Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen

(1)

ANALISA PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN

TERHADAP PEMBAGIAN DIVIDEN

TESIS

Oleh

MADONG RIANTO SITANGGANG

077005144/HK

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

ANALISA PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN

TERHADAP PEMBAGIAN DIVIDEN

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

MADONG RIANTO SITANGGANG

077005144/HK

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : ANALISA PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP PEMBAGIAN DIVIDEN

Nama Mahasiswa : Madong Rianto Sitanggang Nomor Pokok : 077005144

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) K e t u a

(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 10 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

:

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota

:

1. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH


(5)

A B S T R A K

Kata divide ini mempunyai arti yang cukup luas dalam urusan keuangan yang merupakan asal mula kata dari dividen.

Dividen setiap akhir tahun merupakan waktu yang sangat ditunggu oleh para pemegang saham untuk mendapatkan imbal balik hasil atas peyertaan modalnya dalam suatu usaha. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti dividen adalah bagian laba atau pendapatan perusahaan yang besarnya ditetapkan oleh direksi serta disahkan oleh rapat pemegang saham untuk dibagikan kepada pemegang saham, atau sejumlah uang yang berasal dari hasil keuntungan yang dibayarkan kepada pemegang saham sebuah perseroan.

Definisi di atas bila dikaitkan dengan pengertian penghasilan berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan merupakan kategori penghasilan. Karena dividen merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Dengan memahami aspek perpajakan atas dividen maka bisa dihindari kesalahan pemotongan pajak atas pembayaran penghasilan berupa dividen.


(6)

ABSTRACT

In the financial term, the word “divide” has many meanings but it is where the word dividen (dividend) originally from.

End of year dividend is waited by the share holders because at the time they receive some bonus for the shares they has invented in a business. According to Kamus Besar Bahasa Indonesia (Indonesian – Indonesian Dictionary), dividend is a part of profit or the income of the company whose amount is determined by the director and approved by share holders before it is given to the share holders or dividend is amount of money resulted from the profit and then paid to the share holders of a company.

Based on the definition above and the relate it to the definition of dividend according to Law Number 36 / 2008 on Income Tax, dividend is put into the income category because dividend is an extra economic benefit receive or got by the tax payer, either from Indonesia or outside of Indonesia, that can be used for consumption or to increase the assets of the tax payer, whatever it is called and in any form it may be.

By understanding the aspect of taxation on dividend, the mistakes always appeared when deducting the tax of income in the form of dividend can be avoided.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis berhasil menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis (Yuridis) Pengenaan Pajak Penghasilan atas Pembagian Dividen “

Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan selesainya penulisan tesis ini, Penulis mempersembahkan karya ilmiah ini sebagai ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak dan mama serta ibu mertua yang selalu memberikan doa supaya diberikan kemudahan dalam proses pembuatan tesis ini.

2. Secara khusus, penulis ingin mengucapkan “I love You” kepada istri tercinta, dr. Maria Noventy M Tambunan, yang telah sabar dan selalu mendorong penulis untuk menyelesaikan tesis ini,

3. Segenap keluarga, abang dan kakak serta adikku tersayang yang menjadi motivator penulis dalam menyelesaikan tesis.

Dalam kesempatan ini, dari lubuk hati Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan tak terhingga kepada para Bapak dan Ibu Pembimbing Tesis : Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., Ibu Dr. Sunarmi,


(8)

SH, M.Hum., Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH., Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum., yang telah memberikan sumbangsih tenaga, waktu dan pikiran serta kesabaran dalam penyusunan tesis ini.

Terima kasih yang besar juga penulis sampaikan kepada Bapak Oloan Naek Siregar, SE, MM, yang telah banyak memberikan kesempatan dan dukungan agar penelitian tesisi ini dapat terselesaikan dengan baik, Demikian juga ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu memberikan berbagai bentuk kontribusi bagi penulis, khususnya kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, D.M.T.&H., Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara,

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

3. Para bapak dan ibu dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

4. Rekan-rekan mahasiswa/i serta karyawan/ti Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan motivasi serta keceriaan dalam mengikuti perkuliahan di kampus,


(9)

5. Sahabat-sahabatku, Simeon Samosir, SE, Bang Irwan Sitanggang, SH, Wedi Simanjuntak, SE, Juara P. Napitupulu, SE, Lae Bona Manurung, SE, Emi Hairani, SE, Ak, MSi, Heny Lestari, SE, Mila, Ida Kantin,

6. Teman–teman sekerja, para pimpinan DJP se-Kanwil I Sumatera Utara, Pak Janti Saragih, SE, MM, Pak Sihombing, Pak Juntak, Tulang Binsar, Tulang Martimbul, Pak Effendi Naibaho, SE, MM, Pak JPS, SE, Ak, M.Si, Ibu Susi, adikku Lindung Siallagan,SE, Ak., serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan memberikan saran, pendapat serta pandangannya sehingga terselesaikannya penulisan tesis ini, “You’re always in my heart.”

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna. Namun penulis telah berusaha sekuat tenaga dalam penulisan tesis ini dan menyadari sepenuhnya masih banyak kelemahan dan kekurangan dari tesis ini baik isi maupun penyajiannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak, sehingga tesis ini dapat bermanfaat dan memberikan kontibusi yang bernilai bagi kita semua. Amin

Medan, September 2009 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Madong Rianto Sitanggang

Tempat / Tanggal Lahir : Medan, 23 Oktober 1976 Jenis Kelamin : Laki – laki

Agama : Khatolik

Alamat : Jl. Setia No. 30, Kel. Tanjung Rejo, Kec. Medan Sunggal

HP. (061) – 77156422, 08196044542

Pendidikan :

1. Sekolah Dasar RK I Kota Sibolga, lulus tahun 1989,

2. Sekolah Menengah Pertama Swasta Fatima Kota Sibolga, lulus tahun 1992,

3. Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Medan, lulus tahun 1995,

4. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, lulus tahun 2002

5. Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, lulus tahun 2009


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………. i

ABSTRACT …….……….……… ii

KATA PENGANTAR ….……….……… iii

RIWAYAT HIDUP ………... vi

DAFTAR ISI ……… vii

DAFTAR TABEL …….……….. xi

DAFTAR SKEMA ..……….,,,… xii

DAFTAR SINGKATAN ……… xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 18

C. Tujuan Penelitian ... 18 D. Manfaat Penelitian ... 18

E. Keaslian Penelitian ... 19 F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 20

1. Kerangka Teori ... 20

2. Konsepsional ... 24 G. Metode Penelitian ... 27

1. Sifat dan Pendekatan Penelitian ... 27

2. Data dan Bahan Penelitian ... 28


(12)

BAB II PAJAK PENGHASILAN TERHADAP

PEMBAGIAN DIVIDEN ………. 30

A. Konsep dan Jenis Dividen ... 30

1. Konsep Dividen ... 30

2. Jenis–jenis dividen …... 32

B. Legalitas dan Kebijakan Dividen ... 35

1. Legalitas Dividen ……... 35

2. Kebijakan Dividen ……... 36

C. Prosedur Pembagian Dividen ……... 43

D. Dasar Hukum Pajak Penghasilan atas Pembagian Dividen ... 45

1. Dasar Hukum Pajak Penghasilan ... 46

2. Dasar Hukum Pajak Penghasilan terhadap Pembagian Dividen ... 47

BAB III METODE PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP DIVIDEN ……... 51

A. Metode Pemajakan atas Penghasilan ... 51

1. Teori Pemungutan Pajak ... 53

2. Asas Pemungutan Pajak ... 54

B. Metode Pemajakan atas Pembagian Dividen ... 56

1. Pemajakan atas Pembagian Dividen di Indonesia ... 56

2. Pemajakan atas Pembagian Dividen Sesuai Tax Treaty ... 58

C. Hak dan Kewajiban Perpajakan atas Pembagian Dividen ... .... 61

1. Kewajiban Perpajakan atas Pembagian Dividen ... . … 61

2. Hak Perpajakan atas Dividen ... ... 62


(13)

BAB IV PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TIDAK TERLAKSANANYA PERLAKUAN

PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN ... 66

A. Sistem Pemungutan Pajak Penghasilan Terhadap Dividen ... 66

1. Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan atas Pembagian Dividen ... 68

2. Tata Cara Penyetoran Pajak Penghasilan atas Pembagian Dividen ... 70

3. Tata Cara Pelaporan Pajak Penghasilan atas Pembagian Dividen ... 72

B. Perlawanan Terhadap Pajak ... 75

1. Perlawanan aktif ... 75

2. Perlawanan pasif ... 77

C. Tantangan Penerapan Peraturan Pajak Penghasilan ... 77

D. Penegakan Hukum Perpajakan ... 82

1. Pemeriksaan Pajak ... 82

2. Penerapan Sanksi Peraturan Perpajakan ... 85

3. Keberatan dan Banding ... 86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

A. Kesimpulan …... 88

B. Saran ...………... 91


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 1 Penyederhanaan Pajak dalam Reformasi

Perpajakan 1983 ... 5 2 Daftar Penghindaran Pengenaan


(15)

DAFTAR SKEMA

Nomor Judul Halaman 1 Perlakuan pengenaan pajak penghasilan

atas dividen ... 49 2 Tata cara pemotongan pajak penghasilan

atas pembagian dividen ... 58 3 Tata cara penyetoran pajak penghasilan

atas pembagian dividen ... 69 3 Tata cara pelaporan pajak penghasilan


(16)

DAFTAR SINGKATAN

UUD 1945 : Undang – Undang Dasar 1945

PSPN : Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional

UUPT : Undang – Undang Perseroan Terbatas

UU KUP : Undang – Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

UU PPh : Undang – Undang tentang Pajak Penghasilan

NPWP : Nomor Pokok Wajib Pajak

WP : Wajib Pajak

OP : Orang Pribadi

PT : Perseroan Terbatas

BUT : Bentuk Usaha Tetap

SSP : Surat Setoran Pajak 

SPT : Surat Pemberitahuan

PotPut : Pemotong dan Pemungut

PPh : Pajak Penghasilan

SKP : Surat Ketetapan Pajak

GCG : Good Corporate Governance

RUPS : Rapat Umum Pemegang Saham

AD Perseroan : Anggaran Dasar Perseroan

MenHukHAM : Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara umum, perkembangan hukum senantiasa mengalami perubahan, tidak hanya dalam isinya, melainkan juga dalam bertambahnya jenis-jenis yang ada. Perubahan dan pertumbuhan hukum tersebut pada gilirannya menyebabkan bahwa sistematik dan penggolongan hukum itu harus ditata kembali agar susunan rasional dari hukum itu tetap terpelihara. Kendati terdapat keanekaragaman yang demikian itu, keperluan untuk menggunakan istilah yang berbeda-beda memang ada, yang penting adalah bahwa pada waktu berhadapan dengan istilah, ada usaha untuk mengerti maksud yang dikehendaki oleh penulis.1

Demikian juga halnya dengan hukum dan peraturan perpajakan. Saat ini pajak bukan lagi merupakan sesuatu yang asing bagi masyarakat. Sebagian kalangan telah menempatkan pajak secara proporsional dalam kehidupannya, bahwa pajak telah dianggap sebagai salah satu kewajiban dalam bernegara, yaitu merupakan sarana untuk ikut berpartisipasi dalam membantu pelaksanaan tugas kenegaraan yang ditangani oleh pemerintah. Indikasi ini terlihat dari semakin banyaknya jumlah wajib pajak, demikian juga dengan keikut-sertaan masyarakat dari berbagai kalangan. Hal ini dapat dilihat apabila ada suatu penyelenggaraan kegiatan mengenai perpajakan,

1


(18)

seperti halnya seminar, dialog, penyuluhan, dan sebagainya. Selain itu juga dapat dilihat dengan makin banyaknya buku-buku mengenai perpajakan, serta berbagai kolom atau rubrik khusus tentang perpajakan di berbagai mass media. Namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian masyarakat juga belum memahami tentang hukum perpajakan.2

Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani (pernah menjabat Guru besar dalam hukum pada Universitas Amsterdam, kemudian Pemimpin International Beureau of Fiscal Documentation, juga di Amsterdam) bahwa :

“pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.3

Pengertian pajak yang disebutkan Prof. Adriani sejalan dengan Pasal 1 ayat (1) Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang– Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang menyatakan :

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.4

Berdasarkan pengertian di atas, secara singkat dapat dikatakan bahwa pajak adalah iuran kepada negara. Sebuah iuran yang wajar, mengingat negara dan mereka

2

Pandiangan Liberty, Pemahaman Praktis Undang-Undang Perpajakan Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2002), hal. 2

3

Brotodihardjo R. Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 2

4

Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan


(19)

yang membayar iuran sesungguhnya saling membutuhkan. Iuran yang disetor kepada negara itu digunakan untuk menjalankan berbagai kewajiban negara, seperti pelayanan publik, menjaga keamanan dan pertahanan serta menyelenggarakan pemerintahan yang baik. Lazimnya sebuah perikatan maka, ada pihak yang berhak mendapatkan sesuatu dan ada pihak lain yang wajib memenuhi hak tersebut, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian pajak merupakan perikatan antara Fiscus (negara sebagai pemungut pajak yang diwakili Direktorat Jenderal Pajak) dengan Wajib pajak sebagai pembayar pajak, dan masing-masing pihak mempunyai hak sekaligus kewajiban. Tetapi tidak seperti perikatan jual beli, hubungan timbal balik dalam perikatan pajak tidak bersifat sempurna, sebab pihak wajib pajak sebagai pembayar pajak hanya mempunyai kewajiban, tanpa mempunyai hak untuk memperoleh kontraprestasi(imbalan) langsung, sedangkan fiscus hanya mempunyai hak, yaitu hak memungut pajak tanpa mempunyai kewajiban. Kontraprestasi yang diterima pembayar pajak dari fiscus bersifat tidak langsung, melainkan dijalankan oleh negara, berupa pelayanan publik, pemeliharaan pertahanan dan keamanan. 5

Melihat kenyataan tersebut, kadang timbul pertanyaan : jika tidak ada imbalan langsung, mengapa harus membayar pajak? Jawabannya adalah membayar pajak merupakan kesepakatan bersama di antara warga negara seperti yang dituangkan di dalam Pasal 23 A Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dan Amandemennya

5

Koperasi Pegawai KP DJP, Tinjauan Perpajakan Indonesia, (Jakarta: Gemilang Gagasanido Handal, 2006), hal. 2


(20)

ditegaskan : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.

Dengan demikian, membayar pajak adalah memenuhi kewajiban yang tertera di dalam UUD dan melaksanakan amanat rakyat itu sendiri.

Dilihat dari sejarahnya, sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, ketentuan pemungutan pajak di Indonesia dapat dibagi menjadi dua periode :

a. periode ordonansi, dimana pemerintah masih menggunakan ketentuan-ketentuan dari zaman penjajahan (ordonansi) untuk memungut pajak,

b. periode reformasi perpajakan 1983, dilakukan pada awal tahun 1980-an melalui Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional (PSPN).

Pada periode ordonansi, banyak jenis pajak yang wajib dibayar masyarakat sehinga menimbulkan kebingungan dan beban pajak berganda. Maka berbagai jenis pajak direformasi melalui Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional (PSPN) yang menghasilkan dua paket undang-undang perpajakan yang merupakan produk asli Indonesia. Paket I terdiri dari Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP); Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), sedangkan paket II terdiri dari dua undang-undang, yaitu Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak


(21)

Bumi dan Bangunan (PBB); dan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (BM). Penyederhanaan itu dapat dilihat pada tabel berikut ini6 :

Tabel 1 : Penyederhanaan Pajak dalam Reformasi Perpajakan 1983 Sebelum 1983 Setelah 1983 Pajak Perseroan 1925 Pajak Penghasilan (PPh) 1983 Pajak Pendapatan 1944

Pajak Kekayaan 1932

Pajak Bunga, Dividen dan Royalti 1970

Pajak Penjualan 1951 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) 1983

Pajak atas Tanah (Ordonansi Landrente) Pajak Bumi Bangunan (PBB) Verponding Indonesia 1923 1985

Verponding 1928 Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) 1965

Bea Materai 1922 Bea Materai 1985

Secara historis, hingga saat ini pemerintah telah melakukan perubahan-perubahan atas undang-undang perpajakan yang ada (yaitu tahun 1983, 1985, 1994,

6


(22)

1997 dan 2000 serta 2007). Hal ini menunjukkan bahwa peraturan perpajakan Indonesia cukup akomodatif, dinamis dan antisipatif dalam mengamati, mengkaji dan menerapkan perkembangan yang terjadi di luar perpajakan – seperti perkembangan ekonomi, moneter, industri dan perdagangan, bahkan perkembangan sosial, politik, teknologi dan sebagainya – untuk disesuaikan pengaturan perpajakannya.7

Dalam praktiknya tidak semua negara berhasil mengenakan, menarik dan memungut pajak, karena ada juga masyarakat yang menolak atau bahkan melakukan pemberontakan demi menolak pajak. Dapat ditengok catatan sejarah, seperti : salah satu pemicu meletusnya Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika Serikat dua abad silam adalah masalah pajak. Dalam Revolusi Amerika, pajak diangkat menjadi slogan umum pemberontakan, yakni No Taxation without Representation, dengan maksud bahwa warga Amerika enggan membayar pajak jika mereka tidak memiliki wakil di lembaga legislatif. Kegagalan pemungutan pajak ini bisa terjadi jika penerapan pajak tidak berdasarkan kepada asas-asas maupun prinsip-prinsip dasar perpajakan yang berlaku secara universal. Hal ini juga berkaitan erat dengan perkembangan tata kelola pemerintahan, sehingga pengelolaan pajak oleh negara atau pemerintah, harus mengacu kepada prinsip-prinsip Good Governance. 8

Bila dicermati pendapat masyarakat tentang pajak seperti yang acap muncul di media massa, secara umum dapat disimpulkan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang belum mengetahui atau memahami hakikat dan fungsi dari pajak,

7

Pandiangan Liberty, Pemahaman Praktis Undang-Undang Perpajakan Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2002), hal. 3

8


(23)

baik bagi kehidupan negara maupun kehidupan masyarakat sendiri. Pembayaran pajak umumnya dipandang sebagai suatu kewajiban (satu arah) kepada negara, lantaran ciri khas pajak adalah dapat dipaksakan kepada masyarakat, tanpa masyarakat memperoleh imbalan balik secara langsung. Pandangan yang kurang luas ini mengakibatkan pajak hanya dianggap sebagai beban semata. Padahal bila diteliti lebih jauh, pajak yang telah diterima negara juga menjadi hak masyarakat, artinya bahwa masyarakat memperoleh kembali pajak itu tanpa terkecuali dalam bentuk lain, yakni melalui penyediaan berbagai barang dan jasa publik (public goods and services). Hal ini bisa dipahami secara mendalam melalui sistem keuangan negara.

Secara teoritis dan praktis dapat dilihat bahwa pajak memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan negara dan masyarakat, yaitu :

1. fungsi budgeter, untuk kelangsungan hidup negara, seluruh komponen tugas-tugas negara, apakah itu pemerintah (eksekutif), pengawasan (legislatif) maupun penegakan hukum (yudikatif) harus dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Agar rencana tersebut berjalan dengan baik, tentu harus didukung dana yang cukup. Di Indonesia, rencana penyediaan dana dan barang serta jasa publik terangkum dalam APBN tiap tahun. Oleh karena penyediaan dana ini menyangkut budgeter, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pelaksanaannya harus dibahas lebih dulu oleh pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kemudian disetujui DPR.


(24)

2. fungsi regulerend, pemerintah mengatur segala sesuatu yang berada di dalam wilayahnya. Melalui pengaturan ini pemerintah dapat melaksanakan tugasnya, baik dalam rangka melayani masyarakat dan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

3. fungsi distribusi, dapat dibagi dua, yaitu :

a. berdasarkan sektor dijalankan oleh instansi pemerintah sesuai dengan tugas pokoknya, seperti bidang kesehatan, pendidikan, keamanan, dan lainnya, b. berdasarkan wilayah dilakukan melalui pembagian anggaran belanja untuk

masing-masing daerah.

4. fungsi demokrasi, keikut-sertaan masyarakat dalam pengelolaan negara merupakan hal mutlak, sehingga segala kegiatan negara dapat direncanakan dan diarahkan guna kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.9

Jadi, dalam mengupayakan pengelolaan keuangan pemerintahan, harus berlandaskan prinsip-prinsip good governance yang didukung dengan reformasi hukum, yang tujuannya adalah untuk memberikan harapan kepada masyarakat, bahwa sistem hukum pemerintah akan lebih baik, transparansi dan responsif terhadap peran publik atau masyarakat dalam pengambilan keputusan dan atau kebijakan. Hal ini sejalan dengan agenda pembangunan nasional, seperti yang diuraikan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional (Propenas) yang merumuskan visi bangsa Indonesia masa depan dan dua belas misi yang menjadi sasaran pembangunan, yang mana disebutkan bahwa “terwujudnya

9


(25)

sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia berlandaskan keadilan dan kebenaran” serta disebutkan juga hal yang terkait dalam misi Propenas yaitu terwujudnya aparat negara yang berfungsi melayani, profesional, berdaya guna, produktif, transparan dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Maka harus menunjukkan jaminan keadilan yang tegas dengan sanksi yang cukup dalam penyelenggaraan pemerintahan.10

Penerapan prinsip-prinsip Good Governance dalam pengelolaan pemerintahan harus dilandasi oleh prinsip-prinsip moral yang kuat, artinya agar pemerintah memiliki peranan penting dalam membangun, merawat dan menghormati sistem integritas nasional sekaligus harus menjadi pemimpin yang berprinsip dan berlandaskan pada etika, bersih dan berwibawa serta melakukan pengawasan atas birokrasi yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan program.11

Meningkatnya hasil yang diperoleh pemerintah di bidang perpajakan hingga saat ini – baik itu dari aspek budgeter, tingkat kesadaran dan kepatuhan, maupun pemahaman masyarakat – tidaklah lepas dari upaya reformasi perpajakan (tax reform) dan penerapan prinsip-prinsip good governance yang dilakukan oleh pemerintah sejak pertama sekali tahun 1983. Dilihat dari segi waktu, saat pelaksanaan reformasi perpajakan pertama kali tersebut sangatlah tepat, sebagai upaya reposisi andalan dalam penerimaan negara. Karena di tengah iklim perekonomian nasional yang

10

Nasution Bismar, Kumpulan Makalah Privatisasi BUMN dan Good Corporate Governance, (Medan; Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum, 2007), hal. 1

11

Nasution Bismar, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Bandung: Book Terrace & Library, 2007), hal. 243


(26)

terpengaruh saat itu akibat kemerosotan harga minyak di pasar internasional, telah membawa dampak yang cukup berarti bagi penerimaan negara. Lebih dari itu, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang melakukan reformasi perpajakan pada kurun waktu itu, karena dilakukan juga oleh banyak negara. Hal ini sesuai dengan penelitian Richard A Musgrave yang menyatakan bahwa tahun 1980-an merupakan dekade reformasi perpajakan. 12

Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan berkesinambungan memerlukan dana untuk pengeluaran rutin dan pembangunan yang bersumber dari pemerintah dan masyarakat. Pengeluaran rutin sedapat mungkin dipenuhi dari hasil pajak, sedangkan pembangunan dibiayai dari tabungan, apakah itu tabungan pemerintah maupun tabungan masyarakat. Kewenangan pemungutan dan pengelolaan pajak oleh pemerintah pusat diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak sebagai instansi di bawah Departemen Keuangan sesuai dengan undang-undang dan peraturan perpajakan yang berlaku. Pajak jenis ini dikenal sebagai pajak pusat, sebaliknya pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah dikenal sebagai pajak daerah.

Jenis-jenis pajak pusat yang menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak tersebut, meliputi :

1. Pajak Penghasilan (PPh), merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh seseorang atau badan usaha dalam tahun pajak.

Dalam terminologi pajak, seseorang atau badan usaha yang menerima atau memperoleh penghasilan dikenal sebagai Subjek Pajak. Subjek Pajak Penghasilan

12


(27)

terdiri dari Orang Pribadi, Badan Usaha — termasuk Badan Usaha milik Pemerintah — yang secara umum disebut sebagai Badan, serta Bentuk Usaha Tetap (BUT). Penjelasan lebih rinci tentang jenis subjek pajak penghasilan dapat

dilihat berikut ini : a. Orang Pribadi

1. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.13

2. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang menjalankan kegiatan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.14

3. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan kegiatan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT).15

13

Pasal 2 ayat (3) butir a Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang PPh

14

Pasal 2 ayat (4) butir a Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang PPh

15


(28)

4. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.16

b. Badan

1. badan yang didirikan atau berkedudukan seperti Perseroan Terbatas (PT), Commanditter Veenotschap (CV), perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga dan bentuk badan lainnya.

2. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. 17

c. Bentuk Usaha Tetap

Bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau yang digunakan oleh badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan kegiatan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, seperti kantor cabang, kantor perwakilan, pabrik,

16

Pasal 2 ayat (3) butir c Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang PPh

17


(29)

gedung kantor dan orang atau badan usaha yang bertindak sebagai agen yang tidak independen.18

Subjek pajak menjadi Wajib pajak apabila memenuhi kriteria subjek pajak tercantum di atas, dan memenuhi kriteria kewajiban objektif, yaitu apabila yang bersangkutan telah menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan Pajak Penghasilan, yaitu Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Kewajiban subjektif dipenuhi, antara lain dengan mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sedangkan kewajiban objektif dipenuhi dengan pembayaran dan pelaporan pajak yang terutang.19

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), adalah pajak atas konsumsi barang dan / atau jasa yang dikenakan pajak di dalam daerah pabean Indonesia.

Dalam terminologi perpajakan, barang dan jasa yang dikenakan pajak berdasarkan Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1983 s.t.d.d. Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM. Atas Barang dan Jasa disebutkan dengan istilah Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP), sedangkan PPnBM merupakan pajak konsumsi tambahan yang dikenakan atas penyerahan dan/atau impor BKP yang tergolong mewah.

18

Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang PPh

19

Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan


(30)

3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), adalah pajak yang dikenakan atas tanah (bumi) dan / atau bangunan yang berada di wilayah Republik Indonesia yang diatur dalam Undang– Undang Nomor 12 Tahun 1985 s.t.d.d. Undang–Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

4. Bea Materai adalah pajak atas dokumen yang dipakai masyarakat di dalam lalu– lintas hukum, yang diatur dalam Undang–Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.

5. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan bentuk pajak yang dikenakan pada setiap peristiwa pengalihan hak atas tanah dan bangunan, yang diatur dalam Undang–Undang Nomor 21 Tahun 1997 s.t.d.d. Undang– Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Peolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).20

Menurut ajaran materiil, bahwa timbulnya utang pajak adalah karena bunyi undang– undang saja, tanpa diperlukan suatu perbuatan manusia (jadi sekalipun tidak dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiscus) asalkan dipenuhi syarat terdapatnya suatu Taatbestand yang terdiri dari keadaan–keadaan tertentu dan atau juga peristiwa ataupun perbatasan tertentu.21 Tidak demikian halnya dengan para penganut ajaran

formal, yang mengaitkan timbulnya utang pajak dengan dikeluarkannya surat ketetapan pajak.22

20

Koperasi Pegawai KP DJP, Op.cit, hal. 17-34

21

Brotodihardjo R. Santoso, Op.cit, hal. 116

22


(31)

Bagaimanapun juga dapatlah dimengerti bahwa penting sekali, baik buat negara maupun buat para Wajib pajak, untuk dapatnya segera ditentukan jumlah utang pajaknya, dan pekerjaan ini menjadi tugas Direktorat Jenderal Pajak, dan hal ini sesuai undang– undang perpajakan hasil reformasi 1983 mengubah pendekatan pemungutan pajak dari sistem official assessment menjadi sistem self assessment, yakni Wajib pajak diberi tanggung jawab dan kewajiban untuk menghitung, membayar dan melaporkan pajak–pajak yang menjadi kewajibannya.23

Terkait dengan pembagian dividen, dalam hal ini juga terdapat kewajiban perpajakan, yaitu sesuai dengan Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Kata dividen berasal dari bahasa Inggris, yang memiliki arti pembagian keuntungan atas saham.24 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti

dividen adalah

bagian laba atau pendapatan perusahaan yang besarnya ditetapkan oleh direksi serta disahkan oleh rapat pemegang saham untuk dibagikan kepada para pemegang saham, atau sejumlah uang yang berasal dari keuntungan yang dibayarkan kepada pemegang saham sebuah perseroan.25

Dividen secara umum adalah merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi.26

Termasuk dalam pengertian dividen ini adalah :

23

Koperasi Pegawai KP DJP, Op.cit, hal. 11

24

John M. Echols and Hasan Shadily, An English-Indonesian Dictionary, (Jakarta: Gramedia, 2003), hal. 191

25

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 2007), hal. 271

26

Alsah A. Syarifuddin, Pemotongan-Pemungutan Pajak Penghasilan, (Jakarta: Kharisma Bintang Kreativitas Prima, 2002), hal. 95


(32)

1. pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;

2. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah yang disetor;

3. pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;

4. pembagian laba dalam bentuk saham;

5. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;

6. jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham–saham oleh perseroan yang bersangkutan;

7. pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun–tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;

8. pembayaran sehubungan dengan tanda–tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda–tanda laba tersebut;

9. bagian laba sehubungan degan pemilikan obligasi; 10. bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;


(33)

12. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.27

Kata dividen berkaitan erat dengan saham atau modal dalam hukum perusahaan / perseroan, sedangkan perusahaan / perseroan dalam istilah perpajakan dikenal dengan istilah badan, sehingga apabila kita membaca bunyi Pasal 1 angka 3 Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ditegaskan bahwa :

“ Badan adalah sekumpulan orang dan / atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseron terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap”.28

Pengenaan perpajakan untuk dividen sebagaimana diuraikan di atas menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak atas dividen yang merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib pajak tanpa melihat dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan.29

Hal ini sesuai dengan yang diatur dalam pasal 4 ayat (1) Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang menyatakan bahwa yang menjadi objek

27

Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

28

Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

29


(34)

pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Mengingat reformasi dalam sistem perpajakan ini, pemerintah dalam hal ini ditugaskan kepada Direktorat Jenderal Pajak harus mampu melaksanakan fungsi pembinaan, pengawasan dan penegakan hukum perpajakan dengan baik agar dapat menjamin keberhasilan pemungutan pajak dengan sistem self assessment ini. Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa hambatan yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk dapat melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum secara efektif, salah satunya adalah timbulnya niat dari Wajib pajak yang selama ini patuh pada peraturan perpajakan, menjadi ikut melakukan penyelundupan pajak.30

Berdasarkan uraian di atas, Peneliti tertarik untuk meneliti dan membahas tentang yuridis pengenaan pajak penghasilan terhadap pembagian dividen sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul : “Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, masalah yang akan diteliti dan dianalisa dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

30

Tjiptardjo, M, Makalah Pajak yang Disampaikan dalam Seminar Sehari Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Balai Raya-Tiara Convention Centre, (Medan; 2007), hal. 2


(35)

1. Mengapa dividen harus dikenakan pajak penghasilan ?

2. Bagaimana metode pengenaan pajak penghasilan terhadap dividen?

3. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tidak terlaksananya pajak penghasilan atas pembagian dividen ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk memahami hak dan kewajiban perpajakan yang harus dilaksanakan atas dividen,

2. Untuk memahami pelaksanaan ketentuan hukum dan peraturan perpajakan tentang pengenaan pajak atas penghasilan khususnya atas dividen di Indonesia, 3. Untuk menciptakan suatu prinsip keterbukaan dan kesadaran hukum serta peduli

pajak sebagai peran serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu :

1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sumbang saran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan untuk bidang hukum bisnis pada khususnya yang berhubungan dengan pengenaan pajak penghasilan terhadap pembagian dividen


(36)

2. Secara praktek sangat bermanfaat dan membantu bagi semua pihak, baik itu wajib pajak orang pribadi (WP OP), wajib pajak badan (WP Badan) maupun

fiscus serta masyarakat yang melaksanakan kewajiban perpajakan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil–hasil penelitian yang ada pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara Medan, penelitian dengan judul “Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen” belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya, sehingga penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung-jawabkan dari segi isinya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro, bahwa untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis.31

Secara teori, kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan–kepentingan yang dapat bertubrukan satu sama lain, sehingga sedemikian rupa tubrukan–tubrukan itu dapat ditekan seminimal mungkin. Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka

31


(37)

kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut sebagai hak.

Konsep memahami hak dan kewajiban dalam hukum berarti memahami manusia. Cicero, seorang sosiolog mikro mengatakan bahwa ada masyarakat ada hukum, maka yang dimaksudkannya adalah hukum hidup di tengah–tengah masyarakat (manusia). Hukum dan manusia memiliki kedekatan yang khas dan tidak dapat dipisahkan. Artinya tanpa manusia tidak dapat disebut sebagai hukum.32

Agar tercapai ketertiban hukum dalam masyarakat, diusahakanlah untuk mengadakan kepastian. Kepastian yang disebutkan dalam hal ini diartikan sebagai kepastian dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum. Hal ini disebabkan karena pengertian hukum mempunyai dua segi, yaitu :

a. pertama, bahwa ada hukum yang pasti bagi peristiwa yang konkret,

b. kedua, adanya suatu perlindungan hukum terhadap kesewenang–wenangan.33

Cara pandang demikian itu yang membuat orang terhindar dari penafsiran hukum secara black letter rules atau penafsiran ‘legalistik’. Apakah hukum itu dan bagaimana hukum itu semestinya haruslah dirumuskan dengan tingkat keakuratan yang maksimal sehingga dapat digunakan sebagai landasan pembangunan hukum dan atau pembangunan di bidang lainnya. Namun demikian, untuk dapat memahami hakekat hukum dibutuhkan alat penafsiran yang menggunakan metode ilmiah

32

H.R. Otje Salman, S., Op.cit, hal. 14

33


(38)

(scientific method). Menurut Richard Posner, dari seluruh ilmu sosial yang metodenya pernah digunakan untuk menjelaskan hukum, ilmu ekonomi-lah yang paling menjanjikan, pertama, karena universalitas, dan kedua, karena ketepatannya. Dengan hakekat interdisipliner, mengorelasikan disiplin ekonomi dan disiplin hukum, maka penafsiran konsep-konsep hukum dapat dijelaskan secara kualitatif sehingga memiliki akurasi lebih maksimal.34

Dengan demikian, ini kepastian hukum bukanlah terletak pada batas daya berlakunya menurut wilayah atau golongan tertentu. Hakekatnya adalah suatu kepastian tentang bagaimana masyarakat mentaati hukum, bagaimana peranan dan kegunaan aparat penegak hukum bagi masyarakat, apakah hak dan kewajiban masyarakat, bagaimanakah peranan hukum berkenaan dengan sistem ekonomi, dan seterusnya.35 Pandangan hukum yang bermuatan moral ini terasa tidak terbantah dan

tidak boleh diabaikan demi tegaknya hukum. Mengapa tidak, oleh karena sudah sejak lama dikenal oleh kerajaan–kerajaan masa lalu, pada masa kekaisaran Roma telah terdapat pepatah “ Quid leges sine moribus ?” “Apa artinya undang–undang kalau tidak disertai moralitas?”36

Demikian juga halnya dengan kehadiran hukum dan peraturan perpajakan. Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa karena membayar pajak merupakan kesepakatan bersama di antara warga negara seperti yang dituangkan di dalam

34

Nasution Bismar, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Op. cit, hal. 14-15

35

Soekanto Soerjono, Op.cit. hal. 43

36

Nasution Bismar, Kumpulan Makalah Privatisasi BUMN dan Good Corporate Governance, Op.cit, hal. 64


(39)

Undang–Undang Dasar (UUD) 1945 dan Amandemennya, dengan demikian membayar pajak adalah memenuhi kewajiban yang tertera di dalam UUD 1945 dan Amandemennya serta melaksanakan amanat rakyat itu sendiri.

Agar tercapai ketertiban dan memberikan rasa kepastian hukum bermasyarakat dan bernegara, serta untuk meningkatkan pembangunan bangsa dan negara, maka secara bertahap dan berkelanjutan, dimulai dengan reformasi perpajakan pada tahun 1983, pemerintah melakukan perubahan secara mendasar sistem pemungutan pajak, menjadi self assessment, yaitu negara memberikan tanggung jawab dan kewajiban kepada Wajib pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan pajak–pajak yang menjadi kewajiban sendiri. Sistem pemungutan ini, sesuai dengan semangat demokrasi lebih mengedepankan pemahaman serta partisipasi masyarakat dalam setiap proses bernegara termasuk penyediaan dana pembangunan melalui penerimaan pajak.37

Terkait dengan pembagian dividen, perlu diperhatikan bahwa meskipun keputusan untuk membagi dividen berada dalam kuorum kehadiran rapat dan kuorum persetujuan rapat, namun jika ternyata pembagian dividen tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan modal dasar, modal ditempatkan atau modal dikeluarkan, maka seluruh proses terkait dengan hal tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan–ketentuan yang berhubungan dengan hal tersebut dan berlaku yang juga bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan kepastian hukum.38

37

Tjiptardjo. M, Op.cit, hal. 1

38


(40)

Berdasarkan teori dan semua pemikiran yang telah dikemukakan, hasil pembahasan dalam penelitian ini akan diarahkan untuk menciptakan suatu prinsip keterbukaan (transparancy) dan kesadaran hukum serta peduli pajak sebagai peranan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut Immanuel Kant (1734-1804), kemauan baik adalah syarat mutlak untuk bertindak secara moral. Karena itu, kemauan baik menjadi suatu kondisi yang mau tidak mau harus dipenuhi agar manusia dapat bertindak secara baik, sekaligus membenarkan tindakannya itu. Maksudnya, bisa saja akibat dari suatu tindakan memang baik, tetapi kalau tindakan itu tidak dilakukan berdasarkan kemauan baik untuk mentaati hukum moral yang merupakan kewajiban seseorang, tindakan itu tidak bisa dinilai baik, karena, akibat baik tadi bisa saja hanya merupakan hal yang kebetulan.39

2. Konsepsional

Bagian landasan konsepsional ini akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan oleh Peneliti, antara lain :

a. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang–undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar–besarnya kemakmuran rakyat.40

39

Keraf , A. Sonny, Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisisu, 1998), hal. 23

40


(41)

b. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan perpajakan.41

c. Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk dikonsumsi atau untu menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.42

d. Modal atau saham adalah surat berharga yang merupakan tanda kepemilikan seseorang atau badan terhadap suatu perseroan atau perusahaan.43

e. Dividen secara umum adalah merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi.44

f. Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.45

g. Pemotong dan pemungut pajak adalah yang memberikan tanda bukti pemotongan atau pemungutan kepada orang pribadi atau badan yang dibebani membayar pajak penghasilan yang dipotong atau dipungut.46

41

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 42

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 43

Hin L. Thian, Panduan Berinvestasi Saham, (Jakarta; Gramedia, 2001), hal. 13

44

Alsah A. Syarifuddin, Op.cit, hal. 95

45

Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 46


(42)

h. Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan / atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan / atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang–undangan perpajakan.47

i. Sanksi hukum dari peraturan perpajakan, ada 2 (dua) jenis yaitu ;

1. Sanksi administrasi adalah pengenaan utang pajak yang ditetapkan untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.48

2. Sanksi pidana adalah pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan, dikenakan sanksi pidana, baik karena kealpaan maupun kesengajaan.49

j. Surat Ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, surat ketetapan pajak nihil, atau surat ketetapan pajak lebih bayar.50

47

Pasal 1 angka 25 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 48

Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 49

Penjelana Pasal 38 dan 39 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 50


(43)

k. Prinsip-prinsip Good Governance adalah pengelolaan pemerintahan harus dilandasi oleh prinsip–prinsip moral yang kuat, artinya agar pemerintah memiliki peranan penting dalam membangun, merawat dan menghormati sistem integritas nasional sekaligus harus menjadi pemimpin yang berprinsip dan berlandaskan pada etika, bersih dan berwibawa serta melakukan pengawasan atas birokrasi yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan program.51

G. Metode Penelitian

Metode berarti jalan, atau cara kerja, yaitu cara untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Soerjono Seokanto mengatakan metode yang berarti jalan ke, namun demikian menurut kebiasaan metode yang dirumuskan dengan kemungkinan–kemungkinan sebagai berikut :

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian, 2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan,

3. Cara tertentu untuk melaksanakan prosedur.52

Sehubungan dengan itu maka metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan (Library Research) sebagai metode pengumpulan data. Metode ini terutama ditujukan untuk terlebih dahulu memahami berbagai teori, doktrin, perundang–undangan, konsepsi–konsepsi yang relevan dengan masalah

51

Nasution Bismar, Hukum Kegiatan Ekonomi I, Op. cit, hal. 243

52

Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1984), hal. 5


(44)

penelitian.53 Dengan demikian konsistensi dan respondensi antara teori–teori, perundang–undangan dan doktri atau konsep dan karya ilmiah dapat dijadikan sebagai dasar pencarian kebenaran, khususnya dalam menjawab permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini.

1. Sifat dan Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan juridis – normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan– bahan kepustakaan yang berhubungan dengan permasalahan dan selanjutnya melihat secara objektif melalui ketentuan perundang-undangan dengan mengacu kepada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang–undangan yang bersifat kualitatif,54 sedangkan pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan penelitian yang bersifat deskriptif – analitis, untuk membatasi kerangka studi pada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa–hipotesa atau teori–teori.55

2. Data dan Bahan Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder yang berbentuk bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tertier.

53

Subagyo P. Joko, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 106

54

Amiruddin dan Asikin H. Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 166-167

55

Syahrin Alvi, Pengaturan dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal. 17


(45)

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang– Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang– Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang– Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan Undang–Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, selain dari itu bahan hukum primer dimaksud tersebar diberbagai tingkat peraturan perundang-undangan, mulai dari tingkat undang–undang, Surat Keputusan Menteri, surat edaran yang relevan dengan penelitian ini.

Bahan hukum sekunder adalah buku-buku ilmiah, dokumen-dokumen pribadi atau pandangan dari kalangan para pakar hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan penelitian ini.

Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara lain kamus hukum, kamus umum, ensiklopedia, majalah jurnal ilmiah dan lain sebagainya.56

3. Analisis Data

Selanjutnya data yang ada akan dianalisis dengan cara kualitatif dalam pengertian bahwa analisis data lebih mengutamakan aspek menyeluruh dan mendalami data yang bersangkutan.57

56

Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Op. cit, hal. 52

57


(46)

Pada tradisi penelitian kualitatif, secara sengaja menggunakan istilah memahamai (bukan menjelaskan), karena yang dicari bukanlah faktor penyebab atau kualitas dari suatu fenomena melainkan alasan–alasan maknawi (reasons) dan para pelaku sesuatu tindakan atau praktek sosial itu sendiri. Dengan begitu menjadi wajar bila fokusnya tertuju kepada upaya pemahaman.58

Data yang dikumpulkan kemudian dipilah guna memperoleh pasal–pasal ataupun ketentuan–ketentuan yang berisi kaidah hukum yang mengatur masalah pengenaan pajak penghasilan terhadap pembagian dividen.

58

Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 66


(47)

BAB II

PAJAK PENGHASILAN TERHADAP PEMBAGIAN DIVIDEN

A. Konsep dan Jenis Dividen

Dividen adalah pendistribusian laba kepada pemegang saham, secara pro rata menurut kelas / kelompok surat berharga, dan dibayarkan dalam bentuk uang, saham,

scrip, atau produk atau properti perusahaan, walaupun ini jarang terjadi. Dividen dapat juga diartikan sebagai dana–dana, dari penghasilan, atau dari hasil penjualan suatu harta benda, yang harus dibagi atau didistribusikan diantara para pemegang saham atau kreditur. Pembagian dividen umumnya didasarkan atas akumulasi laba, yaitu laba ditahan, atas beberapa pos modal lainnya seperti tambahan modal disetor.59

1. Konsep Dividen

Persetujuan laporan tahunan dan pengesahan perhitungan tahunan dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dan keputusan atas persetujuan dan pengesahan tersebut diambil sesuai dengan ketentuan Undang–Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan atau Anggaran Dasar Perseroan. Perhitungan tahunan yang dihasilkan tersebut harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya dari aktiva, kewajiban, modal dan hasil usaha perseroan. Direksi dan Komisaris mempunyai tanggung jawab penuh akan kebenaran isi perhitungan tahunan perseroan pada khususnya dan laporan tahunan pada umumnya.

59


(48)

Dalam hal dokumen perhitungan tahunan yang disediakan ternyata tidak benar atau menyesatkan, maka anggota Direksi dan Komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan, kecuali apabila terbukti bahwa keadaan tersebut bukan karena kesalahannya. Dalam hal demikian maka anggota Direksi dan Komisaris yang bersangkutan dibebaskan dari tanggung jawab tersebut.

Setiap tahun buku, perseroan wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih untuk cadangan, sampai cadangan mencapai sekurang–kurangnya 20% dari modal yang ditempatkan. Apabila belum mencapai jumlah tersebut maka laba itu hanya dapat digunakan untuk menutup kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan lain. Ketentuan mengenai penyisihan laba bersih untuk cadangan dan pengunaannya, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pengunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan tersebut diputuskan oleh Rapat Umum Pemegang Saham. Rapat Umum Pemegang Saham dapat menetapkan bahwa sebagian atau seluruh laba bersih akan digunakan untuk pembagian dividen kepada pemegang saham, atau pembagian lain seperti tantieme untuk Direksi dan Komisaris, bonus untuk karyawan, cadangan dana sosial dan lain–lain, atau penempatan laba bersih tersebut dalam cadangan perseroan yang antara lain diperuntukkan bagi perluasan usaha perseroan.

Apabila Rapat Umum Pemegang Saham tidak menentukan lain, maka seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan sebagaimana disebutkan di


(49)

atas, dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen. setelah lima tahun, dividen yang tidak diambil dimasukkan ke dalam cadangan yang diperuntukkan untuk itu. Pembagian dividen diatur dalam Anggaran Dasar (AD).60

2. Jenis–Jenis Dividen

Menurut Kieso dan Weygandt, ada beberapa jenis dividen, yaitu :61

a. Dividen kas atau dividen tunai (cash dividend) yaitu suatu dividen yang dibayarkan dengan uang tunai, atau lebih kerapkali terjadi, dengan cek yang segera dapat ditukarkan dengan uang tunai. Ini adalah cara yang biasa mengenai pembayaran dividen.

b. Dividen properti atau dividen dalam bentuk harta benda (property dividend)

adalah suatu dividen yang terdiri atas suatu bagian dari harta milik perseroan yang dibayarkan kepada para pemegang saham, sebagai ganti uang tunai atau saham perseroan. Ini dapat berupa surat–surat efek atau tanggungan dari perseroan–perseroan lainnya, seperti cabang perseroan, obligasi–obligasi pemerintah yang dikuasai, dan lain–lain.

c. Dividen atas surat saham sementara (scrip dividend) yaitu suatu dividen yang dibayarkan dalam skrip, atau dengan perkataan lain, dalam suatu promissory note, yang harus dibayarkan pada suatu waktu tertentu di kemudian hari. Jadi, ini adalah suatu bentuk deferred dividend (dividen yang ditangguhkan).

60

Widjaya I.G. Rai, Hukum Perusahaan, (Jakarta : Kesaint Blanc, 2007), hal. 268-269

61

Kieso, Donald E, and Jerry J. Weygandt, Intermediate Accounting, 7th edition, John Willey and Sons, Inc, hal. 816


(50)

d. Dividen likuidasi (liquidating dividend) adalah suatu dividen yang dibayarkan dari aktiva, kepada para pemilik suatu perseroan yang dibubarkan, atau kepada para kreditur suatu maskapai yang dilikuidir, atau dalam keadaan bangkrut, atau kepada para ahli waris suatu warisan yang sedang diselesaikan. Pembayaran seperti itu dapat terjadi apabila suatu perusahaan jatuh bangkrut atau apabila manajemen memutuskan untuk menjual aktiva perusahaan dan hasilnya didistribusikan kepada para pemegang saham.

e. Dividen saham (stock dividend) adalah suatu dividen yang dibayarkan dalam bentuk saham perseroan itu, bukan dengan uang tunai. Dividen saham dapat berupa saham tambahan dalam perusahaan atau saham anak perusahaan yang didistribusikan kepada para pemegang saham.

Kieso dan Weygandt mengungkapkan bahwa dividen yang dibagikan oleh perusahaan kepada pemegang saham, dapat berbentuk :62

1. cash dividend yaitu pembayaran dividen dalam bentuk tunai.

2. stock dividend yaitu pembayaran dividen dalam bentuk saham dengan proporsi tertentu.

3. skrip dividend (promisory nates) yaitu utang dividen dalam bentuk skript atau pembayaran dividen pada masa yang akan datang.

62

Kieso, Donald E, and Jerry J. Weygandt, Intermediate Accounting, 7th edition, John Willey and Sons, Inc, hal. 97


(51)

4. property dividen yaitu pembayaran dividen dalam bentuk kekayaan seperti barang dagangan, real estate atau investasi dalam bentuk lain yang dirancang oleh dewan direksi.

Demikian juga menurut Smith dan Skousen, pembagian dividen itu dapat berbentuk:63

(1) kas, (2) aktiva lain,

(3) wesel atau surat utang lainnya dari perusahaan yang sebenarnya merupakan dividen kas yang ditangguhkan, dan

(4) saham perusahaan sendiri.

Dividen biasanya dibayarkan secara tunai tetapi kadang–kadang dibayarkan dalam bentuk saham, skrip, atau beberapa aktiva lainnya. Semua dividen kecuali dividen saham, mengurangi total ekuitas pemegang saham dalam perusahaan. Karena ekuitas akan berkurang baik melalui pembagian aktiva secara langsung maupun di masa depan. Jika dividen saham diumumkan, maka perusahaan tidak membayar dengan aktiva atau mencatat kewajiban. Perusahaan hanya perlu menerbitkan tambahan lembar saham kepada setiap pemegang saham dan tidak lebih dari itu.

63

Smith, Jay M. dan Skousen, K Fred, Akuntansi Intermediate, (Jakarta : Erlangga, 1993), hal. 334


(52)

B. Legalitas dan Kebijakan Dividen

1. Legalitas Dividen

Pada dasarnya penggunaan laba telah dijelaskan dalam Undang–Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas :64

Pasal 70 :

1. Perseroan wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih setiap tahun buku untuk cadangan.

2. Kewajiban penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak apabila perseroan mempunyai saldo laba yang positif.

3. Penyisihan laba bersih sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai cadangan mencapai paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dan disetor.

4. Cadangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) yang belum mencapai jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya boleh dipergunakan untuk menutup kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan lain.

Pasal 71 :

1. Penggunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 70 ayat (1) diputuskan oleh RUPS.

2. Seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dibagikan pada pemegang saham sebagai dividen, kecuali ditentukan lain dalam RUPS. 3. Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya boleh dibagikan

apabila perseroan mempunyai saldo laba yang positif. Pasal 72 :

1. Perseroan dapat membagikan dividen interim sebelum tahun buku Perseroan berakhir sepanjang diatur dalam anggaran dasar Perseroan. 2. Pembagian dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilakukan apabila jumlah kekayaan bersih Perseroan tidak menjadi lebih kecil daripada jumlah modal ditempatkan dan disetor ditambah cadangan wajib.

64


(53)

3. Pembagian dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh mengganggu atau menyebabkan Perseroan tidak dapat memenuhi kewajibannya pada kreditor atau mengganggu kegiatan Perseroan.

4. Pembagian dividen interim ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi setelah memperoleh persetujuan Dewan Komisaris, dengan memperhatikan ketentuan pada ayat (2) dan ayat (3).

5. Dalam hal setelah tahun buku berakhir ternyata Perseroan menderita kerugian, dividen interim yang telah dibagikan harus dikembalikan oleh pemegang saham kepada Perseroan.

6. Direksi dan Dewan Komisaris bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian Perseroan, dalam hal pemegang saham tidak dapat mengembalikan dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 73 :

1. Dividen yang tidak diambil setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal yang ditetapkan untuk pembayaran dividen lampau, dimasukkan ke dalam cadangan khusus.

2. RUPS mengatur tata cara pengambilan dividen yang telah dimasukkan ke dalam cadangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3. Dividen yang telah dimasukkan dalam cadangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tidak diambil dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun akan menjadi hak Perseroan.

Jadi, dividen yang diberikan kepada para pemegang saham perusahaan sebanding dengan jumlah saham yang dipegang oleh masing–masing pemilik dengan tetap menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih setiap tahun buku untuk cadangan dipergunakan untuk menutup kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan lain.

2. Kebijakan Dividen

Perusahaan yang membayar dividen dalam jumlah yang sama besar dengan laba ditahan yang tersedia secara legal sangat sedikit. Alasan utamanya adalah


(54)

sebagai berikut :

1. persetujuan (kontrak obligasi) dengan kreditor tertentu untuk menahan semua atau sebagian laba, dalam bentuk aktiva, guna membentuk proteksi tambahan terhadap kemungkinan kerugian.

2. beberapa hukum perseroan negara mensyaratkan bahwa laba yang ekuivalen dengan biaya saham treasuri yang dibeli untuk diumumkan sebagai dividen.

3. keinginan untuk menahan aktiva yang tidak dibayarkan sebagai dividen guna membiayai pertumbuhan atau ekspansi. Hal ini kadang–kadang disebut sebagai pembiayaan internal, laba yang direinvestasi, atau “menanamkan” kembali laba dalam perusahaan.

4. keinginan untuk memperlancar pembayaran dividen dari tahun ke tahun dengan mengakumulasi laba dalam tahun–tahun yang menghasilkan laba dan menggunakan akumulasi laba itu sebagai dasar membayar dividen dalam tahun– tahun yang buruk.

5. keinginan untuk membentuk pelindung atau penyangga terhadap kemungkinan kerugian atau kesalahan dalam kalkulasi laba.65

Jika seluruh keuntungan yang dihasilkan perusahaan dibayar sebagai dividen kepada para pemegang saham maka perusahaan tidak memiliki cadangan dana (kepentingan akan laba yang ditahan terabaikan) untuk melakukan reinvestment,

sebaliknya jika seluruh keuntungan yang dihasilkan perusahaan akan tetap dipertahankan maka kepentingan pemegang saham akan terabaikan sehingga dapat

65


(55)

menyebabkan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan investor baru dan tidak dapat mengumumkan kenaikan dividen. Oleh karena itu, untuk menjaga dua kepentingan yang saling berbeda, manajer keuangan harus menjalankan kebijakan dividen secara optimal.

Sebagian besar perusahaan mengijinkan pembagian dividen kepada para pemegang saham selama perusahaan berada dalam keadaan tidak insolven. Insolvensi didefenisikan sebagai ketidak–mampuan membayar utang pada saat jatuh tempo dalam bisnis yang normal. Umumnya pembagian dividen harus berasal dari laba ditahan atau laba masa berjalan.

Menurut Weston dan Copeland, kebijakan dividen dipengaruhi oleh :66

a. Undang–Undang

Undang–undang menentukan bahwa dividen harus dibayar dari laba, baik laba tahun berjalan maupun laba tahun lalu yang ada pada pos “laba ditahan (retained earning)” di neraca. Dividen tidak boleh diambil dari modal.

b. Posisi likuiditas

Angka yang tercantum dalam laporan keuangan untuk pos laba ditahan, belum tentu sama dengan kondisi perusahaan sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh adanya aktiva tetap perusahaan yang berasal dari penggunaan dana tersebut (laba tidak disimpan dalam bentuk kas). Jadi, meskipun suatu perusahaan mempunyai catatan mengenai laba, mungkin saja perusahaan tidak dapat membayar dividen secara tunai

66

Wasana Jaka dan Kirbrandoko, Dasar-Dasar Manjemen Keuangan I, (Bandung : Alfabeta, 1993), hal. 147


(56)

karena posisi likuiditasnya (sebenarnya laba tersebut sudah diinvestasikan pada suatu aktiva tetap).

c. Kebutuhan pelunasan utang

Apabila perusahaan mengambil utang (melakukan pinjaman) untuk membiayai ekspansi atau untuk mengganti jenis pembiayaan yang lain, perusahaan tersebut menghadapi dua pilihan. Perusahaan dapat membayar utang itu pada saat jatuh tempo dan menggantikannya dengan jenis surat berharga lain atau melunasi utang tersebut. Jika keputusannya membayar dan melunasi utang tersebut maka biasanya perlu penahanan laba. Oleh karena itu jumlah yang dibayarkan dapat berkurang karena labanya digunakan untuk melunasi utang perusahaan.

d. Tingkat ekspansi aktiva

Semakin cepat suatu perusahaan berkembang maka semakin besar pula kebutuhan untuk membiayai ekspansi perusahaannya. Kalau kebutuhan dana di masa depan semakin besar, perusahaan akan cenderung untuk menahan laba dari pada membayarkannya sehingga ada kesempatan besar untuk melakukan investasi. Namun jika lebih mementingkan pembagian laba yang dibayarkan sebagai dividen, maka hanya sebagian saja laba yang tersisa untuk investasi. Jadi semakin tinggi tingkat ekspansi suatu perusahaan maka semakin besar kebutuhannya akan laba yang ditahan sehingga semakin kecil dividen yang dapat dibayarkan.


(57)

e. Tingkat laba

Tingkat hasil pengembalian yang diharapkan akan menentukan pilihan relatif untuk membayar laba tersebut dalam bentuk dividen kepada pemegang saham (yang akan menggunakan dana itu pada perusahaan lain) atau menggunakannya pada perusahaan tersebut.

f. Stabilitas laba

Suatu perusahaan yang mempunyai laba stabil sering kali dapat memperkirakan berapa besarnya laba di masa yang akan datang. Perusahaan seperti ini biasanya cenderung membayarkan laba dengan persentase yang lebih tinggi dari pada perusahaan yang labanya berfluktuasi. Perusahaan yang tidak stabil, tidak yakin apakah laba yang diharapkan pada tahun–tahun yang akan datang dapat tercapai sesuai harapan sehingga perusahaan cenderung untuk menahan sebagian besar laba saat ini. Pada perusahaan yang kondisi labanya belum stabil cenderung membayarkan dividen dalam jumlah yang relatif lebih rendah dari pada perusahaan yang labanya stabil.

g. Akses ke Pasar Modal

Suatu perusahaan yang besar, telah berjalan baik dan mempunyai catatan profitabilitas dan stabilitas laba akan mempunyai akses yang mudah ke pasar modal. Namum pada perusahaan kecil atau baru, kemampuan untuk menaikkan modalnya atau dana pinjaman dari pasar modal akan terbatas sehingga perusahaan seperti ini


(58)

harus menahan lebih banyak laba untuk membiayai operasionalisasi usahanya. Jadi perusahaan yang sudah mapan cenderung untuk memberi tingkat pembayaran dividen yang lebih tinggi dari pada perusahaan kecil atau baru.

h. Kendali Perusahaan

Sebagai suatu kebijakan, beberapa perusahaan melakukan ekspansi hanya sampai pada tingkat penggunaan laba internal saja. Kebijakan ini didukung oleh pendapat bahwa menghimpun dana melalui penjualan tambahan saham biasa akan mengurangi utang kekuasaan kelompok dominan dalam perusahaan itu. Pada saat yang sama, mengambil utang akan memperbesar resiko naik turunnya laba yang dihadapi pemilik perusahaan saat ini. Pentingnya pembiayaan internal dalam usaha untuk mempertahankan kendali perusahaan akan memperkecil pembayaran dividen.

Menurut Suad dan Enny, dalam menentukan kebijakan dividen perlu memperhatikan faktor–faktor sebagai berikut :67

a. Operating cash flow

Jika dana yang diperoleh dari operasi perusahaan dapat dipergunakan dengan menguntungkan maka dividen tidak perlu dibagikan terlalu besar. Jadi tidak benar bahwa perusahaan harus membagikan dividen sebesar–besarnya.

b. Tingkat laba

Karena ada keengganan untuk menurunkan pembayaran dividen per lembar saham, ada baiknya jika perusahaan menentukan dividen dalam jumlah yang tidak

67

Suad Husnan dan Enny Pudjiastuti, Dasar-dasar Manajemen Keuangan, (Yogyakarta:UPP YKPN, 1998), hal. 139


(59)

terlalu besar. Dengan demikian, memudahkan perusahaan untuk meningkatkan pembayaran dividen jika laba perusahaan meningkat dan tidak perlu segera menurunkan dividen jika laba menurun.

c. Kesempatan investasi

Jika perusahaan menghadapi kesempatan investasi yang menguntungkan, lebih baik perusahaan mengurangi pembayaran dividen daripada menerbitkan saham baru. Penurunan pembayaran dividen mungkin akan diikuti oleh penurunan harga saham tetapi jika pasar modal efisien maka harga saham akan menyesuaikan kembali dengan informasi yang sebenarnya.

d. Biaya transakasi

Untuk merealisir uang kas, pemegang saham perlu menjual (sebagian) saham sedangkan pembayaran dividen berarti menerima uang kas. Namun jika investor menjual saham, maka terkena biaya transaksi. Dengan demikian, jika tidak ada faktor pajak maka menerima deviden akan lebih menguntungkan daripada memperoleh

capital gains sehingga investor cenderung memilih saham yang membagikan dividen secara teratur.

e. Pajak Penghasilan

Karena investor juga membayar pajak penghasilan maka investor yang sudah berada dalam tax brecket yang tinggi, mungkin akan lebih menyukai untuk tidak menerima dividen karena membayar pajak, dan memilih menikmati capital gains.


(60)

Jika sebagian besar pemegang saham merupakan investor yang mempunyai tax bracket tinggi, pembagian dividen akan cenderung tidak terlalu besar.

Kelompok lain menganut kriteria: a. perusahaan harus solven, dan

b. pembagian tidak boleh melebihi nilai wajar aktiva bersih

Menurut kriteria ini pembagian tidak dibatasi pada laba ditahan atau laba masa berjalan yang ditentukan atau tidak dikaitkan dengan nilai buku aktiva, tetapi dikaitkan dengan nilai wajar (taksiran) aktiva – suatu kriteria baru yang perlu dicatat.

C. Prosedur pembagian Dividen

Keputusan pembayaran dividen pada pemegang saham dilakukan oleh dewan direksi. Dewan direksi secara umum bertemu setiap tiga bulan atau semester untuk mengevaluasi kinerja keuangan dan memutuskan apakah dan berapa dividen yang akan dibagikan. Pembagian dividen dapat dilakukan secara kuartalan ataupun tahunan, tergantung kebijaksanaan yang ditetapkan oleh masing–masing perusahaan.68

Adapun prosedur pembagian dividen yang aktual adalah sebagai berikut :

a. Tanggal pengumuman adalah tanggal pada saat pembayaran dividen diumumkan oleh perusahaan.

b. Tanggal ex–dividend adalah tanggal dimana pembeli saham sebelum tanggal tersebut berhak atas dividen.

68


(61)

c. Tanggal pencatatan adalah tanggal dimana semua pemegang saham yang terdaftar pada tanggal tersebut berhak atas dividen.

d. Dividen dibayarkan pada tanggal pembayaran kepada semua pemegang saham yang berhak menurut catatan yang dibuat pada tanggal pencatatan. Meskipun secara formal tanggal pencatatan merupakan tanggal yang penting, tetapi secara ekonomis, tanggal ex–dividend merupakan tanggal yang penting.69

Terkait dengan pembagian dividen ini, perlu diperhatikan bahwa laporan keuangan secara berkala penting bagi para pemegang saham, mengingat laporan ini terdiri dari neraca, laporan laba / rugi, laporan saldo, laporan arus kas, catatan–catatan atas laporan keuangan dan lain–lain. Berdasarkan laporan–laporan tersebut dapat disusun evaluasi untuk cash flow yang akan datang dan selanjutnya membuat estimasi nilai saham. Laporan harus mengandung informasi yang akurat dan dapat diperkirakan (predictability) sehingga menjamin uang itu bergerak kepada pemegang saham yang bisa menggunakannya lebih efektif.70

Jadi, meskipun keputusan untuk membagi dividen berada dalam kuorum kehadiran rapat dan kuorum persetujuan rapat yang boleh dikatakan paling kecil, namun jika ternyata pembagian dividen tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan modal dasar, modal ditempatkan atau modal dikeluarkan, maka seluruh proses terkait dengan peningkatan modal tersebut harus dilaksanakan sebagaimana

69

Ibid.

70

Nasution Bismar, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Pasca Sarjana), hal. 152-153


(62)

mestinya, sebelum pembagian dividen saham yang mengakibatkan peningkatan modal tersebut berlaku efektif.

Jika pembagian dividen saham menyebabkan terjadinya peningkatan modal dasar, maka harus diselenggarakan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham yang khusus diselenggarakan untuk mengubah Anggaran Dasar perseroan. Risalah Rapat Umum Pemegang Saham yang mengubah Anggaran Dasar Perseroan Terbatas tersebut selanjutnya harus disetujui oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (MenHukHAM), didaftarkan dalam Daftar Perseroan dan diumumkan dalam Berita Negara. Selanjutnya dalam hal pembagian dividen tersebut hanya meningkatkan modal ditempatkan atau modal dikeluarkan, maka Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham yang diselenggarakan adalah rapat dengan kuorum kehadiran biasa, dengan persetujuan sebagaimana halnya pengambilan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Biasa, sedangkan hasil dari Rapat Umum Pemegang Saham ini cukup disampaikan atau diberitahukan ke Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (MenHukHAM) dan selanjutnya didaftarkan dalam Daftar Perseroan.71

D. Dasar Hukum Pajak Penghasilan atas Pembagian Dividen

Kondisi internal dan eksternal negara kita terus berkembang yang mempengaruhi sendi–sendi perekonomian, politik, sosial, administrasi, manajemen dan lainnya telah mendorong pemerintah melakukan perubahan atas beberapa

71


(63)

undang–undang perpajakan yang ada. Perubahan itu bertujuan untuk mengakomodir perkembangan yang terjadi dan menyesuaikan aturan perpajakan.72

1. Dasar Hukum Pajak Penghasilan

Selanjutnya untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak atas pembagian dividen, terlebih dahulu memahami batasan tentang penghasilan yang menjadi objek pajak penghasilan, yang dirumuskan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang– Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang menyatakan :

“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomi yang diterima atau diperoleh Wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk :

a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang di terima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang–undang ini;

b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan; c. laba usaha;

d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :

1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; 3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,

pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usahaa mikro dan kecil yang ketentuannya diatur lebih lanjut

72


(1)

b. yang bukan objek pajak, adalah penghasilan yang diterima yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf f ; huruf i ; dan huruf k.

3. Kepentingan kepastian hukum pajak pada dasarnya lebih mengutamakan pada kepentingan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh masyarakat dan pengamanan penerimaan negara, bukannya pada maksud untuk memenjara, menyandera atau menghukum pembayar pajak. Kepentingan kepastian dan keadilan haruslah lebih ditujukan pada kemanfaatan dan kepentingan penerimaan pajak itu sendiri, yang pada umumnya digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar–besarnya kemakmuran masyarakat. Landasan filosofi hukum pajak yang demikian akan memberikan manfaat bagi kepentingan peneriman pajak dan kepastian hukum pajak. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak terdapat pihak–pihak yang melakukan perlawanan untuk tidak melaksanakan kewajiban perpajakan, baik secara tidak sengaja maupun secara kesengajaan. Demi menciptakan kepastian dan rasa keadilan hukum serta mengamankan penerimaan negara maka bagi para pelanggar ketentuan perpajakan diancam pidana kurungan sesuai dengan Pasal 38 dan Pasal 39 Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

B. Saran

1. Pembagian dividen umumnya didasarkan atas akumulasi laba, yaitu laba ditahan, atas beberapa pos modal lainnya, yang merupakan tambahan penghasilan bagi si


(2)

penerima, namun hendaknya prosedur pembagian dividen ini telah melaksanakan prinsip–prinsip pengelolaan perusahaan (good corporate governance) yang bermanfaat, antara lain :

a. pemastian adanya perlindungan atas hak–hak pemilik saham baik pemilik saham minoritas maupun asing, dan pemastian diberlakukannya kontrak yang adil dengan penyedia sumber daya / bahan;

b. pengklarifikasian peran dan tanggung jawab pengelola serta usaha–usaha yang dapat membantu memastikan kepentingan pengelolaan dan kepentingan pemilik saham;

c. pemastian bahwa perusahaan memenuhi kewajiban hukum dan peraturan lainnya yang menggambarkan penilaian masyarakat yaitu di bidang trasparansi, kejujuran, dan mampu bertanggung jawab.

2. Reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah akan mampu memperbaiki citra Direktorat Jenderal Pajak di mata masyarakat. Diharapkan masyarakat akan sangat bersahabat dengan pajak dan akhirnya mau membayar pajak secara sukarela sesuai ketentuan dan sistem yang berlaku, seperti modernisasi administrasi perpajakan dan pembentukan Kantor Pelayanan Pajak Modern (Large Tax Office (LTO), Madya Tax Office (MTO), dan Small Tax Office (STO)), memberikan harapan bahwa Direktorat Jenderal Pajak akan mampu menyediakan pelayanan yang prima bagi masyarakat. Layanan itupun sejalan


(3)

dengan kerangka good governance. Dengan demikian, seluruh potensi pajak dapat tergali, baik secara prosedural maupun secara sistem informasi.

3. Menciptakan suasana dan kondisi bahwa kesadaran hukum serta peduli pajak merupakan peranan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang diharapkan membuat makin membaiknya perekonomian nasional sebagai salah satu faktor penentu utama dalam penerimaan pajak. Keterlibatan aktif masyarakat dalam memerangi berbagai penyimpangan pajak harus digalakkan. Bahwa peran masyarakat bukan sekedar membayar pajak, tetapi juga mengawasi, karena hal ini akan mengurangi beban pajak mereka dan mengurangi persaingan tidak sehat yang menguntungkan kompetitor bisnis mereka.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisisu, 1998

A. Syarifuddin Alsah, Pemotongan-Pemungutan Pajak Penghasilan, Jakarta: Kharisma Bintang Kreativitas Prima, 2002

Alvi Syahrin, Pengaturan dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, Bandung: Book Terrace & Library, 2007

Burhan Bungin, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003

Chatamarrasjid, Penyingkapan Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veil), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000

Gunawan Widjaja, Hak Individu & Kolektif Para Pemegang Saham, Jakarta; Forum Sahabat, 2008

H.R.Otje Salman S., Teori Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2007

J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999

Jaka Wasana dan Kirbrandoko, Dasar-Dasar Manjemen Keuangan I, Bandung : Alfabeta, 1993

John M. Echols and Hasan Shadily, An English-Indonesian Dictionary, Jakarta: Gramedia, 2003


(5)

Koperasi Pegawai KP DJP, Tinjauan Perpajakan Indonesia, Jakarta: Gemilang Gagasanido Handal, 2006

L. Thian Hin, Panduan Berinvestasi Saham, Jakarta; Gramedia, 2001

Liberty Pandiangan, Pemahaman Praktis Undang-Undang Perpajakan Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2002

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005

P. Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2004

R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Refika Aditama, 2008

Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia, 1982 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006

Smith, Jay M. dan Skousen, K Fred, Akuntansi Intermediate, Jakarta : Erlangga, 1993

Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Jakarta: Binacipta, 1983

______________, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1984 Suad Husnan dan Enny Pudjiastuti, Dasar-dasar Manajemen Keuangan,

Yogyakarta:UPP YKPN, 1998

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982

B. Karya Ilmiah

Bismar Nasution, Kumpulan Makalah Privatisasi BUMN dan Good Corporate Governance, Medan; Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum, 2007

______________,Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Medan: SPs USU, 2005


(6)

Mochamad Tjiptardjo, Makalah Pajak yang Disampaikan dalam Seminar Sehari Undang–Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Balai Raya – Tiara Convention Centre, Medan; 2007

C. Perundang-undangan

Keputusan Menteri Keuangan No. 541/KMK.04/2000

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 256/PMK.03/2008 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek.

Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang– Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang– Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

Undang–Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang–Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

D. Majalah dan Informasi Lain

Berita internet, http://elon.bahan ajar.umb.co.id

Berita internet, http://saptohermawan.staffhukum.uns.ac.id Kamus Besar Bahasa Indonesia

Majalah Berita Pajak, Vol. XLI No. 1622, 1 November 2008 ______________, Vol. XLI No. 1625, 15 Desember 2008 ______________, Vol. XLI No. 1627, 15 Januari 2009