2.6.2. Gerakan Petani
Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya masih menggantungkan penghidupannya pada sektor pertanian. Oleh karena itu
lahan memegang peranan penting bagi kesejahteraan masyarakat. Lahan merupakan hal yang paling esensial dan keberadaannya seringkali diperebutkan
oleh berbagai pihak, pada umumnya diwakili oleh tiga aktor yakni, masyarakat, negara, dan pihak swasta. Lahan merupakan bagian dari kajian agraria. Berbicara
mengenai agraria di Indonesia tidak pernah terlepas dari historis Indonesia sejak dari zaman kolonialisme, era orde lama hingga orde baru. Era orde lama ditandai
dengan lahirnya UUPA. Fauzi 1999 menyatakan bahwa berlakunya UUPA berusaha mengatasi dualisme hukum agraria masa kolonial, yakni: hukum yang
berasal dari penjajah kolonial, disebut juga Hukum Barat, dan hukum yang berasal dari adat asli Indonesia. Dengan UUPA, pemerintah, dan masyarakat
pasca kolonial melaksanakan rekonstruksi bangunan politik agraria untuk pemenuhan tujuan-tujuan pendirian negara bangsa sebagaimana tercantum pada
dokumen-dokumen dasar negara: Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. UUPA beserta peraturan-peraturan jabarannya, ingin mengubah kenyataan yang
berkembang di masa kolonial. Yakni, menjamin hak rakyat petani atas sumber daya agraria bumi, air, ruang angkassa, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dan mengatur perolehan hasilnya agar rakyat menjadi makmur. Usaha ini disebut juga sebagai pembaruan agraria land reform.
Wolf dan Moore dalam Landsberger 1984 mengatakan terdapat tiga karakteristik yang mencirikan petani, diantaranya adalah subordinasi legal,
kekhususan kultural, dan khususnya ‗pemilikan de facto‘ atas tanah. Sepuluh
Universitas Sumatera Utara
tahun kemudian Wolf dalam monografnya, mendefiniskan peasants sebagai tukang cocok tanam pedesaan yang surplusnya dipindahkan kepada kelompok
penguasa yang dominan. Bukan pemilikan, tetapi lepasnya penguasaan terhadapnya dan penguasaan atas tenaga kerjanya sendiri. Dengan kata lain telah
ditutupi oleh sistem lain dimana kontrol atas alat-alat produksi, termasuk penentuan tenaga kerja manusia, berpindah-pindah dari tangan produsen primer
kepada kelompok-kelompok yang tidak melakukan proses produktif itu sendiri. Namun kemudian Wolf juga mendefinisikan petani sebagai penduduk yang secara
ekstensial terlibat dalam cocok tanam dan membuat keputusan yang otonom tentang proses cocok tanam, mencakup penggarapan atau penerima bagi hasil
maupun pemilik-penggarap selama mereka ini berada pada posisi pembuat keputusan yang relevan tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka.
Landsberger dan Alexandrov 1984 mendefinisikan bahwa petani adalah para tukang cocok tanam pedesaan yang menduduki posisi yang relatif rendah
pada berbagai dimensi yang penting. Dimensi penting yang dimaksudkan disini adalah dimensi ekonomi dan politik. Dimensi ekonomi dan politik dapat dibagi ke
dalam tiga rangkaian dimensi yang setara yakni pengendalian atas masukan ekonomi dan politik yang relevan, pengendalian proses transformasi dalam
ekonomi dan politik, dan dimensi yang berkaitan dengan tingkat faedah dari keluaran output dari masing-masing sektor ini di masyarakat. Suatu contoh
dalam hal masukan ekonomi, para tukang cocok tanam desa dapat diukur dari 1 jumlah masukan yang mereka kendalikan tanah, modal, tenaga kerja; dan 2
kepastian dengan mana mereka mengendalikan masukan itu. Dalam hal proses transformasi, petani dapat melakukan partisipasi, kurang lebih dalam perumusan
Universitas Sumatera Utara
nyata keputusan-keputusan politik. Pada akhirnya petani, sedikit atau banyak, memperoleh keuntungan dari isi keputusan yang dibuat.
Namun seringkali posisi petani disubordinatkan. Petani sering dianalogikan sebagai masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan untuk merubah
struktur, pasrah terhadap kondisi yang menimpa mereka dan patuh terhadap aturan-aturan yang ada. Petani seringkali hanya dijadikan obyek-obyek
pembangunan lewat program-program yang terlihat revolusiener, padahal terkadang sama sekali tidak menyuntuh kebutuhan petani. Kondisi-kondisi ini
menimbulkan ketidakpuasan dalam diri petani. Landsberger dan Alexandrov 1984 menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis situasi yang seringkali memainkan
peranan dalam merangsang ketidakpuasan petani, diantaranya yakni inkonsistensi status, kemorosaan relatif dari status lama seseorang atau dari harapan orang
tentang statusnya yang sekarang dan perasaan adanya ancaman terhadap status di masa depan. Inkonsistensi status didefinisikan sebagai kedudukan yang relatif
baik menurut satu karakteristik sementara tetap rendah menurut karakteristik lain, yang merupakan salah satu pencetus pemberontakan petani di Inggris di tahun
1831 dan di Perancis di tahun 1789. Dalam kedua kasus tersebut, perbaikan nasib petani telah terjadi dalam berbagai hal, namun di sisi lain justru hal tersebut lah
yang membuat ketaksanggupan yang masih ada seperti dalam hal pajak perkawinan dan kerja bakti yang menyulitkan petani. Kemudian, kedudukan yang
tidak menguntungkan dibandingkan dengan yang lain –kemorosotan relatif-
sedikitnya memainkan peranan di Mexico, dimana meningkatnya kontak dengan Amerika Serikat memungkinkan petani untuk membandingkan nasibnya dengan
tetangganya dan akibatnya menjadi tidak puas. Dan yang terakhir adalah
Universitas Sumatera Utara
kemorosotan sehubungan dengan masa lalu atau yang diharapkan sekarang ataupun ancaman terhadapnya di masa depan, sebagaimana terjadi dalam kasus
pemberontakan Pugachev. Salah satu perubahan masyarakat yang dapat menghasilkan ketidakpuasan
petani adalah penggusuran petani dan komunitas petani yang telah ada sebelumnya, pencaplokan hak-hak meraka oleh tuan-tuan tanah dan negara dalam
suatu proses feodalisasi, yang akan membawa kepada perasaan merosotnya status petani. Kebijaksanaan pencaplokan serupa itu mungkin dicetuskan oleh
perangsang-perangsang seperti keinginan untuk mengambil keuntungan dari kesempatan komersial dan teknik yang baru, atau dari tekanan negatif pada elite
politik dan ekonomi, seperti kekalahan perang. Rasa ketidakpuasan yang timbul tersebut kemudian mendorong petani
untuk melakukan gerakan-gerakan perlawanan terhadap kondisi yang memarginalkan mereka. Landsberger dan Alexandrov 1984 mendefinisikan
gerakan sebagai reaksi kolektif terhadap kedudukan rendah. Kedudukan rendah ini digambarkan sebagai petani yang posisinya selalu termarginalkan dari berbagai
aspek, baik ekonomi maupun politik. Rasa-rasa ketidakpuasan inilah yang juga mendasari gerakan-gerakan petani yang ada di Indonesia seperti dalam kasus
Serikat Petani Pasundan, SPPQT, kasus tanah Jenggawah, dan kasus petani di Desa Cisarua. Di negara-negara lain kondisi ini juga terlihat dalam gerakan-
gerakan petani yang ada di negara India, Zimbabwe, dan Filipina. Landsberger dan Alexandrov 1984 menggambarkan gerakan petani
dengan menggunakan dimensi-dimensi tertentu, yakni: 1 tingkat adanya kesadaran bersama tentang nasib yang dialami; 2 tingkat dimana aksi itu bersifat
Universitas Sumatera Utara
kolektif baik dalam lingkup orang yang terlihat dan tingkat koordinasi dan organisasi aksi sampai kepada titik yang tinggi yakni ketika diorganisasikan
dengan cara yang kompleks; 3 lingkup dimana aksi itu bersifat instrumental, yang berarti dirancang untuk mencapai sasaran di luar aksi itu sendiri dan
dilaksanakan karena gratifikasi yang terkandung di dalam aksi itu sendiri; dan 4 tingkat dimana reaksi itu didasarkan secara eksklusif atas kerendahan status sosial,
ekonomi dan politik memainkan peranan murni yang merdeka. Pada dimensi pertama, tingkat kesadaran, hal-hal yang harus dikaji adalah
penilaian kasar mengenai jumlah petani yang mungkin menyadari kebersamaan persoalan mereka dan mutu dari kesadaran itu, misalnya apakah ada visi mengenai
sistem sosial secara keseluruhan, dibandingkan dengan jumlah yang betul-betul sadar dan tingkat mutu yang paling tinggi. Selanjutnya, dimensi kedua yakni
tingkat kolektifitas aksi. Titik puncak dari dimensi ini terjadi bila koordinasi tugas dan pembagian kerja dan beberapa penugasan wewenang dibentuk secara
eksplisit.Pengukuran tingkat
kolektivitas dapat
dilakukan dengan
memperhitungkan keluasan lingkup aksi kolektif tersebut, misalnya pertanyaan, dari semua petani yang mungkin bereaksi dengan cara yang sama, berapa petani
yang melakukan aksinya; dan tingkat eksplisit organisasi dapat dijabarkan melalui pertanyaan dari mereka yang bereaksi dengan cara yang sama, berapa proporsi
yang sengaja mengkoordinasi reaksinya dengan pihak lain. Kemudian, dimensi ketiga yakni orientasi instrumental, lawan ekspresif
dan soal rasionalitas. Kelakuan ‗ekspresif‗ dalam banyak kolektivitas dianggap terjadi bila anggota-anggotanya mencari kepuasan dalam proses menjadi anggota
itu. Kepuasan ini dapat berjenis ‗positif‘–sosiabilitas dan pengakuan dalam
Universitas Sumatera Utara
bergabung bersama —atau berjenis ‗negatif‘. Kelakuan instrumental, di pihak lain
merupakan kata sifat yang dilekatkan bila suatu perkumpulan atau gerakan mengejar sasaran yang terletak di luar kegiatan langsung mereka, dan dimana
kegiatan itu dilakukan pertama-tama untuk mencapai hasil akhir yang akan mereka capai: perubahan dalam penguasaan tanah atau upah yang lebih tinggi.
Selanjutnya, dimensi keempat yakni status rendah sebagai basis gerakan. Dalam hal ini status rendah digambarkan sebagai petani, yakni kaum yang terpinggirkan.
Selain itu, kondisi yang melatarbelakangi lahirnya permasalahan agraria juga dapat dipengaruhi oleh adanya adopsi budaya barat yang diinisiasi dalam
bentuk proyek-proyek pembangunan, sebagaimana yang terjadi di India. Routledge 2005 menyatakan bahwa pergolakan di India terjadi bersamaan
dengan pembangunan waduk raksasa, yang diasosiasikan sebagai wujud pembangunan berkelanjutan mengenai penanggulangan kemarau. Penerapan
pembangunan kerap didahului oleh penciptaan abnormalitas di suatu tempat. Masalah-masalah
ini karenanya
membutuhkan profesionalisasi
dan institusionalisasi praktek-praktek pembangunan. Hal ini terjadi melalui wacana
pakar-pakar pembangunan, kolonisasi proses pembangunan oleh otoritas seperi otoritas Kontrol Narmada serta diperkuat dengan iming-iming manfaat dan
kegunaan bagi calon pengguna dan penerima manfaat. Berdasarkan kasus-kasus di atas, jelas petani adalah pihak yang selalu
dijadikan obyek pembangunan dan paling dirugikan dari program-program pembangunan yang ada. Petani menjadi kaum mayoritas yang terpinggirkan di
tanahnya sendiri. Petani sering berada di posisi yang tersudutkan dan tertekan. Tekanan-tekanan ini datang dari berbagai pihak mulai dari kebijakan pemerintah
Universitas Sumatera Utara
yang tidak berpihak kepada petani hingga pengambilalihan dan penguasaan lahan secara besar-besaran oleh pemilik modal. Hal ini lah yang mendorong petani
untuk melakukan perlawanan-perlawanan yang diwujudkan dalam bentuk tindakan-tindakan nyata, yang sering disebut sebagai gerakan petani. Petani secara
mandiri mengorganisir dan melakukan perlawanan-perlawanan.
2.7. Teori Moral Ekonomi Petani