Peranan Perempuan dalam Konflik Agraria (Studi Kasus Gerakan Petani Persil IV)

(1)

STM HILIR KABUPATEN DELI SERDANG)

TESIS

Oleh

DARMAN SYAH PULUNGAN

127024004/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERANAN PEREMPUAN DALAM KONFLIK AGRARIA

(STUDI KASUS GERAKAN TANI PERSIL IV KECAMATAN

STM HILIR KABUPATEN DELI SERDANG)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) Program Studi Magister

Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh

DARMAN SYAH PULUNGAN

127024004/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

STM Hilir Kabupaten Deli Serdang) Nama Mahasiswa : Darman Syah Pulungan

Nomor Pokok : 127024004

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Subhilhar, Ph.D) (Muhammad Arifin Nasution, S.Sos,. MSP) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 23 Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Subhilhar, Ph.D

Anggota : Muhammad Arifin Nasution, S.Sos, MSP : Hatta Ridho, S.Sos, MSP

: Drs. Ermansyah, M.Hum : Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA


(5)

PERANAN PEREMPUAN DALAM KONFLIK AGRARIA

(STUDI KASUS : GERAKAN TANI PERSIL IV KECAMATAN

STM HILIR KABUPATEN DELI SERDANG)

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 23 Juli 2014 Penulis


(6)

PERANAN PEREMPUAN DALAM KONFLIK AGRARIA (STUDI KASUS GERAKAN TANI PERSIL IV KECAMATAN STM HILIR

KABUPATEN DELI SERDANG) ABSTRAK

Masyarakat pedesaan di Indonesia mayoritas berprofesi sebagai petani tentunya sangat bergantung dengan tanah sebagai alat produksi utama untuk dapat melakukan aktifitas pertanian. pembangunan dalam bidang perkebunan mendorong pemerintah maupun pihak swasta melakukan penguasaan terhadap tanah-tanah petani yang telah mereka kelola sebagai lahan pertanian. Praktek ini bertentangan dengan tujuan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) yakni menjamin hak rakyat petani atas sumber daya agraria (bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) dan mengatur perolehan hasilnya agar rakyat menjadi makmur. Penguasaan tanah tersebut tentunya berdampak besar kepada petani khusunya kaum perempuan yang selama mengelola kehidupan dalam rumah tangga. Kondisi tersebut membuat petani melakukan perlawanan dengan melakukan gerakan bersama atau yang lebih sering disebut sebagai gerakan petani.Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul penelitian : ―Peranan Perempuan Dalam Konflik Agraria (Studi Kasus Gerakan Tani Persil IV Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli Serdang)‖. Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk menganalisis peranan perempuan dan faktor yang mempengaruhi perempuan terlibat dalam konflik agraria Petani Persil IV dengan PTPN II di Dusun Tungkusan Desa Tandukan Raga, Dusun Sinembah dan Dusun Limau Mungkur di Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak dan Dusun Lau Barus di Desa Lau Barus Baru Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Adapun key informan yang dimaksudkan adalah para Petani Persil IV sebanyak 11 orang yang ikut dalam memperjuangkan hak mereka atas tanah yang dirampas PTPN II. Sedangkan informan tambahan dalam penelitian ini adalah masyarakat sekitar serta orang-orang yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda untuk Rakyat (SMAPUR) sebanyak 2 orang. Teknik analisa data yang digunakan adalah wawancara, observasi. Peranan perempuan dalam konflik agraria Gerakan petani persil IV dengan PTPN II dapat tergambarkan dalam setiap aksi-aksi pendudukan lahan, Demonstrasi,pembunuhan kelapa sawit serta keberanian mereka saat berada dilapangan menghadapi aparat dan preman dengan menjadi barisan terdepan bahkan mereka menjadi pelindung bagi laki-laki saat dalam kondisi bahaya. perempuan menjadi barisan terdepan akan mempengaruhi secara psikologis untuk meredam amarah dari pihak aparat dan preman (yang mayoritas adalah laki-laki) untuk memperkecil kekerasan fisik terhdap petani karena mereka juga dilahirkan dari rahim seorang perempuan serta mempunyai keluarga perempuan. Pembunuhan sawit dilakukan petani untuk mempercepat proses penguasaan tanah yang selama ini membuat pihak perkebunan tetap mempertahankan tanah tersebut. perempuan merasakan dampak paling besar sebagi pengelola rumah tangga dalam keluarga sehingga membuat mereka harus berperan dalam konflik agraria tersebut.


(7)

ABSTRACT

Rural communities in Indonesia, the majority work as farmers of course very dependent on the land as the main means of production to be able to perform agricultural activities. encourage plantation development in the field of government and private parties from controlling the lands of farmers who have them managed as agricultural land. This practice is contrary to the purpose of the Basic Agrarian Law of 1960 (UUPA 1960) that ensure the right of farmers on agrarian resources (land, water, space, and natural resources contained therein) and the acquisition of the result set so that the people become prosperous. Land tenure is of course a major impact to the farmers especially women who for managing life in the household. These conditions make farmers fought with joint movement or more commonly referred to as the peasantmovement. Based on this, the authors are keen to lift the title of the study: "The Role of Women in Conflict Agricultural (A Case Study of Farmers Movement STM Hilir Subdistrict Persil IV Deli Serdang)". The purpose of writing this paper is to analyze the role of women and the factors that affect women involved in agrarian conflicts Farmers Persil IV with PTPN II in Hamlet header Tungkusan Sports Village, Hamlet and Hamlet Sinembah Lemons Lemons Mungkur Mungkur Village, Hamlet and Hamlet Batuktak Lau Barus in the village of Lau New Barus Hilir Subdistrict STM, Deli Serdang regency. The method used in this research is descriptive qualitative. The key informants are intended Persil IV Farmers as many as 11 people who participated in the fight for their land rights deprived PTPN II. While additional informants in this study is about the community as well as those who are members of the Student and Youth Solidarity for the People (SMAPUR) by 2 people. Data analysis techniques used were interviews, observasi.Peranan women farmers in agrarian conflicts parcels Movement IV by PTPN II can be portrayed in any of the occupations of land, Demonstration, palm murder and their courage while facing the ground forces and thugs to be row even leading them to be protective for men when in danger. women into the forefront will affect psychologically to dampen the anger of the party apparatus and thugs (the majority are men) to minimize physical violence terhdap farmers because they are also born from the womb of a woman and have a family perempuan.Pembunuhan palm farmers do to accelerate the process during the tenure of this makes growers retain the soil. women feel the most impact as a manager in the family household making them have to play a role in the agrarian conflict.


(8)

KATA PENGANTAR

Pertama dan yang paling utama penulis mengucapkan syukur Alhamdulilah dan segala puji bagi Allah atas segala rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis yang berjudul “Peranan

Perempuan dalam Konflik Agraria (Studi Kasus Gerakan Petani Persil IV)”

Sebagai salah satu Syarat untuk menyelesaikan Program studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelamahan. Dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak untuk penyempurnaannya agar bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan .

Khususnya penulis ucapkan terima kasih kepada orangtuaku tercinta Ayahanda Daulat Pulungan dan Ibunda Dermawati yang salalu mendoakan serta telah mengasuh dan membesarkan penulis dengan rasa cinta,kasih sayang dan selalu mendukung baik materil maupun moril agar tercapainya cita-cita saya selama ini. Buat adikku Dedi Romansyah Pulungan dan Nirma Yenni br.Pulungan yang selalu memberikan motivasi sehingga dapat menyelesaikan studi dengan baik, kiranya hanya Allah SWT yang mampu membalasnya dengan segala berkahnya.

Pada kesempatan ini penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu pada saat menyusun Tesis maupun selama penulis menempuh pendidikan di Program Paska Sarjana Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara. Oleh kareana itu penulis mengucapakan rasa terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU)

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A selaku Ketua Program Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Prof. Subhilhar, Ph.D selaku Dosen Pembimbing I saya yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kemudahan dalam penyelesaian Tesis ini dari awal hingga akhir.

5. Bapak Muhammad Arifin Nasution, S.Sos, MSP selaku Dosen Pembibing II saya yang telah meluangkan waktunya dan banyak memberikan kritik dan saran yang membangun sehingga membantu dalam penulisan Tesis ini.


(9)

7. Seluruh Dosen dan Staf pengajar serta pegawai pada Program Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu saya dalam proses menempuh studi selama ini.

8. Terima kasih buat seluruh petani yang tergabung dalam Gerakan Petani Persil IV di Kecamatan STM. Hilir Kabupaten Deli Serdang yang telah banyak memberikan kemudahan serta informasi sehingga penulis mampu menyelesaikan Tesis ini.

9. Terima kasih kepada rekan-rekan Forum Mahasiswa Anti Penindasan (FORMADAS-MEDAN) yang telah memberikan banyak pengalaman dan pengetahuan selama ini.

10.Buat rekan-rekan Organisasi Mahasiswa di Medan (GEMA PRODEM, BARSdem, FAMUD, KDAS, SMI, FMN, HMI Fisip USU)

11. Seluruh mahasiswa program magister Studi Pembangunan FISIP USU Tahun 2012 Angkatan XXV. Terima kasih untuk setiap kebersamaannya dalam proses menggali ilmu pengetahun untuk mencapai gelar magister. Semoga setiap ilmu yang kita dapatkan bisa bermaanpaat bagi masyarakat luas.

Semoga Allah SWT yang dapat membalas semua kebaikan yang penulis dapatkan baik pada waktu mengalami kesulitan maupun rintangan berupa amal dan pahala di akhirat kelak. Amin.

Penulis menyadari bahwa dalam penyajian Tesis ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca demi perbaikan-perbaikan dimasa yang akan datang.

Harapan penulis semoga Tesis ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca dan bagi penulis pada khususnya.

Medan 23 Juli 2014 Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang memiliki nama lengkap Darman Syah Pulungan merupakan anak pertama dari 3 bersaudara dari Pasangan Bapak Daulat Pulungan dan Ibu Dermawati Daulay Spd. Penulis lahir di Ujung Batu IV kecamatan Huta Raja Tinggi, Kabupaten Padang Lawas pada Tanggal 05 Mei 1989. Pendidikan formal ditempuh mulai dari SD Negeri 0710 Aliaga IV pada Tahun 1994 sampai Tahun 2000, SMP Negri 2 Sosa pada Tahun 2000 sampai Tahun 2003 dan SMK Abdi Negara Padang Sidimpuan mulai Tahun 2003 sampai Tahun 2006 Kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi Universitas Islam Sumatera Utara Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Program studi Ilmu Administrasi Negara mulai Tahun 2006 sampai Tahun 2011 kemudian Penulis melanjutkan pendidikan kembali ke jenjang Magister di Universitas Sumatera Utara fakultas Ilmu sosial dan politik Program Studi Magister Studi pembangunan mulai Tahun 2012 sampai Tahun 2014.

Selama Mengikuti perkuliahan Strata-1 penulis juga aktif di lembaga pemerintahan Mahasiswa FISIP UISU dengan menjabat sebagai Wakil Gubernur Periode 2009-2010 serta aktif juga dalam mengeluti dunia Gerakan Mahasiswa dengan terlibat dalam Organisasi Forum Mahasiwa Anti Penindasan (FORMADAS-MEDAN) dengan menjabat sebagai Ketu Umum Formadas Periode 2010-2012. Penulis juga pada Tahun 2007 pernah terlibat dalam proses pendampingan Petani Persil IV kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli Serdang yang sedang Bersengketa dengan Pihak PTPN II, Serta terlibat dalam berbagai kegiatan-kegiatan Diskusi maupun Aksi Demonstrasi dengan berbagai Kelompok Organisasi Pro Demokrasi di kota Medan.


(11)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR BAGAN ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 11

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.3.1. Tujuan Penelitian ... 12

1.3.2. Manfaat Penelitian. ... 12

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Perempuan dalam Pemahaman Gender ... 14

2.1.1. Feminisme. ... 17

2.1.2. Perkembangan Gerakan Perempuan Indonesia. ... 24

2.2. Teori Konflik ... 29

2.2.1. Faktor-faktor Konflik. ... 33

2.3. Agraria ... 34

2.4. Teori Peranan ... 36

2.5. Perempuan dalam Pembangunan. ... 40

2.6. Gerakan Sosial ... 44

2.6.1. Pengertian Gerakan Sosial ... 44

2.6.2. Gerakan Petani ... 50

2.7. Teori Moral Ekonomi Petani. ... 56

2.8. Penelitian Terdahulu ... 57


(12)

2.10. Kerangka Pemikiran. ... 62

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 65

3.2. Lokasi Penelitian ... 65

3.3. Informan Penelitian ... 66

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 66

3.5. Teknik Analisa Data ... 67

BAB IV HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 68

4.1.1. Sejarah Perkampungan dan Kepemilikan Tanah Persil IV ... 68

4.1.2. Sejarah PTPN II ... 70

4.2. Perampasan Tanah Petani Persil IV. ... 72

4.3. Analisis Peranan Perempuan dalam Konflik Agraria. ... 95

4.3.1. Perempuan dalam Menghadapi Aparat ... 95

4.3.2. Peran Perempuan dalam Pendudukan Lahan. ... 99

4.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan Kaum Perempuan dalam Konflik Agraria. ... 101

BAB V KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan ... 105

5.2. Saran ... 107


(13)

No. Judul Halaman

2.1. Bagan Pendekatan Teori James Scout dan konsep Gender terhadap


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Daftar Wawancara ...………...111 2. Dokumentasi………...112


(15)

ABSTRAK

Masyarakat pedesaan di Indonesia mayoritas berprofesi sebagai petani tentunya sangat bergantung dengan tanah sebagai alat produksi utama untuk dapat melakukan aktifitas pertanian. pembangunan dalam bidang perkebunan mendorong pemerintah maupun pihak swasta melakukan penguasaan terhadap tanah-tanah petani yang telah mereka kelola sebagai lahan pertanian. Praktek ini bertentangan dengan tujuan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) yakni menjamin hak rakyat petani atas sumber daya agraria (bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) dan mengatur perolehan hasilnya agar rakyat menjadi makmur. Penguasaan tanah tersebut tentunya berdampak besar kepada petani khusunya kaum perempuan yang selama mengelola kehidupan dalam rumah tangga. Kondisi tersebut membuat petani melakukan perlawanan dengan melakukan gerakan bersama atau yang lebih sering disebut sebagai gerakan petani.Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul penelitian : ―Peranan Perempuan Dalam Konflik Agraria (Studi Kasus Gerakan Tani Persil IV Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli Serdang)‖. Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk menganalisis peranan perempuan dan faktor yang mempengaruhi perempuan terlibat dalam konflik agraria Petani Persil IV dengan PTPN II di Dusun Tungkusan Desa Tandukan Raga, Dusun Sinembah dan Dusun Limau Mungkur di Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak dan Dusun Lau Barus di Desa Lau Barus Baru Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Adapun key informan yang dimaksudkan adalah para Petani Persil IV sebanyak 11 orang yang ikut dalam memperjuangkan hak mereka atas tanah yang dirampas PTPN II. Sedangkan informan tambahan dalam penelitian ini adalah masyarakat sekitar serta orang-orang yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda untuk Rakyat (SMAPUR) sebanyak 2 orang. Teknik analisa data yang digunakan adalah wawancara, observasi. Peranan perempuan dalam konflik agraria Gerakan petani persil IV dengan PTPN II dapat tergambarkan dalam setiap aksi-aksi pendudukan lahan, Demonstrasi,pembunuhan kelapa sawit serta keberanian mereka saat berada dilapangan menghadapi aparat dan preman dengan menjadi barisan terdepan bahkan mereka menjadi pelindung bagi laki-laki saat dalam kondisi bahaya. perempuan menjadi barisan terdepan akan mempengaruhi secara psikologis untuk meredam amarah dari pihak aparat dan preman (yang mayoritas adalah laki-laki) untuk memperkecil kekerasan fisik terhdap petani karena mereka juga dilahirkan dari rahim seorang perempuan serta mempunyai keluarga perempuan. Pembunuhan sawit dilakukan petani untuk mempercepat proses penguasaan tanah yang selama ini membuat pihak perkebunan tetap mempertahankan tanah tersebut. perempuan merasakan dampak paling besar sebagi pengelola rumah tangga dalam keluarga sehingga membuat mereka harus berperan dalam konflik agraria tersebut.


(16)

THE ROLE OF WOMEN IN AGRARIAN CONFLICT

(A CASE STUDY OF FARMERS MOVEMENT STM HILIR SUBDISTRICT PERSIL IV DELI SERDANG)

ABSTRACT

Rural communities in Indonesia, the majority work as farmers of course very dependent on the land as the main means of production to be able to perform agricultural activities. encourage plantation development in the field of government and private parties from controlling the lands of farmers who have them managed as agricultural land. This practice is contrary to the purpose of the Basic Agrarian Law of 1960 (UUPA 1960) that ensure the right of farmers on agrarian resources (land, water, space, and natural resources contained therein) and the acquisition of the result set so that the people become prosperous. Land tenure is of course a major impact to the farmers especially women who for managing life in the household. These conditions make farmers fought with joint movement or more commonly referred to as the peasantmovement. Based on this, the authors are keen to lift the title of the study: "The Role of Women in Conflict Agricultural (A Case Study of Farmers Movement STM Hilir Subdistrict Persil IV Deli Serdang)". The purpose of writing this paper is to analyze the role of women and the factors that affect women involved in agrarian conflicts Farmers Persil IV with PTPN II in Hamlet header Tungkusan Sports Village, Hamlet and Hamlet Sinembah Lemons Lemons Mungkur Mungkur Village, Hamlet and Hamlet Batuktak Lau Barus in the village of Lau New Barus Hilir Subdistrict STM, Deli Serdang regency. The method used in this research is descriptive qualitative. The key informants are intended Persil IV Farmers as many as 11 people who participated in the fight for their land rights deprived PTPN II. While additional informants in this study is about the community as well as those who are members of the Student and Youth Solidarity for the People (SMAPUR) by 2 people. Data analysis techniques used were interviews, observasi.Peranan women farmers in agrarian conflicts parcels Movement IV by PTPN II can be portrayed in any of the occupations of land, Demonstration, palm murder and their courage while facing the ground forces and thugs to be row even leading them to be protective for men when in danger. women into the forefront will affect psychologically to dampen the anger of the party apparatus and thugs (the majority are men) to minimize physical violence terhdap farmers because they are also born from the womb of a woman and have a family perempuan.Pembunuhan palm farmers do to accelerate the process during the tenure of this makes growers retain the soil. women feel the most impact as a manager in the family household making them have to play a role in the agrarian conflict.


(17)

1.1. Latar Belakang

Permasalahan sengketa tanah atau yang lebih dikenal dengan konflik agraria di Indonesia telah menjadi sebuah permasalahan yang kompleks saat ini. Banyaknya kasus konflik agraria antara masyarakat, pengusaha dan pemerintah di berbagai daerah tidak kunjung terselesaikan. Konflik agraria yang terjadi di Indonesia mendapat perhatian yang serius dari kalangan masyarakat. Sebab, konflik agraria ini melibatkan hampir seluruh lapisan masyarakat sebagai pemeran konflik dan tidak jarang dalam proses penyelesaiannya mengunakan cara-cara kekerasan baik itu yang terjadi antar kelompok masyarakat maupun dengan pihak aparat negara dalam hal ini kepolisian dan TNI. Banyaknya kasus konflik agraria ini pun tidak ditunjang dengan penyelesaian dibawah peradilan hukum yang baik. Sehingga menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara masyarakat, pengusaha dan pemerintah.

Konsorium Pembaharuan Agraria tahun 2013 (dalam ―Pelanggaran Hak

Asasi Petani dan Warisan Buruk Masalah Agraria Di Bawah Rezim SBY‖) mencatat terdapat 369 konflik agraria dengan luasan mencapai 1.281.660.09 hektar (Ha) dan melibatkan 139.874 Kepala Keluarga (KK). Dengan jumlah korban mencapai 21 orang tewas, 30 tertembak, 130 menjadi korban penganiayaan serta 239 orang ditahan oleh aparat keamanan. Dengan kata lain, hampir setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria di tanah air, yang melibatkan 383 KK (1.532 jiwa) dengan luasan wilayah konflik


(18)

sekurang-2

kurangnya 3.512 Ha. Selain itu, Sepuluh besar provinsi dengan wilayah yang mengalami konflik agraria di tanah air tahun ini adalah: Sumatera Utara (10,84%), Jawa Timur (10,57%), Jawa Barat (8,94%), Riau (8,67%), Sumatera Selatan (26 kasus), Jambi (5,96%), DKI Jakarta (5,69%), Jawa Tengah (4,61%), Sulawesi Tengah (3,52%) dan Lampung (2,98%). Data tersebut hanya menampilkan peta sebaran konflik yang terjadi pada tahun ini, dan belum sepenuhnya menunjukkan bahwa provinsi tersebut memiliki konflik agraria terbanyak. Sebab, bisa jadi provinsi lain mengalami konflik agraria yang tinggi namun tidak meletus (laten) dalam peristiwa konflik agraria di tahun ini.

Permasalahan agraria ini tidak pernah lepas dari sejarah panjang perkebunan yang dimulai oleh pemerintahan Belanda yang menjajah Indonesia kala itu. Munculnya perkebunan-perkebunan bentukan belanda yang terfokus pada monopoli dan kerja paksa menjadi titik awal munculnya persoalan ini. Pasca kemerdekaan, Indonesia menjadi sebuah negara baru yang dipimpin pemerintah Orde lama, mengalami kendala dalam berbagai bidang terutama perekonomian. Disisi lain, banyaknya kasus kepemilikan tanah yang sebelumnya masih dalam status ikatan penyewaan dengan pihak pemodal asing pada masa kolonial memberikan permasalahan baru dalam sistem agraria. Setelah 15 tahun merdeka, tepatnya 24 September 1960 lahirlah Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria yang kemudian dikenal dengan istilah UUPA (Gunawan Wiradi 2001:11).

Isi dari UUPA 1960 dengan tegas ingin melepaskan diri dari bentuk tata kelola sumber daya alam yang sebelumnya diatur oleh pihak kolonial yang bersifat imperialistis dan monopolistis. Namun hal ini hanya berlangsung hingga


(19)

akhir era Demokrasi Terpimpin yang ditandai dengan munculnya penerbitan UU Kehutanan, UU Pertambangan, dan UU Penanaman Modal pada tahun 1967 yang semangatnya kembali pada corak yang ditinggalkan UUPA 1960 yang dalam R.Deden Dani Saleh (2012:117)

Tumbangnya pemerintahan orde lama kemudian diganti dengan rezim orde baru mempunyai orientasi dalam hal peningkatan pertumbuhan perekonomian negara. Perekonomian negara yang stabil dipandang sebagai jaminan untuk membangun sebuah negara yang makmur dan kesejahteraan rakyat terjamin. Pemerintahan orde baru membuat sebuah kebijakan yang menitik beratkan pada sektor pertanian, migas, perkebunan dan kehutanan. Kebijakan ini kemudian memunculkan para pelaku ekonomi yang menginvestasikan modalnya diberbagai sektor tersebut.

Orientasi pemerintahan Orde Baru yang lebih menekankan kepada pertumbuhan ekonomi mendorong negara salah satunya memacu perkembangan sektor perkebunan dalam penguasaan tanah. Penguasaan tanah oleh pihak pemerintah maupun swasta dilakukan untuk perluas lahan perkebunan. Lahan dengan status Tanah Negara kemudian dijadikan perkebunan negara atau diberikan kepada perusahaan-perusahaan perkebunan dalam bentuk HGU, Hak Pakai maupun hak lainnya. Persoalan yang muncul kemudian adalah konflik agraria yang terjadi antara pengusaha yang mempunyai HGU dengan rakyat yang telah lama menguasai lahan tersebut atau sering disebut sebagai tanah adat mereka bahkan tanah yang mempunyai surat resmi yang diberikan pada masa orde lama kepada masyarakatpun tidak luput dari perampasan Negara dengan dalih pembangunan. Kemudian tanah tersebut digunakan sebagai proyek perkebunan


(20)

4

oleh pemerintah atau diberikan HGU kepada pengusaha swasta Dianto Bachriadi dalam Prinsip-Prinsip Reforma Agraria (2001:230).

Munculnya berbagai konflik agraria saat ini merupakan implikasi dari kebijakan-kebijakan pemerintah orde baru. Menurut Noer Fauzi dalam tulisannya yang berjudul ―Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme:

Dinamika Politik Agraria Indonedia Pasca Kolonial‖ dalam Reformasi Agraria (1997:115) terdapat sejumlah konflik agraria yang disebabkan oleh beberapa hal. Beberapa sebab terjadinya konflik itu adalah:

1. Pemerintah yang mewajibkan petani untuk mempergunakan unsur-unsur Revolusi Hijau untuk tercapainya target swasembada beras.

2. Perkebunan-perkebunan yang mengambil alih lahan yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat.

3. Pemerintah melakukan pengambilalihan tanah untuk yang dinyatakan sebagai program pembangunan baik oleh pemerintah sendiri maupun pihak swasta.

4. Konflik akibat industri pertambangan dan kehutanan.

Terkait dengan konflik agraria yang terjadi di Sumatera Utara khususnya Deli Serdang, pembahasan selanjutnya dikerucutkan pada poin ketiga yaitu pengambilalihan lahan oleh pemerintah dengan dalih program pembangunan. Hal ini terkait dengan awal terjadinya konflik agraria antara Petani Persil IV dengan PTPN II di daerah tersebut.

Seperti yang dikemukakan oleh Noer Fauzi selanjutnya, program pembangunan oleh pemerintahan orde baru membutuhkan tanah sebagai lahan untuk membangun pabrik, irigasi, pembangkit lstrik, real estate dan lain


(21)

sebagainya. Untuk itu dalam mendapatkan tanah yang luas pemerintah secara langsung turun tangan membersihkan rintangan yang menghalangi jalannya pembangunan. Campur tangan pemerintah memberi sedikit tekanan kepada para petani sehingga mereka menyerahkan tanah untuk digunakan oleh pemerintah dengan dalih pembangunan. Hal ini dikarenakan otoritarisme yang merupakan ciri politik rezim orde baru menghilangkan kekuatan politik masyarakat dan memusatkan kekuasaan hanya pada pemerintah. Bangkitnya otoritarisme di jaman orde baru berlaku menyeluruh, bukan hanya dibidang politik agraria. Menurut

Mas‘oed 1989 dalam Reformasi Agraria (1997:89) kebangkitan otoritarisme masa Orde Baru dikarenakan oleh tiga hal pokok, pertama, kondisi struktural serta krisis politik dan ekonomi yang diwarisi rejim Soekarno; kedua, koalisi kekuasaan dominan yang mendukung rejim Orde Baru; dan ketiga cara pimpinan koalisi baru itu menantang dan menanggapi berbagai tantangan dan kesempatan tertentu.

Tumbangnya kekuasaan Rezim orde baru pada tahun 1998 ternyata memberikan angin segar bagi sebagian kelompok masyarakat yang selama ini hak-haknya dirampas tidak terkecuali para petani persil IV. Tanah para petani Persil IV yang sebelumnya digunakan oleh pemerintah orde baru kemudian diambil alih oleh petani yang dulunya adalah milik mereka. Namun, pengambilalihan lahan oleh Petani Persil IV ini tentu saja tidak berjalan lancar. Dalam mendapatkan kembali tanahnya, Petani Persil IV ini harus berseteru menghadapi PTPN II. Sebab tanah tersebut telah digunakan oleh PTPN II Yang jelas-jelas tidak termasuk dalam HGU. Perjuangan para petani ini dalam mendapatkan lahan pertanian mereka telah menggunakan jalur hukum sebagai


(22)

6

jalur perjuangan yang legal. Namun, jalur hukum yang mereka tempuh tidak membuahkan hasil yang baik. Sehingga para petani tersebut memilih alternatif lain dalam memperjuangkan haknya yaitu pendudukan lahan yang dilakukan hingga saat ini.

Pada tahun 1940 rakyat telah menguasai tanah dan mendirikan bangunan rumah sebagai tempat tinggal dan menanam berbagai tanaman seperti Pohon Durian, Jengkol, Petai, Pisang, Jagung, Padi dan berbagai tanaman lainnya sebagai mata pencaharian mereka sebagai petani. Selanjutnya oleh Negara tanah tersebut dilegalisasi menjadi milik rakyat dengan alas hak sebagai TANAH SUGUHAN Persil IV, seluas lebih kurang 600 Ha, yang meliputi diwilayah Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak Desa Lau Barus dan Dusun Tungkusan desa Tadukan Raga. Akan tetapi pada tahun 1972 masa pemerintahan rezim Orde Baru tanpa alasan yang sah secara hukum, sebagian besar tanah tersebut, yaitu seluas lebih kurang 525 Ha, telah diambil atau dikuasai oleh PTPN IX secara paksa (sekarang PTPN II) dengan cara mengusir bangunan rumah tempat tinggal rakyat hingga sampai hancur dan rata dengan tanah, menebang pohon dan tanaman-tanaman yang telah ditanam rakyat sebagai mata pencaharian hidup di atas tanah tersebut, yang mengakibatkan rakyat dan anak-anak mereka terlantar sebab kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Bahkan pihak PTPN II dengan seenaknya menanam pohon sawit dan karet dan hasilnya mereka nikmati tanpa mempedulikan alas hak dan kehidupan rakyat beserta keluarganya. Karena pada masa itu kondisi politik dalam negeri tidak memungkinkan untuk melakukan perlawanan atas tindakan semena-mena tersebut, akibatnya rakyat merasakan penderitaan yang cukup panjang. Setelah menunggu cukup lama sampai akhirnya


(23)

pecah reformasi tahun 1998 peluang untuk mengambil kembali tanah yang dirampas tersebut terbuka, dengan terlaksananya Pertemuan Dengar Pendapat Komisi A DPRD Tk. II Kabupaten Deli Serdang yang pada saat itu dihdiri oleh Kepala Kantor Pertanahan DS., ADM PTPN II (Persero) Kebun Limau Mungkur, Camat Kec. STM. Hilir, Kades. Tadukan Raga, Kades. Limau Mungkur, dan Kades. Lau Barus Baru tentang permasalahan tanah rakyat pada tanggal 27 Oktober 1998, dimana telah menyebutkan beberapa poin diantaranya yaitu tanah seluas lebih kurang 922 Ha tersebut tetap menjadi milik rakyat. Oleh karena tanah seluas 922 Ha yang menjadi sengketa berada diluar areal tanah Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II , pada tahun 1999 tepatnya saat Replanting, tanah tersebut telah diusahakan oleh rakyat sebagai alat produksi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Beberapa bulan berselang PTPN II kembali mengambil alih paksa tanah dengan membabat habis tanaman palawija bahkan beberapa orang petani juga menjadi korban.

Melihat kejadian itu rakyat melakukan gugatan Perdata kepada pihak PTPN II untuk mengembalikan tanah serta membayar ganti rugi peminjaman yang ditaksir sebesar 2,5 milyar rupiah lebih per tahun sejak tahun 1972 sampai ganti rugi tersebut dipenuhi. Selain dari tuntutan diatas, rakyat juga menuntut ganti rugi sebesar 500 milyar rupiah karena dianggap telah melanggar Hak Azasi Manusia. Dengan tuntutan seperti itu maka PTPN II melakukan banding sampai akhirnya mereka mengajuakn Peninjauan Kembali atas putusan Mahkamah Agung. Pada tahun 2005 rakyat kembali melakukan gugatan melalui pengadilan negeri Lubuk Pakam dengan No. 69/PDT.G/2005?PN-LP yang memutuskan bahwa tanah tersebut adalah milik rakyat akan tetapi kembali lagi diajukan banding oleh PTPN


(24)

8

II dengan dalil bahwa pohon yang tumbuh diatas tanah tersebut adalah milik PT. Secara otomatis tanah tersebut belum dipastikan milik siapa (terperkara) sehingga kedua pihak tidak boleh menguasai lahan. Namun tindakan sepihak telah dilakukan PTPN II melalui Perjanjian dalam bentuk Kerja Sama Operasional (KSO) dengan Pihak Ketiga dengan isi perjanjian untuk memanen kelapa sawit diatas tanah terperkara tersebut. Hal ini adalah tindakan melawan hukum. Masyarakat yang merasa dirugikan segera memasuki lahan dan mencoba menguasai tanah yang mereka anggap adalah milik mereka dengan alas hak yang sah menurut hukum. Akan tetapi di lapangan masyarakat mendapat halangan dari pihak aparat kepolisian dan TNI yang belum jelas alasannya mereka berada di lokasi tersebut. Bahkan Aparat Kepolisian yang ada melakukan penangkapan beberapa warga yang mencoba memanen sawit. Dengan senjata lengkap aparat, akhirnya masyarakat dipaksa mundur dari lahan, dan pihak ketiga tersebut secara bebas melakukan aktivitas memanen. Masyarakat kembali melakukan perlawanan dengan menghadang truk pengangkut buah sawit dengan berbaris tanpa senjata. Karena supir takut menabrak masyarakat yang sebagian besar adalah kaum ibu, maka kendali diambil alih oleh salah satu aparat polisi dan serta merta menabrak masyarakat yang melakukan perlawanan dan akhirnya 3 orang ibu-ibu menjadi korban dan harus dibawa kerumah sakit. Kejadian ini lantas membuat masyarakat sekitar menjadi trauma untuk datang ke lahan, bahkan nyaris ingin melupakan haknya atas tanah. Sampai saat ini rakyat terus di intimidasi dengan aksi-aksi militerisme oleh kepolisiaan dan oknum TNI. ( Dokumentasi SMAPUR).


(25)

Sepanjang terjadinya konflik agraria di beberapa daerah, tentu saja perlawanan yang dilakukan para petani terhadap perampas tanah mereka berbeda. Tidak terkecuali pada konflik agraria yang terjadi di Kecamatan STM HILIR antara Petani Persil IV dengan PTPN II. Di mana konflik agraria ini melibatkan perempuan sebagai salah satu pelaku konflik. Keterlibatan kaum perempuan dalam konflik agraria antara Petani Persil IV dengan PTPN II menjadi sebuah perjuangan yang menarik untuk diperbincangkan. James C. Soutt dalam hasil penelitian sistematis STPN (2012:84) mengungkapkan bahwa perempuan sebagai pengelola rumah tangga yang tinggal di dalam rumah menerima dampak paling berat dari tekanan hidup akibat sengketa tanah. Selanjutnya James menjelaskan dengan ketiadaan penghasilan utama yang diakibatkan oleh hilangnya lahan pertanian mengharuskan perempuan untuk mencari siasat guna menyediakan kebutuhan pangan keluarganya. Penjelasan James tersebut tidak menutup kemungkinan hal itu menjadi salah satu dasar alasan perempuan untuk ikut serta sebagai salah satu pemeran dalam konflik agraria. Secara alami perempuan berpandangan bahwa ketika terjadi sengketa tanah yang melibatkan lahan pertanian mereka berdampak pada kebutuhan hidup keluarga. Sehingga sebagai salah satu anggota keluarga, perempuan juga mempunyai kewajiban untuk ikut serta dalam memperjuangkan hak atas tanah mereka.

Dalam banyak dokumentasi yang melibatkan perempuan dalam sengketa tanah dan penggusuran lahan saat ini, penempatan perempuan di garda terdepan menjadi sebuah bentuk perlawanan baru. Penempatan perempuan dijadikan sebagai salah satu upaya mengusir petugas yang berusaha mengambil lahan mereka. Dengan asumsi bahwa petugas pengambilalihan lahan adalah mayoritas


(26)

10

laki-laki maka ketika berhadapan dengan perempuan, kelelakian mereka merasa terganggu Dian Aries Mujiburohman dkk. dalam hasil penelitan sistematis STPN (2012:84). Kemudian perempuan menjadi sebuah senjata yang melibatkan aspek psikologis dan naluri laki-laki yang tentu saja mempunyai hubungan dengan perempuan sebagai anak, cucu, kakak dan adik. Sehingga dalam upaya pengambilan lahan petani oleh petugas mengalami penundaan. Peranan perempuan yang ikut menyuarakan perampasan tanah mereka merupakan salah satu bukti eksistensi gerakan perempuan Indonesia. Terlepas dari isu-isu kesetaraan gender, anti diskriminasi dan lain sebagainya yang disuarakan oleh gerakan feminis di dalam masyarakat. Hal positif yang terjadi adalah perempuan telah menjadi sebuah kekuatan baru bagi segenap perjuangan di dalam konflik agraria tersebut. Melalui gerakan ini pula, pandangan tentang perempuan setidaknya memberikan kesan yang berbeda. Perempuan tidak lagi dipandang sebagai penunggu yang berada di dalam rumah dari tetapi secara aktif mereka ikut berjuang bersama-sama.

Seperti halnya pada konflik agraria di Deli Serdang ini, keikutsertaan perempuan tidak hanya berada di balik layar yang hanya memberikan dukungan moral. Keterlibatan perempuan yang berperan dalam konflik agraria ini menggalang kekuatan mereka dengan bergabung bersama Petani Persil IV. Secara umum perempuan yang dipandang sebagai anggota masyarakat yang lemah berubah menjadi sebuah senjata baru dalam perlawanan mereka. Peranan perempuan sebagai salah satu anggota petani dilakukan dengan keikutsertaan mereka berdemonstrasi dan pendudukan lahan. Selain itu, perempuan yang tergabung dalam Petani Persil IV ini ikut serta dalam merumuskan bentuk


(27)

perlawanan yang mereka lakukan. Keberadaan perempuan yang bersama-sama menggalang kekuatan dengan kaum laki-laki yang tergabung dalam Petani Persil IV ini menjadi sebuah harapan untuk lebih didengarkan dalam menyuarakan permasalahan mereka.

Beberapa bentuk perjuangan perempuan dalam konflik agraria telah banyak didokumentasikan, namun sejauh ini belum banyak peneliti yang mengupas sejauh mana keterlibatan perempuan didalamnya. Untuk itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang bentuk peranan dan keterlibatan aktif perempuan di dalamnya. Selain itu penelitian ini hendaknya mampu pula memberikan uraian tentang berbagai kegiatan dan peranan dalam merumuskan perjuangan mereka ditengah-tengah para kaum laki-laki sebagai upaya dalam mempertahankan hak atas tanah mereka.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan pada latar belakang diatas, perlu dilakukan pembatasan masalah yang dirumuskan dalam beberapa pertanyaan, yaitu:

1. Bagaimanakah peranan perempuan dalam konflik agraria antara Petani Persil IV dengan PTPN II di Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli Serdang (Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak, Desa Lau Barus, dan Dusun Tungkusan Desa Tadukan Raga)?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perempuan terlibat dalam konflik agraria Petani Persil IV dengan PTPN II di Kecamatan STM Hilir


(28)

12

Kabupaten Deli Serdang (Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak Desa Lau Barus dan Dusun Tungkusan Desa Tadukan Raga)?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Dalam sebuah penelitian tentunya mempunyai tujuan dilakukannya penelitian tersebut. Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis peranan perempuan dalam konflik agraria Petani Persil IV dengan PTPN II di Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak, Desa Lau Barus dan Dusun Tungkusan Desa Tadukan Raga, Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli Serdang

2. Untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi perempuan terlibat dalam konflik agraria Petani Persil IV dengan PTPN II di Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak Desa Lau Barus dan Dusun Tungkusan Desa Tadukan Raga, Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli Serdang

1.3.2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan mafaat, antara lain: a. Manfaat teoritis:

1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang gerakan perempuan dalam konflik agraria.

2. Sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan terhadap penelitian sebelumnya mengenai peranan perempuan dalam konflik agraria.


(29)

3. Hasil penelitian ini daharapkan menjadi salah satu sumber informasi terhadap penelitian selanjutnya.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah tentang peranan perempuan dalam konflik agraria.


(30)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1.Perempuan dalam Pemahaman Gender

Dalam keseharian masyarakat gender sering diidentikkan sebagai jenis kelamin. Namun, pada hakikatnya gender berbeda dengan jenis kelamin atau sex. Perlu diketahui bahwa seluruh fakta biologis yang terdapat di dalam tubuh manusia baik laki-laki maupun perempuan merupakan pembedaan antara keduanya, sedangkan gender merupakan pembedaan secara sosial antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Pengenalan kata gender ini sendiri pertama kali dikenalkan oleh Ann Oakley dalam PESADA (2009:4)

Moore dalam Irwan Abdullah (2003:266) menyatakan gender berbeda dengan seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis dan bukanlah sebuah korelasi yang absolut. Hal ini sebabkan oleh kebudayaan yang dianut masyarakat berbeda-beda dalam penafsiran feminine atau maskulin. Secara universal perempuan memang berbeda dari laki-laki tidak hanya dilihat dari jenis kelamin tetapi dari pembawaan sifat keduanya. Gender sendiri diartikan sebagai konstruksi sosiokultural yang membedakan antara karateristik feminin untuk perempuan dan maskulin untuk laki-laki. Hal inilah yang kemudian menjadi sebuah pembagian peran di dalam masyarakat secara keseluruhan. Perbincangan mengenai pembagian peran perempuan dan laki-laki di tengah-tengah masyarakat saat ini menjadi penting mengingat kuatnya arus kesetaraan yang diisukan oleh perempuan itu sendiri. Berbagai kalangan masyarakat mulai dari golongan akademis, tokoh masyarakat bahkan dalam dunia politik mulai menjadikan topik


(31)

perempuan sebagi suatu yang penting untuk diperbincangkan. Dalam banyak perbincangan tersebut kesetaraan gender menjadi sebuah wacana baru yang banyak diperdebatkan oleh beberapa gerakan perempuan.

Merunut pada pembicaraan sebelumnya, kehadiran dasar pemikiran yang membedakan antara kaum laki-laki dengan perempuan ini muncul dari berbagai proses di dalam sosialisasi masyarakat, agama ataupun kultur sosial. Perbedaan ini kemudian mengalami proses yang panjang di dalam masyarakat yang kemudian dianggap sebagai sesuatu yang alamiah dalam membedakan tindakan dan pemikiran laki-laki dan perempuan. Masyarakat sebagai sebuah satuan kelompok yang besar kemudian menciptakan pembagian sifat yang mana menjadi sebuah keharusan untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Hal ini kemudian diwariskan dari generasi ke generasi sebagai sebuah budaya yang tumbuh di dalam masyarakat itu sendiri. Perbedaan ini lama kelamaan dianggap sebagai sebuah alur pemikiran yang alamiah dan normal. Sehingga bagi sebagian masyarakat yang tidak berada pada alur pemikiran tersebut dianggap tidak normal atau melanggar kodratnya.

Kedudukan perempuan ini menjadi sebuah keharusan di tengah masyarakat dengan pemikiran mereka tentang perbedaan laki-laki dan perempuan. Kedudukan perempuan dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu sudut pandang ekonomi, budaya dan politis. Dari sudut pandang ekonomi, kedudukan kaum perempuan berada di bawah laki-laki yang bermula pada ketergantungan ekonomi. Charlotte P. Gilman, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Women and Economic dalam Fajar Apriani (2008:118) apabila seorang perempuan kehilangan aktifitas ekonominya dan mengubahnya secara keseluruhan dari seks,


(32)

16

menjadi semata-mata kantung telur sebuah organisme tanpa daya untuk mempertahankan rasnya. Hal ini diasumsikan Gilman bahwa sesungguhnya status sekunder perempuan lebih berdasar pada masalah ekonomi dari pada sosial dan budaya. Dari asumsi Gilman tersebut apabila ekonomi seorang perempuan lebih dominan dari laki-laki maka perempuan mampu memegang kedudukan lebih tinggi atau superior dari laki-laki. Selanjutnya Gilman manyatakan ketika seorang laki-laki mulai memberi makan dan melindungi perempuan, secara proporsional perempuan berhenti memberi makan dan melindungi dirinya sendiri. Artinya apabila seorang perempuan menurunkan kemampuan mereka untuk menghidupi serta melindungi diri sendiri maka mereka akan bergantung pada laki-laki. Sebagai konsekwensinya perempuan harus menyenangkan dan patuh terhadap laki-laki atas apa yang telah diberikan oleh laki-laki tersebut.

Dilihat dari perspektif budaya, seperti yang dikemukakan oleh William dalam Muji Sutrisno dan Hendar Putranto (2009:8) budaya mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual dan estestis seorang individu, kelompok, atau masyarakat yang menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan, berkeyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang atau kelompok masyarakat. Willian berpendapat bahwa segala kegiatan serta seluruh norma yang berlaku pada masa kini adalah yang berakar pada masa silam. Haralambos dan Held dalam Fajar Apriani (2008:120) menyimpulkan bahwa norma, nilai dan peran ditentukan secara kultural dan di sampaikan secara sosial. Dilihat dari sudut pandang ini perbedaan kedudukan kaum perempuan dengan laki-laki adalan sebuah produk budaya dari pada produk biologis. Dimana masing-masing dari tiap individu mempelajari peran mereka di dalam masyarakat. Selanjutnya pembagian kerja


(33)

berdasarkan jenis kelamin yang ada di dalam masyarakat kemudian dibenarkan oleh sistem kepercayaan yang mereka anut dan peran laki-laki dan perempuan yang seperti itu adalah benar, layak dan patut.

Diane Elson dalam artikelnya yang berjudul Structural Adjusment : Its Effect on Women (1991:42) mengatakan bahwa hubungan antara perempuan, pasar dan negara adalah sesuatu yang kompleks.negara tidak selalu berjalan sesuai minat perempuan dan pasar tidak selalu berjalan berlawanan dengan kepentingan perempuan. Kompleksitas hubungan antara perempuan, pasar dan negara ini dapat membawa sebuah rintangan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam lingkup politik. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya kemadirian perempuan dalam bidang ekonomi sehingga perempuan tidak layak untuk memperoleh akses pada sumber daya seperti yang diperoleh laki-laki. Dengan demikian perempuan kehilangan posisi tawar mereka dalam dunia politik apabila mereka tidak secara ekonomi bergantung pada pihak lain.

2.1.1. Feminisme

Feminisme dan perempuan merupakan kesan yang muncul ketika membicarakan gender. Padahal keduanya hanya merupakan bagian dari gender itu sendiri. Berbicara feminism artinya membicarakan ideologi (bukan wacana) karena bersifat gabungan dari proses kegiatan mata, hati dan tindakan yaitu dengan menyadari, melihat, mengalami, adanya penindasan, hegemoni, diskriminasi, dan penindasan yang terjadi pada perempuan, mempertanyakan, menggugat, dan mengambil aksi untuk mengubah kondisi tersebut. Lihat Arimbi Heroepoetri dan R. Valentina, Percakapan Tentang Feminisme VS


(34)

18

Neoloberalisme, Jakarta: DebtWATCH, 2004, halaman 5-6. Dinamakan gerakan feminism (women) oleh karena adanya ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Tetapi kemudian makna feminism mengalami perluasan sesuai perkembangan zaman yaitu bukan hanya membela perempuan yang tertindas tetapi siapa saja yang mengalami ketidakadilan baik laki-laki meupun perempuan.

Istilah feminisme sering menimbulkan prasangka, hal ini pada dasarnya lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai arti feminisme yang sesungguhnya. Pandangan bahwa feminis datang dari barat adalah salah, tetapi istilah feminis dan konseptualisasi mungkin datang dari Barat bisa dibenarkan. Dari sisi etimologis, feminisme pada dasarnya adalah paham mengenai wanita. Namun, feminisme juga mengandung unsur gerakan. Dikatakan gerakan lantaran tujuan feminisme dimaksudkan supaya pengalaman, identitas, cara berpikir dan bertidak dilihat sama seperti kaum pria. Inilah yang dapat kita lihat dari gerakan feminisme dewasa ini yang menuntut kesetaraan di bidang politik, sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya.

Catatan sejarah kaum perempuan telah memberikan sebuah kenyataan bahwa sejak dahulu perempuan menjadi anggota masyarakat yang lemah, tidak berdaya, bahkan menjadi yang ke-2 setelah kaum lelaki. Berbagai bentuk diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil kerap diterima dalam kehidupan mereka. Diskriminasi dalam keluarga yang lebih mengutamakan lelaki, diskrimisnasi lingkungan, tidak adanya hak politik, permasalahan ekonomi dan lain sebagainya adalah beberapa wujud nyata dari posisi perempuan yang tidak menguntungkan. Berangkat dari kenyataan tersebut, muncullah beberapa gerakan-gerakan perempuan dengan isu anti diskriminasi. Gerakan kaum perempuan


(35)

dengan isu emansipasi dan persamaan hak serta penghapusan segala bentuk diskriminasi menjadi tuntutan mereka. Tuntutan inilah yang menjadi sebuah dasar dari gerakan perempuan pada saat ini yang lebih dikenal dengan istilah feminisme yang dalam PESADA (2010:2).

Selanjutnya, dalam memahami feminisme itu sendiri terdapat tiga istilah yang sering membingungkan yaitu Feminine, Feminist dan Feminism. Menurut Toril Moi (1985), Feminine diartikan sebagai kumpulan atribut yang ditujukan kepada jenis kelamin perempuan dan ini menjadi pusat kritik para peminist. Kamla Basin (1986) mengartikan feminist sebagai orang yang percaya mengenai adanya ketidak adilan terhadap perempuan dan berusaha melakukan sesuatu untuk meneranginya Sedangkan Rosemarie Tong (1989) mengartikan feminism sebagai segenap teori dan perspektif yang menjelaskan mengenai penindasan terhadap perempuan, mencari penyebabnya dan segenap konsekensinya serta menawarkan strategi untuk membebaskan perempuan dari penindasan tersebut dalam PESADA dvv Internasional (2009:17).

Munculnya gerakan kaum perempuan saat ini bermula dari gerakan perjuangan kaum perempuan yang disebut dengan feminisme pada awal abad ke-19. Tokoh yang paling terkenal pada gerakan kaum perempuan gelombang pertama pada saat itu adalah Mary Wollstencraft dengan bukunya Vindication of the Right of Women. Selanjutnya gerakan perempuan mulai meluas, sekitar tahun 60-an muncul pula gerakan kaum perempuan gelombang kedua dengan tokohnya Betty Friedan dan diterbitkannya buku dengan judul The Feminine Mystique yang


(36)

20

tersebut memunculkan teori-teori feminis. Dalam feminism terdapat empat aliran utama feminis, yaitu:

1. Feminis Liberal

Feminisme liberal bermula dari teori politik liberal dimana manusia secara individu menjunjung tinggi, termasuk didalamnya nilai otonomi, nilai persamaan dan nilai moral yang tidak boleh dipaksakan, tidak diindoktrinasikan dan bebas memiliki penilaian sendiri. Dasar pemikiran dari munculnya feminis liberal ini berawal dari kepercayaan bahwa sumber penindasan terhadap perempuan berakar dari hambatan hukum adat yang menghalangi kaum perempuan memasuki dunia publik. Menurut Humm (1992:181) feminis liberal ini bertujuan untuk mencapai kesetaraan secara hukum, politis dan sosial bagi perempuan. Selain itu, para feminis liberal beranggapan bahwa tujuan dari pembebasan perempuan adalah kesetaraan seksual dan keadilan gender.

Feminisme liberal sebagai turunan teori politik liberal, pada mulanya menentang diskriminasi perempuan dalam perundang-undangan, misalnya persamaan hak pilih, perceraian dan harta benda. Akan tetapi, feminisme liberal menolak teori liberal tradisional yang menyatakan bahwa hak adalah suatu pemberian yang didasarkan pada kemampuan rasio atau akal, sehingga yang rasionya rendah tidak pantas menerima hak. Reaksi keras diajukan feminisme liberal, bahwa ketidakmamupuan atau rasio disebabkan oleh lingkungan pendidikan yang seksis dan melestarikan ideologi gender. Hal ini jelas akan menghalangi semangat perempuan untuk berkompetisi pengembangan pemikiran rsionya. Dengan demikian


(37)

feminis liberal bertujuan ingin menciptakan struktur ekonomi dan politik yang adil dan menuntut adanya kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam kancah politik.

2. Feminis Radikal

Aliran ini muncul setelah WF2 (adanya penindasan pada kaum perempuan dari sisi gender yang menimbulkan polemik dari kaum perempuan secara teknis.) Dalam analisis Wollstonecraft (1972, dalam A Vindication of The Rights of Woman) mengasumsikan bahwa hal yang membedakan laki dan perempuan dari sagi nalar dan moral. Salah satu aliran didalam feminisme ini adalah Feminis Radikal. Feminis radikal yang lahir pada era 60-70an pada dasarnya mempunyai 3 pokok pikiran sebagai berikut:

a) Bahwa perempuan mengalami penindasan, dan yang menindas adalah laki-laki. Kekuasaan laki-laki ini harus dikenali dan dimengerti, dan tidak boleh direduksi menjadi kekuasaan kapitalis, misalnya.

b) Bahwa perbedaan gender yang sering disebut maskulin dan feminin sepenuhnya adalah konstruksi sosial atau diciptakan oleh masyarakat, sebenarnya tidak atas dasar perbedaan alami perempuan dan laki-laki. Maka yang diperlukan adalah penghapusan peran perempuan dan laki-laki yang diciptakan oleh masyarakat di atas tadi.


(38)

22

c) Bahwa penindasan oleh laki-laki adalah yang paling utama dari seluruh bentuk penindasan lainnya, di mana hal ini menjadi suatu pola penindasan.

3. Feminis Sosialis

Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini hendak mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai


(39)

konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat masalah-masalah kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

4. Feminis Marxis

Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus. Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.


(40)

24

2.1.2. Perkembangan Gerakan Perempuan Indonesia

Membicarakan tentang perkembangan gerakan kaum perempuan di Indonesia tidak terlepas dari rentetan sejarah panjang perempuan itu sendiri. Jauh sebelum adanya gerakan perempuan seperti saat ini, sebelumnya kedudukan kaum perempuan dalam kehidupan sosial diatur oleh tradisi masyarakat di setiap daerah. Penempatan kaum perempuan telah diatur sebagai sebuah aturan yang sah di dalam norma-norma adat istiadat setempat. Selain itu, hak dan kewajiban perempuan telah menempati posisi kedua setelah laki-laki bahkan dipandang lebih rendah. Secara umum hal in terjadi hampir merata diseluruh daerah Indonesia. Pada dasarnya gerakan kaum perempuan telah ada jauh sebelum munculnya penjajah di negeri ini. Beberapa catatan tentang perempuan dibeberapa daerah menyebutkan gerakan perempuan telah ada namun belum dilakukan secara terang-terangan.

Secara umum, hampir semua bentuk gerakan rakyat Indonesia yang muncul pada masa colonial Belanda bermula pada kritik seorang warga Belanda yaitu C. Th. Van Deventer (1901) yang mengkritik pemerintahan kolonial Belanda di tanah jajahannya. Kritikan van Deventer dituangkan dalam sebuah tulisan yang berjudul Hutang Kehormatan. Kritikan inilah yang kemudian menjadi sebuah gerbang pencerahan bagi segenap masyarakat Indonesia pada saat itu. Kritik ini kemudian dikenal dengan istilah politik etis yang berisikan edukasi (pendidikan), trasmigrasi (perpindahan penduduk) dan irigasi.

Setelah munculnya pendidikan sebagai sebuah pencerahan bagi masyarakat pribumi saat itu, baik langsung maupun tidak langsung memberikan ruang gerak bagi perempuan pribumi untuk mengecap pendidikan. Memang


(41)

dalam kenyataanya tidak semua perempuan secara merata di seluruh daerah Indonesia mendapat pendidikan formal. Akan tetapi dengan adanya sedikit ruang bagi kaum perempuan untuk mengecap pendidikan formal maupun nonformal memberikan sumbangan yang cukup baik bagi awal pergerakan perempuan pada saat itu. Pelopor gerakan feminis pada masa ini adalah Kartini (1879-1904). Secara umum, nama Kartini seorang perempuan Jawa putri Bupati Jepara selalu dikaitkan sebagai tonggak awal bagi gerakan feminis di Indonesia. Setelah wafatnya Kartini tulisan-tulisan serta surat-suratnya kepada sahabat penanya di Belanda di terbitkan dengan judul Door duisternist tot licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Kontribusi Kartini dalam awal mula gerakan feminis adalah sebagai salah seorang yang mengobarkan semangat diantara kaum muda Indonesia dan timbulnya gerakan feminis itu sendiri.

Selain Kartini, terdapat Dewi Sartika (1884-1947) yang menjadi seorang pejuang pergerakan kaum perempuan. Jauh sebelum adanya gerakan feminis mengemuka dan terorganisir Dewi Sartika telah banyak ketidakadilan pembagian upah buruh antara laki-laki dengan perempuan dimana perempuan mendapat upah lebih rendah dari laki-laki dalam pekerjaan yang sama beratnya mereka kerjakan dalam buku yang berjudul Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian dituliskan oleh Cora Vreede-De Strures (2008:75). Kedua perempuan diatas, dianggap sebagai salah satu pelopor adanya gerakan feminis di Indonesia. Namun, masih banyak perempuan lain yang tidak pernah dikenal telah memberikan sumbangan dalam kebangkitan gerakan kaum perempuan ini.


(42)

26

Berkaitan dengan perjuangan untuk meraih emansipasi perempuan muncullah beberapa kelompok atau organisassi perempuan yang terorganisir dengan baik. Pada tahun 1912 berdiri organisasi Putri Mardika di Jakarta. Organisasi ini berdiri memberikan bantuan kepada kaum perempuan agar dapat bersekolah dan melanjutkan sekolahnya serta memberikan semangat dan rasa percaya diri untuk berperan aktif di dalam masyarakat. Selain itu muncul pula beberapa organsasi perempuan dibeberapa daerah lain seperti Putri Budi Sedjati di Surabaya, Keutamaan Istri di Sunda, Kerajinan Amai Setia pada tahun 1914 di Kota Gadang Sumatera Barat dan lain sebagainya. Pada masa ini berdirnya sebuah organsasi perempuan bertujuan meningkatkan martabat perempuan dengan memberikan pendidikan di bidang rumah tangga, jahit-menjahit, kursus tentang cara merawat dan mendidik anak dan lan-lain yang di acu oleh Cora Vreede-De Strures (2008:87). Selain lembaga tersebut beberapa organisasi berbasis agama pun turut serta memberikan sumbangan bagi bangkitnya gerakan perempuan. Dua organisasi berbasis agama tersebut adalah Muhammadiyah yang didirkan oleh H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 dan Sarikat Islam.

Pada masa kolonial ini pencapaian gerakan perempuan sangatlah baik, banyaknya muncul organisasi perempuan diberbagai daerah kemudian melahirkan kongres perempuan. Kongres perempuan pertama diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1928. Kongres ini dihadiri oleh hampir tiga puluh perkumpulan perempuan dari berbadai daerah. Dalam kongres tersebut pembicaraan mengenai masalah politik dibatasi, kongres lebih mengutamakan masalah pendidikan dan perkawinan. Hasil terpenting dari adanya kongres ini adalah pendirian Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) yang berniat mengembangkan posisi sosial


(43)

perempuan dan kehidupan keluarga. Beberapa hasil dari kesepakatan di dalam PPI mengajukan permintaan jumlah sekolah untuk perempuan harus ditingkatkan, penjelasan resmi mengenai taklik diberikan kepada calon mempelai perempuan dan peraturan yang menolong para janda dan anak yatim piatu dari pegawai negeri sipil harus dibuat. Selanjutnya tanggal 22 Desember adalah tanggal diadakannya kongres perempuan pertama dan dikukuhkan sebagai Hari Ibu di Indonesia. Selanjutnya kongres perempuan rutin diadakan setiap tahun.

Namun, pergerakan perempuan pada masa pendudukan Jepang di Indonesia hanya mendapat sedikit peluang untuk berkembang. Satu-satunya organisasi yang diizinkan berdiri adalah Funjikai (perkumpulan perempuan). Perkumpulan ini berdiri dengan tujuan memerangi buta huruf dan ikut serta dalam aktivitas sosial. Dengan adanya aktivitas tersebut berbagai kalangan perempuan dapat berbaur dan lebih dekat. Selanjutnya pasca kemerdekaan Indonesia kaum perempuan mempunyai peran yang penting dimana mereka bersatu untuk membantu para pejuang digaris terdepan. Di bentuknya Palang Merah Indonesia setelah kemerdekaan Indonesia berperan penting membentuk tim perawat yang sangat dibutuhkan pada masa itu. Selain PMI perkumpulan yang populer pada masa ini adalah Perwani (Persatuan Wanita Negara Indonesia) dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).

Terlepas dari sejarah panjang kaum perempuan dalam berbagai kelompok yang terorganisir atau tidak dari masa ke masa memberikan sedikit gambaran bahwa gerakan feminis telah ada di Indonesia sejak dulu. Namun, perlu pula dianalisis bahwa gerakan perempuan yang ada dari masa ke masa tentu saja mempunyai tuntutan yang berbeda disetiap generasinya. Walaupun pada dasarnya


(44)

28

semua gelombang gerakan perempuan itu menuntut kesejahteraan bagi kaum mereka. Pada saat ini, gelombang gerakan perempuan telah mempunyai kebebasan dalam menyuarakan tuntutan mereka. Seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin maju, saat ini banyak pula perempuan yang tidak sepenuhnya terkait budaya kuno yang menempatkan posisi mereka berada dibawah laki-laki. Perempuan tidak lagi berada dibalik bayang-bayang laki-laki ketika mereka berada dalam kelompok masyarakat. Diberbagai aspek kehidupan, perempuan mulai berdiri sendiri secara mandiri mengelola kehidupan mereka.

Terkait dengan gerakan perempuan pada saat ini, tentu saja tuntutan kaum perempuan berbeda dengan masa sebelumnya. Beberapa gerakan perempuan terfokus pada tuntutan mereka tentang anti diskriminasi, kesetaraan gender, kebebasan dalam berpolitik dan beberapa tuntutan lainnya. Perkembangan gerakan kaum perempuan saat ini telah menjadi sebuah gerakan yang mampu memberikan sebuah kekuatan baru dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Secara umum, perempuan mulai berpolitik, berkarir secara mandiri dalam bidang ekonomi tanpa ketergantungan terhadap laki-laki, berani untuk menyuarakan argumen mereka bahkan mampu berdiri sejajar dengan barisan laki-laki.

Dalam panjangnya catatan perkembangan gerakan feminis di Indonesia, wacana perempuan dalam gerakan memperjuangkan hak mereka yang rampas banyak pula dibicarakan. Seorang perempuan telah mempunyai kewajiban layaknya seorang laki-laki dalam berbagai gerakan yang menyangkut diskriminasi dalam masyarakat. Seperti halnya wacana konflik agraria yang akan dibahas selanjutnya, perempuan pun harus mampu mengambil bagian di dalamnya. Sebuah gerakan perempuan memang tidak selalu akan menjadi sebuah gerakan


(45)

feminis seperti apa yang telah ada sebelumnya. Namun, adanya sebuah kesadaran terhadap perampasan hak mereka merupakan sebuah tujuan dari feminism yang menginginkan adanya kesadaran setiap perempuan dalam memperjuangkan hak mereka.

2.2. Teori Konflik

Sebelum mengurai tentang teori konflik, terlebih dahulu kita mengurai arti konflik tersebut. Konflik berasal dari kata kerja Latin yaitu configere yang mengandung arti saling memukul. Sementara secara sosiologis konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih, dimana satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Selanjutnya, Gunawan wiradi yang di acu dalam catatan ringkas Ridha Wahyuni Penelitian Mengenai Konflik Agraria (2013:1) berpendapat bahwa konflik selalu menjadi pusat perhatian dalam ilmu-ilmu sosial, berskala luas dan dampaknya juga luas.

Dilihat dari dampak konflik yang terjadi, para ahli telah mengemukakan jenis-jenis konflik yang timbul dalam masyarakat. Salah satunya menurut Wirawan (2010) yang di acu oleh Yumi dkk (2012:8) mengemukakan beberapa jenis konflik ditinjau dari berbagai aspek:

1. Aspek subyek yang terlibat dalam konflik

a. Konflik personal adalah konflik yang terjadi dalam diri seseorang karena harus memilih dari sejumlah alternatif pilihan;


(46)

30

b. Konflik interpersonal adalah konflik yang terjadi antar personal dalam suatu organisasi, dimana pihak-pihak dalam organisasi saling bertentangan;

c. Konflik of interest berkembang dari konflik interpersonal dimana para individu dalam organisasi memiliki interest yang lebih besar dari interest organisasi, sehingga mempengaruhi aktivitas organisasi.

2. Aspek substansi konflik

a. Konflik realistis yaitu konflik dimana isu ketidak sepahaman/ pertentangan terkait dengan substansi/obyek konflik sehingga dapat didekati dari dialog, persuasif, musyawarah, negosiasi ataupun voting;

b. Konflik non realistis adalah konflik yang tidak ada hubungan dengan substansi/obyek konflik, hanya cenderung mau mencari kesalahan lawan baik dengan cara kekuasaan, kekuatan, agresi/paksaan.

3. Aspek keluaran

a. Konflik konstruktif yaitu konflik dalam rangka mencari danmendapatkan solusi;

b. Konflik destruktif yaitu konflik yang tidak menghasilkan atau tidak berorientasi pada solusi, mengacaukan, menang sendiri dan hanya saling menyalahkan.


(47)

4. Aspek bidang kehidupan

Konflik bidang kehidupan antara lain bidang ekonomi, termasuk SDA merupakan konflik yang terjadi lebih dipicu oleh keterbatasan sumber daya alam, manusia cenderung berkembang dan terjadi perebutan atas akses ke sumber ekonomi, perebutan penguasaan atas sumber-sumber eknomi dan dapat saja memicu konflik-konflik bidang kehidupan lainnya yaitu konflik sosial, politik dan budaya.

Pada sumber yang sama, sumber konflik menurut Suporahardjo (2000) adalah adanya perbedaan, dan perbedaan tersebut bersifat mutlak yang artinya secara obyektif memang berbeda. Perbedaan tersebut dapat terjadi pada tataran antara lain: (1) perbedaan persepsi; (2) perbedaan pengetahuan;(3) perbedaan tata nilai; (4) perbedaan kepentingan; dan (5) perbedaan pengakuan hak kepemilikan (klaim).

Lebih lanjut berbicara mengenai teori konflik, menurut Marx yang di acu oleh Janu Murdiatmoko (2000:39) konflik bermula ketika dalam masyarakat terdapat dua kelompok kelas yaitu kelas yang mempunyai kepentingan untuk mempertahankan sistem sosial dan kelas yang mempunyai kepentingan untuk mengubahnya. Dalam hal ini berkaitan dengan kaum borjuis sebagai yang mempertahankan dan kaum ploletar yang ingin mengubah. Ketegangan yang terjadi antar dua kelas ini menurut Marx menyangkut sistem produksi yang terjadi pada saat itu. Munculnya kesadaran dalam diri kaum ploletar yang menyangkut ekploitasi terhadap diri mereka mendorong terbentuknya gerakan sosial besar. Gerakan ini memunculkan konflik antara dua kelas yang saling bertikai. Sejalan


(48)

32

dengan penjelasan Marx di atas, Dahrendrof yang di acu oleh Lasarus Jemahat (2011:74) berkesimpulan bahwa konflik yang terjadi dalam masyarkat dikarenakan adanya perbedaan otoritas, kepentingan dan wewenang antara kelompok superordinat dan subordinat. Dimana kelompok superordinate selalu mempertahankan status sosial sedangkan subordinat cenderung iangin mengubahnya .

Coser yang di acu oleh Novri Susan (2009:54) memberikan perhatian terhadap asal muasal konflik tersebut yang bersumber pada keagresifan atau permusuhan dalam diri orang. Perilaku permusuhan inilah yang menyababkan masyarakat mengalami konflik. Selain itu, Coser membedakan dua tipe dasar konflik yaitu konflik realistis dan non realistis. Konflik realistis menurut Coser memiliki sumber yang konkret atau bersifat material, seperti perebutan sumber ekonomi atau wilayah. Sedangkan konflik nonrealistis didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, konlik seperti ini biasanya terjadi antar agama, antaretnis dan lain sebagainya.

Salah satu pengertian konflik dikemukakan oleh Johnson dan Dunker (1993) yang di acu oleh Mitchell (2000) konflik adalah pertentangan antara banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah serta merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada. Karenanya konflik merupakan sesuatu yang tidak terelakkan yang dapat bersifat positif atau bersifat negatif.


(49)

2.2.1. Faktor-faktor Konflik

1. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.

Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur. 2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk

pribadi-pribadi yang berbeda.

Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda.

Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.


(50)

34

4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

2.3. Agraria

Lahirnya Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960 merupakan peristiwa penting di bidang agraria dan pertanahan di Indonesia. Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA tersebut kebijakan-kebijakan pertanahan di era pemerintahan Kolonial Belanda mulai ditinggalkan. Undang-undang yang disusun di era pemerintahan Presiden Soekarno ini menggantikan Agrarische Wet 1870 yang terkenal dengan prinsip


(51)

domein verklaring yaitu semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum barat, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah milik negara/ milik penjajah Belanda. UUPA merupakan produk hukum pada era Orde Lama yang menghendaki adanya perubahan dan pembaharuan di bidang agraria dan pertanahan serta menghendaki terwujudnya pembangunan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Pembahasan mengenai agraria telah dikemukakan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Menurut budi Harsono dalam bukunya yang berjudul Hukum Agraria Indonesia (1999:6-7) menyatakan, bahwa pengertian agraria dalam UUPA menganut arti luas yaitu, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Batasan agraria dalam arti luas yang dianut dalam UUPA bermakna bahwa pengaturan/hukum mengenai agraria dan tidak hanya mengatur satu bidang hukum saja, tapi merupakan kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masingnya berkaitan dengan penguasaan Sumber Daya Alam. Diantaranya mencakup tanah, kehutanan, perkebunan, air dan sumber daya alam lainnya.

Kecenderungan pengelolaan atas Sumber Daya Alam yang memiliki nilai ekonomis serta keterbatasan jumlah menimbulkan adanya persaingan untuk memilikinya. Terkait dengan tanah sebagai sebuah Sumber Daya Alam yang terbatas dan merupakan sumber mata pencaharian masyarakat dengan mengelolanya mengakibatkan timbulnya persaingan. Dari permasalahan ini timbul pula pertentangan antara dua orang atau lebih untuk memilikinya. Pada saat masalah ini sudah masuk ke tataran sosial yang luas maka akan menimbulkan


(52)

36

konflik atau yang lebih dikenal dengan istilah konflik agraria terdapat pada artikel Ridha Wayuni dalam Teori Konflik dan Konflik Agraria (2013:1).

Lebih lanjut, James Scoutt yang di acu oleh Rizca Yunike (2012:27) mengemukakan pada konteks agraris yang rapuh dan eksploitatif, umumnya merupakan produksi interaksi antara tiga kekuatan yaitu perubahan demografis, produksi untuk pasar dan pertumbuhan negara. Potensi eksploitatif dari tiga kekuatan tersebut hanya dapat direalisasikan sepenuhnya di dalam konteks monopoli paksaan terhadap petani sebagai penggarap lahan pertanian

2.4. Teori Peranan

Peranan menurut Poerwadarminta adalah ―tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa‖ (1995:751). Peranan adalah tindakan yang dilakukan orang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa, peranan merupakan perangkat tingkah laku yang diharapkan, dimiliki oleh orang atau seseorang yang berkedudukan di masyarakat. Kedudukan dan peranan adalah untuk kepentingan pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sedangkan menurut Soerjono Soekanto (2002: 243) pengertian peranan adalah aspek dinamis kedudukan (status) apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya maka ia menjalankan suatu peranan.

Scott et al. dalam Kanfer (1987: 197) menyebutkan lima aspek penting dari peran, yaitu:

1. Peran itu bersifat impersonal: posisi peran itu sendiri akan menentukan harapannya.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Bachriadi, Dianto dkk (Editor). 1997. Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaharuan Agraria Indonesia: Reformasi Agraria. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI

De Stuers, Cora Vreede. Sejarah Perempuan Indonesia : Gerakan dan Pencapaian. Jakarta : Komunitas Banbu.

Hafid JOS. 2001. Perlawanan Petani Kasus Tanah Jenggawah: Strategi dan Taktik Perlawanan. Bogor: Pustaka Latin.

Hubeis AVS. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor [ID]: IPB Press.

Landsberger HA. 1984. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial: Pergolakann Petani, Beberapa Tema dan Variasinya. Jakarta: CV. Rajawali.

Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender & Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

Muriatmoko Janu. 2000. Sosiologi Mengkaji dan Memahami Masyarakat. Jakarta: Grafindo Media Pratama

Purwandari H. 2006. Perlawanan Tersamar Organisasi Petani (Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani). [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.

Raco, J.R. 2007. Metode Penelitian Kulitatif Jenis, Karateristik dan Keunggulannya. Jakarta: Yayasan Obor

Scott, James. C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Medi Group

Winarno, Budi. 2013. Etika Pembangunan. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publising Servisce

Wiradi, Gunawan. 2001. Prinsip-Prinsip Reforma Agraria Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama

Syafiie, Ina Kencana. 2010. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Refika utama

Tjondronegoro, S.M.P dan Gunawan Wiradi (Penyunting). 2008. Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia


(2)

109

Buku Pegangan PESADA. Bacaan Ringkas: Pengenalan Gender dan Feminisme. Tanpa penerbit dan tahun terbit

Tim Peneliti STPN. 2012. Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 Hasil Penelitian Sistematis STPN 2012. Yogyakarta: STPN

Sumber Jurnal

Aminah, Siti. 2012. Gender, Politik, Dan Patriarki Kapitalisme dalam Perspektif Feminis Sosialis. Jurnal Politik Indonesia, Vol 1 No.2, Oktober-Desember 2012, 1-5

Aprianto, Tri Chandra. 2008. ―Wajah Prakarsa Partisipatif: Dinamika Gagasan Reforma Agraria dan Gerakan Sosial di Indonesia Pasca 1998‖. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume 12 No. 1

Elizabeth, Roosganda. 2007. Pemberdayaan Wanita Mendukung Stategi Gender Mainstreaming dalam Kenijakan Pembangunan Pertanian di Pedesaan. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 25. No. 2

Herawati, Siti Rahkma Mary. 2013. Petani Melawan Perkebunan: Perjuangan Agraria di Jawa Tengah. Jurnal Bhumi No. 37 tahun 12, April 2013. Khotimah, Khusnul. 2009. Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan dalam

Sektor Pekerjaan. Jurnal Studi Gender & Anak Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 Jemahat, Larahus. 2011. Pola Relasi Sosial Elit Tradisional. Jurnal Demokrasi

Vol. X No. 1

Purba, Hasim. 2010. Reformasi Agraria dan Tanah untuk Rakyat: Sengketa Petani VS Perkebunan. Jurnal Law Review Volume X No. 2 - November 2010

Yunike, Rizca. 2012. Gerakan Sosial Politik Omah Tani di Kabupaten Batang. Jurnal Politik Muda, Vol. 1, No. 1, Oktober-Desember 2012, hal 23-34

Sumber Internet

Djatmiko, Boedi. 2009. Pembaharuan hukum agraria di Indonesia: penyelesaian sengketa pertanahan. http://sertifikattanah. blogspot. Com. Diakses pada tanggal 27 November 2013

Marzuki. 2012. Kajian Awal Tentang Teori-Teori Gender. http://researchkajiangender/marzuki. diakses pada tanggal 19 Desember 2013

Sakai, Minako. 2002. Solusi Sengketa Tanah di Era Reformasi Politik dan Desentralisasi Indonesia. https://researc hersanueduau /researchers /sakai-m Diakses pada tanggal 27 November 2013


(3)

110

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Laporan Akhir Tahun 2012.

―Terkuburnya Keadilan Agraria bagi Rakyat Melalui Reforma Agraria‖.

Jakarta: Konferensi Pers Akhir Tahun Konsorsium Pembaharuan Agraria diakses tanggal 28 Desember 2013

Tim LPTP Solo. Agenda Perempuan dalam Gerakan Petani. Diakses pada tanggal 28 Desember 2013

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. http://www.google.com/url? Diakses pada tanggal 28 November 2013


(4)

Lampiran 1. DAFTAR WAWANCARA Daftar Wawancara Petani Perempuan

1. Apakah yang melatar belakangi anda mau terlibat dalam konflik?

2. Aktifitas apa saja yang anda lakukan dalam perjuangan konflik agraria tersebut?

3. Sejak kapan anda terlibat dalam perjuangan Konflik tersebut?

4. Apakah tidak menggangu aktifitas/pekerjaan sehari-hari ketika terlibat dalam konflik tersebut?

5. Apa yang anda lakukan saat berhadapan dengan Aparat?

6. Upaya apa saja yang dilakukan untuk dapat memenangkan perjuangan petani atas konflik tersebut?

7. Bagaimana pandangan anda tentang pendampingan yang pernah dilakukan oleh SMAPUR?

8. Sejak terjadinya konflik alternatif apa yang dilakukan untuk membutuhi kehidupan ekonomi keluarga?

Daftar Wawancara Petani laki-laki

1. Bagaimana sejarah awal terjadinya konflik petani dengan pihak perkebunan?

2. Bagaimana pandangan anda tentang keterlibatan perempuan di dalam konflik agraria tersebut?

3. Melibatkan perempuan dalam konflik apakah bagian dari yang direncanakan?

4. Siapa-siapa saja yang terlibat dalam konflik tersebut?

Daftar Wawancara Pendamping

1. Apa yang melatar belakangi SMAPUR mau mendampingi Petani Persil IV?

2. Bagaimana pandangan SMAPUR mengenai konflik yang terjadi antara Petani Persil IV dengan PTPN II?

3. Kendala-kendala apa saja yang dialami SMAPUR selama proses pendampingan terhadap Petani Persil IV?


(5)

Aksi petani persil IV ke Polda

Posko Petani Persil IV Di Lahan Sengketa Aksi pendudukan lahan Oleh perempuan


(6)

Aparat kepolisian Dan Preman Saat Berada Dilahan

Lahan Persil IV yang ditanami Petani

Pohon Kelap Sawit yang sudah mati Akibat Di Racun Oleh petani