Bias Gender dalam Struktur Organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
BIAS GENDER DALAM STRUKTUR ORGANISASI KAMMI (KESATUAN AKSI MAHASISWA MUSLIM INDONESIA) KOMISARIAT
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk
Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh : Fitria Endah Lestari
NIM 09413244050
JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
(2)
(3)
(4)
(5)
MOTTO
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ”
(QS Ar-Ra'd 13: 11)
“No one makes a lock without a key, that’s why Allah won’t give you problems without solutions”
(Anonime)
“Follow your dream and transform yourself” (Penulis)
(6)
PERSEMBAHAN
Karya ini Kupersembahkan teruntuk kedua orang tuaku: Ibu Darningsih
Bapak Sakam
ku bingkiskan untuk kedua kakakku: Weni Setyo Utami
(7)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini. Atas izin-Nya skripsi yang berjudul “Bias Gender dalam Struktur Organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta” dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari kerjasama dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Rochmat Wahab, M. Pd. M. A., selaku Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di Universitas tercinta ini.
2. Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Univeritas Negeri Yogyakarta.
3. Bapak Grendi Hendrastomo, M.A., M.M. Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta.
4. Ibu Poerwanti Hadi Pratiwi, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan serta bimbingan selama perkuliahan. 5. Ibu Nur Hidayah, M.Si yang telah memberikan masukan, pemikiran, serta
(8)
6. Ibu Puji Lestari, M.Hum selaku narasumber dan penguji utama, terima kasih atas bimbingannya selama ini sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan.
7. Bapak Amika Wardana, Ph.D. selaku ketu penguji yang telah memberikan masukan untuk perbaikan tugas akhir ini.
8. Seluruh dosen yang mengajar di Prodi Pendidikan Sosiologi yang telah memberikan ilmu, wawasan, dan pengetahuan selama ini.
9. Kedua orang tuaku, Bapak Sakam dan Ibu Darningsih, yang telah memberikan do’a, semangat, dan materiil selama ini. Sungguh Ananda tidak akan sanggup membalas semua yang telah kalian berikan selama ini. 10.Kedua kakakku, Mba Weni Setyo Utami dan Mas Bambang Edi Purnomo, serta mba Atik dan mas Tri, yang selalu memberikan dorongan dan semangat untuk menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.
11.Keponakan-keponakanku, Dilla, Zabi, Juan, Rara dan Azzam, terima kasih atas celotehan-celotehan kalian yang menggemaskan.
12.Teman-temanku tersayang, teh Nita, Fitri Dodolz, neng Vietha, yang telah berbagi kebahagiaan, kesedihan, dan kegilaan selama kita bersahabat, serta saling mendukung untuk menyelesaikan tugas akhir. Kalian Luar Biasa. 13.Teman-teman Intifadha Family, mba Dyah, mba Sashi, mba Nilon, mba
Rani, Wanti, Isna, Ani, Yoni, Ririn, Piepit, Iis, Resa, Dewi, Iga, Eri, Via, Ratih, Rina, terima kasih telah memberikan dukungan dan semangat.
(9)
(10)
ABSTRAK
BIAS GENDER DALAM STRUKTUR ORGANISASI KAMMI (KESATUAN AKSI MAHASISWA MUSLIM INDONESIA)
KOMISARIAT UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA Oleh:
Fitria Endah Lestari NIM: 09413244050
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) untuk mengetahui bias gender dalam struktur organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; (2) untuk mengetahui faktor penyebab bias gender dalam struktur organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; (3) untuk mengetahui apa saja dampak bias gender dalam organisasi KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terhadap para anggotanya.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, dengan mengambil informan sebanyak 8 orang dalam melakukan penelitian yaitu 2 orang anggota laki-laki dan 6 orang anggota perempuan dari pengurus harian KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode kualitafif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Sedangkan teknik pengambilan sampel penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Validitas data yaitu triangulasi. Sedangkan untuk teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif model interaktif.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, KAMMI belum menganut prinsip kesetaraan gender dalam kepengurusannya dan yang terjadi sebenarnya adalah bias gender dalam struktur organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Perempuan masih seringkali menempati jabatan-jabatan pada sektor domestik dan tidak memiliki kesempatan untuk menduduki jabatan sebagai ketua. Faktor penyebab bias gender antara lain: a) penafsiran agama, b) konsep pembagian kerja, c) pengaruh budaya patriarkhi. Dampak bias gender dalam KAMMI antara lain akses perempuan dalam organisasi menjadi terbatas.
.
(11)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN. ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR BAGAN ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Batasan Masalah ... 7
D. Rumusan Masalah ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 8
F. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI ... 11
A. Kajian Tentang Gender ... 11
(12)
2. Ideologi Gender ... 14
B. Kesetaraan Gender ... 16
C. Teori Struktural Fungsional ... 20
D. Organisasi KAMMI ... 24
E. Penelitian Relevan ... 26
F. Kerangka Berpikir ... 30
BAB III. METODE PENELITIAN ... 32
A. Bentuk Penelitian ... 32
B. Lokasi Penelitian ... 33
C. Waktu Penelitian ... 33
D. Teknik Pengumpulan Data ... 33
E. Pemilihan Informan Penelitian ... 35
F. Validitas Data ... 36
G. Teknik Analisis Data ... 37
BAB IV. PEMBAHASAN DAN ANALISIS ... 41
A. Deskripsi Data ... 41
1. Profil Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ... 41
2. Deskripsi Informan ... ... 50
B. Pembahasan ... 53
1. Bias Gender Dalam Struktur Organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Periode 2014-2015 ... 53
(13)
2. Partisipasi Perempuan dalam Organisasi KAMMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Periode 2014-2015 ... 63
3. Faktor Penyebab Bias Gender Dalam Struktur Organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Periode 2014-2015 ... 69
4. Dampak Bias Gender Dalam Struktur Organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Periode 2014-2015 ... 75
C. Pokok-pokok Temuan dalam Penelitian ... 76
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 79
A. Kesimpulan ... 79
B. Saran ... 81
DAFTAR PUSTAKA ... 83 LAMPIRAN
(14)
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Kerangka Pikir ... 31
Bagan 2. Model Analisis Miles dan Huberman ... 38
Bagan 3. Struktur Kepengurusan KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Periode 2014-2015. ... 44
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pedoman Observasi 2. Pedoman Wawancara
3. Pengkodean Hasil Wawancara 4. Hasil Observasi
5. Transkip Hasil Wawancara 6. Dokumentasi Foto Penelitian
(16)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembicaraan terhadap wacana gender, feminisme dan kesetaraan laki-laki dan perempuan merupakan bagian dari emansipasi, demokratisasi dan humanisasi kebudayaan. Dari waktu ke waktu, gugatan dan pembongkaran terhadap struktur ketidakadilan, diskriminasi, penindasan dan kekerasan terhadap perempuan nampaknya semakin meluas dan menggugat. Kaum feminis yang percaya bahwa masalah yang terjadi pada kaum perempuan diakibatkan ketidakadilan gender, menuding budaya masyarakat yang
patriarkhis cenderung menjadikan peran politik perempuan berada pada
posisi terpinggirkan dan senantiasa menjadi subordinat bagi peran politik laki-laki (Afwan, 2008: 11).
Subordinasi karena gender terjadi dalam segala bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Sistem tradisional mensubordinasikan perempuan secara khusus, membatasi akses dan kontrol perempuan dalam banyak hal. Hal tersebut menjadikan perempuan tidak dapat mengaktualisasikan potensi dan kemampuannya, misalnya tampil menjadi pemimpin. Hal itu mengakibatkan munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak dipentingkan. Seperti halnya dalam budaya patriarkhi, dimana laki-laki diberikan otoritas dan dominasi dalam kehidupan rumah tangga dan bermasyarakat.
(17)
Dalam sistem sosial (juga keagamaan), patriarkhi muncul sebagai bentuk kepercayaan atau ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibandingkan perempuan; bahwa perempuan harus dikuasai bahkan dianggap sebagai harta milik laki-laki (Rachman, 2004: 530). Ketimpangan peran sosial yang berdasarkan gender masih tetap dipertahankan dengan dalih doktrin agama.
Siti Ruhaini Dzuhayatin (2006), menyatakan bahwa pada budaya
patriarkhi, agama berfungsi untuk melegitimasi kenormalan seksualitas
dan status laki-laki. Konsekuensinya, seksualitas dan status perempuan tidak akan pernah menempati “kenormalan” laki-laki. Selama budaya
patriarkhi tetap dipertahankan, sejauh itu pula pandangan-pandangan
mengenai ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kadar yang berbeda-beda tetap mewarnai kehidupan masyarakat (dikutip dari Abdullah, 2006: 62).
Agama dilibatkan untuk melestarikan kondisi dimana perempuan menganggap dirinya tidak setara dengan laki-laki. Berkaitan dengan keadilan gender, secara implisit maupun eksplisit, teks al-Qur’an juga banyak memberikan rambu-rambu. Konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam Islam tercermin dalam QS At-Taubah : 71-72, QS al-Baqarah : 187, QS Al-Ahzab : 35, dan QS Al-Mu’minun :40, bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan merupakan fitrah dan kodrati.
(18)
Dalam al-Qur’an telah dijelaskan tentang adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemanusiaannya. Sebagai manusia, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah, mereka dimuliakan sebagai keturunan Adam, diciptakan untuk menjadi hamba yang harus beribadah kepada-Nya, dan khalifah-Nya yang harus memakmurkan bumi (Purwaningsih, 2009: 68).
Di kalangan ulama sendiri timbul perbedaan pendapat antara memperbolehkan dan tidak memperbolehkan perempuan untuk menjadi pemimpin. Hal ini disebabkan ada beberapa ulama yang menjadikan surat
An Nisaa' ayat 34 yang artinya "laki-laki adalah pemimpin bagi kaum
perempuan..." sebagai dalil untuk melarang kepemimpinan perempuan. Pada ajaran agama Islam, perempuan mempunyai hak dan kesempatan untuk berkarir dengan tidak melupakan fungsi dan kedudukannya sebagai perempuan. Islam membebaskan perempuan dari belenggu kebodohan, ketertinggalan dan perbudakan. Tidak ada perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan, sebab sebagian mereka berasal dari sebagian yang lain, laki-laki dari perempuan dan perempuan dari laki-laki (Fauzi, 2008: 13).
Kenyataannya, masih terdapat perdebatan tentang jabatan-jabatan karir yang digeluti oleh perempuan dalam berbagai bidang, namun seiring dengan perkembangan masyarakat yang memperjuangkan kesetaraan gender, beberapa peran yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan telah dipertukarkan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kaum
(19)
perempuan yang berani memasuki area maskulinitas dan berani tampil di sektor publik. Tidak jarang pula kaum pria yang ikut mengerjakan tugas perempuan di sektor domestik.
Di dalam organisasi kemahasiswaan, kesetaran gender sudah menjadi wacana yang tidak asing lagi. Kesetaraan gender menjadi dasar semua aktifitas kegiatan keorganisasian. Pentingnya wacana kesetaran gender adalah untuk mengingatkan kepada seluruh anggota organisasi yang di dalamnya terdapat kaum perempuan dan laki-laki, agar di dalam semua aktifitas dan peran masing-masing anggota tidak menimbulkan ketidakadilan pada kaum laki-laki dan perempuan. Hal ini tentu merupakan persoalan yang sangat penting mengingat paradigma pembangunan yang sekarang sedang digencarkan adalah paradigma pembangunan yang menjunjung tinggi kesetaraan gender, artinya pembangunan belum berhasil ketika masalah-masalah ketidakdilan gender masih ada.
Sulitnya merubah kultur masyarakat patriarkhi yang bias gender menjadikan perubahan ke masyarakat yang menjujung tinggi kesetaraan gender adalah suatu perbuatan yang melanggar kultur yang sudah langgeng di masyarakat. Dengan mulai menerapkan nilai-nilai kesetaraan gender dalam organisasi, dapat menjadi pembelajaran bagi mahasiswa untuk mengerti akan pentingnya prinsip-prinsip kesetaraan gender dibawa dalam segala aktivitas dan kegiatan organisasi.
(20)
Seringkali arah kebijakan dan aturan dasar organisasi tidak sesuai dengan nilai-nilai yang menjunjung kesetaraan gender. Kebijakan yang melanggengkan kultur patriarkhi diantaranya; perempuan selalu ditempatkan pada sekretaris, seksi konsumsi, dan pengurus dapur, dan sebagainya. Contoh ketidakdilan tersebut merupakan kenyataan yang terjadi dalam organisasi, terutama ketika melaksanakan kegiatan praktis seperti pelantikan anggota baru, dan lain-lain.
Dari informasi awal yang diperoleh, terdapat fenomena yang kurang baik, antara lain setiap kali diadakan pemilihan ketua umum baru, para anggota yang nantinya akan memilih diarahkan untuk memilih salah satu calon ketua yang sebelumnya telah dipilih oleh para pengurus harian, dimana calon ketua yang telah disepakati untuk dipilih ini biasanya adalah laki-laki, meskipun terdapat calon-calon lain yang notebene tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Hal ini dikarenakan masih adanya anggapan bahwa perempuan memiliki keterbatasan dalam menjalankan berbagai aktivitas apabila menduduki jabatan sebagai ketua umum dalam organisasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka bagaimana bias gender dalam organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi menarik diteliti karena para anggota organisasi ini merupakan para mahasiswa aktivis yang notabene berpikiran kritis serta mempunyai pemahaman keagamaan yang kuat terlihat dari proses pembinaan kadernya. Kenyataannya, kaum
(21)
perempuan dalam organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dirasakan masih sulit untuk dapat menduduki jabatan sebagai ketua umum. Berbeda halnya apabila perempuan menduduki jabatan sebagai ketua bidang, yang dirasakan lebih mudah bagi perempuan untuk menjabat sebagai kepala bidang. Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang bias gender dalam struktur organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Budaya masyakarat Indonesia yang relatif masih berbudaya patriarkhi yang kental, memungkinkan kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi pada banyak sisi kehidupan.
2. Terdapat marginalisasi perempuan dalam memimpin organisasi, karena perempuan dianggap kurang kompeten serta kurang memiliki jiwa sebagai seorang pemimpin atau ketua organisasi.
3. Kultur patriarkhi yang masih melekat dalam setiap kebijakan pembentukan kegiatan yang dilaksanakan pengurus organisasi, menyebabkan terjadi bias gender dan marginalisasi perempuan. 4. Masih adanya subordinasi terhadap peran aktivis mahasiswa
(22)
5. Adanya ketimpangan peran sosial yang berdasarkan gender dengan dalih doktrin agama, yang umumnya masih di anut sebagian masyarakat, termasuk masyarakat kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
6. Masih terdapat bias gender dalam melihat status dan peran perempuan dalam penempatan pada struktur organisasi mahasiswa, seperti yang terjadi di organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
7. Adanya kegiatan program kerja yang dilaksanakan dalam struktur organisasi, aktivis mahasiswa perempuan hanya ditempatkan di wilayah domestik.
8. Terdapat faktor yang menyebabkan bias gender dalam organisasi KAMMI.
9. Adanya bias gender dalam organisasi membawa dampak bagi para anggotanya.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah melalui beberapa uraian di atas, maka permasalahan perlu dibatasi. Adapun pembatasan masalah ini bertujuan untuk memfokuskan perhatian pada penelitian agar diperoleh kesimpulan yang mendalam pada aspek yang diteliti. Maka permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada bagaimana bias gender dalam struktur
(23)
organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah diatas, maka peneliti mengajukan rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana bias gender dalam struktur organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta?
2. Apa saja faktor yang menyebabkan bias gender dalam struktur organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta?
3. Apa saja dampak bias gender dalam struktur organisasi KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terhadap para anggotanya?
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bias gender gender dalam struktur organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
(24)
2. Untuk mengetahui faktor faktor yang menyebabkan bias gender dalam struktur organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
3. Untuk mengetahui apa saja dampak bias gender dalam organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terhadap para anggotanya.
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini sebagai berikut.
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap kajian Sosiologi Gender mengenai bias gender dalam organisasi.
b. Dapat menjadi bahan acuan bagi penelitian yang akan datang. 2. Manfaat Praktis
a. Bagi Universitas Negeri Yogyakarta
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dan menambah koleksi bacaan dan informasi sehingga dapat digunakan sebagai sarana dalam meningkatkan dan menambah wawasan. b. Bagi Mahasiswa
(25)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk referensi dan sumber informasi serta menambah wawasan mengenai bias gender.
(26)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Kajian Tentang Gender
1. Pengertian Gender
Konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata sex (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui (Fakih, 2013: 8).
Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan jenis laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut tidak dapat dipertukarkan antara alat-alat biologis yang melekat pada manusia perempuan dan laki-laki. Sex berarti jenis kelamin yang didasarkan pada perbedaan biologis atau perbedaan bawaan yang melekat di tubuh laki-laki atau perempuan (Fayumi, 2001: 57). Perbedaan jenis kelamin digunakan sebagai dasar pemberian peran sosial yang tidak sekedar dijadikan dasar pembagian kerja, namun lebih dari itu menjadi instrumen dalam pengakuan dan pengingkaran sosial, ekonomi, politik, serta menilai peran dan hak-hak dasar keduanya (Ch, 2010: 4).
(27)
Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara ada juga perempuan yang kuat, perkasa, tegas, dan rasional. Perubahan ciri dan sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu kewaktu dan dari tempat ke tempat yang lain.
Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender (Fakih, 2013: 9). Gender tidak sekadar merujuk pada perbedaan biologis semata, tetapi juga perbedaan perilaku, sifat, dan ciri-ciri khas yang dimiliki laki-laki atau perempuan. Lebih jauh, istilah gender menunjuk pada peranan dan hubungan antara laki-laki dan perempuan (Fayumi, 2001: 57).
Gender adalah seperangkat peran yang, seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini – yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab, keluarga dan
(28)
sebagainya – secara bersama-sama memoles “peran gender” kita (Mosse. 2007: 3). Gender tidak akan dapat dipahami secara sederhana hanya dengan membedakan kategori sex, yaitu laki-laki atau wanita. Gender adalah persoalan nonkodrati, menyangkut pembedaan tugas, fungsi, dan peran yang diberikan oleh masyarakat/budaya terhadap laki-laki dan perempuan, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial (Umar, 2002: 167). Biasanya, gender dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat untuk laki-laki dan perempuan sehingga sebenarnya gender merupakan interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan jenis kelamin, bukan alami dan bukan takdir Tuhan.
Gender merupakan hasil dari suatu konstruksi, baik itu konstruksi sosial maupun konstruksi budaya. Konstruksi sosial dan budaya ini memegang peranan penting atas subordinasi perempuan sehingga memunculkan suatu realitas sosial dimana kaum laki-laki menguasai dan mendominasi kehidupan, dan perempuan menjadi subordinat dari laki-laki dimana perempuan menjadi objek untuk dimanipulasi untuk kepentingan laki-laki. Gender sebagai istilah yang dianggap baru pada prinsipnya adalah proses membahasakan atau memberi simbol terhadap perilaku dan fenomena yang sesungguhnya telah lama ada dan berlaku dalam kehidupan manusia (Rasyidah, 2008: 9).
(29)
2. Ideologi Gender
Pemikiran mengenai relasi gender akan dipengaruhi oleh pemikiran dunia yang mendasarinya. Pandangan dunia tersebut pada gilirannya menciptakan upaya (cita-cita) pemahaman-pemahaman yang bersifat ideologis. Ideologi gender dapat dikenal dari aliran-aliran feminis mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan. Terdapat beberapa aliran feminisme yang berkembang, antara lain:
a. Feminisme Liberal
Aliran ini berasumsi bahwa ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan berakar pada perbedaan rasionalitas diantara mereka. Kemampuan rasionalitas perempuan dikatakan lebih lemah dibandingkan kaum laki-laki, sehingga perempuan menjadi tersubordinasi, tertindas dipelbagai lapangan kehidupan dan satuan kebudayaan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan akses dan pendidikan/SDM perempuan dan laki-laki oleh sebab itu maka agenda aksi yang dilakukan adalah memberi pendidikan pada kaum perempuan.
b. Feminisme Radikal
Aliran ini berasumsi bahwa penindasan yang dialami perempuan berasal dari adanya sistem budaya patriarkhi dimana laki-laki memiliki freebalance ekonomi dan kekuasaan yang besar dibandingan perempuan. Hal ini membuat perempuan termarginalisasi. Oleh sebab itu agenda aksi dari aliran ini adalah
(30)
membongkar struktur sistem budaya patriarkhi tersebut, dengan program-program yang melibatkan secara langsung peran perempuan dalam kehidupan sosial dan politik.
c. Feminisme Marxis
Aliran ini berasumsi bahwa penindasan yang dialami kaum perempuan bersumber dan merupakan bagian eksploitasi kelas dalam cara produksi. Mereka berpendapat jatuhnya status perempuan bermula dari perubahan teknologi produksi yang pada akhirnya melahirkan organsasi kekayaan atau organisasi kepemilikan. Perubahan produksi yang mulanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi diperuntukkan pertukaran (pasar). Karena laki-laki mengontrol alat produksi untuk pertukaran tersebut, maka mereka mendominasi hubungan sosial dan perempuan direduksi menjadi bagian dari kekayaan dan modal. Sehingga perempuan tersubordinat, seperti perempuan hanya menjadi tenaga kerja/buruh murah. Disini terdapat pertentangan kelas, laki-laki kelas pemilik modal (kekayaan) dan perempuan kelas pekerja (buruh). Adapun agenda aksi yang dilakukan adalah perlawanan terhadap kelas pemilik modal tersebut.
d. Feminisme Sosialis
Aliran ini berasumsi penindasan perempuan tidak hanya terjadi pada tatanan pertentangan kelas, melainkan adanya juga sistem
(31)
patriarkhi yang mengutamakan laki-laki. Masyarakat telah cukup lama terhegomoni oleh nilai-nilai yang bias gender tersebut. Hal yang seharusnya dilakukan dianggap sebagai kodrat perempuan, seperti mengasuh anak, melayani suami, menjadi pengurus rumah tangga dan sebagainya. Oleh sebab itu agenda aksi yang dijalankan para penganut aliran ini adalah membantu kesadaran kelas dan meningkatkan kualitas dan kuantitas keterlibatan kaum perempuan dalam setiap pengambilan keputusan.
B. Kesetaraan Gender
Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa masalah, baik dari segi substansi kejadian maupun dari peran yang diembannya dalam masyarakat. Dengan menyimpulkan laki-laki dan perempuan secara genetis berbeda tanpa memberikan penjelasan secara tuntas, maka kesimpulan tersebut dapat dijadikan legitimasi terhadap realitas sosial, yang memperlakukan laki-laki sebagai jenis kelamin utama dan perempuan sebagai jenis kelamin kedua (Purwaningsih, 2009: 68). Patriarkhi membudaya di segala sistem kebudayaan masyarakat baik dalam bidang sosial, budaya, pendidikan, bahasa, politik, ekonomi dan hukum. Hal ini karena patriarkhi dikonstruksikan, dilembagakan dan disosialisasikan lewat institusi-institusi yang terlibat sehari-hari dalam kehidupan seperti keluarga, sekolah, masyarakat, agama, tempat kerja sampai kebijakan negara. Dalam budaya kita, seperti juga di banyak negara di dunia ketiga lainnya, budaya patriarkhi masih sangat kental.
(32)
Patriarkhi menjadi faktor yang sulit diatasi untuk meningkatkan kesetaraan gender terhadap perempuan.
Kesetaraan gender sering terkait dengan istilah-istilah diskriminasi
terhadap perempuan, seperti; subordinasi, penindasan, kekerasan, dan semacamnya (Nugroho, 2011: 28). Persoalan perempuan berkaitan dengan masalah kesetaraan gender ini memang mengundang rasa simpati yang cukup besar dari masyarakat, karena permasalahan kesetaraan gender sering di anggap erat kaitannya dengan persoalan keadilan sosial. Konsep kesetaraan gender ini memang merupakan suatu konsep yang sangat rumit dan mengundang kontroversi. Hingga saat ini belum ada konsensus mengenai pengertian dari kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ada yang mengatakan bahwa kesetaraan yang dimaksud adalah kesamaan hak dan kewajiban, yang tentunya masih belum jelas. Dengan adanya ketidakjelasan tersebut maka timbul ketidakadilan gender yang termanifestasikan dalam beberapa hal, yakni marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam pengambilan keputusan politik, stereotype atau pelabelan negatif, kekerasan, serta beban kerja yang lebih panjang dan banyak. Ada yang mengartikan kesetaraan gender dengan konsep mitra kesejajaran antara laki-laki dan perempuan, yang juga masih belum jelas artinya. Atau ada juga yang mengartikan bahwa diantara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam melakukan aktualisasi diri namun harus sesuai dengan kodratnya masing-masing.
(33)
Menurut Riant Nugroho (2011: 29), kesetaraan gender dapat juga berarti adanya kesamaan kondisi bagi laki-laki maupun perempuan dalam memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan pertahanan dan keamananan nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam menikmati pembangunan.
Keadilan gender merupakan suatu proses dan perlakuan adil terhadap kaum laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan, baik terhadap laki-laki maupuan perempuan. Dengan kata lain kesetaran gender dapat dikatakan sebagai persamaan hak dan derajat bagi kaum perempuan. Kesetaraan gender merupakan posisi yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dalam aktifitas kehidupan baik keluarga, masyarakat, dan bernegara. Keadilan gender merupakan proses menuju setara, selaras, seimbang, serasi, dan tanpa diskriminasi (Ch, 2003: 4-6).
Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan menurut perspektif Islam adalah kesetaraan dalam hal-hal yang mutlak. Sedangkan hal-hal yang bersifat relatif akibat perbedaan keduanya dalam beberapa pengecualian adalah bertujuan untuk menyempurnakan keduanya dalam merealisasikan
kekhalifahan, dan menjadi standar ukuran dari kesetaraan, kepercayaan,
dan tanggung jawab yang dipikul keduanya dalam hubungan keimanan dan kekerabatan teologi (Sa’dawi, 2002: 132). Prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam al-Qur’an, antara lain; mempersamakan kedudukan laki-laki
(34)
dan perempuan sebagai hamba (‘abd) Allah dan sebagai wakil Allah di bumi (khalifah Allah fi al-ardh) (Mubarak, 2006: 51).
Kesetaraan dan keadilan gender merupakan kondisi dimana porsi siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, seimbang, dan harmonis. Kondisi ini dapat terwujud jika terdapat perlakuan adil antara laki-laki dan perempuan. Persoalan kesetaraan gender yang paling mendasar adalah bahwa belum semua perempuan memiliki atribut-atribut sosial yang mendukung pemberdayaan dalam meraih kesetaraan berperan. Upaya yang paling tepat dilakukan untuk mensosialisasikan kesetaraan gender salah satunya adalah perencanaan pembangunan perlu dilakukan dengan mempertimbangkan perbedaan peran gender dan ketergantungan antara laki-laki dan perempuan sebagai suatu hal yang dapat diubah dan akan mengalami perubahan sesuai dengan kondisi sosial-budaya masyarakat yang bersangkutan.
Saat ini wacana publik mengenai kesetaran gender sudah meluas diberbagai sudut kehidupan. Kesadaran akan kesetaraan gender sedang diperjuangkan oleh kaum feminis untuk menjadi kontrol bagi kehidupan sosial, sejauh mana prinsip keadilan, penghargaan manusia, dan perlakuan sama antara laki-laki dan perempuan baik di lingkup keluarga, masyarakat, organisasi, politik, hukum, pendidikan, pemerintahan, dan sebagainya. Keadilan gender juga dapat diperjuangkan melalui transformasi sosial. Transformasi sosial merupakan proses penciptaan hubungan fundamental baru dan lebih baik. Hubungan fundamental yang lebih baik disini adalah
(35)
struktur ekonomi, hubungan budaya, struktur politik dimana saling mendominasi perempuan menuju struktur yang membebaskan. Dalam konsep kesetaraan gender di sini, perempuan diberi hak dan kewajiban yang sama guna mengembangkan kualitas diri.
C. Teori Struktural Fungsional
Fungsionalisme struktural adalah salah satu paham atau perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang saling berhubungan satu sama lain dan bagian yang satu tidak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain. Pemikiran teori ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, dapat diartikan bahwa teori ini adalah semua elemen atau unsur kehidupan masyarakat harus berfungsi atau fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa menjalankan fungsinya dengan baik. 1. Struktural Fungsional Talcott Parsons
Menurut Parsons, terdapat 4 fungsi penting yang diperlukan oleh semua sistem, yang dikenal dengan skema “AGIL” (Adaptation, Goal
attainment, Integration, Latency). Agar tetap bertahan, suatu sistem
memerlukan empat fungsi ini:
a. Adaptation (Adaptasi): suatu sistem harus menanggulangi situasi
eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.
b. Goal attainment (Pencapaian Tujuan): sebuah sistem harus
mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
c. Integration (Integrasi): sebuah sistem harus mengatur
(36)
juga harus mengelola antarhubungan ketiga fungsi penting lainnya (A,G,L).
d. Latency (Latensi atau pemeliharaan pola): sebuah sistem harus
memperlengkapi, memlihara, dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi (Ritzer, 2007: 121).
Parsons mencontohkan bagaimana penggunaan skema AGIL dalam bahasan tentang empat sistem tindakan, yakni sebagai berikut. a. Organisasi perilaku adalah sistem tindakan yang melaksanakan
fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dengan dan mengubah lingkungan eksternal. Sistem kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya. Sistem sosial menjalankan fungsi interasi dengan mengendalikan setiap komponennya. Dan sistem kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola.
b. Sistem sosial didefinisikan sebagai aktor, interaksi, lingkungan, optimalisasi kepuasan dan kultur. Meskipun Parson melihat sistem sosial sebagai sebuah interaksi tetapi dia tidak menggunakan aktor sebagai bagian fundamental dari interaksi tersebut, melainkan peran dan status aktor tersebutlah yang menjadi unit fundamental. Status ialah posisi dia dalam struktur sosial, peran ialah fungsi yang dijalankannya dalam posisi struktur. Jelas bahwa Parsons memandang keadaan ini secara sistem, aktor tidak dilihat dari tindakan dan sudut pikirannya, tetapi hanya status dan perannya.
(37)
Cara pandang Parsons secara sistem ini dan aliran fungsionalis yang dipegangnya melahirkan persyaratan sebuah sistem agar berkelanjutan:
1) Sistem harus terstruktur agar bisa menjaga keberlangsungan hidupnya dan juga harus mampu harmonis dengan sistem lain. 2) Sistem harus mendapat dukungan yang diperlukan dari sistem
lain.
3) Sistem harus mampu mengakomodasi para aktornya secara proporsional.
4) Sistem harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para aktornya.
5) Sistem harus mampu untuk mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu.
6) Bila terjadi konflik menimbulkan kekacauan harus dapat dikendalikan.
7) Sistem harus memiliki bahasa.
c. Aktor dan Sistem Sosial. Parsons tidak mengabaikan masalah hubungan antara faktor dan struktur sosial. Menurutnya persayaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai dan norma ke dalam sistem ialah dengan sosialisasi dan internalisasi. Pada proses sosialisasi yang sukes, nilai dan norma sistem sosial itu akan diinternalisasikan. Artinya ialah nilai dan norma sistem sosial ini menjadi bagian kesadaran dari aktor tersebut. Akibatnya ketika si aktor sedang mengejar kepentingan mereka maka secara langsung dia juga sedang mengejar kepentingan sistem sosialnya. Proses sosialisasi ini berhubungan dengan pengalaman hidup (dan spesifik) dan harus berlangsung secara terus menerus, karena nilai dan norma yang diperoleh sewaktu kecil tidaklah cukup untuk menjawab tantangan ketika dewasa.
(38)
d. Sistem kultural merupakan kekuatan utama yang mengikat sistem, kultur menengahi interaksi antar aktor, menginteraksikan kepribadian dan menyatukan sistem sosial.
2. Fungsional Struktural Robert Merton
Merton menjelaskan bahwa struktural fungsional memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat, dan kultur. Ia menyatakan bahwa, setiap objek yang dapat dijadikan sasaran analisis struktural-fungsional tentu mencerminkan hal yang standar (artinya terpola dan berulang). Sasaran studi struktural-fungsional antara lain: peran sosial, pola institusional, proses sosial, pola kultur, emosi yang terpola secara kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, perlengkapan untuk pengendalian sosial, dan sebagainya (Ritzer, 2007; 137).
Struktural fungsional berkaitan erat dengan struktur yang tercipta dalam masyarakat, dimana setiap masyarakat diibaratkan sebagai sebuah struktur dan setiap individu mempunyai peran sebagai bagian yang saling berhubungan untuk menjalankan stuktur tersebut. Dimana setiap struktur tidak mungkin akan berjalan dengan baik dan mencapai tujuannya apabila setiap bagiannya saling terpisah dan tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya.
Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganut sistem
patriarkhi dimana kaum laki-laki lebih diutamakan dan diagungkan
(39)
besar kaum perempuan untuk dapat keluar dari bidang domestik dan berperan serta dalam bidang politik, seperti halnya menjadi pemimpin, dan menyebabkan ketidakadilan serta ketidaksetaraan gender. Ketidaksetaraan gender seringkali terjadi dalam organisasi mahasiswa. Ketidaksetaraan ini menimbulkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan.
Kurangnya akses dan kesempatan bagi kaum perempuan untuk mengaktualisasikan diri dalam pengambilan keputusan bahkan menjadi pemimpin, membuat perempuan lebih memilih untuk bersikap pasif. Permasalahan ini akan dikaji melalui teori struktural fungsional dimana dalam setiap organisasi diperlukan adanya kerjasama antar masing-masing bagian atau struktur yang saling berkaitan untuk menjalankan sebuah fungsi, termasuk didalamnya untuk menjalankan sebuah fungsi organisasi.
Maka dari itu, teori struktural fungsional digunakan untuk menjelaskan mengenai akses dan kesempatan bagi perempuan untuk menduduki jabatan sebagai pemimpin, faktor pendukung dan penghambat bagi perempuan dalam mengaktualisasikan diri dalam setiap kegiatan organisasi, serta dampak dari implementasi kesetaraan gender bagi para anggota organisasi.
D. Organisasi KAMMI
Organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) merupakan sebuah organisasi mahasiswa muslim yang lahir pada era
(40)
reformasi yaitu pada tanggal 29 Maret 1998 di Malang. Anggotanya sendiri tersebar di hampir seluruh PTN (Perguruan Tinggi Negeri)/PTS (Perguruan Tinggi Sipil) di Indonesia. Organisasi ini bersifat terbuka dan independen dengan status sebagai Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) kemahasiswaan ekstra kampus. Struktur organisasi terdiri atas KAMMI Pusat, KAMMI daerah, dan KAMMI Komisariat.
KAMMI muncul sebagai salah satu kekuatan alternatif Mahasiswa yang berbasis mahasiswa Muslim dengan mengambil momentum pada pelaksanaan Forum Silahturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FS-LDK) X se-Indonesia yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Acara ini dihadiri oleh 59 LDK yang berasal dari 63 kampus (PTN-PTS) diseluruh Indonesia. Jumlah peserta keseluruhan kurang lebih 200 orang yang notabenenya para aktifis dakwah kampus. Organisasi ini dibentuk karena terdapat keprihatinan di kalangan mahasiswa yang tergabung dalam LDK (Lembaga Dakwah Kampus) terhadap kondisi negara Indonesia saat itu serta mahasiswa yang merasa diperlukannya sebuah wadah yang mengkonsentrasikan aksi pada agenda politik.
Organisasi KAMMI juga mempunyai visi dan misi layaknya organisasi lain. Visi organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia) yaitu, “Wadah permanen yang akan melahirkan kader
-kader kepemimpinan nasional yang tangguh dalam upaya mewujudkan masyarakat madani di Indonesia” (Rahmat, 2001: 171). Sementara misi organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) adalah
(41)
sebagai berikut (Saifulloh,
http://www.kammi-uinsuka.com/p/filosofi-kammi_31.html).
1. Membina keislaman, keimanan, dan ketaqwaan mahasiswa muslim Indonesia.
2. Menggali, mengembangkan, dan memantapkan potensi dakwah, intelektual, sosial, dan politik mahasiswa.
3. Mencerahkan dan meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang rabbani, madani (civil society).
4. Memelopori dan memelihara komunikasi, solidaritas, dan kerjasama mahasiswa Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan kerakyatan dan kebangsaan.
5. Mengembangkan kerjasama antar elemen masyarakat dengan semangat membawa kebaikan, menyebar manfaat, dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar)
E. Penelitian Relevan
Penelitian yang serupa dengan topik yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu sebagai berikut:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Miftahudin, Nur Hidayah, dan Supardi (2008). Dengan judul Sensitivitas dan Aplikasi Kesetaraan Gender di Organisasi Kemahasiswaan Universitas Negeri Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut, lebih mengkaji tentang komposisi keterlibatan pengurus berdasarkan jenis kelamin, program maupun kegiatan yang terkait dengan wacana gender, akses dan kontrol perempuan dalam pengambilan keputusan di organisasi, kesempatan perempuan dan laki-laki dalam memperoleh kedudukan di organisasi, dan kepemimpinan dalam organisasi.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang ditujukan untuk mengetahui lingkup dari subyek penelitian sebagai sumber,
(42)
tempat penentuan suatu kajian. Satuan kajian dalam penelitian ini merupakan subyek penelitian yaitu 27 organisasi mahasiswa yang terdiri atas 4 BEM fakultas, 15 HIMA, dan 8 UKM. Teknik sampling yang digunakan adalah Purposive Sampling atau menggunakan sampel bertujuan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wacana gender sebagian besar sudah diakses oleh organisasi mahasiswa yang menjadi subyek penelitian. Hanya 9 organisasi yang benar-benar melakukan kegiatan terkait dengan wacana gender, sedangkan 18 organisasi lainnya belum pernah melakukannya. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam kegiatan praktis kepanitiaan perempuan masih sering ditempatkan untuk mengurusi hal-hal yang masih bersifat domestik, sedangkan laki-laki sebaliknya. Dalam kepemimpinan organisasi, masih diutamakan laki-laki yang memegang jabatan penting.
Penelitian relevan di atas mempunyai kesamaan dalam beberapa hal dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Adapun kesamaannya yaitu dalam memilih fokus penelitian yaitu sama-sama meneliti mengenai gender dalam organisasi mahasiswa dan kesempatan para anggotanya untuk menduduki jabatan dalam struktur organisasi. Sedangkan untuk perbedaannya yaitu penelitian yang dilakukan Miftahudin terdiri atas beberapa organisasi yang terdapat di UNY, sedangkan yang akan dilakukan oleh peneliti hanya spesifik di
(43)
dalam organisasi KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Anggun Kusuma Wardani (2010). Dengan judul Peran Aktivis Mahasiswa Perempuan dalam Organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa FISE UNY 2009. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran aktivis mahasiswa perempuan dan peran perempuan dalam organisasi. Pendekatan metode dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif, dengan teknik
purposive sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan keterlibatan
penelitian ini menunjukkan keterlibatan perempuan dalam BEM FIS cukup optimal yang terbukti pada program kerja, struktur organisasi BEM. Adanya bias gender sehingga menempatkan perempuan pada jabatan tertentu yaitu sekretaris, bendahara, dan seksi konsumsi. Kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu sama-sama meneliti tentang peran aktivis perempuan dalam organisasi mahasiswa, serta melihat sejauh mana subordinasi perempuan dalam aktivitas keorganisasian. Adapun perbedaannya terletak pada organisasi yang berbeda, yaitu BEM dan KAMMI. Perbedaan lainnya yaitu penelitian Anggun Kusuma Wardani melihat bagaimana peran aktivis perempuan dalam organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi UNY, sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti lebih melihat bagaimana bias gender dalam struktur organisasi dan dampaknya bagi para anggotanya.
(44)
3. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Yogi Aprianto (2013). Dengan judul Peran Kesetaraan Gender dalam Organisasi Islam: Studi Pada Pimpinan Daerah Aisyiyah Kota Yoyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran kesetaraan gender Aisyiyah Kota Yogyakarta dalam organsiasi Muhamadiyah, faktor pendukung dan penghambat peran kesetaraan gender Aisyiyah dalam organisasi Muhamadiyah. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran kesetaraan gender Aisyiyah Yogyakarta dalam organisasi Muhamadiyah yaitu sebagai mitra dalam setiap kegiatan dan pada rapat pleno pengambilan keputusan.
Kesetaraan gender dalam pandangan Aisyiyah Kota Yogyakarta adalah bagaimana memberikan porsi yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam kepengurusan di Muhammadiyah. Peran kesetaraan gender Aisyiyah kota Yoyakarta dapat dilihat dengan adanya kader Aisyiyah yang duduk sebagai staf pada Majelis di Muhammadiyah dan rapat pleno pengambilan keputusan. Faktor pendukung peran kesetaraan gender yaitu kemampuan manajerial organisasi yang baik dan wawasan yang luas. Faktor penghambat peran kesetaraan gender yaitu kurang percaya diri akan kemampuan yang dimiliki, serta adanya rasa penghormatan berlebihan terhadap kepemimpinan laki-laki. Penelitian relevan di atas mempunyai kesamaan dalam beberapa hal dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Adapun
(45)
kesamaannya yaitu sama-sama meneliti mengenai kesetaraan gender dalam organisasi Islam. Persamaan lainnya yaitu penelitian ini sama-sama mengunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik purposive sampling. Adapun perbedaannya terletak pada organisasi yang berbeda yaitu Aisyiyah dan KAMMI, serta objek penelitian yang berbeda, dimana penelitian Wahyu Yogi Apriyanto meneliti mengenai peran kesetaraan gender, sementara penelitian ini meneliti mengenai bias kesetaraan gender.
F. Kerangka Pikir
Kerangka pikir dijadikan pijakan atau pedoman dalam menentukan tujuan penelitian, hal ini berfungsi agar penelitian tetap terfokus pada kajian yang akan diteliti. Alur kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Organisasi KAMMI merupakan suatu organisasi mahasiswa yang berdasarkan pada landasan keagamaan yang cukup kuat walaupun aksi daripada organisasi ini lebih mengutamakan pada agenda politik. Selain itu, karena organisasi ini merupakan organisasi dimana agenda kerjanya tidak dibatasi oleh waktu, dan menuntut para anggotanya untuk melakukan aktivitas dalam berbagai kondisi.
Dimana jika dipandang dari sudut pandang norma agama dan masyarakat, tidak memungkinkan bagi seorang perempuan untuk melaksanakan agenda yang menuntut untuk dilaksanakan sampai larut malam tanpa ditemani oleh mahram. Keadaan tersebut menciptakan
(46)
kondisi yang rawan akan ketidaksetaraan gender seperti stereotype, marginalisasi, pembagian kerja, dan akses perempuan untuk menjadi pengurus atau pemimpin, bukan sekedar menjadi anggota dari organisasi tersebut.
Dalam penelitian ini juga akan dilihat faktor yang menyebabkan bias gender dalam organisasi, serta dampak apa yang dirasakan oleh para anggota dengan adanya bias gender tersebut dalam kehidupan organisasi.
Bagan 1: Kerangka Berpikir
Organisasi KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Periode 2015
Pembagian tugas dan pengambilan keputusan Akses dan kesempatan
Bias gender
Perempuan Laki-laki
Faktor penyebab
(47)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Bentuk Penelitian
Sesuai dengan topik yang diangkat oleh penulis, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif. Metodologi kualitatif sebagai produser penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari sesuatu kebutuhan (Moleong, 2005: 4).
Penelitian ini mengunakan pendekatan metode deskriptif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak, atau sebagaimana adanya. Usaha mendeskripsikan fakta-fakta itu pada tahap permulaan tertuju pada usaha mengemukakan gejala-gejala secara lengkap di dalam aspek yang diselidiki, agar jelas keadaan atau kondisinya. Oleh karena itu pada tahap ini metode deskriptif tidak lebih daripada penelitian yang bersikap penemuan fakta seada-adanya (fact finding) (Nawawi, 2007: 67).
(48)
B. Lokasi Penelitian
Penelitian mengenai Bias Gender dalam Struktur Organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini mengambil lokasi di organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan pada organisasi tersebut dikarenakan ingin melihat gambaran tentang aktifitas organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta apakah didalam pelaksanaan kegiatannya masih mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bias gender terhadap para anggota organisasi tersebut. Sedangkan lingkup yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah para anggota organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang masih menjabat sebagai anggota maupun pengurus organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
C. Waktu Penelitian
Penelitian tentang Bias Gender dalam Struktur Organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, telah dilaksanakan selama kurang lebih 3 (tiga) bulan, yaitu terhitung mulai tanggal 28 Februari 2015 - 30 Mei 2015. D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan hal yang terpenting dalam penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah mendapatkan data (Sugiyono, 2010: 224). Ada beberapa teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti yaitu:
(49)
1. Observasi
Observasi ialah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi merupakan proses yang kompleks, yang tersusun dari proses biologis dan psikologis. Dalam menggunakan teknik observasi yang terpenting ialah mengandalkan pengamatan dan ingatan si peneliti (Sugiyono, 2010: 224). Observasi langsung dilakukan terhadap obyek di tempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa, sehingga observer berada bersama obyek yang diselidikinya.
Observasi tersebut dilakukan di organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam organisasi KAMMI tersebut terdapat anggota dan kepengurusan yang mempunyai berbagai spesifikasi. Peneliti ingin memaparkan bagaimana aktifitas kegiatan pada masing-masing anggota maupun para pengurus organisasi KAMMI apakah didalam aktifitas mereka masih ada kegiatan yang bias gender hal ini perlu dikaji dengan observasi atau pengamatan. 2. Wawancara
Wawancara ialah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung. Pewawancara disebut intervieuwer, sedangkan orang yang diwawancarai disebut interviewee (Usman, 2004: 57-58). Dengan wawancara peneliti memperoleh informasi berdasarkan penuturan informan atau responden yang sengaja diminta oleh peneliti (Usman, 2004: 57-58).
(50)
Wawancara yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara langsung yang dilakukan oleh peneliti terhadap informan terkait dengan bias gender dalam struktur organisasi KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Wawancara tersebut dilakukan dengan wawancara mendalam, yaitu bertanya dengan pertanyaan yang sejelas-jelasnya dan mengena, sehingga data dapat digali dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut dan data akan diperoleh sesuai dengan masalah yang ada.
3. Dokumentasi
Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi ialah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen. Dokumentasi dalam penelitian ini didapat dari perangkat pengurus organisasi KAMMI, yaitu berupa AD/ART KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga itu sendiri dan data-data lain yang menunjang bisa didapat dari internet, foto, dan lainnya yang sangat berguna dalam proses penelitian ini. E. Penentuan Informan Penelitian
Dalam penelitian ini, teknik yang akan digunakan dalam pengambilan sampel adalah purposive sampling, tujuannya adalah untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari pelbagai macam sumber dan bangunannya (Moleong, 2005: 224). Pada purposive sampling, jumah sampel ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan informasi yang diperlukan. Sampel yang diambil untuk informan diharapkan dapat memberikan informasi sebanyak mungkin, sehingga data yang diambil
(51)
benar-benar dapat mewakili terhadap penelitian. Jika sudah terjadi pengulangan informasi, maka penarikan sampel harus diakhiri. Dalam penelitian ini informan yang dipilih sebagai obyek penelitian ini adalah pengurus inti dan pengurus harian KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, serta anggota tetap KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
F. Validitas Data
Validitas berkaitan dengan permasalahan “instrumen yang dimaksudkan untuk mengukur sesuatu itu memang dapat mengukur secara tetap sesuatu yang akan diukur tersebut”. Validitas penting untuk dilakukan agar data yang diperoleh di lapangan pada saat penelitian dilakukan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ada empat cara yang dilakukan peneliti dalam validitas ini, yaitu:
1. Triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu lain diluar data itu guna keperluan pengecekan atau pembandingan terhadap data tersebut (Arikunto, 1993: 330). Dalam teknik ini penemuan data tidak secara langsung digunakan tetapi perlu membandingkan dan mengecek kepercayaan suatu informasi melalui waktu dan alat yang berbeda. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan data hasil observasi (pengamatan) dengan hasil wawancara.
2. Ketekunan pengamatan, dimaksudkan guna menemukan ciri-ciri dan unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu
(52)
yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci (Arikunto, 1993: 330). Pengamatan yang dilakukan adalah dengan teliti dan rinci serta berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol untuk kemudian ditelaah secara rinci sehingga bisa dipahami.
3. Diskusi dengan rekan. Teknik ini dilakukan dengan cara mendiskusikan dengan rekan-rekan dalam bentuk diskusi analitik seingga kekurangan dari penelitian ini dapat segera diungkap dan diketahui agar penelitian mendalam dapat segera ditelaah. Melalui tukar-menukar informasi maka peneliti akan mendapat masukan yang positif terhadap penelitian yang dilakukan.
G. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diimplementasikan. Sesuai dengan tujuan penelitian maka teknik analisis data yang dipakai untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif model interaktif sebagaimana diajukan oleh Miles dan Huberman (1992) yaitu terdiri dari tiga hal utama yaitu: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi (Milles, 1992: 115).
(53)
Bagan 2: Model Analisis Miles dan Huberman 1. Pengumpulan Data
Data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi dicatat dalam catatan lapangan yang terdiri dari dua aspek, yaitu deskripsi dan refleksi. Catatan deskripsi merupakan data alami yang berisi tentang apa yang dilihat, didengar, dirasakan, disaksikan, dan dialami sendiri oleh peneliti tanpa adanya pendapat dan penafsiran dari peneliti tentang fenomena yang dijumpai. Sedangkan catatan refleksi yaitu catatan yang memuat kesan komentar, dan tafsiran peneliti tentang temuan yang dijumpai dan merupakan bahan rencana pengumpulan data untuk tahap berikutnya. Untuk mendapatkan catatan ini maka peneliti harus melakukan wawacara dengan berbagai informan.
2. Reduksi Data
Diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan penulis di lapangan. Reduksi sudah dimulai sejak
Reduksi Data
Verifikasi/ Penarikan Pengumpulan
data
Penyajian data
(54)
peneliti mengambil keputusan tentang kerangka kerja konseptual tentan pemilihan kasus, pernyataan yang diajukan dan tentang cara pengumpulan data yang dipakai. Pada saat pengumpulan data berlangsung, reduksi data dapat berupa singkatan, coding, memusatkan tema, membuat batasan permasalahan, menuliskan memo. Reduksi data berlangsung secara terus-menerus selama penelitian kualitatif berlangsung dan merupakan bagian dari analisis.
3. Penyajian Data
Penyajian data yaitu sekumpulan informasi tersusun yang sumber kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Agar sajian datanya tidak menyimpang dari pokok permasalahan maka sajian diwujudkan dalam bentuk matriks, grafis, jaringan atau bagan sebagai wadah panduan informasi tentang apa yang terjadi. Data disajikan sesuai dengan apa yang diteliti.
4. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan yaitu mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan preposisi. Kesimpulan yang ditarik segera diverivikasi dengan cara melihat dan mempertanyakan kembali sambil melihat catatan lapangan agar memperoleh pemahaman yan lebih tepat. Selain itu juga dapat dilakukan dengan mendiskusikannya. Hal tersebut dilakukan agar data yang diperoleh dan penafsiran
(55)
terhadap data tersebut memiliki validitas sehingga kesimpulan yang ditarik menjadi kokoh.
(56)
BAB IV
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
A. Deskripsi Data
1. Profil Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia atau yang biasa disingkat KAMMI, merupakan organisasi yang didirikan pada tanggal 1 Dzulhijjah 1418 atau bertepatan dengan tanggal 29 Maret 1998. KAMMI ini merupakan cikal bakal berdirinya KAMMI-KAMMI lain di seluruh daerah di Indonesia, salah satunya adalah KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga sendiri berdiri pada tanggal 29 April 2000, organisasi ini merupakan salah satu bagian dari organisasi besar KAMMI.
KAMMI merupakan organisasi ekstra kampus yang menghimpun mahasiswa muslim seluruh Indonesia secara lintas sektoral, suku, ras dan golongan. KAMMI adalah organisasi yang bersifat terbuka dan independen dengan status sebagai Organisasi Kemasyarakatan. Di awal pendiriannya, KAMMI merupakan sebuah jaringan aksi. Setelah tumbangnya rezim Suharto, KAMMI mengalami perubahan format/bentuk pergerakan menjadi sebuah organisasi masyarakat kemahasiswaan ekstra kampus. Hal ini merespons tuntutan di
(57)
masyarakat akan perlunya wadah bagi pembangunan kepemimpinan di kalangan pemuda terutama mahasiswa.
KAMMI berperan sebagai wadah dan mitra bagi mahasiswa Indonesia yang ingin menegakkan keadilan dan kebenaran dalam wadah negara hukum Indonesia melalui tahapan pembangunan nasional yang sehat dan bertanggung jawab. KAMMI mengambil peran sebagai mitra bagi masyarakat dalam upaya-upaya pembangunan masyarakat sipil, demokratisasi dan pembangunan kesatuan/ persaudaraan umat dan bangsa melalui pendampingan/advokasi sosial, kritisi/konstruktif terhadap kebijakan negara yang memarginalisasi masyarakat.
Munculnya gagasan pembentukan kesatuan aksi mahasiswa muslim merupakan ide yang muncul dari diskusi-diskusi selama FS LDK (Forum Silaturahi Lembaga Dakwah Kampus) Nasional ke X di Malang. Dalam forum ini, muncul pendapat perlunya dibentuk kesatuan aksi yang menghimpun potensi mahasiswa muslim, terutama yang bergabung dengan LDK (Lembaga Dakwah Kampus). Setidaknya terdapat dua alasan perlu dibentuknya KAMMI pada saat itu. Pertama, keprihatinan mendalam terhadap krisis nasional yang melanda Indonesia dan didorong rasa tanggung jawab moral terhadap penderitaan rakyat yang masih terus berlangsung serta itikad baik untuk berperan aktif dalam proses perubahan ke arah yang lebih baik.
(58)
Kedua, kesepakatan di komisi pada acara FS LDK Nasional ke X yang berintikan diperlukannya koordinasi dan konsolidasi antar kampus, khususnya LDK, guna membangun kekuatan yang dapat berfungsi sebagai peace power untuk melakukan tekanan moral terhadap pemerintah. Pada rapat pleno FS LDK tersebut juga disepakati dibentuknya wadah yang dapat mengkoordinasikan dan menyatukan berbagai LDK dan wadah tersebut harus berdiri sendiri dan tidak berada dalam FS LSK. Lembaga tersebut dibutuhkan sebagai wadah yang mengkonsentrasikan pada agenda politik. Wadah aksi ini dimaksudkan untuk berperan aktif dalam proses perubahan dan perbaikan. Seperti pada umumnya, KAMMI dalam menjalankan aktivitasnya juga memiliki komponen yang bertujuan untuk melaksanakan fungsi-fungsi kelembagaan, kemasyarakatan, dan fungsi-fungsi lainnya.
a. Struktur Organisasi
Struktur organisasi KAMMI terdiri dari KAMMI Pusat yang dipimpin oleh ketua KAMMI Pusat, KAMMI Daerah yang dipimpin oleh ketua KAMMI Daerah, dan KAMMI Komisariat yang dipimpin oleh ketua KAMMI Komisariat. Pengurus KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga adalah mahasiswa-mahasiswa yang berstatus Anggota Biasa 1 aktif yang dipilih melalui serangkaian pengamatan dan ditetapkan dalam musyawarah komisariat (Musykom) oleh Dewan Formatur yang biasanya terdiri
(59)
dari para Pengurus Harian serta anggota-anggota KAMMI Komisariat yang telah mengikuti Daurah Marhalah II (DM II). Adapun struktur pengurus harian KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2014-2015 adalah sebagai berikut:
Bagan 3 : Struktur Kepengurusan KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Periode 2014-2015.
Ketua Umum Ilman Adni Alparisi
Sekretaris Jendral Inas Mufidah Fitri
Bendahara Umum Rif’atul Mahmudah Biro Kestari
Wiwi Dwi D Biro PO
Ririn Noviastuti
Biro Ekonomi Erhat Z. Aini
Departemen Pengkaderan
Zaky A. Riva'i Sulaiman Tahir
Departemen Sosial Masyarakat Departemen HubunganMasyarakat Raudhatul Jannah Departemen Kebijakan Publik Ali Akbar H.
Ketua
Rumpun Ibnu Khaitam
Ketua
Rumpun Ibnu Khaldun
Sudiantri Nurdana Rizky Pratiwi
Madrasah Intelektual Riza Pahlevi
Pengkaderan Rumpun Guesti Wichita
Madrasah Intelektual Nashih U. Az Zuhdi
Pengkaderan Rumpun Nurfadliah Azhar
(60)
b. Visi dan Misi
KAMMI komisariat Sunan Kalijaga periode tahun 2014-2015 selayaknya organisasi-organisasi lain, tentu memiliki visi dan misi sebagai acuan untuk melaksanakan program kerjanya.
Visi
“Wadah perjuangan permanen yang akan melahirkan kader-kader pemimpin dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami”.
Misi
1) Membina keislaman, keimanan, dan ketakwaan mahasiswa muslim Indonesia.
2) Menggali, mengembangkan, dan memantapkan potensi dakwah, intelektual, sosial, politik, dan kemandirian ekonomi mahasiswa.
3) Memelopori dan memelihara komunikasi, solidaritas, dan kerjasama mahasiswa Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan bangsa dan negara.
4) Mencerahkan dan meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang
rabbani, madani, adil, dan sejahtera.
5) Mengembangkan kerjasama antar elemen bangsa dan negara dengan semangat membawa kebaikan, menyebar manfaat, dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar).
c. Keanggotaaan
Ada beberapa jenjang yang harus diikuti dan dilalui untuk menjadi seorang anggota KAMMI. Jenjang pertama adalah dengan mengikuti Daurah Marhalah 1 (DM 1). Setelah mengikuti dan dinyatakan lulus Daurah Marhalah 1 (DM 1), bagi anggota yang
(61)
ingin meningkatkan status dan jabatan dalam KAMMI maka dapat mengikuti Daurah selanjutnya yaitu Daurah Marhalah 2 (DM 2), dan Daurah Marhalah 3 (DM 3). Anggota KAMMI terdiri atas Anggota Biasa dan Anggota Kehormatan. Anggota Biasa KAMMI terdiri dari beberapa jenjang, yaitu Anggota Biasa I, Anggota Biasa II, dan Anggota Biasa III. Ada beberapa syarat agar bisa diterima menjadi anggota KAMMI yaitu:
1) Yang dapat diterima menjadi Anggota Biasa adalah: Mahasiswa muslim Indonesia.
Berusia setinggi-tingginya 30 (tiga puluh) tahun.
Menyatakan secara tertulis kesediaan keanggotaannya kepada pengurus KAMMI Komisariat setempat.
2) Yang dapat ditetapkan menjadi Anggota Biasa adalah: Memenuhi persyaratan pada ayat (1).
Lulus Daurah Marhalah I.
Dalam organisasi diatur masa keanggotaan untuk anggota biasa, yaitu sebagai berikut:
1) Sejak dinyatakan lulus Daurah Marhalah 1 (satu) hingga 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya masa studi S-0 (diploma dan Non Gelar).
2) 5 (lima) tahun bagi anggota biasa yang menempuh pendidikan di jenjang kependidikan S-1.
(62)
3) 2 (dua) tahun bagi anggota biasa yang menempuh pendidikan di jenjang kependidikan pasca sarjana (S-2 dan S-3).
4) Masa keanggotaan Anggota Biasa, berakhir di usia 30 tahun. Anggota Biasa KAMMI terdiri dari beberapa jenjang, yaitu: 1. Anggota Biasa 1
Yang menjadi Anggota Biasa 1 adalah anggota yang telah lulus Daurah Marhalah 1 (DM 1). Anggota Biasa 1 (AB 1) biasanya terdapat di komisariat sebagai syarat untuk menjadi anggota KAMMI Komisariat.
2. Anggota Biasa 2
Anggota Biasa 2 adalah anggota yang telah lulus Daurah Marhalah 2 (DM 2). Anggota Biasa 2 (AB 2) biasanya menduduki jabatan diatas KAMMI Komisariat. AB 2 banyak menduduki jabatan di KAMMI Daerah.
3. Anggota Biasa 3
Anggota Biasa 3 adalah angota yang yang telah lulus Daurah Marhalah 3 (DM 3). Anggota Biasa 3 (AB 3) biasa berkiprah dalam pemerintahan yang lebih tinggi.
Sementara untuk prosedur penetapan menjadi anggota kehormatan, diatur sendiri dalam ketetapan organisasi.
Anggota organisasi KAMMI mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana anggota organisasi lainnya. Anggota Biasa berhak mengeluarkan pendapat, mengajukan saran atau pertanyaan, hak
(63)
berpartisipasi, hak memilih dan dipilih dalam permusyawaratan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam ketetapan organisasi, dan hak mengikuti proses pengkaderan yang diselenggarakan. Sementara untuk Anggota Kehormatan mempunyai hak mengeluarkan pendapat dan mengajukan saran atau pertanyaan. Anggota organisasi KAMMI mempunyai kewajiban dalam organisasi. Untuk Anggota Biasa mempunyai kewajiban:
1) Mematuhi Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah Tangga (ART) dan ketetapan organisasi.
2) Berpartisipasi dalam kegiatan organisasi. 3) Menjaga dan menjunjung nama baik organisasi. 4) Membayar uang pangkal dan iuran anggota.
Sementara untuk Anggota Kehormatan mempunyai kewajiban : 1) Mematuhi Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah Tangga
(ART), dan ketetapan organisasi. 2) Berpartisipasi dalam kegiatan organisasi. 3) Menjaga dan menjunjung nama baik organisasi.
Anggota KAMMI komisariat UIN Sunan Kalijaga adalah mahasiswa dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sedangkan pengurus KAMMI adalah anggota KAMMI yang telah lulus Daurah Marhalah 1 (DM 1), dan aktif dalam berbagai kegiatan KAMMI Komisariat. Pengurus Harian inti KAMMI Komisariat
(64)
UIN Sunan Kalijaga periode 2014-2015 berjumlah 16 orang, terdiri dari 6 laki-laki dan 10 perempuan.
KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memiliki sistem yang berbeda dari KAMMI Komisariat lainnya dalam hal pengelolaan anggotanya. Dalam KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yoyakarta terdapat rumpun-rumpun yang membawahi anggota-anggota di bawah struktur Pengurus Harian. Rumpun di KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terbagi menjadi dua rumpun yaitu Rumpun Ibnu Khaldun dan Rumpun Ibnu Khaitam. Struktur masing-masing rumpun terdiri dari Ketua Rumpun, Departemen Pengkaderan Rumpun dan Madrasah Intelektual.
Ketua Rumpun bertugas untuk membuat kebijakan atas hasil-hasil rapat (musyawarah) dalam rumpun yang nantinya akan diajukan kepada ketua untuk dipertimbangkan dalam rapat Pengurus Harian. Departemen Pengkaderan Rumpun bertugas untuk merekrut anggota-anggota baru, serta melakukan pembinaan, penjagaan, dan pengembangan anggota-anggota rumpun. Selain Ketua Rumpun dan Pengkaderan Rumpun, juga terdapat Madrasah Intelektual yang bertugas mengadakan pengkajian keilmuan dengan menciptakan kultur akademis yang kritis dalam organisasi, terutama dalam lingkup rumpun.
(65)
Tujuan dibentuknya rumpun-rumpun dalam KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta adalah untuk memudahkan koordinasi ke pusat (ketua KAMMI Komisariat). Selain itu juga untuk memberdayakan memberikan ruang bagi kader untuk mengembangkan diri dan memberikan kontribusi untuk organisasi walaupun tidak termasuk dalam pengurus harian dalam Komisariat.
2. Deskripsi Informan a. IL
IL merupakan ketua umum KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga periode tahun 2014-2015. IL merupakan mahasiswa jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta angkatan 2011. Tugas yang dimiliki IL sebagai seorang ketua adalah menjadi koordinator, motivator, dan mobilisator pengurus KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga. Ketua umum juga memiliki tugas untuk mengawasi jalannya kegiatan pengurus KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga. b. RI
RI menjabat sebagai ketua Departemen Pengembangan Organisasi (PO) periode 2014-2015. RI merupakan mahasiswi jurusan Bimbingan Konseling Islam (BKI) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta angkatan 2011. Sebagai ketua Departemen
(66)
Pengembangan Organisasi (PO), RI bertugas mengembangkan organisasi dalam upaya mewujudkan visi dan misi gerakan organsasi.
c. NA
NA menjabat sebagai Ketua Madrasah Intelektual Rumpun Ibnu Khaldun. NA merupakan mahasiswa jurusan Bimbingan Konseling Islam (BKI) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta angkatan 2013. Sebagai Ketua Madrasah Intelektual Rumpun Ibnu Khaldun, NA bertugas mengadakan pengkajian keilmuan dengan menciptakan kultur akademis yang kritis dalam organisasi.
d. IN
IN merupakan staff Pengembangan Organisasi KAMMI periode 2014-2015. IN adalah mahasiswi jurusan Biologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. IN memiliki pengetahuan dan gambaran mengenai kepengurusan dalam organisasi KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta karena sebelumnya IN pernah menjabat sebagai ketua departemen dalam kepengurusan KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga sebelumnya dan ikut aktif dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
e. ER
ER merupakan mahasiswi jurusan Kependidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta angkatan 2011. ER menjabat sebagai
(67)
Koordinator Biro Ekonomi KAMMI UIN Sunan Kalijaga periode tahun 2014-2015. Sebagai Koordinator Biro Ekonomi, ER bertugas untuk mengatur keuangan dalam organisasi KAMMI Komisariat serta mengumpulkan dana guna menunjang kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh KAMMI.
f. NU
NU merupakan mahasiswi UIN Sunan Kalijaga jurusan Ilmu Perpustakaan angkatan 2012. NU merupakan anggota KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga yang menjabat sebagai Kepala Departemen Pengkaderan Rumpun Ibnu Khaldun. Sebagai Kepala Departemen Pengkaderan Rumpun Ibnu Khaldun, NU bertugas untuk merekrut anggota-anggota baru, serta melakukan pembinaan, penjagaan, dan pengembangan anggota-anggota rumpun.
g. RY
RY merupakan mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan Muamalat angkatan 2012. RY menjabat Ketua Rumpun Ibnu Khaldun KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sebagai Ketua Rumpun Ibnu Khaldun, NU mempunyai tugas untuk mengatur dan mengambil keputusan dalam wilayah rumpun Ibnu Khaldun.
h. WI
WI merupakan mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2011. Dalam kepengurusan
(68)
KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2014-2015, WI menjabat sebagai Kepala Biro Kesekretariatan yang bertugas menginventaris dan mendokumentasi surat-surat, menyediakan pelengkapan, serta menginvenatris barang-barang KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
B. Pembahasan
1. Bias Gender Dalam Struktur Organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Periode 2014-2015
Bias gender merupakan ketidakjelasan pemahaman masyarakat atau individu mengenai perbendaan antara jenis kelamin (biologis) dengan gender (konstruksi sosial budaya). Masyarakat yang menganggap jenis kelamin dengan gender memiliki pengertian yang sama, akan meyakini bahwa sifat feminim dan maskulin berasal dari sifat dasar biologis yang sudah menjadi bawaan sejak lahir.
Pandangan seperti itu berdampak pada persepsi masyarakat yang menganggap peran, fungsi, dan kedudukan laki-laki dan perempuan merupakan kodrat yang tidak bisa diubah. Padahal pada kenyataannya peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan merupakan bentukan sosial dan lingkungan budaya dimana masyarakat tinggal, sehingga tanpa disadari sesungguhnya perbedaaan gender tersebut dapat saling dipertukarkan.
(69)
Hal-hal yang sudah dilekatkan sebagai sifat, hak, dan kewajiban laki-laki maupun perempuan menjadi pondasi untuk mengatur peranan sosial seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat menentukan apa yang pantas dan yang tabu dilakukan oleh seseorang yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Perbedaan peranan sosial berpotensi melahirkan ketidakadilan gender, ketika perbedaan tersebut telah merugikan salah satu jenis kelamin.
Pernyataan akan kesetaraan gender dalam organisasi KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, nyatanya tidak sesuai dengan apa yang terjadi di dalam organisasi. Kesetaraan gender dalam organisasi KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta masih dibatasi pada hal-hal tertentu, sehingga kesetaraan gender yang selama ini dipercaya telah diterapkan dalam organisasi, dalam kenyataannya masih jauh dari kesetaraan gender dan masih bias gender dalam pelaksanaannya. Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan tidak tertulis bahwa perempuan dilarang menduduki jabatan ketua umum. Jabatan sebagai ketua umum masih menjadi jabatan yang mutlak diperuntukkan untuk kaum laki-laki. Hal ini didasarkan pada pemahaman agama yang menyatakan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Hal ini seperti disebutkan oleh informan IL sebagai berikut, “...Kecuali ketua umum itu, itu sudah
saklek tidak bisa perempuan. Kalau yang lainnya sama. Jabatan yang
(70)
tapi memang kita ya... seperti apa yang kita tahu di dalam al Qur’an ya gitu, dari sananya ya kita tafsirkan ya laki-laki.” (hasil wawancara dengan IL, tanggal 25 Februari 2015, pukul 13.00 WIB).
Pernyataan informan IL tersebut juga di dukung oleh pernyataan yang disampaikan oleh informan NA, “...memang untuk masalah pemimpin, setiap selama masih ada laki-laki yang bisa memimpin diutamakan laki-laki itu sendiri.” (hasil wawancara dengan NA, tanggal 25 Februari 2015, pukul 13.20 WIB). Selama masih ada laki-laki, setinggi-tingginya jabatan perempuan dalam organisasi, tampuk jabatan tertinggi masih dipegang oleh laki-laki.
Posisi perempuan yang dianggap lebih lemah dibandingkan laki-laki menjadikan kesempatan perempuan dalam mengaktualisasikan diri menjadi ketua umum terhambat. Perempuan dianggap tidak mempunyai kebebasan dalam bertindak sebagaimana laki-laki. Pandangan dan sikap bias gender ini yang kemudian menghambat kesetaraan gender dalam suatu kelompok.
Meskipun dalam AD/ART disebutkan bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki untuk berkontribusi dalam organisasi, namun dalam kenyataannya, perempuan masih sedikit tersisihkan untuk tepilih menempati jabatan sebagai ketua umum. Hal ini seperti diungkapkan oleh informan WI, ”...Jadi ketika memang ada laki-laki yang menonjol dan perempuan yang menonjol, itu yang diambil laki-laki yang itu gitu, tapi ketika untuk ketua KAMMI itu
(1)
16.Apakah ada beberapa tugas dalam bidang-bidang tertentu yang sering diidentikkan perempuan atau laki-laki? Misalnya ada, apa yang melatarbelakanginya?
Jawab: ada. Biasanya kalau KP itu pasti laki-laki, kebijakan publik biasanya laki-laki karena memang arahnya ke aksi dan lain sebagainya biasanya yang ikhwan (laki-laki). Terus kalau yang identik dengan perempuan biasanya kesekretariatan. Jadi kalau dikatakan wakil sekjen satu ataupun sekjennya, cuma kalau kedepan nggak tahu sekjennya itu laki-laki atau nggak, tapi biasanya yang identik dengan perempuan adalah bidang kerumahtanggaan, kesekretariatan itu biasanya perempuan. Jadi ngurus barang-barang KAMMI kaya’ gitu biasanya perempuan.
17.Adakah faktor pengambat bagi perempuan untuk berperan atau menduduki suatu jabatan?
Jawab: ada. Kayak misalnya KP itu kan terkait dengan geraknya dia di aksi dan sebagainya gitu, penghambatnya itu gitu. Karena kita perempuan mengikuti dengan aturan syar’i nya perempuan, kodratnya perempuan kaya’ gitu ya, itu mungkin faktor penghambatnya.
18.Adakah faktor pendukung bagi perempuan untuk berperan atau menduduki suatu jabatan?
Jawab: ada pos-pos yang memang itu butuh suatu rasa, butuh suatu apa ya memang perempuan yang harus menduduki itu, jadi suatu jabatan-jabatan seperti itu tuh ada. Tapi kalau untuk laki-laki ya sama, berarti itu. Faktor
Comment [mc152]: Gndr
(2)
pedukungnya apa ya, logika, jadi kalau laki-laki lebih ke pengambilan keputusannya, jadi gitu.
19.Apakah kebijakan-kebijakan yang ada sudah menganut prinsip kesetaraan gender?
Jawab: kalau di KAMMI UIN sih kalau saya lihat sudah.
20.Apa dampak dari implementasi kesetaraan gender dalam organisasi bagi para anggota terutama anggota perempuan?
Jawab: ada sih. Ngerasa nya ada-ada. Kita lebih apa ya, oh iya tugasmu ya itu, tugas ikhwan (laki-laki) ya itu, tugas akhwat (perempuan) ya ini, jadi lebih kaya’ yang ya udah kita bertanggungjawab sama tugas kita masing-masing gitu. Ketika pun kita nggak bisa gitu ya, tetep butuh misalnya kita ngangkat barang dalam suatu kegiatan dan kita nggak bisa masang kabel gitu kan, jadi kita minta tolong, part nya dikasih part itu ke yang laki-laki. Jadi memang ya iya sudah menerapkan.
Comment [mc154]: Fktr
Comment [mc155]: Gndr
(3)
LAMPIRAN
DOKUMENTASI
(4)
Gambar 1. Proses wawancara dengan informan, Dok. Pribadi peneliti pada tanggal 25 Februari 2015.
Gambar 2. Proses wawancara dengan informan, Dok. Pribadi peneliti pada tanggal 25 Maret 2015.
(5)
Gambar 3. Kondisi Komisariat KAMMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dok. Pribadi peneliti pada tanggal 25 Maret 2015.
Gambar 4. Komisariat KAMMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dok. Pribadi peneliti pada tanggal 25 Maret 2015.
(6)
Gambar 5. Pengurus Harian KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dok. Kestari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Gambar 5. Pengurus Harian KAMMI Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dok. Pribadi peneliti pada tanggal 25 Maret 2015.