Farmakoterapi pada rinitis alergi

2.12.1 Farmakoterapi pada rinitis alergi

Meskipun allergen avoidance merupakan upaya utama dalam penanganan RA, tetapi dalam praktek tidak mudah untuk dilaksanakan sehingga terapi yang populer adalah farmakoterapi, yakni pengobatan dengan menggunakan medikamentosa. Medikamentosa yang sangat dibutuhkan penderita adalah medikamentosa yang dapat mengurangi gejala terapi simtomatik dan bekerja cepat. Obat – obat yang dapat menghilangkan atau mengurangi gejala bersin, rinore serta buntu hidung banyak digunakan dan laku keras karena dalam waktu singkat untuk sementara dapat mengatasi masalah penderita. Beberapa jenis obat telah digunakan pada terapi RA seperti antihistamin, dekongestan, kortikosteroid, stabilisator mastosit dan obat antikolinergik, dengan pengaruhnya masing – masing terhadap gejala RA. Pemilihan obat perlu mengacu pada simtom yang dirasakan oleh penderita, sehingga dapat dipilih obat yang sesuai dengan kebutuhan, baik berupa obat tunggal maupun kombinasi. TABEL 2. Terapi Farmakologis Rinitis Alergi Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

2.12.1.1. Antihistamin

Antihistamin adalah antagonis reseptor H1 yang akan menghalangi bersatunya histamin dengan reseptor H1 yang terdapat di ujung saraf dan epitel kelenjar pada mukosa hidung. Akhir-akhir ini antihistamin didefenisikan sebagai inverse H 1 -receptor agonists yang menstabilkan reseptor H1 yang inaktif sehingga aktifasi oleh histamin dapat dicegah. Dengan demikian obat ini efektif untuk menghilangkan gejala rinore dan bersin sebagai akibat dilepaskannnya histamin pada RA Mulyarjo, 2006. Antihistamin lama generasi pertama sudah terbukti secara klinis sangat efektif mengurangi gejala bersin dan rinorea akan tetapi mempunyai efek samping yang kurang menguntungkan yaitu menyebabkan efek mengantuk karena obat tersebut masuk ke peredaran darah otak. Oleh karena itu penderita yang menggunakan obat ini dianjurkan untuk tidak mengendarai mobil atau mengoperasikan mesin karena dapat membahayakan. Secara klinis antihistamin generasi ini sangat efektif menghilangkan rinore karena mempunyai efek antikolinergik. Efek ini terjadi karena kapasitas ikatan obat terhadap reseptor yang tidak selektif sehingga obat terikat juga pada reseptor kolinergik. Kekurangan lain dari antihistamin generasi pertama adalah ikatannya yang tidak stabil dengan reseptor H1, sehingga daya kerjanya pendek. Efek samping yang lain adalah : mulut kering, peningkatan nafsu makan dan retensi urin. Sampai sekarang antihistamin golongan ini masih banyak digunakan karena masih efektif dan murah. Beberapa contoh antihistamin generasi lama yang sampai kini masih popular adalah : klorfeniramin, difenhidramin dan triprolidin Mulyarjo, 2006. Munculnya antihistamin generasi baru dapat menutup kelemahan antihistamin lama. Karena tidak menembus sawar otak, antihistamin baru bersifat non-sedatif, sehingga penderita yang menggunakan obat ini dapat aman dan tidak terhambat dalam melakukan aktifitasnya. Kelebihan lain antihistamin baru adalah mempunyai masa kerja yang panjang sehingga penggunaannya lebih praktis karena cukup diberikan sekali sehari. Antihistamin baru tersebut adalah : astemizol, loratadin, setirizin, terfenadin. Beberapa antihistamin baru kemudian dilaporkan menyebabkan gangguan jantung pada pemakaian jangka panjang astemizol, terfenadin, sehingga dibeberapa negara obat – obat tersebut tidak digunakan lagi. Antihistamin yang unggul adalah yang bekerja cepat Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008 dengan waktu kerja yang panjang, yang tidak ada efek sedatif dan tidak ada toksik terhadap jantung Mulyarjo, 2006. Penemuan obat baru ditujukan untuk meningkatkan kerja obat dalam mencegah dilepaskannya mediator inflamasi pada RA serta untuk meningkatkan keamanan obat. Akhir – akhir ini beberapa antihistamin generasi baru dilaporkan mempunyai aktivitas mencegah lepasnya mediator inflamasi dari basofil dan mastosit. Aktifitas ini berbeda ragamnya antara satu obat dengan yang lainnya. Beberapa antihistamin dapat mencegah terlepasnya mediator lain seperti platelet activating factor PAF, prostaglandin serta mencegah migrasi eosinofil, basofil dan netrofil. Pada Rinitis Alergi Persisten RAP buntu hidung merupakan gejala yang paling menonjol terutama karena banyaknya infiltrasi sel radang pada mukosa rongga hidung sehingga antihistamin generasi baru inilah yang dapat memenuhi kebutuhan pengobatan. Antihistamin baru yang dipasarkan akhir-akhir ini adalah feksofenadin sebagai turunan terfenadin, desloratadin sebagai turunan loratadin dan levosetirizin sebagai stereoisomer setirizin. Desloratadin adalah antihistamin baru yang merupakan antagonis reseptor H1 yang efektif baik untuk rinitis alergi maupun urtikaria. Ia merupakan satu dari sejumlah metabolit aktif dari loratadin. Desloratadin bekerja cepat dan mempunyai masa kerja yang lama sampai 24 jam penuh, karena waktu paruhnya yang panjang. Dilaporkan juga bahwa desloratadin mempunyai efek menghambat kerja sel inflamasi dalam melepaskan mediator-mediator seperti sitokin, kemokin dan molekul adesi yang merupakan komponen pengatur respon alergi inflamasi akibat paparan alergen. Di dalam penelitian klinik dilaporkan bahwa desloratadin mempunyai efikasi yang sangat baik pada pengobatan rinits alergi persisten RAP dan rinitis alergi intermiten RAI serta keamanan yang setara dengan antihistamin lainnya. Dilaporkan pula bahwa obat ini juga mempunyai khasiat mengurangi buntu hidung Mulyarjo, 2006.

2.12.1.2 Dekongestan

Mukosa konka nasi inferior mempunyai vaskularisasi yang sangat komplek. Pembuluh darah submukosa membentuk anyaman sinusoid yang terdiri dari pembuluh darah kapasitan dan resistan yang bertugas mengatur luas rongga hidung. Tugas ini berada dalam kontrol saraf otonom. Noradrenalin yang dilepaskan di dalam mukosa Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008 hidung merangsang reseptor -adrenergik sehingga terjadi vasokontriksi pembuluh darah, menyebabkan penyusutan konka sehingga rongga hidung menjadi lapang. Peristiwa ini terjadi karena aktivitas simpatik. Sebaliknya yang terjadi pada aktivitas parasimpatik akan terjadi buntu hidung. Pada rinitis alergi pengaruh berbagai mediator akan menyebabkan timbulnya buntu hidung, karena vasodilatasi pembuluh darah. Dekongestan merupakan vasokonstriktor, yakni obat yang bersifat agonis - adrenergik sehingga dapat berikatan dengan reseptor -adrenergik yang ada di dalam mukosa rongga hidung dan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah konka, akibatnya dapat mengurangi menghilangkan buntu hidung Mulyarjo, 2006. Dalam praktek dekongestan dapat digunakan secara sistemik oral, yakni efedrin, fenil propanolamin dan pseudo-efedrin atau secara topikal dalam bentuk tetes hidung maupun semprot hidung yakni fenileprin, efedrin dan semua derivat imidazolin. Penggunaan secara topikal lebih cepat dalam mengatasi buntu hidung dibandingkan dengan penggunaan sistemik. Tetes hidung sangat efektif untuk mengatasi buntu hidung pada rinitis alergi, akan tetapi pemakaian jangka panjang 7 hari tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan rinitis medikamentosa. Ini terjadi karena pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan reseptor adrenergik dalam mukosa hidung menjadi tidak peka lagi terhadap dekongestan. Pada rinitis medikamentosa penderita akan mengeluh hidung buntu berkepanjangan dan tidak responsif terhadap pemberian dekongestan. Pemberian dekongestan oral tidak dianjurkan untuk jangka panjang, terutama karena mempunyai efek samping stimulan Susunan Saraf Pusat SSP, menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Obat ini tidak boleh diberikan pada penderita hipertensi, penyakit jantung koroner, hipertiroid dan hipertropi prostat. Dekongestan oral pada umumnya terdapat dalam bentuk kombinasi dengan antihistamin atau dengan obat lain seperti antipiretik dan antitusif yang banyak dijual sebagai obat bebas Mulyarjo, 2006.

2.12.1.3 Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah obat antiinflamasi yang kuat dan berperan penting dalam pengobatan RA. Penggunaan secara sistemik dapat dengan cepat mengatasi inflamasi Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008 yang akut sehingga dianjurkan hanya untuk penggunaan jangka pendek yakni pada gejala buntu hidung yang berat. Gejala buntu hidung merupakan gejala utama yang paling sering mengganggu penderita RA yang berat. Pada kondisi akut kortikosteroid oral diberikan dalam jangka pendek 7-14 hari dengan tapering off, tergantung dari respon pengobatan. Kortikosteroid meskipun mempunyai khasiat anti inflamasi yang tinggi, namun juga mempunyai efek sistemik yang tidak menguntungkan. Pemakaian intranasal akan memaksimalkan efek topikal pada mukosa hidung dan mengurangi efek sistemik. Berbagai produk kortikosteroid intranasal telah dipasarkan dengan menggunakan berbagai karakteristik. Produk yang memenuhi kebutuhan adalah yang efektif dan aman serta praktis pemakainnya. Untuk meningkatkan keamanan kortikosteroid intranasal digunakan obat yang mempunyai efek topikal yang kuat dan efek sistemik yang rendah. Produk mempunyai kelebihan dalam meminimalkan efek sistemik tersebut. Kepraktisan dalam pemakaian, rasa serta bau obat akan mempengaruhi kepatuhan penderita dalam menggunakan obat jangka panjang. Dosis sekali sehari lebih disukai dari pada dua kali sehari karena lebih praktis sehingga meningkatkan kepatuhan. Beberapa kortikosteroid intranasal yang banyak digunakan diantaranya adalah beklometason, flutikason, mometason dan triamsinolon. Keempat obat tersebut mempunyai efektifitas dan keamanan yang tidak berbeda Mulyarjo, 2006. Berkaitan dengan kelebihan dan kekurangan dari antihistamin dan kortikosteroid intranasal untuk pengobatan rinitis alergi. Weiner et al, melakukan suatu meta-analisis terhadap sejumlah penelitian yang sudah dilakukan untuk membandingkan efikasi antihistamin dengan kortikosteroid intranasal pada pengobatan RA dan menyimpulkan bahwa efektifitas kortikosteroid intranasal secara bermakna lebih disukai dari pada antihistamin untuk pengobatan rinitis alergi Mulyarjo, 2006.

2.12.1.4 Antagonis leukotrien

Leukotrien adalah asam lemak tak jenuh yang mengandung karbon yang dilepaskan selama proses inflamasi. Leukotrien LTA4, LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE4 dimetabolisasi melalui jalur 5-lipoxigenase sebagai respon terhadap paparan alergen dan dapat menyebabkan inflamasi, kenaikan produksi mukus dan bronko-konstriksi. Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008 Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan merupakan bagian dari grup asam lemak yang disebut eikosanoid. Senyawa ini diturunkan melalui aktivasi berbagai tipe sel oleh lipoksigenasi asam arakhidonat yang dibebaskan oleh fosfolipase A2 di membran perinuklear yang memisahkan nukleus dari sitoplasma. Asam arakidonat sendiri merupakan subsrat dari siklo-oksigenase yang aktivitasnya menghasilkan prostaglandin dan tromboksan Mulyarjo, 2006. Sintesis leukotrien oleh aktifitas enzim 5-lipoksigenase terhadap asam arakidonat. Enzim tersebut tidak dapat memetabolisme asam arakidonat bebas, tetapi harus berikatan dulu dengan protein membran yang disebut FLAP 5-lipoksigenase activating protein. Interaksi asam arakidonat dengan FLAP dan 5-lipoksigenase menghasilkan komposisi 5- hydroxyperoxy-eiocosatetraenoic acid 5-HPETE yang tidak stabil. Selanjutnya komposisi tersebut akan berkurang atau berubah menjadi leukotrien A4 LTA4. Karena pengaruh hidrolase LTA4 diubah menjadi LTB4, sedangkan enzim sintase glutathione- S-trasferase mengubahnya menjadi LTC4. Selanjutnya enzim transpeptidase mengubah LTC4 menjadi LTD4 dan LTD4 diubah menjadi LTE4 oleh enzim dipeptidase. Ketiga leukotrien terakhir inilah yang berpengaruh pada inflamasi, spasmus bronkus dan hyperresponsivness. Dengan demikian leukotrien juga merupakan mediator penting terjadinya buntu hidung pada rinitis alergi. Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008 Skema 3. Sintesa Leukotrien Dalam upaya pengobatan RA belakangan ini berkembang obat antileukotrien yang dinilai cukup besar manfaatnya bagi pengobatan RA. Ada dua macam antileukotrien yakni inhibitor sintesis leukotrien dan antagonis reseptor leukotrien. Yang terbaru dapat satu inhibitor sintesis leukotrien dan tiga antagonis reseptor leukotrien, yakni CysLT1 dan CysLT2. Yang pertama merupakan reseptor yang sensitif terhadap antagonis leukotrien yang dipakai pada pengobatan RA. Pada dasarnya antileokutrien bertujuan untuk menghambat kerja leukotrien sebagai mediator inflamasi yakni dengan cara memblokade reseptor leukotrien atau menghambat sintesis leukotrien. Dengan demikian diharapkan gejala akibat proses inflamasi pada RA maupun asma dapat ditekan. Tiga obat antileukotrien yang pernah dilaporkan penggunaannya yakni dua antagonis reseptor zafirlukast dan montelukast, serta satu inhibitor lipoksigenase zileuton. Laporan hasil penggunaan obat-obat tersebut pada RA belum secara luas dipublikasikan sehingga efektifitasnya belum banyak diketahui Mulyarjo, 2006. Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

2.12.2 Imunoterapi spesifik