2. Membandingkan bintul yang terjadi pada masing – masing ekstrak alergen yang
diberikan dengan kontrol positif histamin dan kontrol negatif saline. Metode ini disebut metode Pepys dengan penilaian sebagai berikut : Madiadipoera, 1996;
Sumarman, 2001. •
- negatif : apabila sama dengan kontrol negatif.
• + 1 ringan
: apabila bintul wheal lebih besar dari kontrol negatif dan atau terdapat daerah eritema.
• +2 sedang
: apabila bintul lebih kecil dari kontrol positif tetapi 2 mm lebih besar dari kontrol negatif.
• +3 kuat
: apabila bintul sama besar dengan kontrol positif •
+4 sangat kuat :apabila bintul lebih besar dari kontrol positif
3. Menurut GLORIA Global Resources in Allergy, 2003, bintul wheal yang
terjadi dengan diameter 3mm menunjukkan bahwa pasien menghasilkan anti
bodi IgE terhadap alergen yang spesifik Kaplan et al, 2003.
Tes intradermal
memiliki sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tes
kulit cukit, walaupun reaksi positif palsu dan reaksi anafilaksis lebih sering terjadi. Sebaiknya yang dilakukan tes intradermal hanya yang memberikan hasil negatif pada tes
kulit cukit. SET Skin End Point Titration merupakan pengembangan tes intradermal larutan
tunggal disebut juga pengenceran larutan berganda dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui
alergen penyebab, dapat juga menentukan derajat alergi serta dosis awal untuk imunoterapi Irawati, 2002.
2.11 Diagnosis Banding.
Rinitis alergi perlu dibedakan dari rinitis vasomotor ataupun idiopatik, rinitis infeksiosa, rinitis sekunder dari obat-obatan baik lokal Neo-Synephrine dan kokain
maupun sistemik beta bloker, aspirin, reserpin, morfin, rinitis sekunder dari faktor mekanis, tumor hidung, polip hidung, rinore serebrospinal, iritan kimia, faktor psikologis
dan mastositosis hidung. Disamping alergi, penderita polip hidung perlu dievaluasi terhadap sinusitis infeksiosa dan pada anak fibrosis kistik. Sinusitis dengan etiologi
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008
nonalergi, misalnya trauma, zat kimia, imunodefisiensi, fibrosis kistik, sindrom Kartagener, penyakit granulomatosa kronik dan infeksi perlu dipertimbangkan dalam
diagnosis banding Blumenthal, 1997.
2.12 Terapi Rinitis Alergi
Pedoman terapi rinitis alergi RA yang selama ini dipakai adalah yang direkomendasikan oleh The Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma ARIA, suatu
workshop yang diselenggarakan oleh panel pakar yang bekerja sama dengan WHO. Dari workshop tersebut dihasilkan pedoman penanganan RA berdasarkan data dari berbagai
randomized controlled trial. Penanganan yang direkomendasikan termasuk menghindari alergen, terapi farmakologi, imunoterapi spesifik, edukasi dan pembedahan. Di samping
itu juga direkomendasikan agar penanganan dilakukan dengan pendekatan bertahap, berdasarkan pada berat ringan penyakit Mulyarjo, 2006.
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008
Skema 2. Pengobatan Rinitis Alergi ARIA, 2000
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008
2.12.1 Farmakoterapi pada rinitis alergi
Meskipun allergen avoidance merupakan upaya utama dalam penanganan RA, tetapi dalam praktek tidak mudah untuk dilaksanakan sehingga terapi yang populer
adalah farmakoterapi, yakni pengobatan dengan menggunakan medikamentosa. Medikamentosa yang sangat dibutuhkan penderita adalah medikamentosa yang dapat
mengurangi gejala terapi simtomatik dan bekerja cepat. Obat – obat yang dapat menghilangkan atau mengurangi gejala bersin, rinore serta buntu hidung banyak
digunakan dan laku keras karena dalam waktu singkat untuk sementara dapat mengatasi masalah penderita. Beberapa jenis obat telah digunakan pada terapi RA seperti
antihistamin, dekongestan, kortikosteroid, stabilisator mastosit dan obat antikolinergik, dengan pengaruhnya masing – masing terhadap gejala RA.
Pemilihan obat perlu mengacu pada simtom yang dirasakan oleh penderita, sehingga dapat dipilih obat yang sesuai dengan kebutuhan, baik berupa obat tunggal
maupun kombinasi.
TABEL 2. Terapi Farmakologis Rinitis Alergi
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008
2.12.1.1. Antihistamin
Antihistamin adalah antagonis reseptor H1 yang akan menghalangi bersatunya histamin dengan reseptor H1 yang terdapat di ujung saraf dan epitel kelenjar pada
mukosa hidung. Akhir-akhir ini antihistamin didefenisikan sebagai inverse H
1
-receptor agonists yang menstabilkan reseptor H1 yang inaktif sehingga aktifasi oleh histamin
dapat dicegah. Dengan demikian obat ini efektif untuk menghilangkan gejala rinore dan bersin sebagai akibat dilepaskannnya histamin pada RA Mulyarjo, 2006.
Antihistamin lama generasi pertama sudah terbukti secara klinis sangat efektif mengurangi gejala bersin dan rinorea akan tetapi mempunyai efek samping yang kurang
menguntungkan yaitu menyebabkan efek mengantuk karena obat tersebut masuk ke peredaran darah otak. Oleh karena itu penderita yang menggunakan obat ini dianjurkan
untuk tidak mengendarai mobil atau mengoperasikan mesin karena dapat membahayakan. Secara klinis antihistamin generasi ini sangat efektif menghilangkan rinore karena
mempunyai efek antikolinergik. Efek ini terjadi karena kapasitas ikatan obat terhadap reseptor yang tidak selektif sehingga obat terikat juga pada reseptor kolinergik.
Kekurangan lain dari antihistamin generasi pertama adalah ikatannya yang tidak stabil dengan reseptor H1, sehingga daya kerjanya pendek. Efek samping yang lain adalah :
mulut kering, peningkatan nafsu makan dan retensi urin. Sampai sekarang antihistamin golongan ini masih banyak digunakan karena masih efektif dan murah. Beberapa contoh
antihistamin generasi lama yang sampai kini masih popular adalah : klorfeniramin, difenhidramin dan triprolidin Mulyarjo, 2006.
Munculnya antihistamin generasi baru dapat menutup kelemahan antihistamin lama. Karena tidak menembus sawar otak, antihistamin baru bersifat non-sedatif,
sehingga penderita yang menggunakan obat ini dapat aman dan tidak terhambat dalam melakukan aktifitasnya. Kelebihan lain antihistamin baru adalah mempunyai masa kerja
yang panjang sehingga penggunaannya lebih praktis karena cukup diberikan sekali sehari. Antihistamin baru tersebut adalah : astemizol, loratadin, setirizin, terfenadin.
Beberapa antihistamin baru kemudian dilaporkan menyebabkan gangguan jantung pada pemakaian jangka panjang astemizol, terfenadin, sehingga dibeberapa negara obat –
obat tersebut tidak digunakan lagi. Antihistamin yang unggul adalah yang bekerja cepat
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008
dengan waktu kerja yang panjang, yang tidak ada efek sedatif dan tidak ada toksik terhadap jantung Mulyarjo, 2006.
Penemuan obat baru ditujukan untuk meningkatkan kerja obat dalam mencegah dilepaskannya mediator inflamasi pada RA serta untuk meningkatkan keamanan obat.
Akhir – akhir ini beberapa antihistamin generasi baru dilaporkan mempunyai aktivitas mencegah lepasnya mediator inflamasi dari basofil dan mastosit. Aktifitas ini berbeda
ragamnya antara satu obat dengan yang lainnya. Beberapa antihistamin dapat mencegah terlepasnya mediator lain seperti platelet activating factor PAF, prostaglandin serta
mencegah migrasi eosinofil, basofil dan netrofil. Pada Rinitis Alergi Persisten RAP buntu hidung merupakan gejala yang paling menonjol terutama karena banyaknya
infiltrasi sel radang pada mukosa rongga hidung sehingga antihistamin generasi baru inilah yang dapat memenuhi kebutuhan pengobatan. Antihistamin baru yang dipasarkan
akhir-akhir ini adalah feksofenadin sebagai turunan terfenadin, desloratadin sebagai turunan loratadin dan levosetirizin sebagai stereoisomer setirizin.
Desloratadin adalah antihistamin baru yang merupakan antagonis reseptor H1 yang efektif baik untuk rinitis alergi maupun urtikaria. Ia merupakan satu dari sejumlah
metabolit aktif dari loratadin. Desloratadin bekerja cepat dan mempunyai masa kerja yang lama sampai 24 jam penuh, karena waktu paruhnya yang panjang. Dilaporkan juga
bahwa desloratadin mempunyai efek menghambat kerja sel inflamasi dalam melepaskan mediator-mediator seperti sitokin, kemokin dan molekul adesi yang merupakan
komponen pengatur respon alergi inflamasi akibat paparan alergen. Di dalam penelitian klinik dilaporkan bahwa desloratadin mempunyai efikasi yang sangat baik pada
pengobatan rinits alergi persisten RAP dan rinitis alergi intermiten RAI serta keamanan yang setara dengan antihistamin lainnya. Dilaporkan pula bahwa obat ini juga
mempunyai khasiat mengurangi buntu hidung Mulyarjo, 2006.
2.12.1.2 Dekongestan
Mukosa konka nasi inferior mempunyai vaskularisasi yang sangat komplek. Pembuluh darah submukosa membentuk anyaman sinusoid yang terdiri dari pembuluh
darah kapasitan dan resistan yang bertugas mengatur luas rongga hidung. Tugas ini berada dalam kontrol saraf otonom. Noradrenalin yang dilepaskan di dalam mukosa
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008
hidung merangsang reseptor -adrenergik sehingga terjadi vasokontriksi pembuluh darah, menyebabkan penyusutan konka sehingga rongga hidung menjadi lapang. Peristiwa ini
terjadi karena aktivitas simpatik. Sebaliknya yang terjadi pada aktivitas parasimpatik akan terjadi buntu hidung. Pada rinitis alergi pengaruh berbagai mediator akan
menyebabkan timbulnya buntu hidung, karena vasodilatasi pembuluh darah. Dekongestan merupakan vasokonstriktor, yakni obat yang bersifat agonis -
adrenergik sehingga dapat berikatan dengan reseptor -adrenergik yang ada di dalam mukosa rongga hidung dan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah konka,
akibatnya dapat mengurangi menghilangkan buntu hidung Mulyarjo, 2006. Dalam praktek dekongestan dapat digunakan secara sistemik oral, yakni efedrin,
fenil propanolamin dan pseudo-efedrin atau secara topikal dalam bentuk tetes hidung maupun semprot hidung yakni fenileprin, efedrin dan semua derivat imidazolin.
Penggunaan secara topikal lebih cepat dalam mengatasi buntu hidung dibandingkan dengan penggunaan sistemik.
Tetes hidung sangat efektif untuk mengatasi buntu hidung pada rinitis alergi, akan tetapi pemakaian jangka panjang 7 hari tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan
rinitis medikamentosa. Ini terjadi karena pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan reseptor adrenergik dalam mukosa hidung menjadi tidak peka lagi terhadap dekongestan.
Pada rinitis medikamentosa penderita akan mengeluh hidung buntu berkepanjangan dan tidak responsif terhadap pemberian dekongestan.
Pemberian dekongestan oral tidak dianjurkan untuk jangka panjang, terutama karena mempunyai efek samping stimulan Susunan Saraf Pusat SSP, menyebabkan
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Obat ini tidak boleh diberikan pada penderita hipertensi, penyakit jantung koroner, hipertiroid dan hipertropi prostat.
Dekongestan oral pada umumnya terdapat dalam bentuk kombinasi dengan antihistamin atau dengan obat lain seperti antipiretik dan antitusif yang banyak dijual
sebagai obat bebas Mulyarjo, 2006.
2.12.1.3 Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat antiinflamasi yang kuat dan berperan penting dalam pengobatan RA. Penggunaan secara sistemik dapat dengan cepat mengatasi inflamasi
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008
yang akut sehingga dianjurkan hanya untuk penggunaan jangka pendek yakni pada gejala buntu hidung yang berat. Gejala buntu hidung merupakan gejala utama yang paling
sering mengganggu penderita RA yang berat. Pada kondisi akut kortikosteroid oral diberikan dalam jangka pendek 7-14 hari dengan tapering off, tergantung dari respon
pengobatan. Kortikosteroid meskipun mempunyai khasiat anti inflamasi yang tinggi, namun
juga mempunyai efek sistemik yang tidak menguntungkan. Pemakaian intranasal akan memaksimalkan efek topikal pada mukosa hidung dan mengurangi efek sistemik.
Berbagai produk kortikosteroid intranasal telah dipasarkan dengan menggunakan berbagai karakteristik. Produk yang memenuhi kebutuhan adalah yang efektif dan aman
serta praktis pemakainnya. Untuk meningkatkan keamanan kortikosteroid intranasal digunakan obat yang mempunyai efek topikal yang kuat dan efek sistemik yang rendah.
Produk mempunyai kelebihan dalam meminimalkan efek sistemik tersebut. Kepraktisan dalam pemakaian, rasa serta bau obat akan mempengaruhi kepatuhan penderita dalam
menggunakan obat jangka panjang. Dosis sekali sehari lebih disukai dari pada dua kali sehari karena lebih praktis sehingga meningkatkan kepatuhan. Beberapa kortikosteroid
intranasal yang banyak digunakan diantaranya adalah beklometason, flutikason, mometason dan triamsinolon. Keempat obat tersebut mempunyai efektifitas dan
keamanan yang tidak berbeda Mulyarjo, 2006. Berkaitan dengan kelebihan dan kekurangan dari antihistamin dan kortikosteroid
intranasal untuk pengobatan rinitis alergi. Weiner et al, melakukan suatu meta-analisis terhadap sejumlah penelitian yang sudah dilakukan untuk membandingkan efikasi
antihistamin dengan kortikosteroid intranasal pada pengobatan RA dan menyimpulkan bahwa efektifitas kortikosteroid intranasal secara bermakna lebih disukai dari pada
antihistamin untuk pengobatan rinitis alergi Mulyarjo, 2006.
2.12.1.4 Antagonis leukotrien
Leukotrien adalah asam lemak tak jenuh yang mengandung karbon yang dilepaskan selama proses inflamasi. Leukotrien LTA4, LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE4
dimetabolisasi melalui jalur 5-lipoxigenase sebagai respon terhadap paparan alergen dan dapat menyebabkan inflamasi, kenaikan produksi mukus dan bronko-konstriksi.
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008
Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan merupakan bagian dari grup asam lemak yang disebut eikosanoid. Senyawa ini diturunkan melalui aktivasi berbagai tipe sel oleh
lipoksigenasi asam arakhidonat yang dibebaskan oleh fosfolipase A2 di membran perinuklear yang memisahkan nukleus dari sitoplasma. Asam arakidonat sendiri
merupakan subsrat dari siklo-oksigenase yang aktivitasnya menghasilkan prostaglandin dan tromboksan Mulyarjo, 2006.
Sintesis leukotrien oleh aktifitas enzim 5-lipoksigenase terhadap asam arakidonat. Enzim tersebut tidak dapat memetabolisme asam arakidonat bebas, tetapi harus berikatan
dulu dengan protein membran yang disebut FLAP 5-lipoksigenase activating protein. Interaksi asam arakidonat dengan FLAP dan 5-lipoksigenase menghasilkan komposisi 5-
hydroxyperoxy-eiocosatetraenoic acid 5-HPETE yang tidak stabil. Selanjutnya komposisi tersebut akan berkurang atau berubah menjadi leukotrien A4 LTA4. Karena
pengaruh hidrolase LTA4 diubah menjadi LTB4, sedangkan enzim sintase glutathione- S-trasferase mengubahnya menjadi LTC4. Selanjutnya enzim transpeptidase mengubah
LTC4 menjadi LTD4 dan LTD4 diubah menjadi LTE4 oleh enzim dipeptidase. Ketiga leukotrien terakhir inilah yang berpengaruh pada inflamasi, spasmus bronkus dan
hyperresponsivness. Dengan demikian leukotrien juga merupakan mediator penting terjadinya buntu hidung pada rinitis alergi.
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008
Skema 3. Sintesa Leukotrien Dalam upaya pengobatan RA belakangan ini berkembang obat antileukotrien
yang dinilai cukup besar manfaatnya bagi pengobatan RA. Ada dua macam antileukotrien yakni inhibitor sintesis leukotrien dan antagonis reseptor leukotrien. Yang terbaru dapat
satu inhibitor sintesis leukotrien dan tiga antagonis reseptor leukotrien, yakni CysLT1 dan CysLT2. Yang pertama merupakan reseptor yang sensitif terhadap antagonis
leukotrien yang dipakai pada pengobatan RA. Pada dasarnya antileokutrien bertujuan untuk menghambat kerja leukotrien
sebagai mediator inflamasi yakni dengan cara memblokade reseptor leukotrien atau menghambat sintesis leukotrien. Dengan demikian diharapkan gejala akibat proses
inflamasi pada RA maupun asma dapat ditekan. Tiga obat antileukotrien yang pernah dilaporkan penggunaannya yakni dua antagonis reseptor zafirlukast dan montelukast,
serta satu inhibitor lipoksigenase zileuton. Laporan hasil penggunaan obat-obat tersebut pada RA belum secara luas dipublikasikan sehingga efektifitasnya belum banyak
diketahui Mulyarjo, 2006.
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008
2.12.2 Imunoterapi spesifik
Secara umum indikasi imunoterapi adalah penderita RAP dengan gejala menetap yang tidak responsif terhadap terapi konvensional. Rute pemberian imunoterapi yang
predominan adalah subkutan Subcutaneus ImmunoterapiSIT. Imunoterapi subkutan sudah secara luas dilakukan termasuk di Indonesia dengan hasil yang memuaskan dalam
mengurangi gejala RA dalam jangka panjang. Imunoterapi dikemukakan sebagai upaya yang efektif untuk mencegah timbulnya serangan asma pada penderita rinitis. Meskipun
SIT terbukti banyak manfaatnya akan tetapi teknik ini mempunyai kelemahan karena sifatnya yang invasif, dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada beberapa kasus, serta
tidak menyenangkan terutama bagi anak. Rute
sublingual Sublingual Immunotherapy SLIT akhir-akhir ini mulai
dilakukan terutama pada kasus rinitis dan asma. Sub Lingual Immunotherapy SLIT pertama kali diteliti secara buta ganda dengan kontrol pada tahun 1966 dan semenjak itu
mulai banyak dilakukan karena cukup aman dan efektif serta cukup menyenangkan terutama untuk anak. Dalam berbagai penelitian SLIT dilaporkan cukup efektif untuk
mengurangi gejala rinokonjungtivitis dan mencegah serangan asma. Salah satu hasil penelitian melaporkan bahwa SLIT dapat menurunkan IgE spesifik terhadap tungau debu
rumah serta menurunkan eosinofil darah sedangkan secara klinis menurunkan konsumsi obat secara bermakna. Namun demikian dari suatu review terhadap berbagai penelitian
yang membandingkan SIT dengan SLIT pada penanganan rino-konjungtivitis dan asma disimpulkan bahwa efektifitas SLIT terhadap rino-konjungtivitis dinilai masih rendah
atau sedang dan SLIT saat ini belum dapat direkomendasikan sebagai alternatif pengganti SIT.
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, sebelum imunoterapi dilakukan sensitivitas penderita terhadap alergen yang spesifik harus ditentukan dengan cermat
melalui tes kulit cukit maupun dengan RAST agar dapat dirancang terapi dengan tepat pada penderita secara individual. Disamping itu dipersyaratkan agar imunoterapi
dilakukan oleh tenaga yang sudah terlatih Mulyarjo, 2006.
2.12.3 Pembedahan
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008
Terapi pembedahan khususnya dilakukan pada penderita RA dengan buntu hidung yang berat yang tidak responsif pada pengobatan farmakologi. Disamping itu
pembedahan juga dilakukan bila terjadi penyulit seperti rinosinusitis kronik. Bila ada kelainan anatomis pada penderita RA seperti deviasi septum, pembedahan mungkin akan
bermanfaat untuk mengurangi keluhan buntu hidung. Pada penderita RAP yang sudah lama dan parah, akan terjadi resistensi terhadap medikamentosa yang sering digunakan.
Di samping itu terjadi perubahan pada mukosa hidung diantaranya terjadi peningkatan struktur kelenjar di konka inferior. Kedua kondisi tersebut menyebabkan buntu hidung
yang menetap sehingga diperlukan terapi yang lebih agresif yakni pembedahan. Turbinektomi inferior merupakan tindakan pembedahan yang bertujuan untuk
mengecilkan konka inferior merupakan tindakan yang diperkirakan efektif mengurangi keluhan buntu hidung dan rinore pada RAP Mulyarjo, 2006.
Berbagai teknik turbinektomi telah dilaporkan dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Teknik turbinektomi yang dilaporkan antara lain adalah : reseksi
sebagian konkka, kauter laser, kauter listrik, cryosurgery, reseksi submukosa dan reseksi submukosa dengan lateral displacement. Talmon et al, melaporkan dalam penelitiannya
terhadap 357 penderita bahwa turbinektomi inferior total bilateral yang dilakukan merupakan pembedahan yang relatif aman dan efektif. Akan tetapi laporan lain dari
sebuah penelitian random yang dilakukan oleh Passali et al terhadap 382 penderita yang dilakukan turbinektomi dengan berbagai teknik, dalam evaluasi selama 6 tahun pasca
bedah menghasilkan temuan bahwa hanya reseksi submukosa yang menghasilkan perubahan optimal jangka panjang terhadap patensi rongga hidung, restorasi klirens
mukosilier dan kadar IgA mukosa. Meskipun demikian dilaporkan juga bahwa komplikasi perdarahan dapat terjadi pada reseksi, baik sebagian konka maupun
submukosa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa turbonektomi dapat menjadi alternatif
solusi untuk mengatasi buntu hidung yang berat pada RAP. Perlu dipilih teknik pembedahan yang tepat serta dilakukan oleh tenaga yang terlatih agar didapatkan hasil
yang efektif Mulyarjo, 2006.
2.13 Komplikasi
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008
Rinitis alergi adalah penyakit alergi yang sering dijumpai di seluruh dunia. Rinitis alergi bukan hanya menyebabkan keadaan yang menyusahkan, tetapi juga memberi
kontribusi variasi komplikasi seperti sinusitis, otitis media dan asma Klaewsongkram et al, 2003. Telah diketahui, bahwa alergi memberikan kontribusi terhadap otitis media.
Tetapi bukti yang ada bertentangan. Beberapa studi tidak menerangkan prevalensi yang lebih besar pada penderita atopi dan alergi pada otitis media dibandingkan dengan subjek
kontrol yang normal sehingga hal tersebut mungkin bisa terjadi bahwa perubahan patologis yang berhubungan dengan rinitis dapat mengakibatkan obstruksi di tuba
Eustachius dengan disfungi dan efusi telinga tengah. Hal ini terlihat bahwa otitis media serosa bukan suatu penyakit alergi tetapi sering merupakan komplikasi dari alergi hidung,
khususnya pada anak-anak. Hubungan antara alergi dan sinusutis ada dua. Yang pertama, alergi mungkin memberikan konstribusi terhadap obstruksi pada ostium sinus, dalam hal
ini mewakili faktor predisposisi. Yang kedua, rinitis alergi perenial memiliki beberapa bentuk sinusitis kronis, khususnya sekret hidung dan obstruksi. Rinitis alergi dan asma
bronkial sering terjadi bersamaan, sebagai contoh, pasien yang menderita RA musiman berat biasanya akan menimbulkan gejala mengi musiman yang memuncak dan rasa
terikat di dada. Hal ini penting untuk terapinya yang berhubungan dengan asma. Lebih dari itu, pengobatan rinitis dengan perbaikan jalan nafas pada hidung juga dapat
memperbaiki gejala asma Durham, 1997; Dhingra, 2007.
2.14 Prognosis