membongkar struktur sistem budaya patriarkhi tersebut, dengan program-program yang melibatkan secara langsung peran
perempuan dalam kehidupan sosial dan politik. c.
Feminisme Marxis Aliran ini berasumsi bahwa penindasan yang dialami kaum
perempuan bersumber dan merupakan bagian eksploitasi kelas dalam cara produksi. Mereka berpendapat jatuhnya status
perempuan bermula dari perubahan teknologi produksi yang pada akhirnya
melahirkan organsasi
kekayaan atau organisasi
kepemilikan. Perubahan produksi yang mulanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi diperuntukkan pertukaran
pasar. Karena laki-laki mengontrol alat produksi untuk pertukaran tersebut, maka mereka mendominasi hubungan sosial
dan perempuan direduksi menjadi bagian dari kekayaan dan modal. Sehingga perempuan tersubordinat, seperti perempuan hanya
menjadi tenaga kerjaburuh murah. Disini terdapat pertentangan kelas, laki-laki kelas pemilik modal kekayaan dan perempuan
kelas pekerja buruh. Adapun agenda aksi yang dilakukan adalah perlawanan terhadap kelas pemilik modal tersebut.
d. Feminisme Sosialis
Aliran ini berasumsi penindasan perempuan tidak hanya terjadi pada tatanan pertentangan kelas, melainkan adanya juga sistem
patriarkhi. Masyarakat telah lama tersosialisasi oleh budaya
patriarkhi yang mengutamakan laki-laki. Masyarakat telah cukup lama terhegomoni oleh nilai-nilai yang bias gender tersebut. Hal
yang seharusnya dilakukan dianggap sebagai kodrat perempuan, seperti mengasuh anak, melayani suami, menjadi pengurus rumah
tangga dan sebagainya. Oleh sebab itu agenda aksi yang dijalankan para penganut aliran ini adalah membantu kesadaran kelas dan
meningkatkan kualitas dan kuantitas keterlibatan kaum perempuan dalam setiap pengambilan keputusan.
B. Kesetaraan Gender
Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa masalah, baik dari segi substansi kejadian maupun dari peran yang
diembannya dalam masyarakat. Dengan menyimpulkan laki-laki dan perempuan secara genetis berbeda tanpa memberikan penjelasan secara
tuntas, maka kesimpulan tersebut dapat dijadikan legitimasi terhadap realitas sosial, yang memperlakukan laki-laki sebagai jenis kelamin utama
dan perempuan sebagai jenis kelamin kedua Purwaningsih, 2009: 68. Patriarkhi membudaya di segala sistem kebudayaan masyarakat baik
dalam bidang sosial, budaya, pendidikan, bahasa, politik, ekonomi dan hukum. Hal ini karena patriarkhi dikonstruksikan, dilembagakan dan
disosialisasikan lewat institusi-institusi yang terlibat sehari-hari dalam kehidupan seperti keluarga, sekolah, masyarakat, agama, tempat kerja
sampai kebijakan negara. Dalam budaya kita, seperti juga di banyak negara di dunia ketiga lainnya, budaya patriarkhi masih sangat kental.
Patriarkhi menjadi faktor yang sulit diatasi untuk meningkatkan kesetaraan gender terhadap perempuan.
Kesetaraan gender sering terkait dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, seperti; subordinasi, penindasan, kekerasan, dan
semacamnya Nugroho, 2011: 28. Persoalan perempuan berkaitan dengan
masalah kesetaraan gender ini memang mengundang rasa simpati yang cukup besar dari masyarakat, karena permasalahan kesetaraan gender
sering di anggap erat kaitannya dengan persoalan keadilan sosial. Konsep kesetaraan gender ini memang merupakan suatu konsep yang sangat rumit
dan mengundang kontroversi. Hingga saat ini belum ada konsensus mengenai pengertian dari kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Ada yang mengatakan bahwa kesetaraan yang dimaksud adalah kesamaan hak dan kewajiban, yang tentunya masih belum jelas. Dengan
adanya ketidakjelasan tersebut maka timbul ketidakadilan gender yang termanifestasikan dalam beberapa hal, yakni marginalisasi atau proses
pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam pengambilan keputusan politik, stereotype atau pelabelan negatif,
kekerasan, serta beban kerja yang lebih panjang dan banyak. Ada yang
mengartikan kesetaraan gender dengan konsep mitra kesejajaran antara laki-laki dan perempuan, yang juga masih belum jelas artinya. Atau ada
juga yang mengartikan bahwa diantara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam melakukan aktualisasi diri namun harus sesuai
dengan kodratnya masing-masing.
Menurut Riant Nugroho 2011: 29, kesetaraan gender dapat juga
berarti adanya kesamaan kondisi bagi laki-laki maupun perempuan dalam memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia,
agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan pertahanan dan
keamananan nasional hankamnas serta kesamaan dalam menikmati pembangunan.
Keadilan gender merupakan suatu proses dan perlakuan adil terhadap kaum laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender juga meliputi
penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan, baik terhadap laki-laki maupuan perempuan. Dengan kata lain kesetaran gender dapat dikatakan
sebagai persamaan hak dan derajat bagi kaum perempuan. Kesetaraan gender merupakan posisi yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam
memperoleh akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dalam aktifitas kehidupan baik keluarga, masyarakat, dan bernegara. Keadilan gender
merupakan proses menuju setara, selaras, seimbang, serasi, dan tanpa diskriminasi Ch, 2003: 4-6.
Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan menurut perspektif Islam adalah kesetaraan dalam hal-hal yang mutlak. Sedangkan hal-hal yang
bersifat relatif akibat perbedaan keduanya dalam beberapa pengecualian adalah bertujuan untuk menyempurnakan keduanya dalam merealisasikan
kekhalifahan, dan menjadi standar ukuran dari kesetaraan, kepercayaan, dan tanggung jawab yang dipikul keduanya dalam hubungan keimanan
dan kekerabatan teologi Sa ’dawi, 2002: 132. Prinsip-prinsip kesetaraan
gender dalam al-Qur ’an, antara lain; mempersamakan kedudukan laki-laki