profitability, tangibility, size, liquidity, dan growth opportunities”.
Menurut Weston dan Copeland 1996:20 menyatakan bahwa “Faktor-faktor yang mempengaruhi struktur pendanaan
dari perusahaan adalah tingkat petumbuhan penjualan, stabilitas arus kas, karakteristik industri, struktur aktiva, sikap manajemen
dan sikap pemberi pinjaman”. Selain itu Sartono 1996:53 mengemukakan bahwa
variabel-variabel yang mempengaruhi struktur pendanaan adalah ukuran perusahaan, kelas industri, operating leverage, resiko
bisnis, profitabilitas dan kebijaksanaan dividen. Dari beberapa faktor tersebut peneliti memilih faktor-faktor
yang dianggap sangat dominan dalam mempengaruhi perilaku struktur pendanaan. Faktor-faktor yang diteliti pengaruhnya
terhadap struktur pendanaan dalam perusahaan adalah struktur aktiva, return on asset, pertumbuhan penjualan, ukuran
perusahaan, price earning ratio, dan likuiditas.
2.1.1.3. Teori Struktur Pendanaan
Dalam memilih sumber pendanaan, apakah berasal dari sumber dana internal atau berasal dari sumber dana eksternal,
Brealey, et al 2004:412 menyebutkan bahwa ada dua kerangka teori yang mendasarinya, yaitu:
a. The Trade Off-Theory
Theory that capital structure is based on a trade off between tax savings and distress costs of debt. This trade-off theory
of capital structure recognizes that the target debt ratios may vary from firm to firm. Companies with safe, tangible
assets and plenty of taxable income to shield ought to have high target ratios. Unprofitable companies with risky,
intangible assets ought to rely primarily on equity financing.
Trade-off theory
menggambarkan bahwa struktur pendanaan yang optimal dapat ditentukan dengan
menyeimbangkan manfaat penggunaan hutang perlakuan pajak yang menguntungkan dan biaya kebangkrutan. Teori ini berusaha
menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai akibat penggunaan hutang. Sejauh manfaat lebih besar, tambahan
hutang masih diperkenankan. Wolfgang dan Roger 2003:254 menyatakan trade-off
theory dari struktur pendanaan menunjukkan bahwa target leverage perusahaan didorong oleh tiga kekuatan, yaitu taxes, cost
of financial distress bankruptcy costs, dan agency conflicts. Menambah jumlah hutang dalam struktur pendanaan perusahaan
menurunkan pajak dan meningkatkan arus kas setelah pajak yang tersedia untuk penyediaan modal.
Financial Distress adalah kondisi dimana perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan terancam bangkrut Atmajaya,
1994:319. Trade-off theory dalam menentukan struktur modal yang optimal memasukkan beberapa faktor antara lain pajak,
biaya keagenan agency costs dan biaya kesulitan keuangan financial distress tetapi tetap mempertahankan asumsi efisiensi
pasar dan asymmetric information sebagai imbangan dan manfaat penggunaan hutang. Tingkat hutang yang optimal tercapai ketika
penghematan pajak tax shields mencapai jumlah yang maksimal terhadap biaya kesulitan keuangan costs of financial distress.
Perusahaan-perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi tentu akan berusaha mengurangi pajaknya dengan cara
meningkatkan rasio hutangnya, sehingga tambahan hutang tersebut akan mengurangi pajak.
Mirza 1996:52 menyatakan bahwa the trade–off model memang tidak dapat dipergunakan untuk menentukan modal yang
optimal secara akurat dari suatu perusahaan tetapi melalui model ini memungkinkan dibuat 3 model kesimpulan tentang
penggunaan leverage Aji, 2003:31 yaitu : 1.
Perusahaan dengan risiko usaha yang lebih rendah dapat meminjam lebih besar tanpa harus dibebani oleh expected
cost of financial distress sehingga diperoleh keuntungan pajak karena penggunaan hutang yang lebih besar.
2. Perusahaan yang memiliki tangible assets dan marketable
assets seharusnya dapat menggunakan hutang yang lebih
besar dari pada perusahaan yang memiliki nilai terutama dari itangible assets. Hal ini disebabkan itangible assets
lebih mudah untuk kehilangan nilai apabila terjadi financial distress, dibandingkan standar asset dan tangible asset.
3. Perusahaan di negara yang tingkat pajaknya tinggi
seharusnya memuat hutang yang lebih besar dalam struktur modalnya dari pada perusahaan yang dibayarkan diakui
pemerintah sebagai biaya sehingga mengurangi pajak penghasilan.
b. Pecking Order Theory
The pecking order explains why the most profitable firms generally borrow less: It is not because they have low target
debt ratios but because they don’t need outside money. Less profitable firms issue debt because they do not have sufficient
internal funds for their capital investment program and because debt is first in the pecking order for external finance.
Pecking order theory menjelaskan mengapa perusahaan- perusahaan yang profitable menguntungkan umumnya meminjam
dalam jumlah sedikit. Hal ini bukan karena perusahaan mempunyai target debt ratio yang rendah, tetapi karena memerlukan external
financing yang sedikit. Sedangkan perusahaan yang kurang profitable cenderung mempunyai hutang yang lebih besar karena
dana internal tidak cukup dan hutang merupakan sumber eksternal yang lebih disukai.
Secara singkat teori ini menyatakan bahwa : a Perusahaan menyukai internal financing pendanaan dari hasil operasi
perusahaan berwujud laba ditahan, b Apabila pendanaan dari luar eksternal financing diperlukan, maka perusahaan akan
menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dulu, yaitu dimulai dengan penerbitan obligasi, kemudian diikuti oleh sekuritas
yang berkarakteristik opsi seperti obligasi konversi, baru akhirnya apabila masih belum mencukupi, saham baru diterbitkan.
Sesuai dengan teori ini, tidak ada suatu target debt to equity ratio, karena ada dua jenis modal sendiri, yaitu internal dan
eksternal. Modal sendiri yang berasal dari dalam perusahaan lebih disukai daripada modal sendiri yang berasal dari luar perusahaan.
Menurut Myers 1996:243 perusahaan lebih menyukai penggunaan pendanaan dari modal internal, yaitu dana yang berasal
dari aliran kas, laba ditahan dan depresiasi. Urutan penggunaan sumber pendanaan dengan mengacu pada packing order theory
adalah : internal fund dana internal, debt financing hutang, dan equity issue modal sendiri Anake et al., 2014:55.
Dana internal lebih disukai karena memungkinkan perusahaan untuk tidak perlu membuka diri lagi dari sorotan
pemodal luar. Kalau bisa memperoleh sumber dana yang diperlukan tanpa memperoleh sorotan dan publisitas publik sebagai
akibat penerbitan saham baru. Disamping itu, apabila dana
eksternal diperlukan, perusahaan lebih menyukai hutang karena dua alasan. Pertama adalah pertimbangan biaya emisi. Biaya emisi
obligasi lebih murah dari biaya emisi saham baru, hal ini disebabkan karena penerbitan saham baru akan menurunkan haraga
saham lama. Kedua, manajer khawatir kalau penerbitan saham baru akan ditafsirkan sebagai kabar buruk oleh pemodal, dan membuat
harga saham akan turun. Hal ini disebabkan antara lain oleh kemungkinan adanya informasi asimetrik antara pihak manajemen
dengan pihak pemodal. c.
Agency Theory Keagenan adalah hubungan antara pemberi kerja principal
dan penerima tugas untuk melaksanakan pekerjaan. Dalam kerangka kerja manajemen keuangan, hubungan keagenan terdapat
a di antara pemegang saham dan manajer, dan b di antara pemegang saham dengan kreditor atau pemberi pinjaman. Jika
perusahaan berkembang maka sebagian kepemilikannya diberikan kepada publik atau investor luar sehingga jika pendiri dan
pengelola melakukan tindakan yang menguntungkan pribadinya akan menimbulkan masalah keagenan. Masalah keagenan ini
terjadi karena adanya informasi asimetris antara pemilik dan manjare. Informasi asimetris terdiri dari dua tipe. Pertama adalah
adverse selection. Pada tipe ini, pihak yang merasa memiliki informasi lebih sedikit dari pihak lain tidak akan mau melakukan
perjainjian. Berbagai cara dapat dilakukan oleh manajer untuk memiliki informasi lebih dibandingkan investor, misalnya dengan
menyembunyikan, memanipulasi informasi yang diberikan kepada investor. Tipe kedua adalah moral hazard. Moral hazard terjadi
kapanpun manajer melakukan tindakan tanpa sepengetahuan pemilik demi keuntungan pribadinya dan menurunkan
kesejahteraan pemilik. Menurut Gitman 2003:20 menyatakan bahwa “Biaya
keagenan adalah biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan konflik yang muncul antara pemegang saham dan manajer”. Biaya
keagenan ini adalah biaya ekstra yang harus dikeluarkan akibat masalah agen yang timbul, seperti biaya kontrak langsung biaya
trabsaksi, opportunity cost yang hilang, biaya insentif, biaya audit yang ditanggung pemilik untuk mengawasi agen, dan biaya
kerugian pemilik akibat penyimpangan tindakan yang lolos dari pengawasan residual loss.
2.1.2. Struktur Aktiva