1. Kepedulian Masyarakat atas Pengadaan Tanah Dinilai masih Rendah
Salah satu faktor penghambat atau kendala dalam pengadaan tanah untuk pembangunan jalan atreti bandara kualanamu adalah rendahnya kepedulian masyarakat
terhadap pengadaan tanah. Pada dasarnya bahwa penciptakan masyarakat adil dan makmur merupakan tujuan negara Republik Indonesia dan pembangunan yang merupakan dasar
program pemerintah untuk seluruh wilayah Indonsia. Dalam melaksanakan pembangunan ini faktor utama yang paling penting adalah tanah. Seperti pembuatan jalan raya , pelabuhan-
pelabuhan, bangunan-bangunan untuk industri, pertambangan, perumahan dan kesehatan dan lain-lain demi kepentingan masyarakat.
Pasal 6 UUPA menegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Dalam pemakaian sesuatu hak atas tanah harus memperhatikan kepentingan masyarakat
seperti juga dalam pasal 33 UUD 1945, ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara,dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat.” Sungguhpun dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 tidak mencantumkan dengan tegas kata - kata fungsi sosial, namun harus di tafsirkan bahwa fungsi sosial dari hak rnilik prirnair
diartikan hak rnilik itu tidak boleh rnerugikan kepentingan masyarakat. Dengan dernikian pengertian fungsi sosial dari pada tanah adalah jalan kornprorni
atau hak rnutlak dari tanah seperti tersebut dalarn rnernori penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria. Bahwa keperluan tanah tidak Baja diperkenankan semata-rnata. untuk kepentingan
pribadi, kegunaannya harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari haknya sehingga bermanfaat, baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai tanah juga
berrnanfaat untuk rnasyarakat dan kepentingan perorangan harus saling imbang mengimbangi
Universitas Sumatera Utara
sebagai dwi tunggal.
73
2. Ketidakjelasan Status Hak Tanah Masyarakat Jalan Arteri Kualanamu
Akan tetapi pada kenyataannya, walaupun tanah memiliki fungsi sosial yang diatur dalam UUPA,
kepedulian masyarakat untuk mengorbankan tanah dinilai masih rendah, dan masih ada kelompok msyarakat yang beranggapan bahwa
kepemilikan tanah sampai saat ini menganut sistem kepemilikan yang bersifat mutlak, yaitu kepemilikan hak atas tanah yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun termasuk diganggu
gugat oleh pemerintah.
Faktor kedua yang menjadi kendala dalam pengadaan tanah untuk pembangunan jalan arteri bandara kualanamu adalah ketidakjelasan status hak tanah masyarakat jalan arteri
bandara kualanamu. Ketidakjelasan status tersebut terlihat dari perbedaan alas hak yang dimiliki oleh masyarakat sepanjang jalan arteri tersebut yang berdampak pada perbedaan
ganti kerugiannya. Berdasarkan data status tanah yang saya peroleh dari Badan Petanahan Nasional,
tanah sepanjang jalan arteri tersebut merupakan tanah yang berasal dari lahan perkebunan HGU PTPN II, dengan status hak beragam-ragam, ada yang masih HGU PTPN II, Eks HGU
PTPN II, dan ada yang sudah didaftarkan menjadi hak milik masyarakat. Jika melihat pada sejarahnya, lahan sepanjang jalan arteri bandara kualanamu dulunya
merupakan lahan HGU PTPN II. Lahan HGU ini disahkan menjadi lahan perkebunan sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Agraria Nomor 24HGU1965 Tanggal 10 Juni 1965
tentang Pemberian Hak Guna Usaha kepada PPN Tembakau Deli Sumatera Timur atas tanah seluas 181.000 Ha dari areal yang semula seluas 250.000 Ha. HGU yang diberikan kepada
73
http:www.repository.unej.ac.idhandle1234567892128, Diakses pada tanggal 24 Januari 2015, Pukul 23:50 wib.
Universitas Sumatera Utara
PPN Tembakau Deli terakhir tercatat atas nama PT Perkebunan Nusantara II tersebut diberikan dalam jangka waktu 35 tahun sehingga haknya telah berakhir tanggal 9 Juni 2000.
Pihak PT perkebunan Nusantara telah mengajukan perpanjangan hak pada tahun 1997 dan baru pada tahun 2000 diterbitkan HGU-nya berdasarkan Keputusan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 42HGUBPN2002 masing-masing tanggal 29 November 2002 serta Nomor 10HGUBPN2004 Tanggal 6 Februari 2004. Status lahan HGU tetap
diperpanjang secara rutin, tetapi penggunaannya cenderung diterlantarkan. Karena penelantaran tersebut, sebagian besar lahan tersebut digarap oleh masyarakat dan
diperjualbelikan bahkan juga terbit alas hak berupa SK Camat, SK Jual Beli dan sebagainya. Untuk wilayah tertentu, lahan HGU yang ditelantarkan tersebut diberikan kepadapara
pensiunan pegawai PTPN II untuk menempati dan menggunakan lahan HGU PTPN II. Tetapi yang terjadi adalah bukan hanya sekedar menempati lahan tersebut, tetapi para pensiunan
pegawai PTPN II tersebut cenderung menjual lahan tersebut kepada masyarakat dengan harga murah dan terbit pula alas hak dari camat atas proses penjualan lahan tersebut.
Masyarakat menempati lahan tersebut selama bertahun-tahun, namun pada buku tanah yang terdapat di Badan Pertanahan Nasional, lahan tersebut masih berstatus HGU PTPN II,
Eks HGU PTPN II, dan hak milik masyarakat. Perbedaan status tersebut dikarenakan oleh perbedaan perpanjangan HGU PTPN II, yaitu:
a. Lahan tersebut telah benar-benar tidak lagi diperpanjang sehingga masyarakat dapat
melakukan peningkatan hak dengan mendaftarkan tanahnya menjadi hak milik. b.
Lahan yang tidak diperpanjang dan telah berstatus Eks HGU, masyarakat telah melakukan peningkatan hak dengan mendaftarkan tanahnya namun tidak dikeluarkan
sertifikat dari BPN.
Universitas Sumatera Utara
c. Lahan yang masih terkena perpanjangan HGU, masih berstatus HGU PTPN II.
Sehingga masyarakat cenderung disebut sebagai “penggarap”. Lahan tersebut ditempati masyarakat dengan itikad baik, karena masyarakat secra
rutin membayar pajak PBB atas tanah tersebut. Hal tersebut yang menimbulkan konflik karena pada saat terjadi pengadaan tanah untuk pembangunan jalan arteri menuju bandara
kualanamu, ganti rugi yang diberikan berbeda oleh karena status tanah yang juga berbeda.
3. Ganti Kerugian yang Tidak Sesuai dengan Keinginan Pemilik Tanah