Perkembangan Tenun Ulos di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan 1980-2006
DAFTAR INFORMAN
1.
Nama
: Nia
Umur
: 45 tahun
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Penenun Kain Adat
Alamat
: Desa Padang Bujur
2.
Nama
: Lanna Siregar
Umur
: 49 tahun
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Penenun Kain Adat
Alamat
: Desa bagas Godang
3.
Nama
: Lela Siregar
Umur
: 69 tahun
Pendidikan
: SD
Pekerjaan
: Pengrajin
Alamat
: Desa Pangurabaan
4.
Nama
: Boru Pane
Umur
: 56 tahun
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Pengrajin
Alamat
: Desa Pangurabaan
5.
Nama
: Umak Sakinah
Umur
: 48 tahun
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Pengrajin
Alamat
: Desa Paran Julu
6.
Nama
: Nurlan
Umur
: 52 tahun
Pendidikan
: SMA
(2)
7.
Nama
: Dermawati Hasibuan
Umur
: 40 tahun
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Pengrajin
Alamat
: Desa Silangge
8.
Nama
: Ompung Majid
Umur
: 68 tahun
Pendidikan
: SD
Pekerjaan
: Pengrajin
Alamat
: Desa Pangurabaan
9.
Nama
: Umak Doli
Umur
: 48
Pendidikan
: SD
Pekerjaan
: Pengrajin Souvenir
Alamat
: Desa Hutasuhut I
10. Nama
: Khairani Nasution
Umur
: 29 tahun
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Pengrajin
Alamat
: Desa Silangge
11. Nama
: Aji
Umur
: 60 tahun
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Pedagang Kerajinan Sipirok
Alamat
: Padangsidimpuan
12. Nama
: Daud Siregar
Umur
: 60 tahun
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Tokoh Adat
(3)
13. Nama
: Nisra Harahap
Umur
: 48 tahun
Pendidikan
: Sarjana
Pekerjaan
: Staf Kantor Badan Pusat Statistik Kab. Tapanuli Selatan
Alamat
: Padangsidimpuan
14. Nama
: Hedi
Umur
: 48 tahun
Pendidikan
: Sarjana Pertanian
Pekerjaan
: Staff Kantor Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan
Alamat
: Padangsidimpuan
15. Nama
: Hamzah Siregar
Umur
: 68 tahun
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Tokoh Adat
Alamat
: Padangsidimpuan
16. Nama
: Baharuddin Harahap
Umur
:71 tahun
Pendidikan
: Sarjana
Pekerjaan
: Tokoh Adat
Alamat
:Padangsidimpuan
(4)
LAMPIRAN I.
PETA: KABUPATEN TAPANULI SELATAN
(5)
PETA: KECAMATAN SIPIROK DAN LOKASI PENGRAJIN TENUN
Sumber: Kerajinan Tradisional Abit Godang dan Parompa Saadun Daerah Sumatera
Utara.
(6)
LAMPIRAN II.
Motif atau Ragam Hias pada
Abit Godang
dan
Parompa Sadun
Motif
Pusuk Robung
Motif Jarak
(7)
Motif Hiok-Hiok
Motif
Sijobang
(8)
Motif
Ruang
Motif
Lus-Lus
(9)
Motif
Iran-Iran
Motif
Sorat
Rambu Na Ginjang
(10)
LAMPIRAN III.
Seorang Penenun
Abit Godang
Menggunakan
Hasaya
(11)
Proses
Manjomur
/ Pengeringan Benang yang sudah dikanji pada
Pangunggasan.
Ulkulan
atau Alat yang digunakan untuk penggulungan benang
Benang yang sudah melewati proses penjemuran siap untuk
diulkul
atau
digulung
(12)
Gulungan-gulungan benang yang sudah siap
diulkul
atau digulung dan siap
untuk
dianian.
Proses
Mangani
/ Pengaturan atau Penyusunan Benang Kain Adat
Benang yang telah
dianian
dan siap untuk dipakai sebagai benang kain adat.
(13)
LAMPIRAN IV
PRODUK KERJINAN TENUN SIPIROK
Abit Godang
(14)
Abit Godang yang telah mengalami perubahan ragam hias.
(15)
Kain Songket dan Selendang Tenunan
Kemeja Tenun/ Kain Tenun Siap Pakai
Selendang
(16)
DAFTAR PUSTAKA
Gottschalk, Louis. 1995. Mengerti Sejarah(terj.) Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press.
Gultom,J.,dkk. 1991. Pengrajin Tradisional di Daerah Provinsi Sumatera Utara. Tanpa Kota dan Penerbit.
Harahap, Anwar. Tanpa Tahun. Asal-Usul Marga Tapanuli Selatan. Medan: Yayasan Manula Glamur.
Koentjaraningrat. 2007.
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia
. Jakarta : Djambatan.
_______. 1980.
Pengantar Ilmu Antropologi
. Jakarta: Penerbit AksaraBaru.
Kuntowijoyo. 1995.
Pengantar Ilmu Sejarah
. Yogyakarta : Yayasan Bentang
Budaya.
Managor, Sutan. 1995.
Pastak-Pastak Ni Paradaton Masyarakat Tapanuli Selatan
.
Tanpa Penerbit.
Nasution, Pandapotan. 2005.
Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman
.
Medan :Forkala.
Pangaduan, Z. Lubis dan Zulkifli B. Lubis. 1998.
Sipirok Na Soli Bianglala
Kebudayaan Masyarakat Sipirok
. Medan: BPPS dan USU Press.
Ritonga, Ahmad husin., dkk. 1993.
Kerajinan Tradisional Abit Godang dan parompa
Sadun.
Medan: Tanpa Penerbit.
Ritonga, Parlaungan. 1997.
Makna Simbolik dalam Upacara Adat Mangupa
Masyarakat Angkola Sipirok di Tapanuli Selatan
. Medan: USU PRESS.
Rukminto, Isbandi. 2008.
Intervensi Komunitas: Pengembangan Masyarakat Sebagai
Upaya Pemberdayaan Masyarakat.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sangti, Batara. 1977.
Sejarah Batak
. Tanpa Kota dan Penerbit.
Sihombing, T.M. 2000. Filsafat Batak:
Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat Istiadat.
Jakarta: Balai Pustaka.
(17)
Siregar, Baumi. 1980.
Kain Adat Sejarah, Ornamen dan Fungsi
. Padangsidimpuan:
Tanpa Penerbit.
Siregar, Rahim. 1989.
Pembinaan dan Pengembangan Industri Kecil dan Kerajinan
Rumah Tangga di Sumatera Utara.
Medan: USU Press.
Suharto, Edi. 2009.
Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial.
Bandung: Refika Aditama.
Warneck, J. 2001.
Kamus Batak Toba Indonesia
. Medan: Bina Media.
Katalog, Makalah, Laporan Penelitian dan Tesis
Arifin, Bontor Hutasoit. 2005. “Hubungan Subkontrak Antara Partonun dengan Toke:
Studi Kasus pada Industri Kerajinan Ulos di Kecamatan Siatas Barita
Kabupaten Tapanuli Utara”,
Tesis S-2.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Katalog Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan. 1990. “Kabupaten
Tapanuli Selatan Dalam Angka 1990”.
________. 2000. “Kabupaten Tapanuli Selatan Dalam Angka 2000”
.
Katalog Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi/UKM Kabupaten Tapanuli
Selatan. 2008. “Standarisasi dan Proses Produksi kerajinan Tenun dan
Manik”.
Muhammad Takari, “Ulos dan Sejenisnya dalam Budaya Batak di Sumatera Utara:
Makna, Fungsi dan Teknologi”, Makalah pada Seminar Antarbangsa
Tenunan Nusantara, di Kuantan, Malaysia, 12 April 2009.
Siregar, Raja Inal. 1997. “Gerakan Marsipature Hutana Be dan Pemberdayaan
Mayarakat Desa. Laporan Penelitian, Medan: Depdikbud.
Yahya, Idkar. 1998. “Ketergantungan Industri Kecil pada Bapak Angkat”. Laporan
Penelitian. Medan: USU Press.
Sumber Internet
(18)
BAB III
TENUN
ULOS
DI SIPIROK SEBELUM TAHUN 1980
Kegiatan bertenun sudah lama dilakukan oleh masyarakat Sipirok.
Diperkirakan sebelum tahun 1900 kegiatan bertenun ini telah ada, pada masa tersebut
bertenun dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu karena penggunaan
Abit
Godang
dan
Parompa Sadun
ketika itu masih dikalangan para bangsawan dan
turunannya.
30Dalam cerita-cerita lisan semisal
turi-turian
bagi masyarakat Sipirok,
sering digambarkan kepandaian bertenun seorang gadis. Dalam sebuah kerajaan
biasanya terdapat sebuah bangunan khusus yang disebut
sopo partonunan
atau balai
pertenunan tempat para gadis melakukan kegiatan bertenun.
31Setelah tahun 1900 terutama pada awal pergerakan Indonesia, kegiatan ini
mengalami perkembangan seiring dengan semakin longgarnya aturan-aturan tentang
siapa saja yang boleh menggunakan kain tersebut.
Abit godang
dan
Parompa sadun
kemudian dapat digunakan oleh golongan rakyat biasa.
Teknik dan cara pembuatannya pada masa itu masih menggunakan peralatan
sederhana yaitu
hasaya
dengan motif atau corak yang sederhana dengan warna-warna
dasar, merah, hitam dan putih, yang memiliki nilai religius dan magis.
30
Ahmad Husin Ritonga,dkk., op. cit., hal. 42.
3131
(19)
3.1. Kerajinan Tradisional
Abit Godang
dan
Parompa Sadun
Abit Godang
dan
Parompa Sadun
merupakan hasil ataupun wujud
kebudayaan masyarakat Angkola Sipirok.
Abit Godang
biasa juga disebut dengan
ulos.
Secara harfiah ulos berarti selimut yaitu pemberi kehangatan badaniah dari
terpaan udara dingin. Dalam kamus Batak Toba Indonesia, defenisi ulos dapat
diartikan sebagai berikut, yaitu: 1) Kain tenun tradisional, pakaian Batak yang
ditenun dan 2) Kain yang dikenakan di atas dan di bawah lutut.
32Menurut pandangan
orang Batak, dahulu terdapat tiga unsur essensial untuk dapat hidup, yaitu darah,
nafas dan panas. Tentang darah dan nafas, orang Batak tidak begitu memikirkannya
karena kedua-duanya berasal dari pemberian Tuhan dan tidak perlu dicari. Lain
halnya dengan panas. Panas matahari dianggap tidak cukup, seperti yang diketahui
bahwa daerah-daerah tempat berdiamnya suku Batak dahulu adalah tanah tinggi di
pegunungan yang tentu saja berhawa dingin. Adapun tiga sumber panas atau
kehangatan bagi orang Batak adalah matahari, api dan ulos. Dari ketiga sumber
kehangatan tersebut, ulos yang dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan
sehari-hari. Matahari sebagai sumber utama kehangatan tidak bisa diperoleh pada
malam hari, sedangkan api dapat menjadi bencana jika lalai menggunakannya.
33Selanjutnya, dari kata ulos kemudian muncul kata
mangulosi
(memberikan
ulos), yang melambangakan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada
penerima ulos, dan biasanya ulos diberikan orang tua kepada anak-anaknya.
(20)
Kemudian dalam perkembangannya ulos kemudian juga dapat diberikan kepada
orang non Batak yang bisa diartikan sebagai penghormatan dan kasih sayang pada
penerima ulos.
3.1.1.
Warna, Ukuran dan Bentuk
Abit Godang
dan
Parompa Sadun
Warna dasar yang terdapat pada kain tenun
abit godang
dan
parompa sadun
adalah warna putih, merah, dan hitam. Masing-masing dari ketiga warna dasar atau
warna pokok ini memiliki arti, seperti warna putih yang melambangkan kesucian dan
kejujuran, warna merah melambangkan keberanian dan kepahlawanan, sedangkan
warna hitam melambangkan duka. Penafsiran terhadap tiga warna dasar ini
merupakan perubahan penafsiran warna setelah masyarakat mengenal agama-agama
samawi seperti Islam dan Kristen. Selain itu, warna putih, merah, hitam adalah tiga
warna magis bagi masyarakat tradisional Tapanuli Selatan khususnya Sipirok. Ketiga
warna tersebut merupakan perlambangan dari kosmologi mereka yaitu warna putih
melambangkan “dunia atas” atau
Lumban Ibata I Ginjang
yang menyiratkan
kekuatan supra-alami, atau kuasa diatas kuasa yang berada diluar diri manusia, warna
merah melambangkan “dunia tengah” atau
Lumban Ibata I Tonga
yang
menggambarkan kehidupan yang sedang berlangsung dan warna hitam
melambangkan “dunia bawah” atau
Lumban Ibata I Toru
yang menggambarkan
adanya “kehidupan lain” sesudah kematian.
Akan tetapi, selain ketiga warna dasar tersebut terdapat juga warna-warna lain
seperti kuning yang ditafsirkan sebagai lambang kemakmuran dan kesejahteraan,
(21)
hijau, ungu, dan oranye yang kesemuanya tampil dalam berbagai ragam hias yang
terdapat dalam kain tenun Sipirok.
Untuk ukuran
abit godang
dan
parompa sadun
, tidak ada ukuran yang pasti.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa ukuran
abit godang
hampir dua kali lebih besar
(lebar) dari pada ukuran
parompa sadun.
Panjang sebuah
abit godang
berkisar antara
1 meter-1,8 meter, dan ukuran
parompa sadun
berkisar antara 100 cm - 200cm.
Abit godang
dan
parompa sadun
berbentuk persegi panjang, dan pada kedua
sisi lebarnya terdapat rumbai-rumbai benang yang disebut rambu-rambu.
3.1.2.
Ragam Hias dan Makna Simbolik
Abit Godang
dan
Parompa Sadun
Setiap motif yang terdapat pada kain tenun masyarakat Sipirok memiliki
makna yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sipirok. Motif-motif
ini umumnya mengambil simbol dari alam sekitar, baik dalam flora dan fauna bahkan
dari jagad raya. Berikut ini akan diuraikan jenis-jenis ragam hias dan makna
simboliknya masing-masing.
•
Pusuk Robung
Pusuk Robung
atau Pucuk Rebung adalah motif ragam hias yang
diambil dari tumbuh-tumbuhan, yaitu rebung yang merupakan cikal bakal
bambu. Bambu merupakan sejenis tumbuhan serba guna, bahkan ia sudah
dijadikan lauk/sayur ketika masih muda sekali (rebung), sesudah besar pun ia
dapat dijadikan barang serba guna seperti wadah penyimpanan air minum
(22)
beduk atau alat komunikasi, dan sebagainya. Sifat serba guna dari tumbuhan
bambu ini yang diabadikan dalam kain adat ini memiliki makna atau pesan
bagi kehidupan, yaitu jadilah manusia yang berguna dalam kehidupan sejak
masih muda hingga berumur senja.
•
Jarak
Tenunan hitam polos yang berada diantara
sirat
dan
pusuk robung
.
Jarak
ini mengandung makna bahwa dalam aspek kehidupan kita harus
terdapat jarak, tidak boleh terlalu dekat. Kita tidak boleh memberitahu atau
membuka segala hal yang ada pada kita kepada orang lain.
•
Tutup Mumbang
Tutup Mumbang
adalah putih atau bakal kelapa. Seperti halnya
bambu, kelapa adalah jenis tumbuhan serba guna. Hampir semua bagian
tumbuhan ini bermanfaat bagi kehidupan manusia. Sehingga sifat serba guna
dari tumbuhan kelapa ini dijadikan simbol yang menyimpan pesan bahwa
hidup haruslah berguna atau memberikan manfaat bagi sekitar kita.
•
Hiok-Hiok
Motif yang berbentuk rangkaian belah ketupat yang saling menjalin
secara utuh, sehingga menggambarkan suatu kesatuan yang padu dan seragam
ini merupakan visualisasi dari burung
hiok-hiok
yang memiliki sikap
kebersamaan dan tidak mementingkan diri sendiri ketika mendapatkan rezeki.
(23)
Sehingga bisa ditafsirkan pesan yang disimbolkan motif
hiok – hiok
ini adalah
pentingnya membina dan memelihara kesetiakawanan dalam hubungan sosial.
•
Sijobang
Sijobang
merupakan motif yang berbentuk deretan prajurit. Jumlahnya
harus ganjil, disisi-sisi terluar berwarna merah menggambarkan
Mora
(Raja).
Mora dipakkal, mora di ujung
. Artinya, sebagai
Mora
harus bertanggung
jawab terhadap seluruh aspek kehidupan orang-orang yang ada disekitarnya.
•
Singap
Motif ragam hias
singap
tampak sebagai garis-garis simetris yang
membentuk segitiga sama sisi.
Singap
adalah visualisasi dari tiga kelompok
kekerabatan yang menjadi unsur utama dalam sistem sosial
Dalihan Na Tolu
di Tapanuli Selatan.
•
Simata Na Maridopan
Simata
adalah istilah setempat yang berarti benda hias berupa
manik-manik. Terdapat dua jenis pemakaian manik-manik pada
abit godang
dan
parompa sadun
, yaitu berupa hiasan penabur dan terletak disela-sela ragam
hias yang lain, serta serangkaian manik-manik yang tersusun rapi pada bagian
pinggir kain.
Simata Na Maridopan
terdiri dari manik-manik halus berwarna putih
yang melambangkan bintang bertabur dilangit yang cerah. Maksud yang
(24)
Tuhan, sebagaimana langit yang kelam diterangi oleh gemerlapnya
bintang-bintang.
•
Simata Na Maraturan
Motif ragam hias ini berupa susunan dari beberapa baris manik-manik
berwarna putih, dan kadang-kadang dihiasi sedikit dengan manik-manik
berwarna lain, membentuk satu untaian yang teratur pada bagian ujung atau
sisi lebar dari kain
abit godang
dan
parompa sadun
. Makna dari
simata na
maraturan
ialah suatu ajaran bahwa dalam menjalani hidup ini manusia harus
mengenal dan menghormati aturan-aturan yang ada.
•
Ruang
Ruang
merupakan bahagian motif tenunan yang tampak sangat
menonjol khususnya dari segi pewarnaan yaitu warna merah dengan
kombinasi hitam, putih dan hijau cerah. Ragam hias
ruang
ini mengambil
sejenis ular bernama sende atau
sibaganditua
sebagai simbol. Motif ini
menyimbolkan agar memiliki sikap kehati-hatian atau sikap waspada dalam
menjalani kehidupan.
•
Lus-Lus
Lus-lus
adalah motif garis sebagai pembatas antara ragam hias, baik
garis horizontal maupun vertikal. Garis ini tampak jelas dengan warna kuning
cerah, biasanya dibuat dengan benang sulam yang agak tebal. Dengan adanya
lus-lus
, maka teranglah atau jelaslah batas antara sesuatu dengan yang lain
(25)
(
tangkas dia ujung dia bonangna
). Dalam bahasa andung disebut “
lus-lussama lus-lus, barat sama barat, tali munmun manopi duru
” yang
pengertian sederhananya adalah menempatkan sesuatu menurut tempatnya
yang benar, atau meletakkan sesuatu pada tempatnya sesuai aturan.
•
Bunga Ros
Bunga ros adalah simbol keharuman, dan bersifat melengkapi semua
motif lainnya. Dengan mengamalkan nilai-nilai luhur yang disimbolkan oleh
berbagai motif tadi, maka keharuman akan menandai perjalanan hidup
seseorang.
•
Iran-Iran
Iran-Iran
,
andege ni mocci
, yang berarti jejak kaki tikus. Motif ragam
hias ini melambangkan agar meninggalkan jejak kebaikan dimanapun kita
berada.
•
Akar Cino
Pada kain
paropa sadun
(tetapi tidak pada motif
abit godang
) terdapat
motif ragam hias yang disebut
akar cino
. Berbeda dengan motif-motif
lainnya,
akar cino
tampak sebagai bidang merah dan cokelat muda yang
membujur dari sisi kiri dan kanan
parompa sadun
. Keduanya (yang kiri dan
kanan) bersilang dengan motif ragam hias
ruang
, dan pada bagian ujung
pinggirnya bertemu dengan motif
simata na maraturan
. Motif
akar cino
ini
(26)
mengandung makna keterbukaan, atau sikap tidak boleh menutup diri untuk
bergaul dengan orang lain.
•
Surat
Pada setiap
abit godang
dan
parompa sadun
terdapat aksara latin
berupa sebaris kalimat yang diambil dari ungkapan setempat. Kalimat yang
tertulis sebagai
surat
pada
abit godang
anatar lain
Horas tondi madingin, pir
tondi matogu, horas ma hita, gabe hita sude na mamake
. Sedangkan pada
kain
parompa sadun
biasanya tertulis kalimat
simbur magodang
.
Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan harapan dan doa, semoga orang yang
memakainya menerima keadaan seperti yang diungkapkan kalimat tersebut.
•
Rambu na Ginjang
Rambu na ginjang
adalah ujung-ujung benang kain pada dua sisi
lebarnya yang dibiarkan menjuntai-juntai.
Itulah beberapa motif ragam hias yang ada dalam kain
abit godang
dan
parompa sadun
tenunan Sipirok.
3.1.3.
Lapangan Penggunaan
Abit Godang
dan
Parompa Sadun
Dalam Sistem
Sosial.
1. Lapangan penggunaan
abit godang
Abit godang
digunakan sebagai kelengkapan dalam berbagai kegiatan upacara
adat di Tapanuli Selatan, antara lain:
(27)
a.
Sebagai
ulos ni tondi dohot badan
, diserahkan oleh
Mora
kepada
Anak
Borunya.
b.
Sebagai
sabe-sabe
(selendang penari) pada waktu
manortor
pada upacara adat
yang menyertakan tarian tor-tor.
c.
Sebagai penutup hidangan
pangup
a dalam upacara
mangupa
.
Abit Godang
dalam upacara
mangupa
bermakna memberi kehangatan dalam pelaksanaan
pedoman hidup yang disimbolkan oleh materi dalam
pangupa.
d.
Sebagai selimut peti atau keranda jenazah pada upacara kematian. Setelah
jenazah dimasukkan kedalam keranda, maka keranda tersebut ditutup dengan
tiga lembar
abit godang.
e.
Sebagai selimut kayu
bungkulan
(kayu hubungan atap rumah) ketika akan
mendirikan rumah baru.
f.
Sebagai alas persembahan sirih
burangir na hombang
, yaitu sirih yang
digunakan dalam setiap memulai pembicaraan pada sidang adat.
g.
Sebagai pemberian atau barang pegantin wanita yang diberikan oleh orang tua
kepada pengantin wanita pada upacara perkawinan.
2. Lapangan penggunaan
parompa sadun
Parompa sadun
khusus digunakan dalam upacara adat yang berkenaan dengan
kelahiran anak.
Parompa
dimaksudkan sebagai kain gendong, meskipun tidak dipakai
sehari-hari karena yang dipakai untuk menggendong anak sehari-hari adalah kain
(28)
batik panjang. Upacara pemberian kain adat ini disebut
Mangalehen Parompa
yang
diberikan oleh orang tua seorang wanita yang baru dianugerahi anak pertama.
3.2.
Teknologi Produksi
3.2.1.
Bahan Baku
Bahan baku utama kain tenun ulos adalah kapas atau kapok. Bahan baku ini
tidak ditanam di sekitar wilayah Sipirok. Bahan baku yang diperoleh pengrajin tenun
sudah berupa benang. Benang yang menjadi bahan baku yang digunakan pengrajin
tenun terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
a.
Benang Ikat
Benang ikat terdiri dari ikatan-ikatan benang yang belum tergulung melainkan
terurai dalam satu ikatan. Benang jenis ini harus terlebih dahulu diolah atau diproses,
sebelum digunakan oleh pengrajin. Biasanya para pengrajin membelinya satu kotak
atau satu kemasan, dalam satu kemasan berisi 10 ikat benang.
Para pengrajin tradisional yang menggunakan bahan baku jenis benang ikat ini
telah mengenal pembagian kerja atau spesialisasi kerja. Ada yang khusus
pekerjaannya
mangunggas, mangulkul
dan
mangani
. Masing-masing benang ikat
yang telah melewati beberapa proses pekerjaan tambahan agar menjadi benang tenun
siap pakai, dijual dengan harga bervariasi. Umumnya para pengrajin sudah
menggunakan benang yang telah siap tenun ini.
(29)
Benang ball adalah benang jahit biasa berwarna putih (berupa gulungan) yang
biasa digunakan dalam lingkungan rumah tangga. Benang ini digunakan pengrajin
untuk membuat motif atau hiasan
parompa sadun
dan
abit godang
yang menuntut
warna putih. Selain itu, pengrajin juga menggunakan benang sulam (benang yang
biasa digunakan untuk menyulam) yang terdiri dari aneka warna. Warna yang
digunakan pengrajin disesuaikan dengan tuntutan motif atau hiasan
parompa sadun
dan
abit godang
. Benang ball yang digunakan pengrajin dijual secara bebas ada di
pasaran dan dengan mudah didapatkan para penenun.
3.2.2.
Peralatan dan Proses Pembuatan
Peralatan yang digunakan untuk menghasilkan
abit godang
dan
parompa
sadun,
sangatlah sederhana, yakni berupa peralatan yang terbuat dari kayu, bambu
atau batang pelepah enau dan alat pengikatnya berupa rotan, tali ijuk atau tali plastik.
Proses pebuatan kayu, bambu, batang dan pelepah enau menjadi peralatan dan
perlengkapan bertenun, hanya menggunakan alat sederhana, seperti: gergaji, parang,
pisau, martil, ketam, paku atau alat pengikatnya berupa rotan, tali ijuk atau tali
plastik. Keseluruhan bahan-bahan yang digunakan untuk peralatan dan perlengkapan
bertenun dapat diperoleh disekitar kawasan pemukiman pengrajin, dan karena bentuk
dan wujudnya yang sangat sederhana, relatif mudah sehingga kaum laki-laki dapat
membuatnya. Alat tenun tradisional juga tersedia dipasaran. Selain yang tersedia
dipasaran, para pengrajin juga dapat memesannya melalui para “tukang kayu”.
(30)
Peralatan dan perlengkapan tenun tradisional yang sederhana relatif dapat
dipindah-pindahkan, sehingga para pengrajin dapat bertenun sesuai dengan tempat
yang diinginkannya, seperti, pengrajin dapat bertenun di teras rumah, di ruang tengah,
di dapur, dan tempat-tempat lainnya sesuai dengan keinginannya.
Untuk dapat lebih memahami berbagai peralatan tenun tersebut, berikut ini
akan diuraikan proses produksi serta satu persatu bagian-bagian dari peralatan atau
perlengkapan bertenun.
a.
Mangunggas
Mangunggas
adalah kegiatan menganji atau menajin benang yang akan
ditenun supaya keras dan tidak berbulu-bulu dengan menggunakan peralatan
“unggas”.
Bahan yang dipergunakan pada kegiatan
mangunggas
ini adalah nasi
sebanyak tiga kepal, air setengah cangkir, kemiri dua buah, dan air nasi atau tajin
secukupnya.
Pangunggasan
terdiri dari empat bagian peralatan yang utama, yaitu
s
1.
Unggas
yaitu berupa kuas yang terbuat dari ijuk pohon enau yang
berfungsi untuk mengoleskan kanji atau tajin pada benang yag akan
ditenun. Tujuan pengolesan bahan baku benang dengan kanji atau air tajin
adalah supaya benang mengeras dan tidak mudah kusut.
Unggas
juga
berfungsi untuk meratakan bahan pengeras benang menganji.
2.
Hantaran
adalah alat yang dibuat dari kayu dan dipergunakan untuk
menjemur benang yang akan
diunggas
.
3.
Baluhat
merupakan pasangan
hantaran
yang terbuat dari satu ruas bambu
besar berdiameter berkisar 7 cm sampai dengan 10 cm.
Baluhat
sebagai
(31)
tempat penjemuran benang yang diletakkan pada bagian bawah dan
berfungsi pula sebagai pemberat agar benang yang dijemur tetap tegang
dan lebih mudah dikuas serta lebih merata.
4.
Giling-giling
adalah alat yang terbuat dari bambu yang agak kecil dengan
diameter berkisar antara 4 cm sampai dengan 6 cm.
Giling-giling
juga
tempat penjemuran benang yang terletak pada bagian atas.
b.
Manjomur
Manjomur
artinya adalah menjemur.
Manjomur
yaitu proses pengeringan
benang yang sudah selesai dikanji atau
diunggas
dibawah sinar matahari dan tetap
berada pada
pangunggasan.
c.
Mangulkul
Mangulkul
adalah proses menggulung benang yang akan ditenun dan
dikelompokkan sesuai dengan warna dan bagian-bagiannya. Alat untuk
menggulung benang disebut
ulkulan
yaitu berupa baling-baling yang terbuat dari
dua bilah kayu dan dirangkaikan secara menyilang, sehingga berbentuk empat
buah jari-jari yang sama panjang. Pada bagian ujung setiap jari-jari (panjangnya
kira-kira 30 cm) ditempelkan kepingan kayu secara tegak sebagai tempat benang
yang akan
diulkul
atau digulung. Pada pusat jari-jarinya, terdapat sebuah bulatan
kayu yang berfungsi sebagai porosnya. Poros tersebut dibuat pasangannya berupa
bambu yang diameternya lebih besar sedikit lebih poros, sehingga poros tersebut
(32)
benang, baling-baling berputar pada porosnya, dengan demikian penggulungan
mudah dilakukan.
d.
Manghasoli
Manghasoli
adalah proses penggulungan benang pada sepotong bambu yang
dinamakan
hasoli
sehingga membentuk kumparan benang yang siap untuk ditenun.
Hasoli
adalah sebilah bambu berbentuk bulat yang panjangnya kira-kira 20 - 25 cm
dan diameternya kira-kira 0,5 cm. Alat ini berfungsi sebagai gulungan benang atau
gelondong benang. Pada waktu bertenun,
hasoli
dimasukkan ke dalam
turak
, yaitu
seruas bambu yang dibentuk sedemikian rupa sehingga
hasoli
bebas berputar
didalamnya. Kalau dilihat dari segi fungsinya, pada hakekatnya alat ini sama dengan
sekoci pada mesin jahit.
e.
Mangani
Mangani
adalah kegiatan mengatur dan menyusun lungsin (benang yang
terletak memanjang pada kain tenunan) dengan menggunakan alat
anian
, dimana
helai demi helai benang dililitkan pada kerangka atau bingkai
anian
dengan posisi
dan jarak yang dapat diatur sesuai dengan yang dikehendaki.
Anian
terbuat dari kayu
bilahan papan dan berfungsi sebagai ram, yakni untuk tempat mengatur, menyusun
dan memasang lungsin.
f.
Martonun
Martonun
atau bertenun yaitu proses merajut benang menjadi sehelai kain
sesuai dengan ukuran dan ragam hias atau motif. Tahap pekerjaan ini banyak
(33)
dilakukan oleh ibu rumah tangga dan para gadis yang sudah tidak bersekolah lagi
(putus sekolah atau sudah tamat SLTP, tetapi tidak melanjut ketingkat SMA).
Untuk menyelesaikan sehelai kain tenun sangatlah tergantung pada
kemampuan dan keterampilan seorang pengrajin. Lamanya mengerjakan suatu
produk sangat berbeda antara satu pengrajin dengan pengrajin lainnya. Seorang
pemula biasanya mampu menyelesaikan satu produk selama lima hari dengan
ketentuan pengerjaan kira-kira 8 jam per sehari, sedangkan untuk pengrajin yang
sudah terampil atau senior membutuhkan 2 sampai 3 hari untuk menyelesaikan satu
helai kain tenun. Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu produk juga
dipengaruhi oleh banyaknya ragam hias yang bentuk dan jenisnya rumit serta
variasinya banyak, tentu akan memerlukan waktu yang relatif lama. Dengan
demikian, lamanya mengerjakan suatu hasil tenunan, sangat dipengaruhi oleh
kemampuan dan keterampilan seorang pengrajin serta motif dan ragam hias dari
tenunan.
3.2.3.
Hasaya
atau Alat Tenun Tradisional
Sesuai dengan namanya, alat tenun tradisional digunakan oleh penenun sejak
awal mula dikenalnya kegiatan bertenun oleh masyarakat Sipirok.
Hasaya
merupakan
istilah yang digunakan pengrajin yang menunjukkan seperangkat alat yang digunakan
untuk bertenun. Alat tenun
hasaya
merupakan tingkat pertenunan yang masih
menggunakan peralatan-peralatan sederhana dan cara penggunaannya adalah dengan
(34)
cara memangku peralatan tersebut. Hasaya sebagai seperangkat alat tenun terdiri atas
beberapa bagian, yaitu:
•
Guyun
Guyun
adalah alat yang terbuat dari dua bilah kayu bulat yang
diameternya berkisar 0,5 cm – 1 cm dan panjangnya kira-kira 70 cm – 100
cm. Kedua bilah kayu tersebut dijalin oleh untaian benang bercelah-celah,
sehingga menyerupai sisir yang bercelah jarang. Alat ini digunakan untuk
memisahkan benang atas dan benang bawah lungsin. Jadi, pada setiap
celahnya dilewati oleh benang lungsin, sehingga kalau diangkat salat satu
belahan kayunya (belah kayu bagian atas) makan terpisahlah benang lungsin
atas dan benang lungsin bawah.
•
Pagabe
Pagabe
adalah peralatan tenun yang terbuat dari kayu broti berukuran
3 x 4 cm dan panjangnya kira-kira 100 cm. Kayu broti tersebut diketam
sehingga menjadi licin dan rata. Adapun fungsi dari
pagabe
ini adalah sebagai
gulungan kain yang telah selesai ditenun.
•
Pamunggung
Pamunggung
adalah belahan kayu broti yang dibentuk sedemikian
rupa dan pada bagian belakangnya tepatnya bahagian sebelah bawah
punggung sipenenun diberi lengkungan sesuai dengan lengkungan punggung.
(35)
Kayu atau alat ini gunanya adalah sebagai penahan punggung
sipenenun, sehingga tidak bergeser dari posisinya ketika melakukan kegiatan
bertenun. Pada bagian depan sipenenun, tepatnya pada pangkuan (diatas paha)
diletakkan
pagabe
dan kemudian diantara
pagabe
dan
pamunggung
dihubungkan dengan tali pengikat berupa tali plastik atau tali nilon. Jadi,
posisi pinggang sipenenun ketika bertenun berada pada celah antara
pagabe
dan
pamunggung.
•
Tadokan
Dalam kegiatan bertenun, seperangkat peralatan tenun tersebut
sebagian berada pada posisi diatas kaki dan paha si pengrajin (seolah-olah
dipangku) dan waktu melakukan kegiatan bertenun, posisi si pengrajin adalah
duduk dengan kaki dijulurkan ke depan menghadapi tenunannya. Posisi kaki
yang menjulur persis berada di bawah benang lungsin. Dalam posisi yang
demikian, posisi telapak kaki yang terbuka memerlukan pijakan, supaya
tangan bertenaga melakukan hentakan-hentakan ketika bertenun. Pijakan
telapak kaki inilah yang dinamakan
tadokan
.
Tadokan
ini biasanya berupa
bilah papan yang lebar dan panjangnya disesuaikan dengan ukuran telapak
kaki. Bilah papan tersebut disanggah oleh dua potong kayu broti yang
berukuran 3 x 4 cm dan panjangnya kira-kira 20 – 30 cm. Dengan bentuk
yang demikian, kelihatannya menyerupai bangku kecil hanya saja
(36)
bergerak-gerak ketika dipijak. Dengan posisi yang demikian, letak duduk dan
kaki sipenenun menjadi tetap (tidak berubah-ubah).
•
Pemapan
Pemapan
adalah berupa kayu broti atau bambu bulat yang biasanya
dipakukan ke dinding rumah (tempat bertenun), panjang dan besarnya
disesuaikan dengan peralatan tenun. Alat ini berfungsi sebagai penahan
peralatan tenun supaya tidak bergeser pada waktu kegiatan bertenun
dilakukan. Pada
pemapan
inilah diikatkan peralatan tenun, terutama diikatkan
pada “
hapit
”, yaitu berupa dua buah potongan kayu dengan permukaan rata
disatukan, sehingga dapat menjepit benang lungsin.
•
Tipak, Balobas, Pambirbir
, dan
Corot
Keempat alat ini terdiri dari bilahan papan tipis yang rata, yang
digunakan untuk memisah-misahkan benang lungsin ketika melakukan
pembuatan motif atau hiasan kain yang akan ditenun.
3.3.
Modal
Modal merupakan hal yang sangat penting bagi kegiatan usaha. Demikian juga
halnya modal dalam kegiatan bertenun pada masyarakat Sipirok. Modal bagi
masyarakat pengrajin di Sipirok tidak hanya mencakup uang saja, akan tetapi modal
juga dapat diartikan sebagai keahlian atau keterampilan dalam bertenun, yang dapat
diperoleh melalui pelatihan langsung yang diajarkan oleh penenun yang sudah ahli.
(37)
Dalam proses bertenun, modal bagi masyarakat Sipirok terdiri dari modal tetap
dan modal berjalan. Modal tetap adalah modal yang tidak habis dalam sekali pakai
dalam proses produksi, yang terdiri dari peralatan serta sarana untuk bertenun, yang
umumnya disebut dengan
hasaya
oleh masyarakat Sipirok. Modal tetap ini umumnya
dimiliki masing-masing penenun karena sifatnya yang masih tradisional dapat dengan
mudah dibuat oleh kaum laki-laki di Sipirok dengan menggunakan peralatan yang
terdapat di sekitar kawasan tempat tinggal masyarakat Sipirok. Modal berjalan adalah
modal yang membiayai pelaksanaan proses produksi, yaitu untuk membeli bahan
baku dan biaya operasional lainnya.
Modal usaha dalam pembuatan
abit godang
dan
parompa sadun
umumnya
berasal dari modal milik sendiri. Modal milik sendiri adalah modal awal untuk proses
menenun yang bersumber dari keuangan pribadi para penenun sendiri. Penggunaan
abit godang
dan
parompa sadun
yang masih dalam konteks pelengkap kegiatan
upacara adat, maka para konsumennya adalah masyarakat pendukungnya yang dalam
hal ini masih terbatas pada masyarakat Angkola-Mandailing. Sehingga jumlah
produksi
abit godang
dan
parompa sadun
ketika itu masih sedikit dan kegiatan
bertenun dilakukan apabila terdapat pesanan dari konsumen. Untuk memesan
abit
godang
dan
parompa sadun
, umumnya konsumen langsung menemui para penenun
di Sipirok tanpa adanya orang perantara. Jikalaupun menggunakan seorang perantara,
dapat dipastikan bahwa konsumen merupakan perantauan diluar daerah Angkola-
(38)
Selain modal milik sendiri, terdapat modal yang diperoleh melalui pinjaman
dari saudara atau keluarga. Modal pinjaman ini merupakan tambahan untuk modal
milik sendiri. Hal ini terjadi apabila penenun tidak memiliki sejumlah uang yang
cukup untuk proses bertenun yang masih berkelanjutan. Peminjaman juga dapat
dilakukan pada konsumen yang melakukan pemesanan
abit godang
dan
parompa
sadun,
dan perhitungan pengembalian pinjaman tersebut akan diperhitungkan setelah
pesanan
abit godang
atau
parompa sadun
tersebut selesai.
3.4.
Tenaga Kerja
Berbeda dengan jenis usaha lainnya, kegiatan bertenun di daerah Sipirok
merupakan pekerjaan khas wanita. Para penenun beranggapan bahwa pekerjaan
bertenun merupakan bidang pekerjaan yang hanya sesuai untuk wanita, salah satunya
karena dalam mengerjakan tenunan dibutuhkan kesabaran yang tinggi sehingga kaum
pria dianggap tidak mampu melakukannya, dan seorang pria yang mau melakukan
pekerjaan itu dianggap aneh dan bahkan memiliki kelainan. Akan tetapi, anggapan
yang demikian hanya berlaku pada proses produksi, sedangkan pada proses
pemasaran kain hasil tenunan kehadiran pria tidak dianggap aneh sama sekali.
Para pengrajin di Sipirok terdiri dari anak-anak gadis juga ibu-ibu rumah
tangga. Anank-anak gadislah yang paling banyak menjadikan kegiatan bertenun ini
sebagai lapangan pekerjannya untuk mencari uang. Anak-anak gadis yang berprofesi
sebagai penenun ini umumnya tamatan sekolah tingkat SLTP dan SMA, yang tidak
melanjutkan pendidikannya lagi. Mereka lebih memilih bertenun sebagai bidang
(39)
pekerjaan ketimbang bekerja disektor pertanian. Bertenun tidak mengharuskan
seseorang bekerja sesuai dengan aturan musim, juga tidak menuntut jam kerja yang
ketat, dan dapat dilakukan di rumah sendiri pada sembarang waktu. Hal ini menjadi
salah satu alasan pendorong bagi anak gadis di Sipirok untuk menjadi seorang
penenun.
Berbeda halnya dengan para ibu rumah tangga yang menjadikan bertenun kain
abit godang
dan
parompa sadun
sebagai usaha sambilan. Mereka ini memilih waktu
bertenun yang disesuaikan dengan kesibukan-kesibukan di sawah. Kegiatan bertenun
umumnya dilakukan oleh para ibu rumah tangga selepas kegiatan menanam padi
sampai musim panen. Hal ini dikarenakan intensitas pekerjaan di sawah menurun
sehingga mereka punya banyak waktu kosong yang kemudian dimanfaatkan untuk
kegiatan bertenun. Seperti yang sudah penulis jelaskan bahwa dalam kegiatan
bertenun terdiri dari beberapa tahap. Ibu-ibu yang tergolong dalam kategori ini
(menjadikan kegiatan pertenunan sebagai sampingan) tidak memilih tahapan
martonun
karena membutuhkan waktu yang lama, mereka pada umumnya
mengerjakan tahapan-tahapan yang lebih ringan dan sedikit waktu kerja saja seperti
mangunggas, mangulkul
atau
mangani.
Diantara mereka juga memilih bidang
pekerjaan ini karena sebagian dari mereka tidak memiliki keahlian dalam hal
bertenun. Sedangkan para anak-anak gadis umumnya lebih berkonsentrasi pada
tahapan
manonun
atau bertenun dan
manyimatai
atau memasang manik-manik.
(40)
bisa belajar dari ibunya yang pandai dan pernah menjadi penenun. Selain itu, juga
bisa belajar kepada kerabat, teman atau bahkan pada seorang pelatih. Belajar kepada
seorang teman atau pelatih biasanya berlaku aturan pengupahan, yaitu berupa beras 1
sampai 3 kaleng
343.5.
Jaringan Pemasaran
sampai yang bersangkutan pandai. Selain itu ada juga sistem
pengupahan dimana 3 lembar kain hasil tenunan pertama akan menjadi hak milik
yang mengajari calon penenun. Setelah pandai atau cukup mampu, seorang gadis
akan mulai menekuni pekerjaannya sebagai penenun.
Seperti yang telah penulis jelaskan,
abit godang
dan
parompa sadun
adalah dua
jenis kain yang digolongkan sebagai kain adat di daerah Tapanuli Selatan. Keduanya
terikat oleh aturan-aturan adat dalam hal penggunaannya. Konsumen utama untuk
kedua jenis kain adat ini adalah warga pendukung budaya dimana kain tersebut eksis,
yaitu masyarakat Tapanuli Selatan, baik yang mengidentifikasi dirinya sebagai
Angkola, Sipirok, Mandailing, Padang Bolak, Padang Lawas, dan lain-lain.
34
(41)
BAB IV
PERKEMBANGAN PERTENUNAN DI SIPIROK 1980-2006
Kain tenun dalam perkembangannya melalui banyak proses interen dan
eksteren sehingga mampu bertahan hingga pada saat sekarang ini. Dalam melihat
suatu perkembangan yang berarti membawa perubahan, terdapat beberapa aspek
yang harus diperhatikan hingga perubahan tersebut terjadi.
Kain tenun hasil produksi masyarakat Sipirok awalnya hanya terdiri dari dua
jenis yaitu
Abit Godang
dan
Parompa Sadun
, mempunyai kedudukan istimewa dan
memiliki makna simbolis dan filosofis sesuai dengan tatanan budaya yang lazim
berlaku dalam kehidupan masyarakat Sipirok. Pilihan warna, desain, corak, dan
ukurannya selalu mengikuti standar yang sudah baku, yang dilandasi sistem makna
yang harus didukungnya. Akan tetapi, seiring dengan terjadinya berbagai perubahan
sosial dan budaya pada masyarakat Sipirok, kegiatan dan tujuan pertenunan agaknya
juga mengalami proses transformasi.
Perubahan itu dapat dilihat dari desain atau corak kain tenun yang dihasilkan
dan juga arah pendistribusiannya. Kini muncul berbagai desain kreasi baru yang tidak
lagi sepenuhnya konsisten dan terikat pada standar baku sebagaimana dicerminkan
oleh kain tenun produksi tempo dulu,
abit godang
dan
parompa sadun
. Produk kain
tenun kini disesuaikan dengan selera konsumen, baik motif, warna maupun bahan
kain tenun. Pemanfaatan kain tenun juga tidak hanya terbatas pada konteks adat, akan
(42)
tetapi sudah dipergunakan untuk keperluan lain misalnya sebagai cinderamata atau
souvenir
.
Adanya transformasi nilai budaya memungkinkan usaha pertenunan
berkembang dan usaha seperti ini telah menemukan dimensi baru dalam kehidupan
masyarakat Sipirok, karena produksi mereka tidak hanya diarahkan untuk konsumen
setempat yang memerlukannya dalam berbagai aktivitas upacara adat melainkan juga
diarahkan ke pasar yang lebih luas.
4.1. Alat Tenun Bukan Mesin
Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) adalah alat tenun dengan tingkat teknologi
pertenunan yang sudah lebih maju, menggunakan peralatan rangka kayu yang
gerakan mekanisnya dihasilkan oleh tenaga manusia.
35Hadirnya Alat Tenun Bukan Mesin diantara para pengrajin tenun Sipirok
adalah salah satu bentuk dukungan pemerintah daerah Kabupaten Tapanuli Selatan.
Alat Tenun Bukan Mesin ini pertama kali diberikan oleh pemerintah daerah
Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 1985 sebanyak 20 unit, yang masing –
Alat ini merupakan
perombakan dari alat berpenahan pinggang menjadi alat penggerak kaki. Alat Tenun
Bukan Mesin ini digerakkan oleh injakan kaki yang mengatur naik turunnya benang,
yang dipergunakan sambil duduk di kursi yang menyatu dengan kerangka kayu Alat
Tenun Bukan Mesin ini.
35
Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi/UKM Kabupaten Tapanuli Selatan,
Standarisasi dan Proses Produksi Kerajinan Tenun dan Manik, Tanpa Kota dan Penerbit, 2008, hal. 17.
(43)
masing berharga Rp. 350.000,-. Bantuan ATBM tersebut antara lain diberikan kepada
pengrajin di desa Hutasuhut (8 unit), Silangge (6 unit), Padang Bujur (2 unit),
Pangurabaan (1 unit), Baringin (2 unit), dan Paran Padang (1 unit).
36Alat Tenun Bukan Mesin yang digunakan oleh masyarakat penenun di Sipirok
adalah Alat Tenun Bukan Mesin jenis dobby. Alat tenun ini adalah alat tenun yang
umum ditemukan dikerajinan tenun di Sumatera Utara. Alat tenun jenis ini dapat
menghasilkan beberapa macam corak serta anyaman, dimana alat ini dapat dilengkapi
dengan 16 buah gun.
Alat Tenun
Bukan Mesin ini lebih dikenal masyarakat Sipirok dengan sebutan Silungkang,
sehingga kain tenunan dari hasil alat tenun ini juga dikenal sebagai kain tenun
Silungkang oleh masyarakat Sipirok.
37
1.
Jugukan
atau tempat duduk ketika sedang menenun. Pada alat tenun ini
dilengkapi dengan tempat duduk yang menyatu dengan alat tenun.
Penganekaragaman jenis produksi tenun seperti kain sarung
atau songket, hiasan dinding, taplak meja, gorden, sajadah, bakal baju dan
sebagainya, dimulai dari pengenalan alat tenun jenis ini.
Berikut ini akan dijelaskan bagian-bagian serta fungsi-fungsi yang terdapat
pada Alat Tenun Bukan Mesin, yaitu:
36
(44)
2.
Gun atau Guyun
, adalah bagian alat tenun yang terdiri dari empat buah, yang
biasanya terbuat dari kawat baja untuk menyusun benang. Gun berfungsi
untuk mengatur naik turunnya benang ketika berlangsung proses menenun.
3.
Suri
atau sisir tenunan yang berfungsi untuk merapatkan benang sewaktu
terjadi proses menenun kain.
4.
Tijak-tijak,
yaitu alat untuk mengatur naik turunnya
gun
ketika terjadi proses
menenun, alat ini diinjak dengan kaki untuk menurun dan menaikkan
gun
sebagai kontrol benang dan motif.
5.
Teropong,
sebagai tempat atau alat pembawa palet pada waktu terjadi
peluncuran benang atau penjalinan benang. Bentuk dan besarnya teropong
harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga dapat menjalin benang dengan
baik.
6.
Boom,
adalah alat untuk penggulung benang lungsin.
Boom
memiliki panjang
140 sampai 150 cm, dan lebar 20 cm dengan ketebalan 4 cm. Boom
dipasangkan pada dua buah balok yang dipahat.
Alat Tenun Bukan Mesin ini dapat menghasilkan lembaran kain ukuran 2,5
meter dengan kisaran harga Rp. 200.000,- hingga Rp. 500.000,-, akan tetapi, terdapat
juga dengan harga diatas Rp. 1.000.000,- sesuai dengan penggunaan bahan dasar kain
tenun tersebut.
Pertambahan jumlah Alat Tenun Bukan Mesin ini selanjutnya sangat
dipengaruhi oleh keberadaan toke ataupun pengusaha kain tenun ini. Para toke
(45)
ataupun Pengusaha kain tenun ini membeli Alat Tenun Bukan Mesin ini secara
pribadi melalui untung yang diperoleh dari hasil penjualan kain tenun sebelumnya.
4.2. Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam kerajinan tenun ATBM adalah benang
polyster yaitu benang jahit biasa yang berwarna-warni dan telah tergulung pada
gulungan berupa pipa plastik atau kertas. Satu gulung benang biasanya panjangnya
mencapai sekitar 20 meter. Benang ini adalah benang yang sudah siap pakai untuk
digunakan pengrajin. Benang tekstil polyster yang umum digunakan merupakan
benang bernomor rendah yaitu sekitar Ne
120-30.
381.
Pengelosan,
yaitu proses pembersihan benang yang umumnya masih kotor
sekaligus meratakan diameter atau gulungan benang yang tidak sama.
Kain yang dibuat dengan cara ditenun, memiliki dua arah serat benang yang
saling berlawanan, yaitu benang lungsin (benang yang disusun lurus secara vertikal)
dan benang pakan (benang yang disusun lurus secara horizontal). Dua set benang ini
saling menyeberang atau menyilang satu sama lainnya sehingga membentuk garis
kotak-kotak. Pada proses persiapan pertenunan, dilakukan beberapa perlakuan
terhadap benang tunggal yang akan dijadikan benang lungsin, yaitu:
2.
Penghanian,
yaitu penggulungan atau pengaturan benang-benang lungsin
pada
boom
dengan sistem penggulungan sejajar.
(46)
3.
Penganjian,
yang bertujuan untuk meningkatkan daya tenun benang yang
akan digunakan sebagai benang lungsin. Penganjian ini menjadikan benang
lebih licin, daya tahan benang terhadap gesekan bertambah dan benang
menjadi lebih kompak.
4.
Pencucukan, yaitu proses memasukkan benang lungsin dari
boom
lungsin ke
dalam lubang mata
gun
dan lubang lungsin. Pencucukan dilakukan sebelum
penggulungan benang pada
boom
lungsin dipasang untuk diatur sedemikian
rupa.
5.
Pemaletan,
yaitu penggulungan benang dalam bentuk benang pakan.
4.3 Modal
Dalam perkembangan kegiatan usaha pertenunan di Sipirok, modal dapat
diperoleh dari berbagai sumber. Perolehan modal awalnya berasal dari modal milik
sendiri, dan ditambah dengan modal yang diperoleh melalui pinjaman dari saudara.
Selanjutnya, sejalan dengan perkembangan kegiatan usaha pertenunan di Sipirok
maka perolehan modal pun kian bertambah, yaitu
1.
Modal sendiri ditambah pinjaman dari toke
Sistem ini merupakan sistem yang sangat sering terjadi antara penenun
dengan toke. Ketika toke memesan kain tenun pada penenun, maka akan disertai
dengan bantuan pinjaman modal finansial yang dikenal dengan istilah uang muka.
Modal tersebut digunakan oleh penenun terutama digunakan untuk membiayai
kebutuhan hidup seharai-hari. Walaupun berbentuk pinjaman, namun dalam
(47)
pengembaliannya tidak disertai dengan bunga uang. Pinjaman uang tersebut akan
diperhitungkan ketika pengerjaan kain tenun selesai. Penenun akan memperoleh upah
dari pembuatan kain tenun setelah dikurangi dengan jumlah pinjaman yang telah
dilakukan sebelumnya.
Transaksi pinjam meminjam uang ini juga dapat terjadi apabila penenun
membutuhkan uang untuk keperluan yang mendesak diluar dari kebutuhan menenun.
Pinjaman tersebut dilakukan karena adanya hubungan saling percaya antara
keduanya. Pinjaman oleh toke tidak mensyaratkan berbagai ketentuan seperti
jaminan, bunga, dan tidak membutuhkan waktu yang lama, dan pengembalian dapat
dilakukan dengan tunai atau pun secara berangsur. Oleh karenanya, para toke
seringkali dianggap sebagai “bapak angkat” bagi para penenun di Sipirok. Hal ini
dapat dijadikan sebagai instrumen untuk memelihara loyalitas dan keterikatan para
penenun tersebut kepada toke.
2.
Modal sendiri ditambah pinjaman dari perusahaan atau pemerintah
Modal ini diberikan langsung kepada penenun yang tergabung dalam suatu
kelompok dengan ketentuan pengembaliannya dilakukan secara berangsur, dan dana
tersebut akan dilakukan dengan sistem bergilir. Sejak tahun 1985 hingga tahun 1990
Bidang Pendidikan Masyarakat Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Tapanuli Selatan memberikan bantuan modal dan pembinaaan terhadap para
(48)
penenun. Bantuan diberikan melalui program Paket Kejar Usaha dengan bantuan
dana sebesar Rp. 200.000,- untuk tiap kelompok yang terdiri dari 5 orang.
394.4. Tenaga Kerja
Para penenun yang menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin tidak berbeda
dengan penenun yang menggunakan alat tenun
Hasaya,
yaitu para perempuan di
Sipirok. Sebagian perempuan di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan,
tidak lagi harus menjual beras setiap kali belanja ke pasar. Pemasukan dari menenun
dapat digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Anak gadis yang masih
sekolah dapat membantu membiayai kebutuhan sekolahnya sendiri dan anak gadis
yang sudah menyelesaikan sekolahnya (umumnya tingkat SMA atau berhenti hanya
pada tingkat SLTP) menjadikan bertenun sebagai kegiatan mata pencaharian untuk
membantu perekonomian keluarganya. Meskipun belum ada ukuran pasti atau data
statistik yang menunjukkan berapa tingkat kesejahteraan masyarakat Sipirok yang
terdongkrak dari kegiatan bertenun ini. Secara perlahan, kegiatan bertenun yang
awalnya hanya pekerjaan sampingan beralih menjadi mata pencaharian utama.
Berikut ini adalah gambaran tentang jumlah pengrajin atau tenaga kerja yang
berprofesi sebagai penenun di Sipirok. Data yang dikemukakan bukan data statistik
resmi, melainkan hanya angka taksiran oleh informasi yang menurut bersangkutan
banyak mengetahui keadaan kegiatan pertenunan di Sipirok.
39
(49)
Tabel III. 1
JUMLAH PENGRAJIN KAIN TENUN SIPIROK (1988)
No.
Desa
Jumlah Pengrajin (orang)
1
Silangge
26
2
Sigiring – giring
30
3
Paran Julu
300
4
Bagas Lombang
125
5
Pangurabaan
78
6
Purba Sinomba
40
7
Aturmangan
40
8
Purbatua
25
9
Hutasuhut
100
10
Padang Bujur
250
11
Sampean
20
12
Baringan
10
13
Paran Padang
20
14
Huraba
10
15
Padang Bulan
20
16
Sigelgel
20
17
Tanjung Medan
10
18
Poldung
20
19
Bulumario
20
20
Bagasnagodang
100
Jumlah
1.264 orang
Sumber
: Wawancara dengan Bapak Humuntal Sitompul BkTeks, Staf kantor
Dinas Perindustrian Tapanuli Selatan yang khusus membidangi pembinaan Kerajinan
Tenun di Sipirok. Tgl. 11-9-1992.
40Selanjutnya, tidak pernah dilakukan lagi pencatatan rutin tentang perkembangan
kegiatan pengrajin dan jumlahnya sehingga gambaran mengenai hal itu tidak
diperoleh dengan baik.
(50)
4.4.1.Hubungan Penenun dengan Toke
Toke kaitannya dengan penenun dalam bidang ketenagakerjaan lebih pada
upaya memanfaatkan keahlian yang telah dimiliki penenun, dapat dikatakan tidak ada
suatuupaya atau proses pembentukan tenaga kerja dengan cara yang sistematis oleh
toke kepada penenun, bahkan toke sendiri belum tentu memiliki kemampuan dalam
hal bertenun.
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Sipirok, sistem hubungan
yang terjadi antara penenun dengan toke dalam pengerjaan kain tenun terjadi secara
spontan, informal dan tidak tertulis. Kesepakatan yang terjadi lebih berdasarkan pada
hubungan kepercayaan. Hubungan ini terbentuk atas dasar kebutuhan internal, yang
terjadi tanpa diprogramkan terlebih dahulu, dan muncul sebagai akibat dari kegiatan
ekonomi itu sendiri atau adanya suatu motif ekonomi dalam usaha mengembangkan
kerajinan tenun oleh masyarakat Sipirok. Hubungan yang terjalin dan mengikat antara
penenun dengan toke ini akan dapat memberikan dan saling mengisi keterbatasan
masing-masing dalam penguasaan faktor-faktor produksi seperti pemasaran, bahan
baku, tenaga kerja dan permodalan.
Hubungan yang terjadi antara penenun dan toke lebih pada proses pengerjaan
kain tenun yang sepenuhnya dilakukan oleh penenun dan toke melakukan kegiatan
pemasaran kepada konsumen. Dengan sumber-sumber input seperti modal dan bahan
baku sepenuhnya disiapkan oleh toke dan disampaikan kepada penenun bersamaan
ketika terjadi transaksi pemesanan kain tenun.
(51)
Hubungan yang terjalin antara penenun dan toke pada akhirnya akan
memperlihatkan bagaimana posisi kedua belah pihak, baik
partonun
maupun toke
dalam menjalani suatu usaha yang sama yaitu industri kerajinan tenun dan bagaimana
hubungan tersebut berakibat pada usaha mereka masing-masing.
4.4.2. Pengupahan
Pada prakteknya sistem kerja pertenunan di Sipirok hampir mirip dengan
sistem kerja yang berlaku di perusahaan manufaktur, dimana setiap pekerja
mengambil bagian kerja tertentu dan diupah berdasarkan kategori pekerjaannya.
Jumlah upah yang berlaku untuk masing-masing bagian pekerjaan sangat bervariasi,
tergantung pada faktor kesulitan/ kerumitan kerjanya, dan banyaknya waktu yang
diperlukan untuk penyelesaiannya.
Tentu merupakan suatu hal yang lazim bahwa pendapatan yang diperoleh oleh
masing-masing penenun dari upah kerjanya sangat beragam, karena hal ini sangat
bergantung pada kecepatan, kerajinan, kerapian, dan kehalusan tenunan, dan juga
kualitas kain tenun yang dihasilkan. Selain karena bahannya terpilih, kualitas
tenunannya halus dan rapi, maka upah pembuatannya juga lebih tinggi.
Pembayaran upah biasanya berlangsung pada hari Rabu yaitu sehari
menjelang hari pekan di Pasar Sipirok. Hari itu merupakan hari yang sibuk bagi
seorang toke, karena selain harus membayar gaji para penenun, pada kesempatan itu
pula akan didistribusikan berbagai bahan yang diperlukan penenun untuk pekerjaan
(52)
bekerja selama seminggu dan akan terobati dengan menerima upah yang menjadi
haknya. Dan hari berikutnya, yaitu pada hari pekan, para penenun benar-benar bebas
dari urusan bertenun.
4.5. Modifikasi Kain Tenun
Kegiatan usaha pertenunan di Sipirok, sebagai bagian dari kebudayaan
masyarakat Tapanuli Selatan yang dinamis, juga memperlihatkan gerak perubahan
dan penyesuaian dengan tantangan zaman yang sedang berubah.
Penggunaan kreatifitas imajinasi dapat diimplementasikan para penenun pada
hasil tenunan menggunakan ATBM. Hal ini tentu tidak dapat digunakan oleh
penenun yang menggunakan
hasaya
dalam memproduksi
abit godang
dan
parompa
sadun,
yang sudah mutlak menggunakan motif-motif baku. Oleh karenanya,
pengenalan ATBM kepada penenun di Sipirok membuka cakrawala baru dalam
kegiatan usaha pertenunan di Sipirok. Alat tenun ini memang tidak dipergunakan
untuk memproduksi
abit godang
dan
parompa sadun
, melainkan untuk memproduksi
kain songket, bakal baju, hiasan dinding dan sebagainya.
Penggunaan ATBM menghasilkan produk-produk baru yang tidak termasuk
dalam kategori kain adat. Proses pengerjaan juga semakin singkat, karena bahan baku
yang digunakan terutama benangnya sudah menggunakan benang polyster dan tidak
perlu dicelup lagi seperti halnya dalam pembuatan
abit godang
dan
parompa sadun.
Meski pada kenyataannya motif hias yang dibuat masih banyak menirukan
motif-motif yang terdapat pada kain adat
abit godang
dan
parompa sadun
, seperti
(53)
motif ragam hias
pusuk robung,
bunga ros,
lus-lus, jojak
dan sebagainya. Akan tetapi,
kebebasan berkreasi lebih luas bagi para penenun, termasuk dalam hal pemilihan
warna dan penentuan motif ragam hias.
4.6. Diversifikasi Jenis Produksi
Kain tenun yang dihasilkan dengan menggunakan alat ATBM sudah beraneka
ragam, seperti kain bakal baju, kain songket, sajadah, gorden dari kain tenun, kemeja
tenun,hiasan dinding dan sebagainya, dengan menggunakan corak khas yang diambil
dari motif kain adat. Produk-produk yang demikian banyak dibuat oleh penenun yang
menggunakan ATBM, misalnya yang terdapat di Hutasuhut, Silangge, Pangurabaan
dan Baringin. Dibeberapa desa di Sipirok hingga kini masih terdapat beberapa unit
ATMB bantuan Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan yang masih
produktif, disamping ATBM milik pribadi para toke atau pengusaha kain tenun di
Sipirok.
4.7. Prospek Jaringan Pemasaran Produk
Pasar merupakan faktor yang sangat penting bagi kalangan penenun untuk
dapat menjual produk-produk yang dihasilkan. Tanpa terbukanya pasar yang luas
maka usaha yang mereka geluti tidak akan bertahan atau berkembang.
Dalam aspek jaringan pemasaran kain tenunan, pelaku yang terlibat
didalamnya sedikitnya ada tiga yaitu konsumen, toke dan penenun. Konsumen yang
menjadi tujuan ataupun sasaran dari penjualan tenun dapat memesan langsung kepada
(54)
untuk melakukan pesanan tenun kepada penenun dan kemudian meneruskannya
kepada pedagang di pasar atau konsumen. Kemudian penenun, yaitu yang bekerja
untuk menenun kain namun dalam suatu waktu dapat juga bertindak sebagai penjual.
Konsumen utama untuk tenun kain Sipirok ini adalah warga pendukung
budaya dimana kain tersebut eksis, yaitu masyarakat Tapanuli Selatan. Akan tetapi
tidak menutup kemungkinan masyarakat diluar yang mengidentifikasikannya sebagai
penduduk asli Tapanuli Selatan. Hal ini dikarenakan penganekaragaman produksi
yang dilakukan, yang kini lebih kepada kekinian (fashionable) juga dalam bentuk
souvenir
/ hiasan. Sehingga selain pemasaran diwilayah-wilayah masyarakat
pendukungnya, wilayah-wilayah yang menjadi kawasan wisata merupakan salah satu
sasaran pemasaran produk tenun Sipirok. Seperti di Parapat, Porsea, Tarutung,
pematang Siantar, Medan hingga Jakarta.
Selain itu oleh Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan serta Dewan
Kerajinan dan Kesenian Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, juga memberikan
berbagai kesempatan berupa keikutsertaan dalam pameran yang diadakan secara rutin
yang juga menjadi ajang promosi dan pemasaan hasil produksi tenunan Sipirok.
Misalnya kesempatan pameran pembangunan di Kabupaten Tapanuli Selatan, Medan
Fair, Pesta Danau Toba, Jakarta Fair dan sejenisnya.
Semua kesempatan demikian secara langsung maupun tidak langsung
membawa dampak positif dalam menunjang pemasaran hasil produksi pertenunan
Sipirok. Jaringan pemasaran yang semakin meluas itu pada gilirannya mendorong
kegairahan berusaha para penenun.
(55)
BAB V
PERANAN PEMERINTAH DALAM PERKEMBANGAN PERTENUNAN DI
SIPIROK 1980-2006
5.1 Memberdayakan Wanita Sipirok
Secara konseptual, memberdayakan (
empowerment
) berasal dari kata ‘power’
yang berarti kekuasaan. Karenanya, ide utama memberdayakan bersentuhan dengan
konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita
untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan
dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan
dengan pengaruh dan kontrol.
Dengan demikian, memberdayakan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai
proses, memberdayakan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan
atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk idividu-individu
yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka memberdayakan
menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial,
yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan
dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik,
ekonomi, maupun sosial serta memiliki kepercayaa diri, mampu menyampaikan
(56)
aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan
mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
41Pemberdayaan wanita Sipirok oleh pemerintah daerah dalam kegiatan
bertenun pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
tiap keluarga di Sipirok, yang pada akhirnya diharapkan membawa dampak yang
positif bagi daerah Tapanuli Selatan terkhusus wilayah Kecamatan Sipirok. Meskipun
Dari penjabaran diatas, hal ini dapat terlihat pada masyarakat Sipirok
diberdayakan oleh pemerintah daerah. Pemberdayaan maasyarakat Sipirok oleh
pemerintah daerah adalah bertujuan untuk mengupayakan tingkat kesejahteraan yang
lebih baik bagi masayarakat Sipirok. Masyarakat Sipirok adalah masyarakat yang
sangat bergantung pada sektor pertanian, padahal jika dilihat dari keadaan geografis
wilayah Sipirok bukan merupakan wilayah yang luas untuk kegiatan pertanian. Selain
itu waktu luang yang dimiliki petani ketika selesai menanam padi begitu banyak.
Sehingga agar waktu luang ini dapat menghasilkan perlu dilakukan kegiatan yang
positif.
Seperti yang sudah diketahui pertenunan sudah sejak lama dilakukan oleh
masyarakat Sipirok, sehingga kegiatan bertani sering diselingi dengan kegiatan
bertenun. Oleh pemerintah daerah melihat peluang ini, agar dapat memberdayakan
wanita Sipirok, baik yang berprofesi sebagai petani maupun anak gadis yang putus
sekolah atau pengangguran.
41
Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Refika Aditama: Bandung, 2009, hal. 59-60.
(57)
data statistik mengenai pengaruh pertenunan terhadap tingkat kesejahteraan keluarga
di Sipirok belum dapat didata/ diprediksi. Akan tetapi melihat banyaknya wanita
Sipirok yang diberdayakan menjadi penenun terus menerus bertambah setiap
tahunnya.
5.2. Bantuan Alat Tenun Bukan Mesin
Perkembangan tenun di Sipirok jelas tampak dimulai pada tahun 1980 ketika
pemerintah daerah melalui Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan
membagikan Alat Tenun Bukan Mesin kepada penenun sebanyak 20 unit yang
terbagi dalam beberapa wilayah desa di Sipirok untuk meningkatkan usaha bertenun
ini. Hal ini sudah penulis jelaskan secara detail diatas. Kemudian, pemberian Alat
Tenun Bukan Mesin kepada penenun dilakukan kembali pada tahun 1996 dan 2002,
yang disebar ke penenun diberbagai desa di Kecamatan Sipirok, akan tetapi tidak
diketahui secara pasti total Alat Tenun Bukan Mesin yang dibagikan dan wilayah
penyebarannya.
42Beberapa dari Alat Tenun Bukan Mesin bantuan pemerintah ini hingga kini
masih produktif. Ditambah dengan jumlah Alat Tenun Bukan Mesin milik pribadi
para pengusaha atau toke yang kerap kali menjadi “bapak angkat” para penenun di
Sipirok. Pembelian Alat Tenun Bukan Mesin ini oleh para toke merupakan laba dari
penjualan kain tenunan sebelumnya.
(58)
Sesungguhnya, pada tahun 1991 terdapat PT. Indosat yang juga melibatkan
diri dalam kegiatan pertenunan di Sipirok. PT. Indosat pada masanya dikenal sebagai
“bapak angkat” bagi penenun di Sipirok. Keterlibatan PT. Indosat dalam
perkembangan pertenunan di Sipirok merupakan realisasi dari program
Marsipature
Huta Na Be
(Martabe) yang mengandung arti Saling Memperbaiki Kampung
Masing-Masing. Program pembangunan ini merupakan gagasan salah satu Gubernur
Sumatera Utara saat itu, Raja Inal Siregar. PT. Indosat membangun dua unit balai
pertenunan permanen di desa Bunga Bondar dan Padang Bujur. Peralatan yang
digunakan di balai pertenunan PT. Indosat ini adalah Alat Tenun Bukan Mesin,
dengan total 15 unit ATBM. Kegiatan pertenunan mitra usaha PT. Indosaat membuat
produk yang lebih beraneka ragam. Antara lain produk tenunan yang digunakan
sebagai hiasan dinding, alas meja, tikar/ alas sembahyang, dan lain-lain.
43Dalam
membuat produk tenunan, para penenun disini sudah mengikuti pola atau desain
tertentu sesuai dengan yang dipesankan oleh PT. Indosat yang berpusat di Medan.
Motif ragam hias masih menirukan motif ragam hias kain adat, akan tetapi beberapa
motif sudah dimodifikasi sedemikian rupa menjadi motif atau ragam hias baru.
44
43
Ahmad Husin Ritonga,dkk., op.cit., hal. 114.
44
Ibid., hal. 116-117.
Awal tahun 2000-an tanpa diketahui alasan yang pasti balai pertenunan ini
menghentikan proses produksinya hingga hanya meninggalkan bangunan yang tak
terawat lagi.
(59)
5.3 Pelatihan Tenaga Kerja
Proses belajar menenun biasnaya berlangsung sekitar 1 bulan, tergantung pada
tingkat apresiasi dan bakat seseorang dalam menerima pelajaran/ latihan. Setelah
pandai atau cukup mampu, seorang gadis akan mulai menekuni pekerjaannya sebagai
penenun.
Ketika Alat Tenun Bukan Mesin sudah diperkenalkan kepada para penenun di
Sipirok, oleh Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan serta Dewan Kerajinan
Nasional Daerah Tapanuli Selatan juga memberikan kesempatan magang atau
pelatihan kepada anak-anak gadis yang berminat belajar menenun, melalui balai-balai
pertenunan yang dikelola dan dibina oleh kantor dinas tersebut. Orientasi pelatihan
lebih kepada menenun kain songket atau bakal baju serta modifikasi ragam hias.
Dukungan total pemerintah terhadap pengembangan pertenunan di Sipirok
sangat diharapkan guna memperluas pasar kain tenunan Sipirok. Seperti pada tahun
2006, pemerintah khususnya Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan beserta
Dewan Kerajinan Nasional Daerah Tapanuli Selatan telah mengundang dan
melibatkan sejumlah perancang busana dan desainer tekstil untuk membantu para
penenun membuat kain tenun yang berkualitas dengan motif yang sesuai dengan
selera pasar, diantaranya adalah Samuel Wattimena untuk tenun Sumatera utara, Tuty
Cholid untuk tenun Bali, dan Ghea S. Panggabean untuk tenun Sumatera Selatan.
45(60)
Pelatihan-pelatihan yang dilakukan dengan mendatangkan para desainer ini
diharapkan membuka cakrawala baru serta menggali kreatifitas masyarakat penenun
Sipirok dalam menghasilkan sebuah hasil tenunan yang sesuai dengan selera pasar.
Dari hasil-hasil pelatihan yang dilakukan terdapat motif-motif baru yang diciptakan
oleh para penenun, misalnya motif angkar yang kini sangat sering dijumpai dalam
produk-produk tenun masyarakat Sipirok. Motif ini diciptakan oleh seorang pengrajin
bernama Advenius Ritonga yang kini lebih sering disebut “bapak angkat” bagi para
penenun di Sipirok.
46Kegiatan promosi merupakan hal yang sangat penting dalam keberlangsungan
suatu kegiatan usaha. Hal ini sangatlah disadari oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Tapanuli Selatan, khusunya yang Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan dan
Dewan Kerajinan Nasional Daerah Tapanuli Selatan yang menangani langsung para
penenun di Sipirok. Para penenun yang dibina oleh Pemerintah Daerah Tapanuli
Selatan ini juga sering diikutsertakan dalam pameran-pameran di daerah-daerah,
seperti keikutsertaan dalam pameran kebudayaan di Porsea (1990), di Binjai (1991),
Sibolga (1992), Sipirok (1993)
5.4. Kain Tenun Sebagai Ikon Sipirok
47
46
Wawancara dengan Ibu Sakinah seorang penenun pada tanggal 20 April 2016.
47
Ahmad Husin Ritonga,dkk., op.cit., hal. 79.
, Medan, Jakarta dan lain sebagainya. Kesempatan
ini diharapkan dapat menambah atau memperluas jaringan pemasaran kain tenun
Sipirok.
(1)
DAFTAR ISTILAH
Afdeeling Unit Administratif di zaman Hindia Belanda yang berada di bawah keresidenan, setingkat kabupaten dewasa ini.
Abit Godang Kain “kebesaran” yang biasa disebut juga dengan ulos
merupakan kain tenun khas masyarakat Angkola yang berbentuk selendang yang melambangkan ikatan kasih sayang yang juga mengandung kualitas religius dan magis.
Akar cino Ragam hias pada Parompa Sadun yang berupa benang merah
dan coklat muda yang membujur dari sisi kiri dan kanan Parompa Sadun.
Anak Boru Kelompok penerima gadis pada sistem Dalihan Na Tolu.
Anian Peralatan dalam bertenun yang terbuat dari belahan papan
untuk mengatur dan menyusun serta memasang benang lungsin.
Balobas Seperangkat alat bantu untuk memisah-misahkan benang
lungsin dalam pembuatan motif/ ragam hias.
Baluhat Tempat penjemuran benang yang telah dioleskan kanji.
Boom Bagian ATBM yang berfungsi untuk menggulung benang
lungsin.
Bunga Ros Ragam hias pada Abit Godang dan Parompa Sadun yang
digambarkan bintang bersegi delapan dan pada bagian tengah terdapat belah ketupat.
(2)
Controleur Pejabat (orang Belanda) pada Pemerintahan Hindia Belanda dann mengepalai uit admiistratif setingkat oderafdeeling.
Corot Fungsinya sama dengan balobas, yaitu seperagkat alat bantu
untuk memisahkan benang lungsin dalam pembuatan motif.
Dalian Na Tolu Sistem sosial dalam masyarakat Batak yang terdiri dari 3
kelompok kekerabatan yaitu Mora, Kahanggi dan Anak Boru.
Giling-giling Tempat penjemuran benang kanji yang terletak pada bagian
atas, terbuat dari bambu dengan diameter berkisar 4-6cm.
Guyun Peralatan dalam pertenunan yang memisahkan benang atas dan
benang bawah lungsin
Hantoran Peralatan yang terbuat dari kayu yang merupakan bingkai
tempat penjemuran benang yang akan diunggas.
Hasaya Seperangkat alat tenun tradisional masyarakat Angkola.
Hasoli Sembilan bambu berbentuk bulat yang berfungsi sebagai
gulungan benang atau gelondong dalam tenunan.
Hiok-hiok ragam hias dalam abit godang dan parompa sadun yang
dilambangkan dalam bentuk rangkaian belah ketupat yang dijalin secara utuh.
Huta Desa atau perkampugan yang telah memnuhi syarat dalam adat dan berhak mengadakan kegiatan upacara adat.
Tijak-tijak Alat untuk mengatur naik turunnya gun ketika terjadi proses
menenun, alat ini diinjak dengan kaki untuk menurun dan menaikkan gun sebagai kontrol benang dan motif
(3)
Iran-iran Motif ragam hias yang melambangkan meninggalkan jejek kebaikan dimanapun kita berada.
Jarak Tenunan hitam polos pada ragam hias yang mengandung
makna bahwa dalam aspek kehidupan kita harus tetap ada jarak, tidak baik mengatakan segala sesuatu kepada orang lain.
Kahanggi Kelompok dalam Dalihan Na Tolu yang merupakan orag yang
semarga (satu keturunan)
Luat Perkampungan induk yang merupakan gabungan dari beberapa huta.
Lus-lus Merupakan garis pembatas anatar satu ragam hias dengan yang
lain yang berwarna kuning cerah.
Mangani Kegiatan pengaturan atau penyusunan benang lungsin.
Manghasoli Proses penggulungan benang pada sepotong bambu sehingga
Mangulkul Proses menggulung benang yang telah selesai dikanji dan
dijemur, dikelompokkan sesuai dengan warna dan bagian-bagiannya.
Mangunggas Kegiatan menganji benang agar benang lebih keras dan tidak
berbulu.
Manjomur Proses pengeringan benang yang telah diolesi kanji dibawah
sinar matahari.
Manyimatai Kegiatan menjahitkan manik-manik dipinggiran kain adat.
Marga Klen keluarga
(4)
Martonun Melakukan kegiatan menenun kain dengan menggunakan peralatan tenun sederhana.
Onderafdeeling Unit Administratif di zaman Hindia Belanda yang berada di
bawah Afdeeling (setingkat kabupaten), setingkat kecamatan dewasa ini.
Pagabe Peralatan yang digunakan untuk menggulung kainn yang telah
selesai ditenun yang berupa kayu broti yang telah diketam.
Pamunggung Bilahan kayu broti yang berfungsi untuk penahan punggung
orang yang bertenun agar peralatan dalam bertenun tidak bergeser.
Pangupa Makanan yang disuguhkan dalam upacara adat agar orang yang
diupa tersebut panjang umur, mrah rezeki dan cita-cita lain sesuai dengan maksud upacara tersebut.
Parompa Sadun Kain gendong yang merupakan kain tenunan tradisional
masyarakat Angkola yag digunakan sebagai bagian dari upacara kegiatan adat, umumnya diberika nenek dari pihak perempuan kepada cucu pertamanaya.
Partonun Pengrajin atau orang yang bekerja untuk menenun ulos.
Pamapan Kayu atau broti bulat yang dipakukan ke dinding agar alat
untuk bertenun tidak bergeser – geser.
Pusuk Robung Ragam hias pada abit godang dan parompa sadun yang berupa
gambar pucuk rebung yang muda.
Rambu na ginjang Benang panjang yang terdapat pada sisi di ujung abt godang
(5)
Ruang Ragam hias yang terdapat dalam abit godang yang berbentuk ruang yang warnanya kontras.
Sijobang Ragam hias dalam kain adat yang berbentuk deretan prajurit.
Singap Ragam hias yang merupakan gasi simetris, segitiga sama sisi
yang merupakan system Dalihan Na Tolu pada masyarakat Tapanuli Selatan.
Simbur magodang Kalimat yang terdapat pada Parompa Sadun berupa doa atau
pengharapan agar anak yang diberi kain adat lekas besar.
Sipirok Pardomuan Sipirok Perpaduan
Sirat/ Sorat Ungkapan atau tulisan yang terdapat pada abit godang dan
parompa sadun yag diambil dari bahasa daerah batak.
Suri/ Sisir Bagian dari ATBM yang berfungsi untuk merapatkan benang
ketika terjadi proses menenun.
Staatsblad Lembar berita pemerintah (lembaran berita negara).
Tadokan Peralatan dalam bertenun , yang merupaka bangk terbalik yang
berfungsi sebagai alat pijakan untuk menghentakkan kaki da megatur posisi agar dapat bertenun.
Teropong Tempat atau alat pembawa palet pada waktu terjadi peluncuran
benang atau penjalinan benang. Bentuk dan besarnya teropong harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga dapat menjalin benang dengan baik.
Tipak Seperangkat alat dalam bertenun yang digunaka sebagai alat
bantu untuk memisah – misahkan benang lungsin ketika melakukan pembuatan motif.
(6)
Toke Orang atau badan usaha yang memesan ulos kepada partonun (penenun) yang menjadi tenaga kerja dalam kegiatan usaha tenun.
Tutup Mumbang Motif yang terdapat dalam abit godang yang berupa putik
kelapa.
Ulkulan Alat yang digunakan untuk menggulung benang sehingga
menjadi gulungan yang panjang dan bulat.
Ulos Kain tradisional Batak berbentuk selendang yang diproduksi
dengan cara ditenun secara tradisional atau dengan menggunakan mesin.
Unggasan Berupa ijuk yang diikat untuk mengoleskan kanji pada benang