50 memiliki akses fisik ekonomi terhadap pangan untuk mendapatkan gizi yang cukup
bagi kehidupannya yang produktif dan sehat dalam winarno, 2014:288. Lebih jauh, Amartya Sen dalam winarno, 2014:288, mendefenisikan ketahanan pangan tidak
sekedar ketersediaan, tetapi juga akses. Melalui Studinya di India dan di Afrika, sen berada pada suatu kesimpulan bahwa ketidaktahanan pangan dan kelaparan terjadi
bukan karena tersedia atau tidaknya kebutuhan pangan di suatu Negara atau wilayah tetapi lebih pada ada atau tidaknya akses atas pangan.
Lebih lanjut lagi, Bustanul Arifin dalam winarno, 2014:302 meyebutkan bahwa tonggak ketahanan pangan terdiri atas ketesediaan atau kecukupan pangan dan
aksesibilitas bahan pangan oleh anggota masyarakat. Aksesibilitas setiap individu terhadap bahan pangan dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan system
pasar serta mekanisme yang efektif dan efisien, yang juga dapat di sempurnakan melalui kebijakan tata niaga, atau distribusi bahan pangan dari sentra produksi sampai
ke tangan konsumen. Akses individu ini dapat juga ditopang oleh intervensi kebijakan harga yang memadai, menguntungkan dan memuaskan berbagai pihak
yang terlibat.
II.3.2. Aksesibilitas Pangan
Tercukupinya pasokan pangan tidak berarti akses terhadap pangan menjadi mudah bagi semua penduduk atau rumah tangga. Akses pangan menurut khaeron
2012:131 menyangkut 2 hal yaitu distribusi dan daya kemampuan membeli. Ketika pasokan cukup tidak berarti proses distribusinya lancar sehingga tidak menimbulkan
persoalan. Selain itu, persoalan akses juga menjadi sesuatu yang penting berkaitan dengan beragamnya kemampuan daya beli masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
51 Meskipun pasokan pangan tersedia, bagi golongan masyarakat yang
berpenghasilan rendah, pengeluaran untuk membeli pangan terasa berat. Berbeda dengan golongan masyarakat berpenghasilan tinggi, pos belanja pangan pokok
adalah sebagian kecil dari total pengeluarannya. Kondisinya menjadi semakin sulit ketika pasokan pangan seringkali menghadapi kendala, baik pasokan maupun
distribusinya. Persoalan akses pangan menjadi suatu yang krusial dan berdimensi luas, apalagi jika dikaitkan dengan aspek keadilan.
II.3.3. Daerah Rawan Pangan
Istilah “rawan pangan” food insecurity merupakan kondisi kebalikan dari “ketahanan pangan” food security. Istilah ini sering diperhalus dengan istilah
“terjadi penurunan ketahanan pangan”, meskipun pada dasarnya pengertiannya sama. Terdapat 2 dua jenis kondisi rawan pangan, yaitu yang bersifat kronis chronical
food insecurity dan yang bersifat sementara transitory food insecurity. Rawan pangan kronis merupakan kondisi kurang pangan untuk tingkat rumah tangga berarti
kepemilikan pangan lebih sedikit dari pada kebutuhan dan untuk tingkat individu konsumsi pangan lebih rendah dari kebutuhan biologis yang terjadi sepanjang
waktu. Sedangkan pengertian rawan pangan akut atau transitory mencakup rawan pangan musiman seasonal. Rawan pangan ini dapat terjadi karena adanya kejutan
shock yang mendadak dan tak terduga seperti kekeringan dan ledakan serangan hama, yang sangat membatasi kepemilikan pangan oleh rumah tangga, terutama
mereka yang berada di pedesaan. Bagi rumah tangga di perkotaan rawan pangan tersebut dapat disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja dan pengangguran.
Universitas Sumatera Utara
52 Rawan pangan adalah kondisi yang didalamnya tidak hanya mengandung
unsur yang berhubungan dengan state of poverty saja seperti masalah kelangkaan sumber daya alam, kekurangan modal, miskin motivasi, dan sifat malas yang
menyebabkan ketidakmampuan mereka mencukupi konsumsi pangan. Namun juga mengandung unsur yang bersifat dinamis yang berkaitan dengan proses bagaimana
pangan yang diperlukan didistribusikan dan dapat diperoleh setiap individu rumah tangga melalui proses pertukaran guna memenuhi kebutuhan pangan mereka.
Kerawanan pangan terjadi manakala rumah tangga , masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan
fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggotanya. Ada tiga hal penting yang mempengaruhi tingkat rawan pangan, yaitu : a kemampuan
penyediaan pangan kepada individurumah, b kemampuan individu rumah tangga untuk mendapatkan pangan, dan c proses distribusi dan pertukaran pangan yang
tersedia dengan sumber daya yang dimiliki oleh individurumah tangga. Ketiga hal tersebut, pada kondisi rawan pangan yang akut atau kronis dapat muncul secara
simultan dan bersifat relatif permanen. Sedang pada kasus rawan pangan yang musiman dan sementara, faktor yang berpengaruh kemungkinan hanya salah satu atau
dua faktor saja dan sifatnya tidak permanen. Menurut Husein Sawit 2000:1, Antara kemiskinan dan risiko rawan pangan berkorelasi erat dan positif, karena di dalamnya
terkandung daya jangkau RT miskin terhadap pangan.
II.5 Defenisi Konsep