Ganti Kerugian yang Tidak Sesuai dengan Keinginan Pemilik Tanah

c. Lahan yang masih terkena perpanjangan HGU, masih berstatus HGU PTPN II. Sehingga masyarakat cenderung disebut sebagai “penggarap”. Lahan tersebut ditempati masyarakat dengan itikad baik, karena masyarakat secra rutin membayar pajak PBB atas tanah tersebut. Hal tersebut yang menimbulkan konflik karena pada saat terjadi pengadaan tanah untuk pembangunan jalan arteri menuju bandara kualanamu, ganti rugi yang diberikan berbeda oleh karena status tanah yang juga berbeda.

3. Ganti Kerugian yang Tidak Sesuai dengan Keinginan Pemilik Tanah

Ganti rugi dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 jo Perpres No. 36 Tahun 2005 menyatakan sebagai penggantian terhadap kerugian baik yang bersifat fisik dan atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Salah satu faktor penghambat yang menjadi kendala pengadaan tanah jalan arteri bandara kualanamu adalah persoalan Ganti rugi yang tidak layak. Ganti rugi untuk tanah sampai saat ini masih berpatokan kepada harga NJOP, sedangkan untuk ganti rugi terhadap bangunan dan tanaman mengikuti standar yang ditentukan oleh lembaga terkait. Mengenai besaran ganti rugi yang diberikan pemerintah yang penentuannya berdasarkan pada NJOP, nilai jual tanaman, maupun nilai jual bangunan yang seringkali mendapat penolakan dari pihak yang berhak karena dirasakan kurang layak dari yang seharusnya didapatkan. Dalam hal ini, terdapat dua pandangan yang berbeda dalam menentukan besaran nilai ganti rugi atau harga tanah yang diinginkan. Di satu sisi, pemerintah menggunakan standar NJOP dalam menentukan harga tanah, sementara di sisi lainnya masyarakat menginginkan standar harga pasar dalam menentukan harga tanah. Selain dari faktor NJOP, masalah ganti rugi tampaknya sering dilupakan bahwa interpretasi asas fungsi sosial hak atas tanah, di samping mengandung makna bahwa hak atas Universitas Sumatera Utara tanah itu harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan haknya, sehingga bermanfaat bagi pemegang hak dan bagi masyarakat, juga berarti bahwa harus terdapat keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum, dan bahwa kepentingan perseorangan itu diakui dan dihormati dalam rangka pelaksanaan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Persoalan lain yang menjadi kendala dalam pemberian ganti kerugian adalah adanya perbedaan pendapat, keinginan, dan perbedaan status tanah dalam menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi antara pemegang hak yang satu dengan pemegang hak lainnya terjadi karena pemilik tanah cenderung mementingkan kepentingan individual atau nilai ekonomis dari tanah. Hal tersebut sangat menghambat kerja panitia dalam pelaksanaan pemberian ganti rugi karena sulitnya mencapai kesepakatan dalam setiap pelaksanaan musyawarah. Dikarenakan perbedaan status tanah sepanjang jalan arteri bandara kualanamu tersebut mengakibatkan perbedaan ganti kerugian yang diberikan, yaitu : a. Untuk tanah yang bersertifikat atau berstatus hak milik, ganti ruginya Rp. 350.000 meter. b. Tanah yang berstatus Eks HGU hanya memperoleh Rp. 80.000, yaitu 25 dari nilai tanah yang bersertifikat. c. Tanah yang masih memiliki perpanjangan HGU PTPN II, hanya memperoleh ganti rugi atas bangunan dan tanamannya saja, karena ganti kerugian diberikan kepada pihak Perkebunan PTPN II. Perbedaan pemberian ganti kerugian tersebut menyebabkan banyak terjadinya protes di sebagian masyarakat yang mengakibatkan masyarakat protes dan menuntut ganti kerugian yang layak dan merata. Terutama untuk masyarakat yang hanya mendapat ganti kerugian atas bangunan dan tanaman, atau sama sekali tidak mendapat ganti kerugian atas tanah, banyak melakukan protes dan aksi turun ke jalan karena merasa tidak adil. Universitas Sumatera Utara 82

BAB IV KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH

JALAN ARTERI BANDARA KUALANAMU 4.1. Sejarah HGU Tanah Perkebunan PTPN II Wilayah Sumatera Timur yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara daerahnya menjulur dari dataran pantai ke darat hingga sampai ke dataran berbukit-bukit mulai dari Kabupaten Aceh Timur, Langkat, Deli Serdang, Asahan sampai dengan daerah Labuhan Batu sepanjang 280 kilometer dari Barat Laut ke Tenggara. Atau dapat juga dikatakan bahwa daerah Sumatera Timur merentang dari perbatasan Aceh sampai kerajaan Siak di Riau sekarang. 74 Masyarakat Melayu sebagian besar mendiami daerah Pesisir Sumatera Timur dan juga sebagian besar hidup sebagai Nelayan, sedangkan penduduk yang ada di pedalaman mengutamakan usaha pertanian dan hasil hutan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Namun setelah kedatangan pengusaha Belanda dan membuka perkebunan di Sumatera Timur, masyarakat banyak yang berubah menjadi pekerja di sektor perkebunan, sungguhpun belakangan masyarakat Melayu banyak yang tidak mampu menjadi buruh perkebunan terutama mengurus tembakau sehingga para tuan tanah perkebunan mendatangkan kuli dari luar Sumatera Timur seperti Malaka, Jawa dan Cina. Sumatera Timur adalah dataran rendah yang sangat luas, di daerah ini terdapat hutan Payau yang ditumbuhi bakau dan nipah, tanahnya yang subur menjadi kunci sukses wilayah ini menjadi kantong perkenunan. 75 Belanda telah menaklukkan Raja-raja di Sumatera Timur. Setelah Sumatera Timur 74 Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur Tahun 1800-1975, Bandung: Alumni, 1978, hlm. 13 75 Supardy Marbun, Tesis: Masalah tanah Adat Melayu Deli di Kota Medan dan Perkembangannya, Medan: SPS USU, 1999, hlm. 56 Universitas Sumatera Utara . Setelah Sumatera Timur ditaklukkan oleh Belanda maka masuklah pengusaha asing ke daerah ini untuk menanamkan modalnya di bidang usaha perkebunan Tembakau. Jacobus Nienhuys yang datang ke Deli sekitar tahun 1863 merupakan orang Belanda pertama yang membuka perkebunan Tembakau di tanah Deli. Pada Tahun 1864 kebun Tembakau dibuka pertama kali di dekat Martubung dan pada saat panen menghasilkan 50 bal tembakau dan dikirim melalui Penang untuk dijual ke Belanda. Kemudian pada tahun 1865 kebun Nienhuys menghasilkan 189 bal Tembakau. Tahun 1867 Nienhuys pulang ke Belanda untuk mencari tambahan modal usaha, sesudah kembali lagi ke Deli, Nienhuys berhasil mengadakan kontrak dengan memperoleh konsesi tanah dari Sultan Deli yang letaknya memanjang antara Mabar dan Deli Tua. 76 Kontrak tanah pertama dengan penguasa Deli diberikan kepada Nienhuys secara Pribadi, yakni selama 99 tahun untuk penyewaan 2000 bau. 77 Berdirinya Onderneming yang bernama Deli Maatchappij di Sumatera Timur dan terciptanya iklim yang kondusif bagi penanaman modal di bidang perkebunan terutama setelah diterbitkannya Agrarische Wet 1870, maka perkembangan berikutnya berturut- turut pada tahun 1975 berdiri Deli Compagnie 1879, Rotterdaam Deli Maatschappij 1881 sehingga sampai dengan tahun 1899 tercatat ada 170 perusahaan perkebunan tembakau yang tersebar di Deli Serdang, Langkat dan Asahan. 78 Kemudian jumlah tersebut terus menurun karena ternyata dari segi kultur teknis dan kualitas produksi terbaik tembakau hanyalah di antara dua sungai, yaitu Sungai Wampu dan Sunagi Ular yang mempunyai ciri-ciri khas untuk tanaman tembakau, sedangkan banyak perusahaan tembakau di tempat lain beralih ke tanaman lain seperti karet, kelapa sawit dan 76 Pemda Medan, Sejarah Pemerintah Dati II Kodya Medan, Tanpa Penerbit, hlm. 46 77 Syafruddin Kalo, Desertasi, Masyarakat dan Perkebunan: Studi Mengenai Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat Versus PTPN-II dan PTPN III Di Sumatera Utara, hlm. 36 78 Ibid, hlm. 37. Universitas Sumatera Utara lain-lain. 79 Sampai dengan tahun 1914 perusahaan perkebunan tembakau berjumlah 108 perusahaan, kemudian tahun 1930 menjadi 72 perusahaan dan tahun 1940 jumlah tersebut tinggal 43 perusahaan dengan areal kebun tembakau seluas lebih kurang 250.000 Ha. 80 Kemudian pada tahun 1937 diberlakukan Ordonantie Erfacht yang menentukan bahwa hak konsesi perkebunan yang habis waktunya pada tahun 1931. dialihkan menjadi hak Erfacht hak sewa jangka panjang. Selama pendudukan Jepang kebijakan atas tanah- tanah perkebunan mengalami perubahan antara lain, pengusaha Onderneming Erofa digantikan oleh para perwira Militer Jepang sebagai pengusaha sipil dan militer dan tanggung jawab melaksanakan semua Onderneming perkebunan dijalankan oleh suatu badan yang merupakan pelaksana ekonomi Jepang yang di Sumatera Timur diberi nama Noyen Renggo Kai kemudian akhir tahun 1942 digantikan Shonan Gonu Kumiai. 81 Setelah Indonesia merdeka terjadi pemindahan kekuasaan dari penjajah kepada bangsa Indonesia. Demikian juga di dalam lingkungan perkebunan di Sumatera Timur terjadi perubahan sosial politik sejalan dengan semangat revolusi kemerdekaan. 82 Pada tahapan sejarah berikutnya, pemerintah Belanda yang belum mengakui Laskar- laskar dan ormas Petani yang dibentuk partai politik mengarahkan perhatian ke lingkungan perkebunan dengan menjanjikan perbaikan nasib para buruh-buruh perkebunan dengan cara mengambil alih pemilikan tanah dari perusahaan perkebunan yang dikuasai oleh colonial. Pihak-pihak yang menghalangi aksi revolusioner rakyat dalam rangka merebut tanah-tanah perkebunan terutama para Sultan Melayu dianggap sebagai musuh sehingga meledaklah revolusi sosial di Sumatera Timur sekitar tahun 1946 dengan korban utama para Sultan dan Bangsawan Melayu karena dianggap membela kolonial. 79 Mahadi, Opcit, hlm. 38 80 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta,2007, hlm. 50 81 Syafruddin, Opcit, hlm. 119-121 82 Boedi Harsono, Opcit, hlm. 53 Universitas Sumatera Utara kemerdekaan Indonesia berusaha kembali ingin menjajah Indonesia. Demikian juga pengusaha Belanda ingin mendapatkan kembali perkebunannya di Indonesia termasuk di Sumatera Timur. Pasal 1 undang-undang Nomor 86 Tahun 1958 menyebutkan antara lain, dinyatakan bahwa perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik yang penuh dan bebas Negara Repulik Indonesia. Kemudian dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1959 tentang Pokok-pokok Pelaksanaan Undang-undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda ditegaskan bahwa perusahaan yang dikenakan nasionalisasi termasuk seluruh harta kekayaan dan harta cadangan baik yang berwujud, barang tetapbarang bergerak maupun yang merupakan hak piutang. Dengan demikian seluruh harta kekayaan bekas perusahaan milik Belanda termasuk hak-hak atas tanahnya yang berstatus hak konsesi menjadi milik negara Indonesia. 83 Adanya kebijakan Negara mengenai nasionalisasi atas perubahan milik Belanda termasuk penentuan status hak-hak atas tanahnya untuk mutlak menjadi milik Negara. Belakangan banyak dibantah oleh para ahli termasuk pihak Kesultanan Deli. Misalnya, Karl J. Pelzer 84 dan Chainur Arrasyid 85 83 Mahadi, Opcit, hlm. 40. 84 Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Jakarta, 1991, hlm. 8 85 Chainur Arrasyid, Sultan dan Datuk Empat Suku Mewakili Puak Melayu Bekas Kesultanan Deli, Harian Analisa, Medan, 2000, dikutip dari Tesis Elfachri Budiaman, hal 58 dan Sultan Deli yang pada intinya menyatakan Sultan Deli memberikan konesei kepada perusahaan Belanda dalam kapasitasnya sebagai pemangku adat karena perjanjian konsesi dibuat Sultan atas peresetujuan Datuk Kepala Urung, oleh karena itu objek yang diberkan dalam akta konsesi adalah tanah ulayat. Sekalipun tanah- tanah perkebunan diklain masyarakat sebagai tanah ulayatnya, namun pemerintah berdasarkan nasionalisasi tetap memandang hak atas tanah yang semula berasal dari hak konsesi dan erfacht tersebut sebagai tanah milik Negara. Universitas Sumatera Utara Nama perusahaan Belanda yang semula NV. Verenigde Deli Maatschaapij dan Senembah Mij diganti menjadi Perusahaan Perkebunan Nasional PPN sejak dilakukannya nasionalisasi dengan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1960. 86 Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 1961, PPN berubah nama lagi menjadi PPN Sumut-I Kebun Tembakau, lalu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1963 tanggal 22 Mei 1963, namaperusahaan berubah menjadi PPN Tembakau Deli. Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1968, PPN Tembakau Deli berganti nama menjadi PNP-IX dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1973 tanggal 6 Desember 1973 berubah nama menjadi Perusahaan Perseroan PT. Perkebunan-IX dan Perusahaan Perseroan PT. Perkebunan Nusantara-II. 87 Sesuai pasal II ketentuan konversi dalam UUPA, terhadap hak-hak atas tanah-tanah yang berstatus Hak Konsesi dan Hak Erfacht dapat dikonversi menjadi Hak Guna Usaha berdasarkan Keputusan Menteri Agraria Nomor 24HGU1965 Tanggal 10 Juni 1965 tentang Pemberian Hak Guna Usaha kepada PPN Tembakau Deli Sumatera Utara atas tanah seluas 181.000 Ha dari areal yang semula luas 250.000 Ha. 88 HGU yang diberikan kepada PPN Tembakau Deli terakhir tercatat atas nama PT Perkebunan Nusantara II tersebut diberikan dalam jangka waktu 35 tahun sehingga haknya telah berakhir tanggal 9 Juni 2000. Pihak PT perkebunan Nusantara telah mengajukan perpanjangan hak pada tahun 1997 dan baru pada tahun 2000 diterbitkan HGU nya berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 42HGUBPN2002 masing-masing tanggal 29 November 2002 serta Nomor 10HGUBPN2004 Tanggal 6 Februari 2004. Perusahaan Perseroan PT Perkebunan II bergerak dibidang usaha Pertanian dan Perkebunan didirikan dengan Akte Notaris GHS Loemban Tobing, SH No. 12 tanggal 5 86 Syafruddin, Opcit, hlm. 125 87 Pasal 1 ayat 2 PP No. 7 Tahun 1996 Tentang Peleburan Perusahaan Perseroan Persero 88 http:www.ptpn2.sumut,diakses pada tanggal 19 Januari 2015 pukul 22.51 wib Universitas Sumatera Utara April 1976 yang diperbaiki dengan Akte Notaris No. 54 tanggal 21 Desember 1976 dan pengesahan Menteri Kehakiman dengan Surat Keputusan No. Y.A. 5438 tanggal 28 Januari 1977 dan telah diumumkan dalam Lembaran Negara No. 52 tahun 1978 yang telah didaftarkan kepada Pengadilan Negeri Tingkat I Medan tanggal 19 Pebruari 1977 No. 101977PT. Perseroan Terbatas ini bernama Perusahaan Perseroan Perseroan PT Perkebunan II disingkat “PT Perkebunan II merupakan perubahan bentuk dan gabungan dari PN Perkebunan II dengan PN Perkebunan Sawit Seberang. 89 Pada tahun 1984 menurut Keputusan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham, Akte Pendirian tersebut diatas telah dirubah dan diterangkan dalam Akte Notaris Imas Fatimah Nomor 94 tanggal 13 Agustus 1984 yang kemudian diperbaiki dengan Akte Nomor 26 tanggal 8 Maret 1985 dengan persetujuan Menteri Kehakiman Nomor C2-5013- HT.0104 tahun 1985 tanggal 14 Agustus 1985. 90Sesuai dengan Keputusan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham tanggal 20 Desember 1990 Akte tersebut mengalami perubahan kembali dengan Akte Notaris Imas Fatimah Nomor 2 tanggal 1 April 1991 dengan persetujuan Menteri Kehakiman Nomor C2-4939-HT.01.04TH-91 tanggal 20 September 1991. 91 Pada tanggal 11 Maret 1996 kembali diadakan reorganisasi berdasarkan nilai kerja dimana PT Perkebunan II dan PT Perkebunan IX yang didirikan dengan Akte Notaris GHS. Loemban Tobing, SH Nomor 6 tanggal 1 April 1974 dan sesuai dengan Akte Notaris Ahmad Bajumi, SH Nomor 100 tanggal 18 September 1983 dilebur dan digabungkan menjadi satu dengan nama PT Perkebunan Nusantara II yang dibentuk dengan Akte Notaris Harun Kamil, SH Nomor 35 tertanggal 11 Maret 1996. 92 Akte pendirian ini kemudian disyahkan oleh Menteri Kehakiman RI dengan Surat 89 Syafruddin, Opcit, hlm.128. 90 http: www.ptpn2.sumut, ibid. 91 http: www.ptpn2.sumut, ibid. 92 http: www.ptpn2.sumut, ibid. Universitas Sumatera Utara Keputusan No. C2.8330.HT.01.01.TH.96 dan diumumkan dalam Berita Negera RI Nomor 81. Pendirian Perusahaan yang merupakan hasil peleburan PTP-II dan PTP-IX berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 tahun 1996. Kemudian pada tanggal 8 Oktober 2002 terjadi perubahan modal dasar perseroan sesuai Akte Notaris Sri Rahayu H. Prastyo, SH.1:34 PM 7212008. 93

4.2. Kepastian Hukum dalam Pengadaan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu.

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Tol Kota Medan – Tebing Tinggi

4 48 131

SKRIPSI KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN KEGIATAN REDISTRIBUSI KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN KEGIATAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN YANG BERASAL DARI TANAH ABSENTEE DI KABUPATEN BANTUL.

0 4 13

Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Tol Kota Medan – Tebing Tinggi

0 1 7

Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Tol Kota Medan – Tebing Tinggi

0 0 1

Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Tol Kota Medan – Tebing Tinggi

0 0 26

Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Tol Kota Medan – Tebing Tinggi

0 0 26

Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Tol Kota Medan – Tebing Tinggi

0 0 4

Tinjauan Yuridis Terhadap Aspek Kepastian Hukum Dalam Proses Pendaftaran Tanah

0 3 5

Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu

0 0 28

Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu

0 0 20