakan pemerintah untuk mempengaruhi masalah tertentu. Sedangkan dalam bentuk negative berupa keputusan pemerintah untuk tidak
bertindak, atau tidak melakukan apapun dalam masalah-masalah dimana campur tangan pemerintah justru diperlukan.
Dari penjelasan para ahli diatas bisa kita simpulkan bahwa pada dasarnya kebijakan publik adalah segala sesuatau yang dilakukan pemerintah lewat keputusan
bersama aktor-aktor politik untuk pencapaian tujuan negara secara utuh. Dan berkaitan dengan penelitian ini, adanya kebijakan pembentukan Badan pelaksana
penyuluhan dan ketahanan pangan di Kabupaten Serdang Bedagai, tentu merupakan hasil dari kebijakan dari pemerintah pusat hingga daerah. Dimana pemerintah pusat
telah menetapkan bahwa urusan ketahanan pangan merupakan urusan pemerintah daerah melalui sebuah produk kebijakan yaitu Peraturan Pemerintah 38 tahun 2007.
II.1.2 Implementasi Kebijakan Publik
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa timbulnya kebijakan publik disebabkan karena adanya gejala yang muncul atau dirasakan didalam masyarakat.
Jadi kebijakan menurut tangkilisan 2003:19 tidak hanya bertumpu pada keadaan-
Universitas Sumatera Utara
26 keadaan dalam organisasai saja yang bersifat enthrophi akan tetapi lebih dinamis
karena bersumber dari kehidupan masyarakat.berkenan dengan itu di satu pihak kebijakan publik menekannkan pada keinginana rakyat banyak yang hidup dalam
masyarakat banyak yang hidup dalam masyarakat luas publik, dan tidak hanya berdasarkan kemauan elit yang berkuasa. Sedangkan dipihak menurut pendapat yang
sama lain bentuk organisasi tidak menekankan pada sistem enthrophi dan memerlukan proses pengembangan dan pembinaan organisasi yang terus menerus.
Sistem birokrasi yang menekankan pada formalitas saja, tanpa mengindahkan dan menghargai unsure manusia secara utuh akan mengakibatkan kebijakan publik
relatif tidak tepat sasaran. Oleh karena itu para ahli berpendapat hal yang paling esensial dalam kebijakan publik adalah usaha melaksanakan kebijakan publik. Jika
suatu kebijakan telah diputuskan kebijakan tersebut tidak berhasil dan terwujud bilamana tidak dilaksanakan
Pejabat politik harus memikirkan bagaiman memilih dan membuat kebijakan publik. Sekarang timbul pertanyaan bagaiman kebijakan itu dilakasanakan. Usaha
untuk melaksanakan kebijakan tentunya membutuhkan suatu keahlian dan ketrampilan, menguasai persoalan yang hendak dikerjakan, didalam hal ini
kedudukan birokrasi menempati kedudukan yang strategis karena birokrasilah yang berkewajiban melaksanakan kebijakan tersebut, sehingga birokrasi senantias dituntut
untuk mempunyai keahlian dan ketrampilan yang tinggi. Implementasi kebijakan merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu kegiatan
dirumuskan. Menururt Robert Nakamura dan Frank Smallwood dalam Tangkilisan, 2003:19 hal-hal yang berhubungan dengan implementasi adalah keberhasilan dalam
Universitas Sumatera Utara
27 mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan kedalam keputusan-keputusan
yang bersifat khusus. Sedangkan menurut Pressman implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai
tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam menghubungkan kausal antara yang diinginkan dengan cara mencapainya.
Menurut Patton dan Sawicki implementasi kebijakan adalah berbagai kegiatan yang dilakukan untuk merealisasikan program, dimana eksekutif berperan mengatur
cara dalam mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi dalam Tangkilisan, 2003:20. Hal ini didasarkan pada pendapat Jones yang
menganalisis masalah pelaksanaan kebijakan dengan mendasarkan pada konsepsi kegiatan-kegiatan fungsional. Beliau mengemukakan beberapa dimensi dari
implementasi pemerintahan mengenai program-program yang sudah disahkan, kemudian menetukan implementasi, juga membahas actor-akto yang terlibat, dengan
memfokuskan pada birokrasi yang merupakan lembaga eksekutor. Jadi implementasi merupakan suatu proses dinamis yang melibatkan secara terus-menerus usaha-usaha
untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program pada
tujuan kebijakan yang diinginkan. Menurut jones dalam Tangkilisan, 2003:18 tiga kegiatan utama yang paling
penting dalam implementasi keputusan adalah 1.
penafsiran yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahakan makna program kedalam pengaturan yang dapat diteriman da dapat dijalankan
Universitas Sumatera Utara
28 2.
organisasi merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program kedalam tujuan kebijakan
3. penerapan yang berhubungan denga perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah dan
lain-lainnya Dengan penjelasan tersebut implementasi kebijakan dapat dipandang sebagi suatu
proses melaksankan keputusan kebijaksanaan, biasanya dalam bentuk Undang- Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Pemerintah Eksekutif,atau
Instruksi Presiden Menurut wibawa implementasi kebijakan merupakan pengejawantahan
keputusan mengenai kebijakan yang mendasar, biasanya tertuang dalam suatu Undang-Undang namun juga dapat berbentuk instruksi-instruksi eksekutif yang
penting atau keputusan perundang- undangan. Idealnya keputusan-keputusan tersebut menjelaskan masalah-masalah yang hendak ditangani, menetukan tujuan yang hendak
dicapai dan dalam berbagai cara menggambarkan struktur proses implementasi tersebut. Tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar
kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah. Dari uraian daiatas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan yang
dimaksud kan dalam penelitian ini adalah pengimplementasian Peraturan Pemerintah PP 38 tahun 2007 dan Peraturan daerah Kabupaten Serdang Bedagai No. 3 tahun
2010 yang mengatur tentang kebijakan ketahanan pangan di kabupaten Serdang Bedagai.
Universitas Sumatera Utara
29
Gambar 1 : Gambaran implementasi kebijakan
II.1.3. Model-model Implementasi Kebijakan
Penggunaan model analisis kebijakan untuk kepentingan analisis maupun penelitian sedikit banyak akan tergantung pada kompleksitas permaslahan kebijakan
yang dikaji serta tujuan analisis itu sendiri. pedoman awal yang dikemukakan oleh Solichin 2004: 70 adalah semakin kompleks permasalahan kebijakan dan semakin
mendalam analisis yang dilakukan semakin model yang relatif operasional, model yang mampu menghubungkan kausalitas antar variable yang menjadi fokus masalah.
Ada bermacam-macam model implemntasi yang dikemukakan oleh para ahli dan salah satunya adalah model Van Meter dan Van Horn. Untuk melihat bagaimana
proses implementasi kebijakan itu berlangsung secara efektif, maka dapat melihat
dari sudut pandang Van Meter dan Van Horn.
Universitas Sumatera Utara
30 Model Van Meter dan Van Horn dalam Solichin, 2004:78 menyatakan
perbedaan-perbedaan dalam
proses implementasi
akan dipengaruhi
sifat kebijaksanaan yang akan dilaksanakan. Ahli tersebut menawarkan suatu pendekatan
yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijaksanaan dengan implementasi dan suatu model keonseptual yang mempertalikan kebijaksanaan dengan prestasi
kerja. Karena Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara liniear dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik.
Kedua ahli ini menegaskan bahwa perubahan, control dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Atas
dasar pandangan ini kedua ahli ini berusaha membuat tipologi kebijakan menurut 1.
Jumlah masing-masing yang akan dihasilkan 2.
Jangkauan atau lingkup kesepaktan taerhadap tujuan diatara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implemetasi
Alasan dikemukakannya hal ini adalah bahwa proses implemetasi akan dipengaruhi dimensi-dimensi kebijaksanaan semacam itu, dalam artian bahwa implemetasi
kebanyakan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relative sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari mereka yang mengoperasikan program
dilapangan relative tinggi. Model implementasi kebijakan oleh Van Meter dan Van Horn ini dipengaruhi
oleh enam faktor yaitu :
1. Standar dan Sasaran Kebijakan
Standar dan Sasaran Kebijakan Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan sasaran kebijakan
Universitas Sumatera Utara
31 kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik
diantara para agen implementasi. 2.
Sumber Daya Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia
maupun sumber daya non manusia misalnya dana yang dingunakan untuk mendukung implementasi kebijakan.
3. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas
Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi
keberhasilan suatu program. 4.
Karakteristik agen pelaksana Karakteristik Agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan
pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua hal tersebut akan mempengaruhi implementasi suatu program.
5. Kondisi sosial, ekonomi dan politik
Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok -kelompok
kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat
opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.
6. Disposisi implementor
Universitas Sumatera Utara
32 Ini mencakup tiga hal, yakni: a respon implementor terhadap kebijakan yang
akan dipengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, b kognisi, pemahaman para agen pelaksana terhadap kebijakan, dan c intensitas disposisi
implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar berikut
Gambar 2. Model Van meter Horn
Dari gambar tersebut dapat kita lihat bahwa varibel-variabel kebijaksanaan bersangkutpaut dengan tujuan-tujuan yang telah digariskan dan sumber-sumber yang
tersedia. Pusat pehatian pada badan-badan pelaksana maliputi baik organisai formal maupun informal ; sedangkan komunikasi antar organisasi terkait beserta kegiatan-
kegiatan pelaksanaannya mencakup antar hubungan didalam lingkungan sistem politik dengan kelompok-kelompok sasaran. Van meter dan Horn ini mampu
menjelaskan sukses atau tidaknya suatu kebijakan melalui variable-variabel yang
Universitas Sumatera Utara
33 dikemukannya. Dalam menganalisis implementasi suatu kebijakan model ini dapat
menjadi acuan yang tentunya harus juga disesuaikan dengan kondisi yang ada. Dengan model ini, akan menolong dan menuntun peneliti dalam mengupas masalah
penelitian yang akan diteliti.
II.1.4 Aktor-aktor Implementasi
Suatu kebijakan yang telah dirumuskan oleh Pembuat Kebijakan Decision Making menuntut agar segera dieksekusi. Untuk mengeksekusi kebijakan tersebut
maka perlu adanya organisasi pelaksana yang menjadi aktor kesuksesan suatu kebijakan. Secara tradisonal, aktor implementasi kebijakan adalah birokrat sebagai
tangan pemerintah. Nugroho 2014:236 mengatakan kita mengenal istilah “ birokrat jalanan” yang menganggap pemerintah punya segalanya untuk mengelola kehidupan
publik. Hal ini yang membuat peranan publik tidak dipandang sebagai sesuatu yang penting dan selalu mengharapankan pemerintah yang turun tangan. Dampaknya
adalah orang –orang sangat tergantung kepada pemerintah dan setiap masalah publik
harus segera dibawa kepada pemerintah untuk diselesaikan. Berbeda dengan Nugroho, Winarno 2014:221-224 menyebutkan ada 5
pelaksanaimplementor suatu kebijakan yaitu a.
Birokrasi Pada saat kongres penetapan sebuah undang-undang publik dan presiden
telah menandatangani, langkah berikutnya adalah badan-badan administrasi harus segera memulai proses implementasi. Badan-badan administrasi ini
melakukan tugas pemerintah sehari-hari dan berhadapan dengan warga
Universitas Sumatera Utara
34 Negara secara langsung dalam tindakan-tindakan mereka dibandingkan
pengaruh dari unit-unit pemerintah lainnya. Anderson dalam Winarno, 2014:221-222
menambahkan bahwa
badan-badan birokrasi
ini mempunyai keleluasaan yang besar dalam menjalankan kebijakan-kebijakan
publik yang berda dalam yuridiksinya karena mereka seringkali bekerja berdasarkan mandat perundang-undangan yang luas dan ambigu.
b. Lembaga Legislatif
Secara tradisional asumsi dalam banyak literature administrasi publik menyatakan bahwa ilmu politik dan administrasi merupakan kegiatan-
kegiatan yang tak terpisahkan. Asumsi ini dipersoalkan karena cabang- cabang administrative seringkali dalam perumusan maupun dalam
imlemntasi kebijakan. Dan sebaliknya badan-badan legislatif sering terlibat dalam proses implementasi kebijakan publik.
c. Lembaga Peradilan
Keterlibatan lembaga peradilan dalam implementasi kebijakan publik adalah dalam konteks memengaruhi tata kelola administrasi melalui interpretasi
nyata terhadap perundang-undangan, peraturan-peraturan administrasi, regulasi dan pengkajian ulang terhadap keputusan administratif dalam kasus
yang dibawa ke pengadilan. d.
Kelompok-kelompok penekan Oleh karena diskresi seringkali diberikan kepada badan-badan administrasi
publik, maka membuka kesempatan kepada badan administrasi untuk melakukan distorsi. Berdasarkan diskresi yang berlaku dalam banyak badan
Universitas Sumatera Utara
35 administrasi, sebuah kelompok yang berhasil memengaruhi tindakan suatu
badan administrsi mungkin mempunyai efek secara substansial pada arah dan dampak dari kebijakan publik. Kadangkala hubungan antara suatu
kelompok kepentingan dengan suatu badan administrasi bias begitu dekat, sehingga disimpulkan bahwa suatu kelompok kepentingan telah
“menguasai” suatu badan administrasi. e.
Organisasi-organisasi masyarakat Organisasi-organisasi masyarakat seringkali terlibat dalam implementasi
program-program publik. Kebijakan publik yang dikeluarkan sering mengharapkan keterlibatan masyarakat yang biasanya diwujudkan melalui
organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ada. Dalam penelitian ini yang akan menjadi aktor dari kebijakan publik ini adalah
badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan serta organisasi perangkat daerah dan organisasi-organisasi lainnya yang berkaitan dengan ketahanan pangan di
kabupaten Serdang Bedagai. Yang dimaksud berkaitan dengan bidang ini adalah setiap organisasi baik organisasi pemerintah maupun swasta yang menjalin
koordinasi dengan badan Pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan. Selain itu, turut juga organisasi pemerintah pusat dan setiap organisasi lainnya yang memiliki
tujuan yang sama yang telah ditetap.
II.1.5 Analisis Antar-Organisasi dan implementasi
Fokus utama dari studi implementasi adalah persoalan tentang bagaimana organisasi berperilaku, atau bagaimana orang berperilaku dalam organisasi. Akan
Universitas Sumatera Utara
36 tetapi, jika kita menerima bahwa implementasi adalah sebuah proses yang
melibatkan “jaringan” atau multiplisitas organisasi, pertanyaaannya adalah bagaimana organisasi berinteraksi satu sama lain. Ada dua pendekatan yang muncul
dalam persoalan ini Parson,2008:484. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan dari setiap organisasi-organisasi pelaksana dalam mensukseskan suatu
kebijakan yang telah dirumuskan. Interaksi antar organisasi pelaksana dilapangan menjadi keharusan untuk diperhatikan dalam implementasi kebijakan. Ada dua
pendekatan yang muncul untuk mengungkap hal ini, yaitu: 1.
Kekuasaan dan ketergantungan sumberdaya Pendekatan ini berargumen bahwa interaksi organisasi adalah produk dari
hubungan kekuasaan dimana organisasi-organisasi dapat membuat organisasi yang lebih lemah dan lebih tergantung untuk berinteraksi dengan
mereka. Pada gilirannya, organisasiorganisasi yang tergantung pada organisasi yang lebih kuat harus menjalankan strategi bekerjasama dengan
organisasi yang lebih kuat untuk mengamankan kepentingan mereka dan mempertahankan otonomi relatifnya atau mempertahankan ruang mereka
untuk beroperasi Aldrich dalam parson, 2008:484. Dalam hal ini, Aldrich ingin mengungkapkan bahwa setiap organisasi pelaksana yang lemah akan
selalu bergantung pada organisasi pelaksana yang lebih kuat. Namun keadaan itu akan terus berlanjut jika organisasi pelaksana yang lemah
tersebut berinteraksi dengan organisasi pelaksana yang lebih lemah lagi. Maka organisasi yang lebih lemah itu akan sangat bergantung pada
organisasi yang lemah tersebut.
Universitas Sumatera Utara
37 2.
Pertukaran Organisasional Pendekatan ini ingin mengungkap bahwa organisasi bekerja dengan
organisasi lain dengan saling mempertukarkan manfaat mutual. Levine dan white 1961 dalam parson 2008:485 mengatakan bahwa ciri utama dari
pertukaran antar-organisasi adalah pertukaran itu merupakan interaksi sukarela yang dilakukan demi mencapai tujuan masing-masing pihak. Hal
ini didukung oleh pernyataan Scharpf dalam Parson, 2008:485 bahwa “ Sementara pihak yang tampak dominan mungkin menguasai sumber daya
moneter, pada saat yang sama ia mungkin juga tergantung sepenuhnya kepada keahlian spesialis, kontak klien, dan informasi yang hanya tersedia
untuk unit bawahan…ringkasnya hubungan dependensi-unilateral yang stabil di sepanjang waktu adalah kasus yang langka, dan dependensi mutual
jauh lebih banyak dijumpai. Jadi, jarang dijumpai adanya otoritas hierarki dan arus anggaran satu arah dalam relasi antar organisasi.
II.1.6 Kegagalan Kebijakan
Gordon chase dalam parson, 2008:483 memberikan kerangka untuk memeriksa rintangan yang menghadang implementasi kebijakan publik. Melalui
kerangka tersebut dapat digunakan oleh pihak pengimplementasi sebagai peta agar mereka bisa mengidentifikasi persoalan-persoalan utama dalam program mereka.
Yang signifikan dalam analisisnya adalah dia meninjukkan bahwa dalam mengimplementasikan kebijakan pelayanan manusia, konteksnya lebih kompleks dan
tak pasti, bahkan dalam soal-soal seperti ruang dan sumber perlengkapan sekalipun.
Universitas Sumatera Utara
38 Dari tiga bagian kerangka yang disusun oleh Gordon chase tersebut, peneliti hanya
akan menggunakan 2 kerangka yang akan digunakan sebagai peta untuk mengidentifikasi persoalan implementasi. Seperti yang kita ketahui Badan lebih
bersifat koordinatif bukan bersifat teknis, oleh sebab itu kesulitan yang berasal dari tuntutan operasional pada badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan tidak
dapat dilihat. Adapun kerangka yang dikemukan oleh Gordon tersebut adalah sebagai berikut:
Kesulitan yang berasal dari sifat dan ketersediaan sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan program.
1. Uang: berapa batas dana, dan adakah kemungkinan untuk dilebihkan?
2. Personel: apakah mereka siap, dan punya kualifikasi yang tepat? Apakah
programnya sudah punya cukup personel? 3.
Ruang: apakah program punya ruang yang cukup? Apakah perlu ditambah? 4.
Suplai dan perlengkapan teknis: apakah tersedia dan dapat digunakan? Apakah teknologi berperan penting?
Kesulitan yang berasal dari kebutuhan manajer program untuk berbagi otoritas atau mempertahankan dukungan dari aktor politik dan birokratik
lain.
1. Agen Overhead: berapa banyak agen yang harus ditangai manajer, dan apakah
mereka akan bersifat suportif? 2.
Agen lini: berapa banyak yang terlibat dan dapatkah orang-orang itu bekerja sama? Apakah tanggung jawab masing-masing lini sudah jelas?
3. Politisi terpilih: apakah mereka bias membantu atau malah menghalangi?
Universitas Sumatera Utara
39 4.
Mana level pemerintah lebih tinggi yang terlibat? 5.
Penyedia sector-privat: seberapa banyakkah manajer program membutuhkan penyedia sector privat? Seberapa baikkah manajer program mampu
mengontrol kontraktor privat? 6.
Kelompok kepentingan khusus: apa kepentingan politik mereka dan apa pengaruhnya?
7. Media massa: akankah program bias terlihat? Apakah media bias membantu
atau justru mengganggu? Khusus bagi negara-negara berkembang, sebaiknya tidak gagal dalam
perumusan kebijakan atau dalam membuat keputusan, karena apabila gagal maka akan memperlemah kredibilitas pembuat kebijakan, pemerintah yang berkuasa.
Menurut Nugroho 2014:251, perumusan kebijakan tidak dapat dipisahkan dari implementasi kebijakan; oleh karena itu perumusan kebijakan di negara-negara
berkembang dianggap gagal jika: 1.
Kebijakan berhasil dirumuskan, tetapi kebjakan tidak mampu untuk diimplementasikan. Hal ini dinamakan sebagai kegagalan manajemen, karena
kebijakan kemudian undermanage atau tidak mampu di-manage. 2.
Kebijakan berhasil dirumuskan, tetapi implementasi nya juga berhasil, tetapi implementasinya mahal. Hal ini dinamakan kegagalan administratif.
3. Kebijakan berhasil dirumuskan dan implementasinya juga berhasil, tetapi
hasilnya tidak seperti yang didesain. Kegagalan ini dinamakan kegagalan desain.
Universitas Sumatera Utara
40 4.
Kebijakan berhasil dirumuskan, implementasinya sama berhasilnya seperti desain, tetapi tidak cocok dengan kearifan kebijakan dari hasil yang
diharapkan. Kegagalan ini dinamakan kegagalan teori. 5.
Kebijakan berhasil dirumuskan, tetapi implementasinya diambil alih oleh kepentingan politik lain atau administrasi lain, hingga akhirnya menciptakan
hasil yang berbeda total. Kegagalan ini dinamakan kegagalan yang keluar rel. Para pembuat kebijakan telah memahami bahwa daerahlah yang mengerti
keadaannya dan seharusnyalah daerah yang menyelesaikan permasalahannya sesuai dengan kondisi daerahnya tersebut. Pemahaman inilah yang mendorong pembagian
kewenangan daerah dan pemerintah pusat. Dan salah satunya ialah kewenangan untuk mengatasi masalah pangan. Kebijakan yang telah dibuat tersebut akan berjalan
dilapangan dan tentukan akan memiliki hasil yang dapat dilihat.
II.2 Koordinasi II.2.1. Pengertian Koordinasi
Menurut Stoner dalam Sugandha 1991:12 Koordinasi adalah Proses penyatu-paduan sasaran-sasaran dan kegiatan-kegiatan dari unit-unit yang berpisah
bagian atau bidang fungsional dari sesuatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Senada dengan itu Sugandha juga menyebutkan bahwa
koordinasi merupakan penyatupaduan gerak dari seluruh potensi dan unit-unit organisasi atau organisasi-organisasi yang berbeda fungsi agar secara benar-benar
mengarah pada sasaran yang sama guna memudahkan pencapaiannya dengan efisien 1991:12. Fayol dalam Arsyad, 2002 menjelaskan bahwa koordinasi adalah suatu
Universitas Sumatera Utara
41 usaha untuk mengharmoniskan dalam rangkaian struktur yang ada. Fayol dalam
Moekijat : 1989 juga menambahkan bahwa koordinasi merupakan suatu unsur manajemen yang diartikan sebagai penggabungan usaha dan peraturan semua
kegiatan perusahaan agar sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan. Adapun Brech dalam Hasibuan, 2011 memberikan pengertian koordinasi
adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok kepada masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu
dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri. Hal di atas dapat dipahami bahwa dalam melaksanakan koordinasi harus ada
kesesuaian antara peraturan dan tindakan serta kerja sama antar anggota yang pada akhirnya menimbulkan keharmonisan kerja sehingga tidak adanya pekerjaan yang
tumpang tindih dan semua usaha atau kegiatan yang dilaksanakan berjalan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan.
Hasibuan 2011
menyatakan bahwa
koordinasi adalah
kegiatan mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsur-unsur manajemen
dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi. Koordinasi mengimplikasikan bahwa elemen-elemen sebuah organisasi saling berhubungan dan
mereka menunjukkan keterkaitan sedemikian rupa, sehingga semua orang melaksanakan tindakan-tindakan tepat, pada waktu tepat dalam rangka upaya
mencapai tujuan-tujuan. Dari beberapa pengertian koordinasi di atas dapat disimpulkan bahwa
koordinasi adalah kerjasama antar bagian atau sektor yang menciptakan
Universitas Sumatera Utara
42 keharmonisan kerja dalam melaksanakan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan
bersama yang sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Adapun unsur-unsur koordinasi adalah sebagai berikut:
a Unit-unit adalah kelompok-kelompok kerja didalam suatu organisasi yang
tentunya mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini kita akan melihat bagaimana setiap unit-unit yang berbeda-beda dalam mengatasi
masalah pangan. b
Sumber-sumber atau potensi yang ada pada unit-unit suatu organisasi atau pada organisasi-
organisasi adalah tenaga kerja’ keterampilan dan pengetahuan personilnya, teknologi, anggaran, serta fasilitas kerja lainnya.
c Gerak kegiatan adalah segala daya upaya, segala sesuatu tindakan yang
dikerjakan oleh pejabat-pejabat maupun kelompok kerja dalam melakukan tugasnya.
d Kesatupasuan artinya terdapat pertautan atau hubungan di antara sesamanya
sehingga mewujudkan suatu integritas atau suatu kesatuan yang kompak. e
Keserasian, berarti adanya urutan-urutan pengerjaan sesuatu yang tersusun secara logis, sistematis, atau dilakukan dalam waktu yang bersamaan akan
tetapi tidak menimbulkan duplikasi pengulangan, perjumbuhan maupun pertentangan.
f Arah yang sama, dalam hal ini sebagai pedoman ialah sasaran yang sudah
ditetapkan. Segala potensi itu diarahkan ke sasaran yang satu itu juga, sehingga tak terjadi penyimpangan.
Universitas Sumatera Utara
43 Fungsi koordinasi ini demikian penting, apalagi bila administrasi harus
berjalan sebagai suatu system , sebagai suatu kesatuan yang bulan dari bagian-bagian yang saling berhubungan, saling menunjang dan saling bergantung agar administrasi
mencapai tujuan.
II.2.2. Jenis-Jenis Koordinasi
Menurut Sugandha 1991:25, jenis-jenis koordinasi menurut lingkupnya terdiri dari koordinasi intern yaitu koordinasi antar pejabat atau antar unit di dalam
suatu organisasi dan koordinasi ekstern yaitu koordinasi antar pejabat dari berbagai organisasi atau antar organisasi. Umumnya organisasi memiliki tipe koordinasi yang
dipilih dan disesuaikan dengan kebutuhan atau kondisi-kondisi tertentu yang
diperlukan untuk melaksanakan tugas agar pencapaian tujuan tercapai dengan baik.
Sugandha 1991:26 juga menambahkan pembagian jenis koordinasi yang dibedakan menurut arahnya, terdapat 4 jenis koordinasi ini yaitu sebagai berikut :
a. Koordinasi Vertikal
Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit, kesatuan-kesatuan kerja yang ada
di bawah wewenang dan tanggung jawabnya. Tegasnya, atasan mengkoordinasikan semua aparat yang ada di bawah tanggung jawabnya secara langsung. Koordinasi
vertikal ini secara relatif mudah dilakukan, karena atasan dapat memberikan sanksi kepada aparat yang sulit diatur.
b. Koordinasi Horizontal
Koordinasi horizontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan
Universitas Sumatera Utara
44 dalam tingkat organisasi aparat yang setingkat. Koordinasi horizontal ini dibagi atas
interdisciplinary dan interrelated. Interdisciplinary adalah suatu koordinasi dalam rangka mengarahkan,
menyatukan tindakan-tindakan, mewujudkan, dan menciptakan disiplin antara unit yang satu dengan unit yang lain secara intern maupun secara ekstern pada unit-unit
yang sama tugasnya. Interrelated adalah koordinasi antarbadan instansi; unit-unit yang fungsinya
berbeda, tetapi instansi yang satu dengan yang lain saling bergantung atau mempunyai kaitan, baik secara intern maupun secara ekstern yang levelnya setaraf.
Koordinasi horizontal ini relatif sulit dilakukan karena koordinator tidak dapat memberikan sanksi kepada pejabat yang sulit diatur sebab kedudukannya yang
setingkat. c.
Koordinasi diagonal Koordinasi diagonal adalah kooordinasi antar pejabat atau unit atau unit yang
berbeda fungsi dan berbeda tingkatan hierarkhinya. d.
Koodinasi fungsional Koodinasi fungsional adalah koordinasi antar pejabat , antar unit antar
organisasi yang didasarkan atas kesamaan fungsi, atau karena koordinatornya mempunyai fungsi tertentu.
II.2.3. Prinsip-Prinsip Koordinasi
Sugandha 1991:16 menyatakan ada beberapa prinsip yang perlu diterapkan dalam menciptakan koordinasi antara lain adanya kesepakatan dan kesatuan
Universitas Sumatera Utara
45 pengertian mengenai sasaran yang harus dicapai sebagai arah kegiatan bersama,
adanya kesepakatan mengenai kegiatan atau tindakan yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak, termasuk target dan jadwalnya, setelah itu adanya kataatan
atau loyalitas dari setiap pihak terhadap bagian tugas masing-masing serta jadwal
yang telah diterapkan.
Kemudian adanya saling tukar informasi dari semua pihak yang bekerja sama mengenai kegiatan dan hasilnya pada suatu saat tertentu, termasuk masalah-masalah
yang dihadapi masing-masing, didukung dengan adanya koordinator yang dapat memimpin dan menggerakkan serta memonitor kerjasama tersebut, serta memimpin
pemecahan masalah bersama, dan adanya informasi dari berbagai pihak yang mengalir kepada koordinator sehingga koordinator dapat memonitor seluruh
pelaksanaan kerjasama dan mengerti masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh semua pihak, serta dilengkapi denagn adanya saling hormati terhadap wewenang
fungsional masing-masing pihak sehingga tercipta semangat untk saling bantu. Dengan demikian dapat dipahami bahwa prinsip-prinsip koordinasi adalah
suatu usaha dalam menyatukan informasi yang disertai dengan kepatuhan terhadap pemimpin dan peraturan.
II.2.4. Mekanisme dan Proses Koordinasi
Mekanisme koordinasi yaitu adanya kesadaran dan kesediaan sukarela dari semua anggota organisasi atau pemimpin-pemimpin organisasi untuk kerjasama
antarinstansi, adanya komunikasi yang efektif, tujuan kerjasamanya, dan peranan dari tiap pihak yang terlibat, harus dapat menciptakan organisasinya sendiri sedemikian
Universitas Sumatera Utara
46 rupa sehingga menjadi suatu organisasi yang mampu memipin organisasi-organisasi
lainnya, meminta ketaatan, kesetiaan, dan displin kerja tiap pihak yang terlibat, terciptanya koordinasi di dalam suatu organnisasi akan menunjukkan bahwa
organisasi tersebut benar-benar bergerak sebagai suatu sistem, dan pemimpin akan bertindak sebagai fasilitator dan tenaga pendorong dalam Sugandha, 1991:27-28.
Siagian 1991 berpendapat mengenai cara-cara yang dapat dilakukan dalam mengkoordinasi, yaitu dengan melakukan briefing staf untuk memberitahukan
kebijaksanaan pimpinan organisasi kepada staf yang dalam waktu sesingkat mungkin harus diketahui dan mendapat perumusan. Setelah itu diadakan rapat staf untuk
mengadakan pengecekan terhadap kegiatan yang telah dan sedang dilakukan oleh staf serta mengadakan integrasi daripada pkok-pokok hasil pekerjaan staf. Lalu
mengumpulkan laporan-laporan mengenai pelaksanaan keputusan pimpinan organisasi. Selanjutnya mengadakan kunjungan serta inspeksi mengenai pelaksanaan
keputusan pimpinan organisasi serta memberikan petunjuk-petunjuk sesuai dengan pedoman atau ketentuan yang telah ditetapkan oleh pimpinan organisasi.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa mekanisme dan proses koordinasi bertujuan untuk menjaga keharmonisan komunikasi dan hubungan antara
pimpinan dan bawahannya pada kegiatan koordinasi.
II.2.5. Hambatan Koordinasi
Menurut Sugandha 1991:24-25 hambatan-hambatan yang terjadi dalam koordinasi akan menimbulkan beberapa kesalahan yang sering dilakukan seseorang
dalam melakukan usaha pengkoordinasian, yaitu
Universitas Sumatera Utara
47 1.
kesalahan anggapan orang mengenai organisasinya sendiri, Suatu instansi sering dianggap oleh para anggotanya mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi sehingga sukar bagi mereka untuk merendahjan diri dan berada dibawah koordinasi instansi yang sederajat.
2. kesalahan anggapan orang mengenai instansi induknya,
Suatu instansi vertical sering menganggap bahwa organisasi induk atau markas besarnya adalah sumber segala-galanya. Hanya organisasi induklah
yang berwewenag meminta loyalitasnya. Dengan demikian timbul keengganan bila instansi yang sederajat meminta loyalitasnya untuk
melakukan kerja sama. 3.
kesalahan pandangan mengenai arti koordinasi sendiri, dan Masih banyak orang yang menganggap bahwa kewenangan koordinasi identik
dengan kewenangan komando. Karena itu, pada satu pihak yaitu instansi yang mempunyai fungsi tertentu yang berwenang mengkoordinasikan nasa
permintaan bantuannya akan lebih bersifat perintah. Pihak yang lain menganggap bahwa pemerintah seharusnya hanya datang dari atasan induk
sehingga selalu akan bersikap apatis terhadap ajakan-ajakan berkoordinasi. 4.
kesalahan pandangan mengenai kedudukan departemennya di pusat. Pandangan ini bertitik tolak dari fungsi dan tugas pokoknya yang skhusus
sehingga merasa tidak ada kaitan dengan fungsi dan tugas pokok lainnya. Dengan anggapan bahwa kotak mereka sendiri sudah jelas maka hanya fungis
dan tugas pokoknya sendirilah yang menjadi perhatiannya yang penuh.
Universitas Sumatera Utara
48
II.3 Ketahanan Pangan II.3.1. Pengertian Ketahanan Pangan
Defenisi ketahanan pangan food security memiliki perbedaan dalam setiap konteks, waktu dan tempat. Istilah ketahanan pangan sendiri sebagai sebuah konsep kebijakan baru
muncul pertama kali tahun 1974, yakni ketika dilaksanakannya konferensi pangan dunia. Secara formal, setidaknya ada lima organisasi internasional yang memberikan pengertian
dengan sikap saling melengkapi defenisi yang satu dengan yang lainnya. Pertama, menurut First world food conference 1974, united Nations 1975, ketahanan pangan adalah
“Ketersediaan pangan dunia yang mcukup dalam segala waktu untuk menjaga keberlanjutan konsumsi pangan dan menyeimbangkan fluktuasi produksi dan harga.” Kedua, menurut FAO
Food And Agricultural Organization 1992, Ketahanan pangan adalah “Situasi semua orang
dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman dan bergizi demi kehipuan yang sehat dan aktif. Ketiga, menurut world bank 1996, ketahanan pangan adalah
“akses oleh semua orang pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.”
Keempat, menurut OXFAM 2001, ketahanan pangan ad alah kondisi dimana “
setiap orang dalam segala waktu memiliki akses dan control atas jumlah pangan yang cukup dan kualitas baik demi hidup sehat dan aktif. Dua kandunagn makna yang tercantum disini
yakni: ketersediaandalam arti kualitas, kuantitas dan akses hak atas pangan melalui pembelian, pertukaran maupun klaim.” Kelima, menurut FIVIMS 2005, ketahanan pangan
adalah kondisi dimana “semua orang pada segala waktu secara fisik, social dan ekonomi memiliki akses atas pangan yang cukup. Aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan
konsumsi dietary need dan pilihan pangan food preferences demi kehidupan yang aktif dan sehat.
Universitas Sumatera Utara
49 Pemerintah Indonesia sendiri melalui Undang-undang UU No.7 tahun 1996
mendefenisikan ketahanan pangan sebagai “kondisi dimana terjadi kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari kecukupan pangan dalam jumlah dan kualitas
dan juga adanya jaminan atas keamanan Safety, distribusi yang merata dan kemampuan membeli. ”Undang-undang ini juga mempertegas defenisi ketahanan pangan sebagai “kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedia pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”.
Lebih spesifik lagi, Maxwell dan Selter dalam winarno, 2014:302-303
melakukan pelacakan atas berbagai defenisi ketahanan pangan sepanjang waktu dan menemukan bahwa wacana ketahanan pangan berubah sedemikian cepatnya dari focus pada
ketersediaan-penyediaan ke perspektif hak dan akses entitlements menurut Maxwell, setidaknya terdapat empat elemen ketahanan pangan berkelanjutan sustainable food
security di level keluarga sebagai berikut: 1.
Kecukupan pangan yang didefenisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang efektif dan sehat.
2. Akses atas pangan, yang didefenisikan sebagai hak entitlements untuk
produksi, membeli atau menukarkan ex change pangan ataupun menerima sebagai pemberian transfer.
3. Ketahanan yang didefenisikan sebagai keseimbangan antara kerentanan, reseiko,
dan jaminan pengaman social. 4.
Fungsi waktu manakala ketahanan pangan dapat bersifat kroniskritis, transisi, dan atau siklus.
Senada dengan yang diungkap oleh Maxwell dan Slater, Pribadi mendefenisikan ketahanan pangan sebagai keadaan dimana semua penduduk
Universitas Sumatera Utara
50 memiliki akses fisik ekonomi terhadap pangan untuk mendapatkan gizi yang cukup
bagi kehidupannya yang produktif dan sehat dalam winarno, 2014:288. Lebih jauh, Amartya Sen dalam winarno, 2014:288, mendefenisikan ketahanan pangan tidak
sekedar ketersediaan, tetapi juga akses. Melalui Studinya di India dan di Afrika, sen berada pada suatu kesimpulan bahwa ketidaktahanan pangan dan kelaparan terjadi
bukan karena tersedia atau tidaknya kebutuhan pangan di suatu Negara atau wilayah tetapi lebih pada ada atau tidaknya akses atas pangan.
Lebih lanjut lagi, Bustanul Arifin dalam winarno, 2014:302 meyebutkan bahwa tonggak ketahanan pangan terdiri atas ketesediaan atau kecukupan pangan dan
aksesibilitas bahan pangan oleh anggota masyarakat. Aksesibilitas setiap individu terhadap bahan pangan dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan system
pasar serta mekanisme yang efektif dan efisien, yang juga dapat di sempurnakan melalui kebijakan tata niaga, atau distribusi bahan pangan dari sentra produksi sampai
ke tangan konsumen. Akses individu ini dapat juga ditopang oleh intervensi kebijakan harga yang memadai, menguntungkan dan memuaskan berbagai pihak
yang terlibat.
II.3.2. Aksesibilitas Pangan
Tercukupinya pasokan pangan tidak berarti akses terhadap pangan menjadi mudah bagi semua penduduk atau rumah tangga. Akses pangan menurut khaeron
2012:131 menyangkut 2 hal yaitu distribusi dan daya kemampuan membeli. Ketika pasokan cukup tidak berarti proses distribusinya lancar sehingga tidak menimbulkan
persoalan. Selain itu, persoalan akses juga menjadi sesuatu yang penting berkaitan dengan beragamnya kemampuan daya beli masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
51 Meskipun pasokan pangan tersedia, bagi golongan masyarakat yang
berpenghasilan rendah, pengeluaran untuk membeli pangan terasa berat. Berbeda dengan golongan masyarakat berpenghasilan tinggi, pos belanja pangan pokok
adalah sebagian kecil dari total pengeluarannya. Kondisinya menjadi semakin sulit ketika pasokan pangan seringkali menghadapi kendala, baik pasokan maupun
distribusinya. Persoalan akses pangan menjadi suatu yang krusial dan berdimensi luas, apalagi jika dikaitkan dengan aspek keadilan.
II.3.3. Daerah Rawan Pangan
Istilah “rawan pangan” food insecurity merupakan kondisi kebalikan dari “ketahanan pangan” food security. Istilah ini sering diperhalus dengan istilah
“terjadi penurunan ketahanan pangan”, meskipun pada dasarnya pengertiannya sama. Terdapat 2 dua jenis kondisi rawan pangan, yaitu yang bersifat kronis chronical
food insecurity dan yang bersifat sementara transitory food insecurity. Rawan pangan kronis merupakan kondisi kurang pangan untuk tingkat rumah tangga berarti
kepemilikan pangan lebih sedikit dari pada kebutuhan dan untuk tingkat individu konsumsi pangan lebih rendah dari kebutuhan biologis yang terjadi sepanjang
waktu. Sedangkan pengertian rawan pangan akut atau transitory mencakup rawan pangan musiman seasonal. Rawan pangan ini dapat terjadi karena adanya kejutan
shock yang mendadak dan tak terduga seperti kekeringan dan ledakan serangan hama, yang sangat membatasi kepemilikan pangan oleh rumah tangga, terutama
mereka yang berada di pedesaan. Bagi rumah tangga di perkotaan rawan pangan tersebut dapat disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja dan pengangguran.
Universitas Sumatera Utara
52 Rawan pangan adalah kondisi yang didalamnya tidak hanya mengandung
unsur yang berhubungan dengan state of poverty saja seperti masalah kelangkaan sumber daya alam, kekurangan modal, miskin motivasi, dan sifat malas yang
menyebabkan ketidakmampuan mereka mencukupi konsumsi pangan. Namun juga mengandung unsur yang bersifat dinamis yang berkaitan dengan proses bagaimana
pangan yang diperlukan didistribusikan dan dapat diperoleh setiap individu rumah tangga melalui proses pertukaran guna memenuhi kebutuhan pangan mereka.
Kerawanan pangan terjadi manakala rumah tangga , masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan
fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggotanya. Ada tiga hal penting yang mempengaruhi tingkat rawan pangan, yaitu : a kemampuan
penyediaan pangan kepada individurumah, b kemampuan individu rumah tangga untuk mendapatkan pangan, dan c proses distribusi dan pertukaran pangan yang
tersedia dengan sumber daya yang dimiliki oleh individurumah tangga. Ketiga hal tersebut, pada kondisi rawan pangan yang akut atau kronis dapat muncul secara
simultan dan bersifat relatif permanen. Sedang pada kasus rawan pangan yang musiman dan sementara, faktor yang berpengaruh kemungkinan hanya salah satu atau
dua faktor saja dan sifatnya tidak permanen. Menurut Husein Sawit 2000:1, Antara kemiskinan dan risiko rawan pangan berkorelasi erat dan positif, karena di dalamnya
terkandung daya jangkau RT miskin terhadap pangan.
II.5 Defenisi Konsep
Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok, atau individu yang menjadi pusat
Universitas Sumatera Utara
53 perhatian ilmu sosial. Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan
menghindari terjadinya interpretasi ganda dari variabel yang diteliti. Singarimbun,
1995:37. Oleh karena itu untuk mendapatkan batasan yang jelas dari masing masing
konsep yang akan diteliti, maka penulis mengemukakan definisi konsep dari
penelitian ini yaitu: a. Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah segala sesuatau yang dilakukan pemerintah lewat keputusan bersama aktor-aktor politik untuk pencapaian menjamin adanya
ketahanan pangan bagi setiap rumah tangga dengan cara pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya- sumber daya yang ada untuk memecahkan
masalah- masalah pangan.
b. Implementasi Kebijakan