1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dengan sesamanya M. Sitorus, 2000: 3. Manusia sebagai makhluk sosial
tidak akan lepas dari yang namanya bersosialisasi di dalam kehidupan sehari- hari. Sosialisasi berkaitan erat dengan kepribadian, hal ini karena kepribadian
terbentuk sebagai hasil sosialisasi individu terhadap apa yang ada di sekelilingnya seperti nilai, norma, kebiasaan, serta adat istiadat kebudayaan.
Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku Saifuddin Azwar, 2008: 11. Seseorang yang memiliki kepribadian yang
sehat tentu akan mampu berinteraksi dengan baik, akan terjalin hubungan pertemanan yang harmonis antar sesama.
Interaksi sosial dibutuhkan oleh semua individu yang ada dalam masyarakat, termasuk di dalamnya yaitu siswa SMP. Siswa Sekolah
Menengah Pertama, tergolong pada masa Remaja awal, yaitu usia 12-16 tahun pada anak laki-laki dan 11-15 tahun pada anak wanita
Mӧnks dkk., 2004: 263. Masa remaja ini merupakan masa peralihan atau transisi dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa, oleh Erikson dalam Rita Eka Izzaty, dkk., 2008: 139 disebut dengan identitas ego ego identity, dimana masa remaja
merupakan masa mencari jati diri. Pada masa ini, remaja dihadapkan pada pencarian tentang dirinya sendiri, remaja dihadapkan banyak peran, sehingga
menurut Erikson dikenal dengan krisis identitas, jika remaja berhasil melewati
2
krisis identitas tersebut, maka akan berpengaruh pada kesuksesan dalam komitmen dasar kehidupan; pekerjaan; ideologi; sosial; agama; etika dan
seksual Rita Eka Izzaty, dkk., 2008: 140. Sebaliknya, remaja yang tidak dapat menjalankan perannya sesuai dengan harapan, dapat menimbulkan
masalah dalam pengembangan identitasnya. Menurut Sofyan S. Willis 2014: 1, masa remaja merupakan masa
yang baik untuk mengembangkan segala potensi yang ada dalam dirinya, seperti bakat, kemampuan, dan minat. Pada masa remaja, individu bisa lebih
mengeksplor minat serta bakatnya sebagai bekal di masa mendatang, masa- masa dimana siswa dapat mengaktualisasikan dirinya. Siswa yang idealnya
belajar dengan baik di bangku sekolah untuk mengenyam pendidikan sebagai calon pemimpin masa depan. Di samping itu, masa remaja merupakan masa
yang rawan terkena pengaruh-pengaruh negatif, seperti narkoba, kriminal, dan kejahatan seks. Dengan demikian remaja perlu mendapat perhatian serta
bimbingan yang cukup sebagai pedoman dalam hidupnya agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal negatif yang tidak diinginkan.
Salah satu masalah remaja yang marak terjadi yaitu tawuran antar pelajar, baik pelajar SMA maupun SMP. Dalam sebuah surat kabar Tribun
Jogja, 21 November 2013, Komisi Nasional Perlindungan Anak Komnas PA mencatat sebanyak 19 pelajar tewas sia-sia dalam tawuran di Indonesia
sepanjang Januari sampai Oktober 2013. Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait menyebutkan, dari 229 kasus tawuran yang terjadi sepanjang tahun
2013, jumlah ini meningkat sebesar 44 dibanding tahun lalu yang hanya
3
128 kasus. Artinya, jumlah tawuran antar pelajar di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini sudah seharusnya menjadi perhatian bagi
penyelenggara pendidikan dan orangtua siswa. Beberapa kasus tawuran pelajar SMP di Yogyakarta di antaranya yaitu
pada 8 Mei 2014, Siswa SMP luka terkena sabetan Gir pada saat tawuran antar pelajar SMP Harian jogja, 8 Mei 2014. Pada hari yang sama, di jalan
Sudirman juga terjadi tawuran antarpelajar SMP Tribun jogja, 8 Mei 2014. Hal ini menunjukkan bahwa siswa SMP yang tergolong remaja awal sudah
melakukan tindak kekerasan, dengan membawa Gir atau senjata tajam lainnya.
Tawuran anta pelajar merupakan permasalahan sosial yang dihadapi remaja selanjutnya secara lebih khusus merupakan konflik interpersonal
karena menyangkut interaksi antara individu dengan orang lain, menuntut remaja untuk merespon secara tepat sesuai dengan harapan sosial dan tidak
menimbulkan efek negatif baik untuk diri sendiri maupun orang lain Vivi Gusrini R. Pohan, 2005: 2. Meskipun hubungan antar anggota kelompok
baik, namun tawuran merupakan hal yang bertentangan dengan harapan sosial, sehingga secara lebih luas akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat.
Tawuran antar pelajar ini berakar dari perilaku agresif siswa. Sebagaimana dijelaskan oleh Myers 2012: 69 bahwa Agresi aggression
dapat didefinisikan sebagai perilaku fisik atau verbal yang bertujuan untuk menyebabkan kerusakan. Tentu banyak faktor yang mempengaruhi perilaku
agresif ini, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Budaya lingkungan
4
sosial di luar rumah juga dapat menjadi model untuk ditiru. Individu mempelajari respon agresif dengan mengalami dan mengamati model yang
mencontohkan untuk berbuat agresif. Bandura dalam Myers, 2012: 80 berpendapat bahwa tindakan agresif dimotivasi oleh berbagai pengalaman
yang tidak menyenangkan aversive seperti : frustrasi, sedih, dan penghinaan. Menurut Davidoff dalam Mu‟tadin; Umi Kulsum dan Mohammad
Jauhar, 2014: 247, salah satu faktor penyebab perilaku agresi adalah faktor amarah. Dimana seseorang yang berperilaku agresi cenderung tidak dapat
mengontrol emosi marah dalam dirinya. Melihat fenomena tawuran antar pelajar, siswa kurang mampu mengendalikan emosi sehingga mengarah pada
perilaku yang negatif seperti perilaku agresif. Perilaku agresif merupakan perilaku yang merugikan, baik bagi orang
lain maupun bagi dirinya sendiri. Hal ini tentu akan mengganggu hubungan sosial individu yang sudah terjalin. Kaitannya dengan hubungan interpersonal,
seseorang yang memiliki perilaku agresif yang tinggi cenderung kurang mampu menjaga hubungan baik dengan orang lain. Siswa sebagai makhluk
sosial, tentu membutuhkan interaksi dengan orang lain. Ketika siswa menunjukkan perilaku negatif seperti agresi, akan berdampak pada hubungan
siswa dengan teman sebayanya. Menurut Campbell 2002: 173, seseorang yang mampu menjalin interaksi yang baik serta membentuk hubungan baik
dengan orang lain adalah orang yang memiliki kecerdasan interpersonal yang baik.
5
Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan seseorang untuk memahami pikiran, sikap, dan perilaku orang lain Gardner Checkley;
Muhammad Yaumi, 2012: 21. Mork Muhammad Yaumi, 2012: 145 menekankan pada empat elemen penting dari kecerdasan interpersonal yang
perlu digunakan dalam membangun komunikasi, yaitu: 1 membaca isyarat sosial; 2 memberikan empati; 3 mengontrol emosi; 4 mengekspresikan
emosi pada tempatnya. Seseorang yang memiliki kecerdasan interpersonal yang tinggi cenderung dapat mengendalikan emosinya serta mengekspresikan
emosi pada tempatnya. Permasalahan terkait perilaku agresif pada pelajar juga ditemukan di
daerah Ngaglik. Sebelumnya peneliti melakukan kegiatan observasi serta KKN-PPL di SMPN 1 Ngaglik pada bulan Juli sampai pertengahan September
2014, peneliti menemukan adanya siswa yang berperilaku agresif fisik, seperti mendorong temannya hingga terguling di lantai saat jam istirahat. Selain itu,
terjadi perkelahian antar siswa di kelas VIII F yang mengakibatkan salah seorang siswa terluka di bagian pelipis mata pada saat KBM namun tidak
didampingi guru mata pelajaran. Hal serupa terjadi di kantin sekolah saat istirahat, salah seorang siswa mendorong temannya hingga menabrak salah
satu siswi yang sedang berjalan. Pada saat peneliti memberikan layanan klasikal di kelas VIII, terdapat dua siswa yang nyaris saling memukul, tangan
kanan mereka mengepal, sampai akhirnya dilerai oleh peneliti. Selain itu, ada salah seorang siswa kelas VII melapor pada guru BK, bahwa terdapat