tinggi, mampu mendominasi kaum perempuan yang dianggap mempunyai kategori sosial lebih rendah, karena itu laki-laki memiliki
privilege terhadap kekuasaan dan ekonomi yang lebih besar dibandingkan perempuan. Privilege yang dimiliki laki-laki dianggap
sebagai hal yang bersifat alamiah, dan kodrati. Hal-hal yang menyangkut kekuasaan dan dominasi laki-laki dianggap sebagai
sesuatu yang wajar terjadi di masyarakat. Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan, secara lisan
didasarkan pada kemampuan seseorang. Namun dalam kenyataannya, masih terdapat praktik-praktik yang menempatkan perempuan dalam
kelas kedua. Hal ini didasarkan pada kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan. Pembedaan peran
antara laki-laki dan perempuan ini dampaknya dapat merugikan perempuan, terutama dalam hal mengembangkan diri dalam
organisasi. Walaupun perempuan masih diperbolehkan untuk menduduki jabatan-jabatan dibawah ketua umum, seperti sekretaris,
bendahara, dan kepala-kepala departemen, namun kesempatan perempuan untuk menduduki jabatan sebagai ketua umum dalam
organisasi maupun sebagai ketua suatu kegiatan sudah tertutup. Apabila perempuan tidak berusaha menyeimbangkan proporsi
politiknya dengan laki-laki, hal ini tentu dapat mendorong tetap berlakunya budaya patriarkhi yang tanpa disadari telah merugikan
kaum perempuan itu sendiri. Upaya feminisme radikal untuk
membongkar sistem patriarkhi dengan cara melibatkan perempuan dalam politik, belum mampu mencakup seluruh lapisan masyarakat,
bahkan apabila upaya tersebut telah memasuki suatu lembaga tertentu, himbauan untuk mengikutsertakan perempuan dalam kehidupan politik
tidak dapat berjalan sepenuhnya sesuai yang diharapkan. Peran laki-laki sebagai pemimpin memberi kontribusi banyak
dalam menentukan arah dan tujuan dari organisasi tersebut, sedangkan perannya sebagai pelaksana memberi kontribusi dalam mencapai arah
dan tujuan yang telah diterapkan. Peran perempuan yang sebatas sebagai pengarah tentu tidak terlalu memberi pengaruh untuk
menentukan berhasil atau tidaknya kebijakan dalam organisasi, sebab sebagai pengarah tidak memiliki kesempatan yang seimbang untuk
ikut dalam menentukan kebijakan dan tujuan organisasi. Kaum feminis liberal berasumsi bahwa akar dari ketidaksetaraan
antara laki-laki dan perempuan, dikarenakan perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan dalam menentukan arah dan tujuan organisasi.
Akses yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam partisipasi maupun peran untuk menggerakkan organisasi, telah
menimbulkan ketidakadilan gender. Keberadaan perempuan dalam organisasi ternyata tidak sepenuhnya mampu melunturkan budaya
hegemoni patriarkhi yang telah ada.
3. Faktor Penyebab Bias Gender Dalam Struktur Organisasi
KAMMI Kesatuan
Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia
Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Periode 2014-2015.
Organisasi KAMMI merupakan organisasi bersifat terbuka dan independen dengan status sebagai organisasi kemasyarakatan
kemahasiswaan ekstra kampus. Organisasi ini menaungi kegiatan, aspirasi, dan kepentingan para anggotanya kaitannya dengan kontribusi
pada masyarakat dimana KAMMI merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan kemahasiswaan ekstra kampus yang turut berperan
serta dalam agenda pengembangan masyarakat. Agar dapat membangun organisasi yang harmonis diperlukan
adanya organisasi yang setara gender, dimana tidak ada yang merasa didiskriminasikan oleh kebijakan atau peraturan dalam kepengurusan
organisasi. Begitu juga dalam organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, terdapat usaha-usaha untuk memberikan
peluang yang setara dan seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan dan mencapai tujuan organisasi. Kebijakan-
kebijakan yang ramah gender dimaksudkan agar tidak ada yang didiskriminasikan oleh KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, baik laki-laki maupun perempuan. Terdapat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya gender dalam
organisasi, yaitu sebagai berikut:
1 Penafsiran Agama
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya bias gender dalam kepengurusan organisasi KAMMI komisariat UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta adalah penafsiran agama. Agama sebenarnya bukanlah menjadi salah satu penghambat partisipasi
perempuan dalam organisasi, karena dalam agama tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan kecuali iman dan
takwanya, namun yang menjadi penghambatnya adalah penafsiran agama yang cenderung membatasi peran perempuan
dalam politik karena dianggap sudah terwakili oleh laki-laki. Pandangan yang didasari oleh keyakinan agama ini
menyebabkan keterlibatan perempuan dalam aktivitas politik bukan lagi didasari keinginan untuk melakukan perubahan
terhadap sosial, namun lebih pada ibadah dan pengabdian, sehingga jarang sekali muncul tindakan yang bermakna untuk
memperbaiki posisi perempuan dalam organisasi-organisasi tersebut.
Penentuan jabatan sebagai ketua umum KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta adalah melalui
pemilihan umum
yang diadakan
bertepatan dengan
Musyawarah Komisariat yang diadakan setiap akhir masa kepengurusan, dimana setiap anggota maupun pengurus
memiliki hak untuk memilih siapa saja yang dirasa mampu mengemban tugas tersebut. Dalam jabatan sebagai ketua umum
organisasi, terdapat peraturan tidak tertulis bahwa untuk menjadi ketua umum haruslah seorang laki-laki.
Walaupun dalam setiap pemilihan ketua umum terdapat beberapa calon yang diajukan atau mengajukan diri, namun
pada kenyataannya ada satu calon unggulan dimana para anggota dan pengurus diarahkan untuk memilih calon tersebut.
Calon ungggulan biasanya sudah di amati selama kegiatan berorganisasi, dimana calon tersebut dilihat kontribusi serta
keaktifannya dalam setiap kegiatan atau agenda yang diadakan oleh organisasi.
2 Konsep Pembagian Kerja
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya bias gender dalam organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta adalah adanya kesalahan dalam konsep pembagian kerja. Pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan
tanggung jawab besar dikategorikan sebagai pekerjaan laki- laki, sementara pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan dan
kesabaran diidentikkan dengan pekerjaan perempuan. Seperti pernyataan informan
RI sebagai berikut, ”sekjen biasanya perempuan. Mungkin karena perempuan itu bisa lebih teliti,
bisa lebih mengatur urusan, bisa memanage daripada laki- laki”
hasil wawancara dengan RI, tanggal 20 Februari 2015, pukul 13.00 WIB.
Asumsi dasar dari teori struktural fungsional menurut Talcott Parson adalah bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar
kesepekatan dari
para anggotanya
akan nilai-nilai
kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut
dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian
masyarakat adalah merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.
Walaupun secara tersurat disebutkan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, namun secara
tersirat masih terdapat praktik-praktik yang menempatkan perempuan pada posisi subordinasi. Pembagian tugas
berdasarkan pada jenis kelamin masih kerap kali dilakukan. Misalnya perempuan menempati jabatan sebagai sekretaris,
bendahara, maupun seksi konsumsi sementara laki-laki ditempatkan sebagai ketua umum. Cara pembagian tugas yang
dilakukan dengan cara penunjukkan dirasa memberi fungsi positif, sebab laki-laki dan perempuan dibebankan pekerjaan
berdasarkan kemampuannya masing-masing.
3 Pengaruh Budaya Patriarkhi
Adanya pembagian tugas berdasarkan jenis kelamin merupakan hasil sosialisasi dari masyarakat yang bias gender,
dimana masyarakat tersebut memandang peran, kewajiban, hak, dan kedudukan seseorang berdasarkan jenis kelamin tanpa
berpegang pada prinsip kesetaraan gender. Selain itu, peraturan tidak tertulis yang menyebutan bahwa laki-laki lebih berhak
untuk menjabat sebagai ketua umum menyebabkan perempuan hanya bisa mengembangkan diri dan berpartisipasi dalam
jabatan dibawah ketua umum. Meski ketua KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta menyatakan bahwa penentuan jabatan struktural berdasarkan kemampuan individu, pada kenyataannya dalam
penempatan beberapa jabatan, laki-laki masih mendapatkan prioritas utama untuk menduduki jabatan tersebut. Jabatan
sebagai ketua organisasi atau ketua kegiatan selalu diberikan kepada laki-laki. Selain itu, tugas-tugas yang berat serta
membutuhkan tangggung jawab dan kemampuan fisik yang besar diberikan kepada laki-laki. Jabatan-jabatan penting
seperti ketua acara diberikan kepada laki-laki, selain karena perempuan memang tidak diperbolehkan untuk menjabat
sebagai ketua umum maupun acara selama masih ada laki-laki dalam organisasi.
Tugas-tugas maupun jabatan yang lebih membutuhkan keuletan, ketelatenan, dan kesabaran, diberikan kepada
perempuan. Perempuan lebih banyak menjabat sebagai