Pengaruh Ibuprofen Nanopartikel Terhadap Disolusi, Bioavailabilitas dan Efek Analgetik Secara In Vivo

(1)

PENGARUH IBUPROFEN NANOPARTIKEL

TERHADAP DISOLUSI, BIOAVAILABILITAS DAN

EFEK ANALGETIK SECARA IN VIVO

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

AHMAD GAZALI SOFWAN

NIM 107014005

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENGARUH IBUPROFEN NANOPARTIKEL

TERHADAP DISOLUSI, BIOAVAILABILITAS DAN

EFEK ANALGETIK SECARA IN VIVO

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

AHMAD GAZALI SOFWAN

NIM 107014005

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PERSETUJUAN TESIS

Nama Mahasiswa : Ahmad Gazali Sofwan Nomor Induk Mahasiswa : 107014005

Program Studi : Magister Ilmu Farmasi

Judul Tesis : Pengaruh Ibuprofen Nanopartikel Terhadap Disolusi, Bioavailabilitas dan Efek Analgetik Secara In Vivo

Tempat dan Tanggal Ujian Tesis : Medan, 15 Februari 2013 Menyetujui:

Komisi Pembimbing, Ketua,

Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt. NIP 130935857

Anggota,

Prof. Dr. Karsono, Apt. NIP 195409091982011001

Medan, Februari 2013 Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. Dr. Karsono, Apt. Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195409091982011001 NIP 195311281983031002


(4)

PENGESAHAN TESIS

Nama Mahasiswa : Ahmad Gazali Sofwan Nomor Induk Mahasiswa : 107014005

Program Studi : Magister Ilmu Farmasi

Judul Tesis : Pengaruh Ibuprofen Nanopartikel Terhadap Disolusi, Bioavailabilitas dan Efek Analgetik Secara In Vivo

Telah diuji dan dinyatakan LULUS di depan Tim Penguji Tesis pada hari Jum’at tanggal lima belas, bulan Februari Tahun dua ribu tiga belas

Mengesahkan: Tim Penguji Tesis

Ketua Tim Penguji : Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt. Anggotan Tim Penguji : Prof. Dr. Karsono, Apt.

Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.


(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama Mahasiswa : Ahmad Gazali Sofwan Nomor Induk Mahasiswa : 107014005

Program Studi : Magister Ilmu Farmasi

Judul Tesis : Pengaruh Ibuprofen Nanopartikel Terhadap Disolusi, Bioavailabilitas dan Efek Analgetik Secara In Vivo

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi USU dan saya tidak akan

menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut. Demikianlah surat peryataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan

sehat.

Medan, Februari 2013 Yang membuat Pernyataan

Ahmad Gazali Sofwan 107014005


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat ALLAH SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul pengaruh ibuprofen nanopartikel terhadap disolusi, bioavailabilitas dan efek analgetik secara in vivo sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Selama menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak baik moril maupun materil. Untuk itu penulis ingin menghaturkan penghargaan dan terimakasih yang tiada terhingga kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc., (CTM)., Sp.A(K)., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program Magister.

2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., yang telah menyediakan fasilitas dan kesempatan bagi penulis menjadi mahasiswa Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi.

3. Ketua Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Karsono, Apt., dan juga selaku pembimbing II yang memberikan dorongan dan semangat sehingga penulis terpacu untuk menyelesaikan pendidikan Program Magister Farmasi.


(7)

4. Bapak Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt., selaku pembimbing I yang telah membimbing, mengarahkan dan memberikan dorongan dengan penuh kesabaran selama penulis menjalani pendidikan, penelitian dan penyelesaian tesis ini.

5. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., dan Bapak Prof. Dr. M. Timbul Simanjuntak, M.Sc., Apt., sebagai penguji.

6. Ibu Marianne, S.Si., M.Si., Apt., Ka. Laboratorium Farmakologi beserta staf.

7. Bapak Drs. David Sinurat, M.Si., Apt., Ka. Laboratorium Farmasi Fisik beserta staf.

8. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini.

Semoga Allah SWT memberikan karunia dan kesehatan kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang farmasi.

Medan, Februari 2013 Penulis,


(8)

PENGARUH IBUPROFEN NANOPARTIKEL TERHADAP DISOLUSI, BIOAVAIBILTAS DAN EFEK ANALGETIK

SECARA IN VIVO

Abstrak

Pada pengobatan nyeri, dibutuhkan obat analgetik dengan kecepatan absorbsi yang cepat untuk menghasilkan efek terapi yang lebih cepat. Ibuprofen sebagai obat antiinflamasi non steroid memberikan bioavailabilitas oral rendah dan memiliki kelarutan dalam air yang rendah serta laju disolusi yang lambat. Penelitian ini bertujuan membuat ibuprofen nanopartikel untuk mempercepat disolusi, bioavailabilitas dan efek analgetik secara in vivo.

Bahan ibuprofen baku dibuat menjadi nanopartikel menggunakan metode milling dengan kecepatan 1400 rpm selama 30 jam hingga didapatkan ukuran partikel lebih kecil dari 100 nm. Ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel dikarakterisasi menggunakan SEM (Scanning electron microscopy), XRD (X-ray diffraction), DTA (differential thermal analyzer) dan PSD (particle size distribution). Selanjutnya dilakukan uji disolusi, bioavailabilitas (Cmaks, Tmaks

Karakteristik ukuran partikel ibuprofen baku (40 µm) berbeda dibandingkan ibuprofen nanopartikel (50-100 nm), karakteristik titik lebur ibuprofen baku diperoleh pada suhu 101,5°C dan ibuprofen nanopartikel pada suhu 100,9°C, karakteristik pola difraksi sinar-X menunjukkan puncak dan pola difraksi yang sama yaitu pada daerah 6, 12, 15, 16, 18, 20, 21, 22 dan 28 (2θ

dan AUC) dan efek analgetik terhadap kelinci dengan metode plantar test menggunakan alat inframerah.

° ), tetapi ibuprofen nanopartikel menunjukkan intensitas puncak yang lebih rendah dibandingkan ibuprofen baku. Hasil uji disolusi pH 1,2 terdapat perbedaan terhadap ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel diperoleh kadar puncak di menit ke-120 sebesar 22,77% dan 48,77%, sedang pada pH 7,2 ibuprofen nanopartikel sangat cepat terlarut pada menit ke-5 mencapai 93,58%, sedangkan ibuprofen baku 61,00%. Hasil pengujian bioavailabilitas ibuprofen baku dan nanopartikel secara berturut-turut untuk Cmaks 43,161 ± 1,373 dan 49,227 ± 0,610 µg/ml (p > 0,05), tmaks 315 ± 0,00 dan 135 ± 0,00 menit (p < 0,05), AUC 14883,791 ± 531,393 dan 17190,779 ± 141,967 menit.µg/ml (p > 0,05). Efek terlihat pada menit ke-135 dimana ibuprofen nanopartikel mencapai konsentrasi 42,194 µg/ml dengan ketahanan selama 102,2 detik sedangkan ibuprofen baku konsentrasi 16,877 µg/ml dengan ketahanan selama 63,608 detik. Hasil pengujian secara in vitro pada pH 1,2 dan pH 7,2 mempunyai korelasi terhadap uji in vivo dengan koefisien korelasi (R²

Pengecilan ukuran partikel ibuprofen dari mikropartikel menjadi nanopartikel sangat mempengaruhi laju disolusi, parameter bioavailabilitas serta meningkatkan kecepatan kerja ibuprofen untuk menghasilkan efek analgetik.

) adalah 0,8262, 0,9178, 0,9645 dan 0,9843.


(9)

EFFECT OF NANOPARTICLES IBUPROFEN ON

DISSOLUTION, BIOAVAILABILITY AND ANALGESIC EFFECT BY IN VIVO

Abstract

In the treatment of pain, required fast absorption of analgesic drug to produce more rapid therapeutic effect. Ibuprofen is a drug used for the treatment of pain, inflamation and fever. Ibuprofen as non steroidal anti-inflammatory drug provides low oral bioavailability and has low water solubility and slow rate dissolution. This research aims to make nanoparticle ibuprofen to raise dissolution rate, bioavailability and analgesic effect as in vivo.

Ibuprofen raw materials are made into nanoparticles size with milling method with rate 1400 rpm for 30 minutes to obtained a smaller particle size of 100 nm. The raw ibuprofen and the nanoparticles ibuprofen were characterized by using SEM (scanning electron microscopy), XRD (X-ray diffraction), DTA (differential thermal analyzer), and PSD (particle size distribution). Then dissolution test, bioavailability (Cmax, Tmax

The particle size characteristics of raw ibuprofen (40 μm) is different than nanoparticles ibuprofen (50-100 nm), the melting point characteristics of raw ibuprofen obtained at a temperature of 101.5°C and nanoparticles ibuprofen at a temperature of 100.9°C, patterns X-ray diffraction characteristic shows the peak and the diffraction pattern is the same in area 6, 12, 15, 16, 18, 20, 21, 22 and 28 (2θ

and AUC), and the analgesic effect on rabbits with plantar test method using the infrared devices.

°

), but nanoparticles ibuprofen showed lower peak intensity than raw ibuprofen. The results of dissolution testing pH 1.2 there is a difference to the raw ibuprofen and nanoparticles ibuprofen obtained peak levels in minute 120 by 22.77% and 48.77%, while at pH 7.2 nanoparticles ibuprofen very quickly dissolved in the minute 5 reached by 93.58%, while raw ibuprofen reached by 61.00%. The resulted bioavailability test from raw ibuprofen and nanoparticles ibuprofen consecutive results for Cmax 43.161 ± 1.373 and 49.227 ± 0.610 µg/ml (p > 0.05), tmaks

Decreasing ibuprofen particle size from microparticle to nanoparticle greatly affect the dissolution rate, bioavailability parameters and to increases the work of ibuprofen to produce an analgesic effect.

315 ± 0.00 and 135 ± 0.00 minutes (p < 0,05), and AUC 14883.791 ± 531.393 and 17190.779 ± 141.967 µg/ml. minutes (p > 0,05). There relationship increased ibuprofen concentrations in plasma with analgesic effect between raw ibuprofen and nanoparticles ibuprofen, which looks at minute 135 concentrations reached for ibuprofen nanoparticles 42.194 µg/ml and has resistance 102.2 seconds, while the concentration of raw ibuprofen 16.877 µg/ml and has resistance 63.60 seconds. Testing in vitro-in vivo correlation of raw ibuprofen and ibuprofen nanoparticles were tested in vitro at pH 1.2 and pH 7.2 has a correlation with test in vivo and the correlation coefficient (R²) are 0.8262, 0.9178, 0.9645 and 0.9843.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

SURAT PERYATAAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir ... 4

1.3 Perumusan Masalah ... 6

1.4 Hipotesis ... 6

1.5 Tujuan ... 7

1.6 Manfaat ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Nanopartikel ... 8


(11)

2.1.2 Metode presipitasi ... 9

2.1.3 Metode milling ... 10

2.1.4 Metode fluida superkritis ... 10

2.1.5 Metode polimerisasi monomer ... 10

2.1.6 Metode polimer hidrofilik ... 11

2.2 Disolusi ... 11

2.3 Nyeri ... 13

2.4 Klasifikasi Nyeri ... 15

2.4.1. Nyeri berdasarkan tempatnya ... 16

2.4.2 Nyeri berdasarkan sifat ... 16

2.4.3 Nyeri berdasarkan waktu serangan ... 17

2.5 Obat Analgetika ... 19

2.5.1 Obat analgetika narkotik ... 19

2.5.2 Obat analgetika non narkotik ... 20

2.6 Ibuprofen ... 21

2.6.1 Farmakokinetik ... 22

2.6.2 Farmakodinamik ... 22

2.6.3 Dosis ... 22

2.6.4 Penggunaan klinis ... 23

2.6.5 Efek samping ... 24

2.7 Biofarmasetika ... 25

2.8 Bioavailabilitas ... 26

2.9 Metode Pengujian Analgetika ... 27


(12)

3.1 Rancangan Penelitian ... 28

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 28

3.3 Bahan dan Alat ... 29

3.3.1 Bahan ... 29

3.3.2 Alat ... 29

3.4 Pembuatan Nanopartikel Ibuprofen ... 29

3.5 Pengujian Karakterisasi Ibuprofen Baku dan Ibuprofen Nanopartikel ... 30

3.5.1 Scanning electron microscope (SEM) ... 30

3.5.2 Particle size distribution (PSD) ... 30

3.5.3 X-ray diffraction (XRD) ... 30

3.5.4Diffrential thermal analyzer (DTA) ... 30

3.6 Pembuatan Larutan ... 31

3.6.1 Pembuatan larutan induk baku ibuprofen ... 31

3.6.2 Pembuatan kurva kalibrasi larutan ibuprofen ... 31

3.6.3 Pembuatan medium cairan usus buatan (medium pH 7,2) ... 31

3.6.4 Pembuatan cairan lambung buatan (medium pH 1,2) ... 31

3.6.5 Pembuatan larutan natrium hidroksida 0,2 N ... 31

3.7 Pengujian Disolusi Ibuprofen Baku dan Ibuprofen Nanopartikel ... 32

3.8 Penentuan Bioavailabilitas Obat ... 32

3.8.1 Penyiapan hewan percobaan ... 32

3.8.2 Pemberian obat secara oral pada hewan percobaan ... 32

3.8.3 Penentuan bioavaibilitas ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel setelah pemberian peroral ... 33


(13)

3.9 Pengujian Analgetik dengan Metode Plantar Test ... 33

3.10 Analisis Statistik ... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1 Hasil Karakterisasi Ibuprofen Baku dan Nanopartikel ... 35

4.1.1Scanning electron microscopy (SEM) ... 35

4.1.2 Particle size distribution (PSD) ... 36

4.1.3 Diffrential thermal analyzer (DTA) ... 37

4.1.4 X-ray diffraction (XRD) ... 38

4.2 Kurva Kalibrasi Ibuprofen dalam Plasma ... 39

4.3 Pengujian Kecepatan Disolusi Ibuprofen Baku dan Ibuprofen Nanopartikel dalam pH 1,2 dan 7,2 ... 40

4.4 Hasil Penentuan Kadar Ibuprofen Baku dan Nanopartikel dalam Plasma ... 42

4.5 Hasil hubungan konsentrasi ibuprofen dalam plasma terhadap uji efek analgetik ... 48

4.7 Hasil Penentuan Korelasi Pengujian In Vitro dengan In Vivo ... 51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

5.1 Kesimpulan ... 54

5.2 Saran ... 55


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Dosis ibuprofen dewasa dan anak-anak ... 23 Tabel 4.1 Data rata-rata konsentrasi ibuprofen baku dan ibuprofen

nanopartikel dalam plasma ... 45 Tabel 4.2 Data rata-rata parameter ketersediaan hayati ibuprofen baku

dan ibuprofen nanopartikel dalam plasma ... 46 Tabel 4.3 Hubungan konsentrasi obat dalam plasma terhadap

efek analgetik ... 49 Tabel 4.4 Konsentrasi rata-rata konsentrasi ibuprofen baku dan

ibuprofen nanopartikel pada pH 1,2 dan dalam plasma ... 51 Tabel 4.5 Konsentrasi rata-rata konsentrasi ibuprofen baku dan


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian ... 5

Gambar 2.1 Bagan mekanisme terjadinya nyeri ... 15

Gambar 2.2 Rumus bangun ibuprofen ... 22

Gambar 4.1 Hasil SEM ibuprofen baku ... 35

Gambar 4.2 Hasil SEM ibuprofen nanopartikel ... 36

Gambar 4.3 Hasil PSD ibuprofen nanopartikel ... 37

Gambar 4.4 Hasil pengukuran DTA ibuprofen baku terhadap ibuprofen nanopartikel ... 38

Gambar 4.5 Grafik hasil difraksi sinar-X dari ibuprofen baku ... 39

Gambar 4.6 Grafik hasil difraksi sinar-X dari ibuprofen nanopartikel ... 39

Gambar 4.7 Kurva kalibrasi ibuprofen dalam plasma ... 40

Gambar 4.8 Hasil disolusi ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel pada pH 1,2 ... 40

Gambar 4.9 Hasil disolusi ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel pada pH 7,2 ... 41

Gambar 4.10 Hasil pengukuran ibuprofen baku dan nanopartikel dalam plasma dengan spektrofotometer UV ... 43

Gambar 4.11 Perbedaan nilai Cmaks ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel ... 46

(µg/ml) terhadap rata-rata Gambar 4.12 Perbedaan nilai tmaks ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel ... 47

(menit) terhadap rata-rata Gambar 4.13 Perbedaan nilai AUC (menit.µg/ml) terhadap rata-rata ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel ... 48

Gambar 4.14 Grafik pengujian efek analgetik ibuprofen baku dan nanopartikel ... 49

Gambar 4.15 Hasil korelasi in vitro pH 1,2 vs in vivo dari ibuprofen baku ... 52


(16)

Gambar 4.16 Hasil korelasi in vitro pH 1,2 vs in vivo dari

ibuprofen nanopartikel ... 52 Gambar 4.17 Hasil korelasi in vitro pH 7,2 vs in vivo dari

ibuprofen baku ... 53 Gambar 4.18 Hasil korelasi in vitro pH 7,2 vs in vivo dari


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Setifikat analisis ibuprofen ... 63

Lampiran 2 Nilai disolusi ibuprofen baku pada pH 1,2 (cairan lambung) ... 64

Lampiran 3 Nilai disolusi ibuprofen nanopartikel pada pH 1,2 (cairan lambung) ... 65

Lampiran 4 Nilai disolusi ibuprofen baku pada pH 7,2 (cairan usus) . 66 Lampiran 5 Nilai disolusi ibuprofen nanopartikel pada pH 7,2 (cairan usus) ... 67

Lampiran 6 Perhitungan dosis kesetaraan pada hewan ... 68

Lampiran 7 Hasil penentuan kadar ibuprofen baku dalam plasma ... 69

Lampiran 8 Hasil penentuan kadar ibuprofen nanopartikel dalam plasma ... 70

Lampiran 9 Hasil perhitungan parameter bioavailabilitas ibuprofen baku dalam plasma ... 71

Lampiran 10 Hasil perhitungan parameter bioavailabilitas ibuprofen nanopartikel dalam plasma ... 72

Lampiran 11 Pengujian statistik ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel secara manual menggunakan uji beda antar dua rata-rata ... 73

Lampiran 12 Hasil pengujian efek analgetik ibuprofen baku ... 79

Lampiran 13 Hasil pengujian efek analgetik ibuprofen nanopartikel .... 80

Lampiran 14 Alat scanning electron microscopy ... 81

Lampiran 15 Alat x-ray diffraction ... 82

Lampiran 16 Alat dissolusi tipe dayung ... 83

Lampiran 17 Alat sentifuse ... 84

Lampiran 18 Lemari pendingin ... 85


(18)

DAFTAR SINGKATAN

µg : Mikrogram

AINS : Anti inflamasi non steroid AUC : Area di bawah kurva BB : Berat badan

BCS : Biopharmaceutical Classification System CO2

COX I : Siklooksigenase I : Karbon dioksida COX II : Siklooksigenase II Cu : Cuprum

Cmaks

DTA : Differential Thermal Analysis

: Konsentrasi obat maksimum di dalam darah F : Bioavailabilitas

HEM : High Energy Milling Kg : Kilogram

KH2PO4

kV : Kilovolt

: Kalium dihidrogen phospat FDA : Food and Drug Administration HCl : Asam klorida

IVIVC : In Vitro In Vivo Correlation LIB : Larutan induk baku

LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

LTB4

LTC4

LTD4

LTE4

mA : MiliAmper nm : nanometer

NaOH : Natrium hidroksida O2

p.o : per oral : Oksigen

PACA : Polialkilsianoakrilat

PDA : Particle Distribution Analysis PGE2 : Prostaglandin Tipe E

PGI

2 2

pH : Logaritma hidrogen : Prostasiklin

Puspitek : Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

R : Rectus

R² : Korelasi

RA : Rheumatoid arthritis RPM : Rotasi per menit S : Sinister

SEM : Scanning electron microscope TCA : Tri chlor asetat

Tmaks

XRD : X-Ray Diffraction


(19)

PENGARUH IBUPROFEN NANOPARTIKEL TERHADAP DISOLUSI, BIOAVAIBILTAS DAN EFEK ANALGETIK

SECARA IN VIVO

Abstrak

Pada pengobatan nyeri, dibutuhkan obat analgetik dengan kecepatan absorbsi yang cepat untuk menghasilkan efek terapi yang lebih cepat. Ibuprofen sebagai obat antiinflamasi non steroid memberikan bioavailabilitas oral rendah dan memiliki kelarutan dalam air yang rendah serta laju disolusi yang lambat. Penelitian ini bertujuan membuat ibuprofen nanopartikel untuk mempercepat disolusi, bioavailabilitas dan efek analgetik secara in vivo.

Bahan ibuprofen baku dibuat menjadi nanopartikel menggunakan metode milling dengan kecepatan 1400 rpm selama 30 jam hingga didapatkan ukuran partikel lebih kecil dari 100 nm. Ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel dikarakterisasi menggunakan SEM (Scanning electron microscopy), XRD (X-ray diffraction), DTA (differential thermal analyzer) dan PSD (particle size distribution). Selanjutnya dilakukan uji disolusi, bioavailabilitas (Cmaks, Tmaks

Karakteristik ukuran partikel ibuprofen baku (40 µm) berbeda dibandingkan ibuprofen nanopartikel (50-100 nm), karakteristik titik lebur ibuprofen baku diperoleh pada suhu 101,5°C dan ibuprofen nanopartikel pada suhu 100,9°C, karakteristik pola difraksi sinar-X menunjukkan puncak dan pola difraksi yang sama yaitu pada daerah 6, 12, 15, 16, 18, 20, 21, 22 dan 28 (2θ

dan AUC) dan efek analgetik terhadap kelinci dengan metode plantar test menggunakan alat inframerah.

° ), tetapi ibuprofen nanopartikel menunjukkan intensitas puncak yang lebih rendah dibandingkan ibuprofen baku. Hasil uji disolusi pH 1,2 terdapat perbedaan terhadap ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel diperoleh kadar puncak di menit ke-120 sebesar 22,77% dan 48,77%, sedang pada pH 7,2 ibuprofen nanopartikel sangat cepat terlarut pada menit ke-5 mencapai 93,58%, sedangkan ibuprofen baku 61,00%. Hasil pengujian bioavailabilitas ibuprofen baku dan nanopartikel secara berturut-turut untuk Cmaks 43,161 ± 1,373 dan 49,227 ± 0,610 µg/ml (p > 0,05), tmaks 315 ± 0,00 dan 135 ± 0,00 menit (p < 0,05), AUC 14883,791 ± 531,393 dan 17190,779 ± 141,967 menit.µg/ml (p > 0,05). Efek terlihat pada menit ke-135 dimana ibuprofen nanopartikel mencapai konsentrasi 42,194 µg/ml dengan ketahanan selama 102,2 detik sedangkan ibuprofen baku konsentrasi 16,877 µg/ml dengan ketahanan selama 63,608 detik. Hasil pengujian secara in vitro pada pH 1,2 dan pH 7,2 mempunyai korelasi terhadap uji in vivo dengan koefisien korelasi (R²

Pengecilan ukuran partikel ibuprofen dari mikropartikel menjadi nanopartikel sangat mempengaruhi laju disolusi, parameter bioavailabilitas serta meningkatkan kecepatan kerja ibuprofen untuk menghasilkan efek analgetik.

) adalah 0,8262, 0,9178, 0,9645 dan 0,9843.


(20)

EFFECT OF NANOPARTICLES IBUPROFEN ON

DISSOLUTION, BIOAVAILABILITY AND ANALGESIC EFFECT BY IN VIVO

Abstract

In the treatment of pain, required fast absorption of analgesic drug to produce more rapid therapeutic effect. Ibuprofen is a drug used for the treatment of pain, inflamation and fever. Ibuprofen as non steroidal anti-inflammatory drug provides low oral bioavailability and has low water solubility and slow rate dissolution. This research aims to make nanoparticle ibuprofen to raise dissolution rate, bioavailability and analgesic effect as in vivo.

Ibuprofen raw materials are made into nanoparticles size with milling method with rate 1400 rpm for 30 minutes to obtained a smaller particle size of 100 nm. The raw ibuprofen and the nanoparticles ibuprofen were characterized by using SEM (scanning electron microscopy), XRD (X-ray diffraction), DTA (differential thermal analyzer), and PSD (particle size distribution). Then dissolution test, bioavailability (Cmax, Tmax

The particle size characteristics of raw ibuprofen (40 μm) is different than nanoparticles ibuprofen (50-100 nm), the melting point characteristics of raw ibuprofen obtained at a temperature of 101.5°C and nanoparticles ibuprofen at a temperature of 100.9°C, patterns X-ray diffraction characteristic shows the peak and the diffraction pattern is the same in area 6, 12, 15, 16, 18, 20, 21, 22 and 28 (2θ

and AUC), and the analgesic effect on rabbits with plantar test method using the infrared devices.

°

), but nanoparticles ibuprofen showed lower peak intensity than raw ibuprofen. The results of dissolution testing pH 1.2 there is a difference to the raw ibuprofen and nanoparticles ibuprofen obtained peak levels in minute 120 by 22.77% and 48.77%, while at pH 7.2 nanoparticles ibuprofen very quickly dissolved in the minute 5 reached by 93.58%, while raw ibuprofen reached by 61.00%. The resulted bioavailability test from raw ibuprofen and nanoparticles ibuprofen consecutive results for Cmax 43.161 ± 1.373 and 49.227 ± 0.610 µg/ml (p > 0.05), tmaks

Decreasing ibuprofen particle size from microparticle to nanoparticle greatly affect the dissolution rate, bioavailability parameters and to increases the work of ibuprofen to produce an analgesic effect.

315 ± 0.00 and 135 ± 0.00 minutes (p < 0,05), and AUC 14883.791 ± 531.393 and 17190.779 ± 141.967 µg/ml. minutes (p > 0,05). There relationship increased ibuprofen concentrations in plasma with analgesic effect between raw ibuprofen and nanoparticles ibuprofen, which looks at minute 135 concentrations reached for ibuprofen nanoparticles 42.194 µg/ml and has resistance 102.2 seconds, while the concentration of raw ibuprofen 16.877 µg/ml and has resistance 63.60 seconds. Testing in vitro-in vivo correlation of raw ibuprofen and ibuprofen nanoparticles were tested in vitro at pH 1.2 and pH 7.2 has a correlation with test in vivo and the correlation coefficient (R²) are 0.8262, 0.9178, 0.9645 and 0.9843.


(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Ibuprofen merupakan salah satu obat yang sukar larut dalam air dan menunjukkan kelarutan yang buruk, karena mempunyai struktur hidrofobik (Bushra dan Aslam, 2010; Mansouri, et al., 2011). Selain itu ibuprofen mempunyai daya kohesifitas yang tinggi sehingga menghasilkan daya alir yang jelek (Bushra dan Aslam, 2010). Ibuprofen termasuk salah satu dari golongan obat antiinflamasi non steroid (AINS) yang banyak digunakan sebagai analgesik, antiinflamasi dan antipiretik (Abraham, 2005). Ibuprofen dosis rendah sama efektifnya dengan aspirin dan parasetamol untuk indikasi sebagai antipiretik (Wood, et al., 2003), dan juga sama efektifnya dengan indometasin (Bushra dan Aslam, 2010). Ibuprofen R dan S (+) enansiomer terutama digunakan dalam pengobatan nyeri ringan sampai sedang (Rehman, et al., 2008). Para dokter gigi lebih sering memberikan ibuprofen untuk menangani nyeri pada mulut baik akut maupun kronik (Moore dan Hersh, 2011).

Rute pemberian obat secara oral adalah metode yang paling umum dan disukai karena kenyamanan dan kemudahan dalam pemakaian. Ditinjau dari sudut pandang pasien, menelan bentuk sediaan oral merupakan hal yang nyaman dan biasa dalam mengkonsumsi obat, sehingga pasien lebih patuh dan karenanya terapi obat biasanya lebih efektif dibandingkan dengan rute-rute pemberian lain, misalnya melalui rute parenteral. Biasanya bioavailabilitas obat oral bergantung pada kelarutan dan atau kecepatan disolusi (Nugroho, et al., 2010).


(22)

Laju disolusi atau kecepatan melarut obat yang relatif tidak larut dalam air telah lama menjadi masalah pada industri farmasi. Ibuprofen termasuk senyawa model Biopharmaceutical Classification System (BCS) II, permeabilitas tinggi kelarutan rendah (Dahan dan Amidon, 2009). Obat-obat yang mempunyai kelarutan rendah, laju disolusi merupakan tahap penentu pada proses absorpsi obat (Shargel dan Yu, 1988; Leuner dan Dressman, 2000). Pada sebagian obat, disolusi merupakan langkah penentu kecepatan onset of action dan aktivitas terapetik, oleh karenanya upaya untuk meningkatkan disolusi suatu obat sering diperlukan (Nugroho, et al., 2010).

Pengaruh ukuran partikel obat terhadap laju disolusi dan bioavailabilitas secara komprehensif diperlihatkan oleh obat-obat yang laju absorpsi saluran cerna dibatasi oleh disolusi, dan pengurangan ukuran partikel umumnya dapat meningkatkan laju absorpsi serta bioavailabilitas total. Hal ini umum terjadi pada obat-obat yang sukar larut dalam air (Chiou dan Riegelman, 1971). Salah satu diantaranya adalah ibuprofen, yang bersifat sukar larut dalam air dan daya alir yang lambat, karena mempunyai struktur hidrofobik dan daya kohesifitas yang tinggi (Bushra dan Aslam, 2010; Mansouri, et al., 2011).

Langkah yang dapat dilakukan untuk memperbesar laju disolusi salah satunya adalah dengan memperkecil ukuran partikel ibuprofen dalam skala nano. Partikel berukuran demikian sering disebut dengan istilah nanopartikel. Nanopartikel dapat diperoleh dengan berbagai metode yaitu crushing (penghancuran), grinding (penggilingan), spray drying (pengeringan semprot) dan freeze drying (pengeringan beku) (Mansouri, et al., 2011). Metode paling umum


(23)

adalah media mill yang merupakan suatu teknologi pengurangan ukuran partikel dan telah dibuktikan kehandalannya (Junghanns dan Muller, 2008).

Beberapa penelitian terhadap obat-obat yang bersifat sukar larut dalam air, telah dilakukan dengan membuat menjadi bentuk nanopartikel. Bentuk preparat nanopartikel adalah zat padat dengan partikel-partikel berukuran rata-rata antara 200-500 nm, oleh sebab itu disebut nanopartikel. Beberapa penelitian ibuprofen nanopartikel yang telah dilakukan yaitu dengan mengurangi ukuran partikel ibuprofen sehingga untuk mempercepat pelarutan dan memperbesar luas permukaan efektif. Nanopartikel ibuprofen dibuat dengan metode pelarut/antisolvent. Nanodrug disiapkan untuk menentukan kecepatan laju disolusi dalam pelarut air yang dibandingkan dengan obat baku, struktur kimia ibuprofen nanopartikel tidak berubah tetapi ukuran kristal dikurangi menjadi 300-400 nm. Penurunan ukuran partikel ibuprofen juga menghasilkan peningkatan 2,33 kali dari kelarutan dalam air murni pada 30 menit pertama (Mansouri, et al., 2011).

Perubahan karakter fisik ibuprofen setelah proses penurunan ukuran partikel diduga kuat juga akan mengubah profil bioavailabilitasnya (Hickey, et al., 2007), dan berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa perubahan ukuran partikel mempengaruhi potensi dan bioavailabilitas. Bioavailabilitas merupakan kunci parameter farmakokinetik yang menjelaskan jumlah obat yang diberikan secara rute nonvascular untuk mencapai ke sirkulasi sitemik. Tingkat penyerapan obat dapat ditentukan dari beberapa parameter seperti Cmaks,Tmaks dan AUC (Toutain dan Bousquet-Me´lou, 2004). Tujuan availabilitas obat antara lain agar suatu produk obat mampu memberikan suatu efek terapi optimal kepada pasien.


(24)

Availabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah disetujui maupun yang belum disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration) untuk dipasarkan. Formula baru dari bahan obat aktif atau bagian terapeutik sebelum dipasarkan harus disetujui oleh FDA, dimana produk obat tersebut harus aman dan efektif sesuai label indikasi penggunaan. Selain itu, produk obat juga harus memenuhi seluruh standar yang digunakan dalam identitas, kekuatan, kualitas dan kemurnian, sehingga untuk meyakinkan bahwa standar-standar tersebut telah dipenuhi, FDA menghendaki studi availabilitas dan bila perlu persyaratan ekuivalensi untuk semua produk (Shargel dan Yu, 1988).

Berdasarkan uraian di atas maka tertarik untuk diteliti mengenai pembuatan ibuprofen nanopartikel dan karakterisasinya serta melakukan uji efek analgetik dengan metode hot plate yang nantinya akan dilihat waktu respons nyeri dan dibandingkan dengan ibuprofen baku (Corsini, et al., 2005).

Penelitian berikut ini juga bertujuan untuk mengamati bioavailabilitas pemberian oral dari ibuprofen nanopartikel yang dibandingkan dengan ibuprofen baku. Hasil pengujian bioavailabilitas dianalisis dengan menggunakan uji statistik beda antar dua rata-rata dan korelasi in vitro dengan in vivo menggunakan uji IVIVC Level A.

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka pembuatan nanopartikel ibuprefen bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel yang dapat meningkatkan kecepatan efek antiinflamasi dan analgetik dibandingkan dengan ibuprofen baku. Pengamatan dilakukan terhadap pembuatan nanopartikel dan karakterisasinya dengan SEM (Scanning Electron Microscopy), XRD (X-Ray Diffraction), DTA


(25)

(Diffrential Thermal Analyzer), PSD (Particle Size Distribution), uji disolusi, uji bioavailabilitas dan uji efek analgetik. Secara skematis kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1 sebagai berikut:

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

Bentuk partikel

Ukuran partikel

Pola difraksi

Titik lebur

Kecepatan disolusi

Cmaks, Tmaks, AUC dan efek

analgetik Bioavailabilitas

Ibuprofen Baku

Ibuprofen Nanopartikel

Karakteristik

pH 1,2 dan pH 7,2 Disolusi

Korelasi in vitro dan in vivo Uji efek analgetik


(26)

1.3 Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah terdapat perbedaan karakteristik partikel ibuprofen baku berukuran mikro dengan ibuprofen nanopartikel berukuran nano

b. Apakah terdapat pengaruh perbedaan ukuran partikel ibuprofen baku berukuran mikro dengan ibuprofen nanopartikel berukuran nano terhadap kecepatan disolusi.

c. Apakah terdapat pengaruh perbedaan ukuran partikel ibuprofen baku berukuran mikro dengan ibuprofen nanopartikel berukuran nano terhadap hasil pengujian bioavailabilitas.

d. Apakah terdapat pengaruh perbedaan konsentrasi ibuprofen baku dengan ibuprofen nanopartikel di dalam plasma terhadap efek analgetik.

e. Apakah terdapat korelasi hasil pengujian in vitro dengan in vivo.

1.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah penelitian di atas, maka dapat diambil hipotesis sebagai berikut:

a. Terdapat perbedaaan hasil karakterisasi partikel ibuprofen baku berukuran mikro dengan ibuprofen nanopartikel berukuran nano.

b. Terdapat pengaruh perbedaan ukuran partikel ibuprofen baku berukuran mikro dengan ibuprofen nanopartikel berukuran nano terhadap kecepatan disolusi. c. Terdapat pengaruh perbedaan ukuran partikel ibuprofen baku berukuran mikro


(27)

d. Terdapat pengaruh perbedaan konsentrasi ibuprofen baku dengan ibuprofen nanopartikel di dalam plasma terhadap efek analgetik.

e. Terdapat korelasi hasil pengujian in vitro dengan in vivo.

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

a. Untuk mengetahui perbedaaan hasil karakterisasi partikel ibuprofen baku berukuran mikro dengan ibuprofen nanopartikel berukuran nano.

b. Untuk mengetahui pengaruh perbedaan ukuran partikel ibuprofen baku berukuran mikro dengan ibuprofen nanopartikel berukuran nano terhadap kecepatan disolusi.

c. Untuk mengetahui pengaruh perbedaan ukuran partikel ibuprofen baku berukuran mikro dengan ibuprofen nanopartikel berukuran nano terhadap hasil bioavailabilitas.

d. Untuk mengetahui perbedaan pengaruh konsentrasi ibuprofen baku dengan ibuprofen nanopartikel di dalam plasma terhadap efek analgetik.

e. Untuk mengetahui korelasi hasil pengujian in vitro dengan in vivo.

1.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan bentuk sediaan farmasi, sehingga obat-obat NSAID seperti ibuprofen dapat dikembangkan menjadi sediaan nanopartikel yang lebih efektif dan aman.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nanopartikel

Nanosains adalah salah satu penelitian yang paling penting dalam ilmu pengetahuan modern. Nanoteknologi merupakan ilmu yang mempelajari partikel dalam rentang ukuran 1-1000 nm (Buzea, et al., 2007). Nanoteknologi mulai memungkinkan para ilmuwan, ahli kimia, dan dokter untuk bekerja di tingkat molekuler dan sel untuk menghasilkan kemajuan penting di bidang ilmu pengetahuan dan kesehatan. Penggunaan bahan nanopartikel menawarkan keuntungan besar karena ukuran mereka yang unik dan sifat fisikokimia. Penelitian nanopartikel sedang berkembang pesat karena dapat diaplikasikan secara luas seperti dalam bidang lingkungan, elektronik, optis dan biomedis (Jain, et al., 2006; Stern dan McNeil, 2008).

Nanopartikel dapat terdiri dari bahan konstituen tunggal atau menjadi gabungan dari beberapa bahan. Nanopartikel di alam sering ditemukan dengan bahan aglomerasi dengan berbagai komposisi, sedangkan komposisi bahan murni tunggal dapat dengan mudah disintesis dengan berbagai metode. Berdasarkan sifat kimia dan elektromagnetik, nanopartikel dapat tersebar seperti aerosol, suspensi/koloid, atau dalam keadaan menggumpal. Sebagai contoh, nanopartikel magnetik cenderung mengelompok, membentuk sebuah aglomerat, kecuali permukaan mereka dilapisi dengan bahan non-magnetik, dan dalam keadaan menggumpal, nanopartikel dapat berperilaku sebagai partikel yang lebih besar, tergantung pada ukuran aglomerat tersebut (Buzea, et al., 2007).


(29)

Sediaan nanopartikel dapat dibuat dengan berbagai metode, hingga saat ini ada beberapa metode pembuatan nanopartikel yang sering digunakan yaitu metode presipitasi, penggilingan (milling methods), salting out, fluida superkritis, polimerisasi monomer, polimer hidrofilik, dan dispersi pembentukan polimer (Soppimath, et al., 2001; Mansouri, et al., 2011).

2.1.1 Metode emulsifikasi

Metode emulsifikasi menggunakan prinsip difusi antara pelarut larut air seperti aseton atau metanol dengan pelarut organik tidak larut air seperti kloroform dengan penambahan polimer. Difusi yang terjadi antara dua pelarut tersebut mengakibatkan emulsifikasi pada daerah di antara dua fase pelarut. Partikel yang berada di antara dua fase pelarut tersebut berukuran lebih kecil dari pada kedua fase pelarut itu sendiri (Soppimath, et al., 2001).

2.1.2 Metode presipitasi

Sebuah proses dimana bahan dilarutkan ke dalam pelarut yang cocok, lalu dimasukkan ke dalam pelarut lain yang bukan pelarutnya dipengaruhi pH, suhu atau perubahan pelarut kemudian segera menghasilkan presipitasi zat aktif dengan partikel yang lebih kecil (Haskel, 2009). Metode ini menggunakan agen penahan tegangan permukaan yang cukup besar untuk menahan agregasi. Kelemahan metode ini adalah nanopartikel yang terbentuk harus distabilisasi untuk mencegah timbulnya kristal berukuran mikro dan zat aktif yang hendak dibuat nanopartikelnya harus larut setidaknya dalam salah satu jenis pelarut, sementara diketahui bahwa banyak zat aktif memiliki kelarutan rendah baik di air maupun pelarut organik (Junghanns dan Müller, 2008).


(30)

2.1.3 Metode milling

Penggilingan merupakan teknik standar yang telah digunakan dalam beragam bidang aplikasi industri untuk mengurangi ukuran partikel. Besarnya pengurangan ukuran diatur oleh jumlah energi penggilingan, yang ditentukan oleh kekerasan intrinsik obat, media grinding, dan penggilingan. Pengurangan ukuran partikel lewat penggilingan dapat dijelaskan oleh tiga mekanisme kunci yang saling mempengaruhi yakni gesekan antara dua permukaan karena tekanan yang dihasilkan melampaui kekuatan inheren partikel sehingga mengakibatkan frakturasi (patahan atau retakan), gaya gesek yang dihasilkan (shear force) mengakibatkan pecahnya partikel menjadi beberapa bagian, dan deagregasi terkait kolisi (tabrakan) antar agregat pada laju diferensial yang tinggi (Vijaykumar, et al., 2010).

2.1.4 Metode fluida superkritis

Metode fluida superkritis menggunakan senyawa yang memiliki suhu dan tekanan di atas titik kritis. Senyawa yang termasuk dalam golongan ini antara lain karbon dioksida, air, dan gas metan. Senyawa ini digunakan sebagai pengganti pelarut organik yang berbahaya bagi lingkungan (Soppimath, et al., 2001).

2.1.5 Metode polimerisasi monomer

Metode polimerisasi monomer menggunakan senyawa polialkilsianoakrilat (PACA). Metil atau etil sianoakrilat dimasukkan dalam media asam dengan penambahan surfaktan. Monomer sianoakrilat ditambahkan dalam campuran yang sedang diaduk dengan magnetic stirrer. Senyawa obat ditambahkan baik sebelum penambahan monomer maupun setelah reaksi


(31)

polimerisasi. Suspensi nanopartikel yang terbentuk dimurnikan dengan ultrasentrifugasi (Soppimath, et al., 2001).

2.1.6 Metode polimer hidrofilik

Metode polimer hidrofilik tidak memerlukan surfaktan seperti metode polimerisasi monomer. Polimer yang digunakan dalam metode ini merupakan polimer larut air seperti kitosan larut air, natrium alginat dan gelatin. Nanopartikel umumnya terbentuk secara spontan ataupun dengan penambahan pengemulsi (Soppimath, et al., 2001).

2.2 Disolusi

Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi. Uji disolusi yaitu uji pelarutan in vitro yaitu mengukur laju dan jumlah pelarutan obat dalam suatu media “aqueous” dengan adanya satu atau lebih bahan tambahan yang terkandung dalam produk obat. Pelarutan obat merupakan bagian penting sebelum kondisi sitemik (Shargel dan Yu, 1988).

Disolusi juga didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk ke dalam pelarut yang menghasilkan suatu larutan. Disolusi merupakan salah satu kontrol kualitas yang dapat digunakan untuk memprediksi bioavailabilitas, dan dalam beberapa kasus dapat sebagai pengganti uji klinik untuk menilai bioekivalen (bioequivalence). Hubungan kecepatan disolusi in vitro dan bioavailabilitasnya dirumuskan dalam bentuk IVIVC (in vitro – in vivo corelation). Kinetika uji disolusi in vitro memberi informasi yang sangat penting untuk meramalkan availabilitas obat dan efek terapeutiknya secara in vivo.


(32)

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses disolusi dibagi atas 3 kategori yaitu:

1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi: a. Efek kelarutan obat

Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju disolusi yang cepat.

b. Efek ukuran partikel

Ukuran partikel berkurang, dapat memperbesar luas permukaan obat yang berhubungan dengan medium sehingga laju disolusi meningkat.

2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi : a. Efek formulasi

Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila dicampur dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah, sedangkan bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju disolusi.

b. Efek faktor pembuatan sediaan

Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi bersifat hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif dan menambah laju disolusi.

3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan faktor disolusi, meliputi : a. Tegangan permukaan medium disolusi

Tegangan permukaan mempunyai pengaruh terhadap laju disolusi bahan obat. Surfaktan dapat menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapat


(33)

meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan kapsul konvensional juga menunjukkan penambahan laju disolusi obat-obat yang sukar larut dengan penambahan surfaktan ke dalam medium disolusi.

b. Viskositas medium

Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil laju disolusi bahan obat c. pH medium disolusi

Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih cepat dibandingkan dengan air, oleh karena itu mempercepat laju disolusi (Gennaro, 1990). Obat-obat asam lemah disolusinya kecil dalam medium asam, karena bersifat nonionik, tetapi disolusinya besar pada medium basa karena terionisasi dan pembentukan garam yang larut (Martin, et al., 1993; Sulaiman, 2007).

2.3 Nyeri

Nyeri didefenisikan sebagai perasaan sensori dan emosional yang tidak menyenangkan sehubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial yang menyebabkan kerusakan jaringan. Nyeri terjadi bersamaan dengan terjadinya proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik dan pengobatannya. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan bagi banyak orang dari pada penyakit apapun (Brunner dan Suddarth, 2002).

Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh, dapat timbul bila ada jaringan tubuh yang rusak, hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri. Nyeri pada umumnya terjadi akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata. Beberapa jenis sel saraf dalam proses penghantaran nyeri yaitu sel saraf eferen atau neuron motorik, sel saraf aferen atau


(34)

neuron sensori dan serabut konektor atau interneuron. Sel-sel saraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sumsum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor (Sudiono, 2003).

Mediator nyeri antara lain mengakibatkan reaksi radang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf di kulit, mukosa dan jarigan lainnya (Mansjoer, 1999). Nosiseptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di sistem saraf pusat, dari sini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan dari tajuk-tajuk neuron dengan sinaps yang banyak melalui sumsum tulang belakang, sumsum tulang lanjutan dan otak tengah. Selanjutnya dari talamus impuls diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri. Stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor untuk melepaskan zat-zat kimia yang terdiri dari prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan mensensitasi ujung saraf dan menyampaikan impuls ke otak (Sudiono, 2003). Adanya stimulus dari luar menyebabkan adanya kerusakan membran sel. Membran sel yang rusak akan mengalami labilisasi lisosomes dan menyebabkan pelepasan enzim fosfolipase yang akan menghidrolisa fosfolipid dari membran sel untuk menghasilkan asam arakidonat. Prostaglandin disintesis dari asam lemak tak jenuh rantai panjang, yaitu asam arakidonat melalui jalur siklooksigenase. Proses pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat dengan bantuan COX, ditunjukkan oleh persamaan reaksi di bawah ini Gambar 2.1.


(35)

Gambar 2.1. Bagan mekanisme terjadinya nyeri (Katzung, 2002)

Tipe prostaglandin yang dapat menimbulkan respon nyeri adalah prostaglandin E2 (PGE2) dan prostasiklin (PGI2). Kehadiran obat penghilang rasa sakit seperti obat-obat analgesik dapat menghambat proses pembentukan molekul ini dengan cara menghambat kerja enzim COX (Katzung, 2002; Odendaal, 2010).

2.4 Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan berdasarkan pada tempat, sifat, dan waktu serangannya.

Fosfolipida (membran sel)

Fosfolipase

Asam Arakinodat

Siklooksigenase Lipooksigenase

Endoperoksida Asam peroksida

Leukotrien

O2

Radikal bebas

Tromboksan Prostasiklin Prostaglandin LTB4 LTC4-LTD4-LTE4

- Vasokonstriksi - Bronkokonstriksi - Agregasi

- Proteksi Lambung - Vasodilatasi - Anti Agregasi

- Peradangan - Peradangan - Vasokonstriksi

- Permeabilitas meningkat COX-1

COX-2 AINS


(36)

2.4.1. Nyeri berdasarkan tempatnya

a. Pheriperal pain

Pheriperal pain adalah nyeri yang terasa pada permukaan tubuh, termasuk nyeri pada kulit dan permukaan kulit. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri di kulit dapat berupa rangsangan mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Apabila hanya kulit yang terlibat, nyeri sering dirasakan sebagai menyengat, tajam, meringis, atau seperti terbakar (Taylor, 2008).

b. Deep pain

Deep pain adalah yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam (nyeri somatik) atau pada organ tubuh visceral (nyeri visceral). Nyeri somatis mengacu pada nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum dan tulang sendi. Stuktur-stuktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri sering tidak jelas. Demikian juga pada nyeri visceral, lokalisasinya tidak dapat ditentukan. Nyeri visceral ini meliputi apendisitis akut, cholecysitis, penyakit kardiovaskular, dan gagal ginjal (Price dan Wilson, 2006).

d. Central pain

Central pain adalah nyeri yang terjadi karena perangsangan pada sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, talamus dan lain-lain (Price dan Wilson, 2006).

2.4.2 Nyeri berdasarkan sifat

a. Incidental Pain

Incidental pain adalah nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang dan ini terjadi pada pasien yang mengalami nyeri kanker tulang (Taylor, 2008).


(37)

b. Steady Pain

Steady pain adalah nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam waktu yang lama. Pada distensi kapsul ginjal dan ginjal akut iskemik merupakan salah satu jenis steady pain. Tingkatan nyeri yang konstan pada obstruksi dan distensi (Taylor, 2008).

c. Proximal Pain

Proximal pain adalah nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali, biasanya menetap 10-15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi. Nyeri ini terjadi pada pasien yang mengalami Carpal Tunnel Syndrome (Taylor, 2008).

2.4.3 Nyeri berdasarkan waktu serangan

a. Nyeri akut

Nyeri akut merupakan nyeri yang mereda setelah intervensi atau penyembuhan, biasanya mendadak dan berkaitan dengan masalah spesifik yang memicu individu untuk segera bertindak menghilangkan nyeri. Nyeri berlangsung singkat (kurang dari 6 bulan) dan menghilang apabila faktor internal dan eksternal yang merangsang reseptor nyeri dihilangkan. Durasi nyeri akut berkaitan dengan faktor penyebabnya dan umumnya dapat diperkirakan (Price dan Wilson, 2006).

Cedera atau penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat sembuh secara spontan atau dengan pengobatan. Sebagai contoh, jari yang tertusuk biasanya sembuh dengan cepat. Pada kasus yang lebih berat seperti fraktur ekstremitas, pengobatan dibutuhkan untuk menurunkan nyeri sejalan dengan penyembuhan tulang (Brunner dan Suddarth, 2002).


(38)

Pasien dengan nyeri akut memperlihatkan respon neurologik yang terukur dan disebabkan oleh stimulasi simpatis yang disebut sebagai hiperaktivitas autonom. Perubahan-perubahan ini mencakup takikardia, takipnea, meningkatnya aliran darah perifer, meningkatnya tekanan darah, dan dibebaskannya katekolamin. Kekakuan otot lokal juga mungkin terjadi, dalam suatu gerakan involunter agar daerah yang cedera tidak bergerak (Price dan Wilson, 2006). b. Nyeri kronis

Nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung terus menerus selama 6 bulan atau lebih. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik (Brunner dan Suddarth, 2002).

Nyeri kronis ini berbeda dengan nyeri akut dan menunjukkan masalah baru. Pada sindrom nyeri kronis dapat disebabkan oleh faktor penyakit atau proses patologi yang persisten, tetapi nyeri kronis juga merupakan penyakit itu sendiri. Nyeri kronis mempengaruhi seluruh aspek kehidupan pasien (Price dan Wilson, 2006). Pasien dengan nyeri kronis tidak atau kurang memperlihatkan hiperaktivitas autonom tetapi memperlihatkan gejala irritabilitas, kehilangan semangat dan gangguan kemampuan berkonsentrasi. Nyeri kronis ini sering mempengaruhi semua aspek kehidupan penderitanya, menimbulkan stres, peningkatan emosi, dan mengganggu fungsi fisik dan sosial (Potter dan Perry, 2005).

Nyeri kronis dibagi menjadi dua yaitu nyeri kronik non malignan dan malignan (Potter dan Perry, 2005). Nyeri kronis non malignan merupakan nyeri yang timbul akibat cedera jaringan yang tidak progresif atau yang menyembuh,


(39)

bisa timbul tanpa penyebab yang jelas misalnya nyeri pinggang bawah, dan nyeri yang didasari atas kondisi kronis, misalnya osteoarthritis (Bushra dan Aslam, 2010). Sementara nyeri kronik malignan yang disebut juga nyeri kanker memiliki penyebab nyeri yang dapat diidentifikasi yaitu terjadi akibat perubahan pada saraf, perubahan ini dapat terjadi karena penekanan pada saraf akibat metastasis sel-sel kanker maupun pengaruh zat-zat kimia yang dihasilkan oleh kanker itu sendiri (Taylor, 2008).

2.5 Obat Analgetika

Analgetika merupakan suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri diakibatkan oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya rangsangan mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan yang memicu pelepasan mediator nyeri seperti bradikinin dan prostaglandin yang akhirnya mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak. Secara umum analgetika dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetika narkotik dan analgetika non narkotik (Tjay dan Rahardja. 2002).

2.5.1 Obat analgetika narkotik

Analgetika narkotik merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain, golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Semua analgetika narkotik menimbulkan adiksi, maka usaha untuk mendapatkan suatu analgetika yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan analgetika yang sama kuatnya dengan morfin tanpa bahaya adiksi. Ada 3 golongan obat analgetika narkotik yaitu


(40)

obat yang berasal dari opium-morfin, senyawa semisintetik morfin dan senyawa sintetik yang berefek seperti morfin (Ganiswarna, 1995).

2.5.2 Obat analgetika non narkotik

Penggunaan obat-obat antiinflamasi non steroid (AINS) seringkali berakibat meredanya rasa nyeri selama periode yang bermakna. Sebagian besar dari nonopioid analgesik juga mempunyai efek antiinflamasi, sehingga tepat digunakan untuk pengobatan inflamasi akut maupun kronis (Katzung, 2002).

Obat AINS mempunyai efek analgesik, antipiretik dan pada dosis yang lebih tinggi bersifat antiinflamasi. Obat-obat ini banyak digunakan di Inggris hampir seperempat pasien yang berkonsultasi dengan dokter umum mempunyai satu bentuk keluhan reumatik. Pasien-pasien ini sering diberi resep AINS yakni tablet aspirin, ibuprofen dan parasetamol sebagai tambahan yang dibeli bebas untuk terapi sendiri pada sakit kepala dan nyeri gigi, berbagai gangguan muskoskeletal dan lain-lain. Obat-obat ini tidak efektif pada terapi nyeri viseral (misalnya infark miokardia, kolik renal, dan abdomen akut) yang membutuhkan analgesik opioid. Akan tetapi, AINS efektif pada nyeri hebat tipe tertentu misalnya kanker tulang. (Neal, 2005; Odendaal, 2010).

AINS adalah asam lemah, dengan pKa dari 3 - 5, obat-obat ini sangat terikat pada albumin dan dimetabolisme oleh hati dengan salah satu dari konjugasi atau oksidasi. Ekskresi terjadi terutama melalui ginjal dan pada tingkat lebih rendah, oleh hati melalui empedu. Volume distribusi mendekati volume plasma. Obat antiinflamasi non steroid dapat digunakan dalam pengobatan peradangan dan nyeri dalam berbagai macam gangguan. Obat antiinflamasi non steroid merupakan berbagai kelompok bahan kimia dan dikelompokkan menurut struktur kimianya,


(41)

dengan berbagai sifat terapeutik yang sama. Berbagai macam obat antiinflamasi non steroid yang tersedia (Odendaal, 2010) yaitu:

− Turunan salisilat: aspirin, metil salisilat;

− Turunan asam arilalkanoat: indometasin, sulindac, diklofenak;

− Turunan asam 2-arilpropionat (profens): ibuprofen, ketoprofen, naproxen; − Turunan asam N-arilantranilik: asam mefenamat;

− Turunan oksikam: lornoxicam, piroksikam, meloxicam; − Turunan sulfonanilida: nimesulide;

− Turunan koksib: celecoxib, valdecoxib, etoricoxib.

2.6 Ibuprofen

Ibuprofen turunan asam propionat dengan efek analgesik, antipiretik dan antiinflamasi yang menonjol, mencerminkan suatu penghambatan dari sintesis prostaglandin. Turunan asam propionat sama bergunanya dengan salisilat dalam mengobati berbagai bentuk arthritis termasuk osteoarthritis, rheumatoid arthritis, arthritis gout akut (Stoelting dan Hillier, 2006). Ibuprofen sering diresepkan dalam dosis rendah yang bersifat analgesik tetapi mempunyai efek antiinflamasi rendah (Trevor dan Katzung, 2005). Perubahan struktur minor pada ibuprofen menghasilkan fenoprofen, ketoprofen dan flurbiprofen (Sinatra, et al., 1992). Rumus bangun ibuprofen dapat dilihat pada Gambar 2.2 dibawah ini.


(42)

2.6.1 Farmakokinetik

Secara umum ibuprofen beserta turunannya sangat cepat dan sangat efektif diserap setelah pemberian peroral dengan bioavailabilitas lebih besar dari 85%. Puncak konsentrasi plasma terjadi antara 0,5 sampai 3 jam (Sinatra, et al., 1992). Ibuprofen dieliminasi terutama melalui metabolisme secara luas di hati menjadi hidroksil atau konjugasi karboksil dan kurang dari 1% obat ditemukan dalam urin dan keadaan tidak dimetabolisme. Ibuprofen memiliki volume distribusi yang relatif rendah (0,1 sampai 0,12 L/kg). Waktu paruh eliminasinya berkisar antara 2 hingga 4 jam (Sinatra, et al., 1992; Stoelting and Hillier, 2006).

2.6.2 Farmakodinamik

Mekanisme kerja ibuprofen melalui inhibisi sintesis prostaglandin dengan menghambat Cyclooxygenase I (COX I) dan Cyclooxygenase II (COX II). Namun tidak seperti aspirin, hambatan yang diakibatkan olehnya bersifat reversibel. Pengobatan dengan ibuprofen menyebabkan penurunan pelepasan mediator dari granulosit, basofil, dan sel mast. Penurunan kepekaan terhadap bradikinin dan histamin mempengaruhi produksi limfokin dari limfosit T, melawan vasodilatasi dan menghambat agregasi platelet (Sinatra, et al., 1992; Moore, 2007).

2.6.3 Dosis

Dosis ibuprofen untuk mengurangi nyeri ringan hingga sedang digunakan dosis dewasa peroral yaitu 400 mg untuk (nyeri haid), untuk arthritis rheumatoid 400-800 mg, untuk demam pada anak 5 mg/kgbb, untuk nyeri pada anak-anak 10 mg/kgbb, untuk arthritis juvenil 30-40 mg/kg berat badan/hari (Anderson,


(43)

et al., 2002). Dosis ibuprofen dewasa dan anak-anak dapat dilihat pada Tabel 2.1 (Bushra dan Aslam, 2010).

Tabel 2.1 Dosis ibuprofen dewasa dan anak-anak

Pasien Ibuprofen Dosis

Dewasa

Analgesik 200-400 mg setiap 4-6 jam

Antiinflamasi

300 mg setiap 6-8 jam atau 400-800 mg 3-4 kali dalam sehari

Anak-anak

Antipiretik

5-10 mg/kg berat badan setiap 6 jam (maksimum 40 mg/kg berat badan per hari) Antiinflamasi 20-40 mg/kg berat badan/hari dalam 3-4 dosis terbagi

2.6.4 Penggunaan klinis

Ibuprofen dapat digunakan untuk mengurangi nyeri yang ringan hingga sedang (Trevor dan Katzung, 2005). Ibuprofen digunakan secara luas dalam pengelolaan gangguan inflamasi, rematik dan muskuloskeletal karena sangat efektif dan memiliki toksisitas minimal. Beberapa penggunaan klinis utama ibuprofen adalah sebagai berikut:

1. Arthritis dan osteoarthritis

Ibuprofen 2400 mg per hari menghasilkan peningkatan yang cepat dalam pengobatan artritis gout dalam 72 jam. Pada dosis sekitar 2400 mg sehari setara dengan 4 g aspirin. Osteoarthritis sangat umum diobati dengan pengobatan yang melibatkan AINS terutama ibuprofen, dan untuk mengendalikan gejala sendi, diklofenak, ibuprofen dan naproxen tolmetin sama-sama efektif (Hollingworth, 1993). Sekitar 1% dari rheumatoid arthritis (RA) pasien yang menerima AINS


(44)

rentan untuk perdarahan pada gastrointestinal, dan dengan ibuprofen, perdarahan lambung telah diamati pada 10 - 32% pasien (Coussement, 1996; Stoelting and Hillier, 2006).

2. Sakit gigi

Ibuprofen merupakan salah satu obat yang paling efektif dan banyak digunakan dalam pengobatan nyeri gigi. Para dokter gigi telah mengandalkan ibuprofen dan AINS lainnya untuk mengatasi nyeri orofacial akut dan kronis. (Moore dan Hersh, 2011).

3. Demam dan sakit kepala

Ibuprofen berguna untuk mengatasi nyeri, sakit ringan dan mengurangi demam, terutama untuk indikasi akut, seperti demam atau sakit kepala (ketegangan jenis sakit kepala). Telah dilaporkan bahwa penggunaan gabungan parasetamol dan ibuprofen menurunkan demam sangat cepat (Erlewyn-lajeunesse et al., 2006). Pada studi dosis tunggal ibuprofen lebih efektif dibandingkan dengan parasetamol untuk pengobatan demam diatas 38°C karena malaria falciparum tidak menimbulkan komplikasi. Ibuprofen secara signifikan lebih efektif daripada parasetamol dalam menurunkan suhu pada 4-5 jam pertama setelah pemberian dosis dan dengan demikian harus dianggap sebagai agen antipiretik dalam pengelolaan infeksi falcifarum tanpa komplikasi dan tidak ada kontraindikasi penggunaannya (Krishna, et al., 1995).

2.6.5 Efek samping

Secara umum semua turunan asam propionat memiliki efek iritasi gastrointestinal dan ulserasi yang lebih kecil dibandingkan dengan pemberian salisilat. Fungsi platelet mungkin dipengaruhi dan bervariasi dari masing-masing


(45)

turunannya. Inhibisi dari sintesis prostaglandin dapat memperburuk disfungsi ginjal pada pasien dengan kelainan ginjal yang mana prostaglandin diperlukan untuk mempertahankan aliran darah ginjal. Disamping itu dapat juga menimbulkan suatu reaksi alergi pada pasien yang hipersensitif. Efek terhadap ginjal dapat berupa gagal ginjal akut, nefritis interstisialis, dan sindrom nefrotik (Stoelting dan Hillier, 2006).

Efek samping dari ibuprofen dapat berupa kemerahan, pruritus, tinitus, pusing, nyeri kepala, cemas, meningitis aseptik, dan retensi cairan di samping efek gastrointestinal (dapat diubah dengan pemberian bersama makanan). Pemberian ibuprofen dalam jangka waktu yang lama berhubungan dengan agranulositosis dan aplasia sumsum tulang granulositik (Katzung, 1995).

2.7 Biofarmasetika

Biofarmasetika adalah pengkajian faktor-faktor fisiologis dan farmasetik yang mempengaruhi pelepasan obat dan absorpsi dari bentuk sediaan. Sifat-sifat fisika kimia dari obat dan bahan-bahan tambahan menetapkan laju pelepasan obat dari bentuk sediaan dan transport berikutnya melewati membran-membran biologis, sedangkan fisiologis dan kenyataan biokimia menentukan nasibnya dalam tubuh. Penyampaian optimal dari pusat aktif ke tempat aksi tergantung pada pengertian dari interaksi spesifik antara variabel-variabel formulasi dan variabel-variabel biologis (Aiache, 1993).


(46)

2.8 Bioavailabilitas

Pada farmakologi, bioavailabilitas digunakan untuk menggambarkan fraksi dari dosis obat yang mencapai sirkulasi sistemik, yang merupakan salah satu bagian dari aspek farmakokinetik obat. Defenisi tersebut dapat diartikan bahwa obat yang diberikan secara intavena bioavailabilitasnya mencapai 100%. Namun, jika obat diberikan melalui rute pemberian lain (seperti melalui oral) bioavailabilitasnya berkurang (karena absorpsi yang tidak sempurna dan metabolisme lintas pertama) (Chereson, 1996). Bioavailabilitas merupakan salah satu unsur penting dalam farmakokinetik, dan harus dipertimbangkan saat menghitung dosis untuk rute pemberian selain intravena. Bioavailabilitas adalah ukuran dari obat aktif secara terapetik yang mencapai sirkulasi sistemik, disimbolkan dengan huruf ‘F’ (Gunaratna, 2001). Bioavailabilitas absolut merupakan hasil dari obat yang diabsorpsi melalui rute pemberian selain intravena yang dibandingkan dengan pemberian secara intravena pada obat yang sama (Bailey, et al., 2000). Pada penentuan bioavailabilitas absolut obat, suatu studi farmakokinetik harus dilakukan untuk memperoleh konsentrasi obat dalam plasma vs waktu obat setelah pemberian secara intravena dan yang selain intravena (Bailey, et al., 2000). Bioavailabilitas absolut merupakan dosis koreksi dari area di bawah kurva (AUC) pemberian selain iv dibagi dengan AUC pemberian secara iv. Sebagai contoh, rumus untuk menghitung F suatu obat yang diatur oleh rute pemberian oral (po) adalah seperti rumus di bawah ini (Dupuy, et al., 2003; Toutain dan Bousquet-Me´lou, 2004):


(47)

Suatu obat yang diberikan secara intravena akan mempunyai suatu kemutlakan bioavailabilitas 1 (F=1) sementara obat yang diberi oleh rute lain pada umumnya mempunyai bioavailabilitas absolut kurang dari satu (Toutain dan Koritz, 1997; Bailey, et al., 2000; Toutain dan Bousquet-Me´lou, 2004).

2.9 Metode Pengujian Analgetika

Metode yang paling umum digunakan sebagai pengujian analgetika pada hewan percobaan adalah metode panas. Sebagai penyebab rasa nyeri dapat digunakan lempeng yang dipanaskan atau hot plate, panas diberikan pada bagian tubuh hewan percobaan. Hewan yang diberi suatu zat analgetika akan mengalami perpanjangan waktu reaksi terhadap rangsangan panas. Waktu reaksi yang diberikan oleh mencit yang ditempatkan pada lempeng panas dapat digunakan untuk pengujian efek analgetika. Beberapa mencit yang ditempatkan pada lempeng yang dipanaskan pada temperatur 50ºC memberikan respon tidak teratur selama 20 detik dan lainnya membutuhkan waktu yang lebih lama. Pada temperatur 55ºC semua mencit memberikan respon dalam waktu 20 detik sedangkan pada temperatur 60ºC akan memberikan respon 20 detik. Respons nyeri yang ditunjukkan oleh mencit mula-mula duduk dengan kaki belakang sambil menjilat-jilat kaki depan sebagai usaha untuk mendinginkannya kemudian apabila terasa lebih panas mencit menedangkan kaki belakangnya, berputar dan berusaha keluar dari tempat uji (Domer, 1971; Sopan, et al., 2012).


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental (experimental research), yang meliputi pembuatan ibuprofen nanopartikel dan karakteristik ukuran partikel serta pengujian disolusi, bioavaibilitas dan efek analgetik. Penelitian dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh atau hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat, dimana yang termasuk variabel bebas adalah ukuran partikel dan pH. Sedangkan variabel terikat adalah karakteristik, disolusi, bioavaibilitas obat dan efek analgetik.

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian yang dilakukan meliputi pembuatan nanopartikel ibuprofen serta evaluasi karakteristik fisik (ukuran partikel) menggunakan alat scanning electron microscopy (SEM), x-ray diffraction (XRD), diffrential thermal analyzer (DTA) dan particle size distribution (PSD). Selanjutnya evaluasi bioavaibilitas obat dari ibuprofen nanopartikel dan ibuprofen baku, serta pengujian efek analgetik terhadap kelinci dengan metode plantar test menggunakan alat panas inframerah.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek), Tangerang, Provinsi Banten dan Laboratorium Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.


(49)

3.3 Bahan dan Alat

3.3.1 Bahan

Selain dinyatakan lain bahan yang digunakan berasal dari Merck seperti HCl(p), KH2PO4,

3.3.2 Alat

NaOH, metanol, tri chlor asetat (TCA), Bahan baku ibuprofen (Hubei Granules-Biocause Pharmaceutical, Co. Ltd), akuades, hewan percobaan (Kelinci).

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas laboratorium, sarung tangan, stop watch, politube, label, neraca analitik (Vibra), high energy milling (HEM) E3D (LIPI) dengan media penggiling berupa bola keramik berdiameter 2 mm, x-ray diffraction, scanning electron microscopy, diffrential thermal analyzer, particle size distribution, disolution tester (Erweka), timbangan hewan, alat sentrifuge (Velocity 18R), alat plantar test (Ugo Basile), spektrofotometer (shimadzu UV 1800).

3.4 Pembuatan Nanopartikel Ibuprofen

Sebanyak 5 g ibuprofen dan bola-bola keramik berdiameter 2 mm dengan perbandingan 1:10 dimasukkan ke dalam ruang (chamber), lalu alat high energy milling (HEM) E3D dijalankan pada kecepatan 1400 rpm selama 30 jam hingga mendapatkan ukuran partikel yang lebih kecil dari 1000 nm. Hasil nanopartikel ibuprofen dikarakterisasi dengan menggunakan alat SEM, XRD, DTA dan PSD.


(50)

3.5 Pengujian Karakterisasi Ibuprofen Baku dan Ibuprofen Nanopartikel

3.5.1 Scanning electron microscope (SEM)

Morfologi permukaan dari ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel diamati menggunakan alat SEM dengan tegangan percepatan ± 1,5-20 kV (Mansouri, et al., 2011).

3.5.2 Particle size distribution (PSD)

Ukuran partikel serbuk ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel diukur segera setelah pengendapan denganb nanopartikel obat diukur segera setelah pengendapan dengan dynamic laser light scattering (Analisis Ukuran Partikel). Sebelum analisis, suspensi obat diencerkan dengan air murni sebanyak 0,2 mg/ml (Mansouri, et al., 2011).

3.5.3 X-ray diffraction (XRD)

Masing-masing serbuk ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel direkam pada sistem difraksi sinar-X menggunakan sumber pancaran radiasi Cu, tegangan 40 kV dan arus 30 mA. Pengamatan dilakukan dengan kecepatan scanning 0,05° per detik (Newa, et al., 2008).

3.5.4 Diffrential thermal analyzer (DTA)

Masing-masing serbuk ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel dimasukkan dalam wadah bertutup rapat dan dipanaskan pada laju skanning sebesar 5°C per menit dari 20°C sampai 500°C (Newa, et al., 2008).


(51)

3.6 Pembuatan Larutan

3.6.1 Pembuatan larutan induk baku ibuprofen

Ibuprofen ditimbang sebanyak 100 mg, dimasukkan dalam labu takar 100 ml, kemudian dilarutkan dengan metanol sampai garis tanda dikocok sampai larut dan sampai homogen. Konsentrasi yang diperoleh 1000 µg/ml.

3.6.2 Pembuatan kurva kalibrasi larutan ibuprofen

Larutan induk baku (LIB) ibuprofen dibuat berbagai konsentrasi yaitu 20; 40; 80; 120; 160; 200; 240; 280; 320; 400 µg/ml dengan cara memipet larutan induk baku masing - masing 0,5; 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 8; 10 ml ke dalam labu tentukur 25 ml, kemudian dicukupkan dengan NaOH sampai garis tanda, dikocok sampai homogen. Serapan diukur dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang maksimum yang telah ditentukan sebelumnya.

3.6.3 Pembuatan medium cairan usus buatan (medium pH 7,2)

Kalium dihidrogen fosfat sebanyak 6,8 gram dilarutkan dalam 250 air suling bebas CO2, lalu ditambahkan natrium hidroksida 0,2 N sebanyak 173,5 ml, dan ditambahkan air suling bebas CO2

3.6.4Pembuatan cairan lambung buatan (medium pH 1,2)

hingga volumenya 1000 ml (Ditjen POM,1995).

Asam klorida pekat sebanyak 8,35 ml ditambahkan akuades hingga 1000 ml (USP XXX, 2007).

3.6.5 Pembuatan larutan natrium hidroksida 0,2 N

Natrim hidroksida sebanyak 8 gram dilarutkan dalam akuades bebas CO2 cukupkan sampai 1000 ml (Ditjen POM,1995).


(52)

3.7 Pengujian Disolusi Ibuprofen Baku dan Ibuprofen Nanopartikel

Dimasukkan 900 ml medium disolusi ke dalam wadah disolusi dan diatur suhu 37 + 0,5

°

C dan kecepatan pengadukannya 100 rpm. Pada kapsul yang ingin didisolusi berikan pemberat berbentuk ring. Pada saat kapsul jatuh ke dasar wadah medium, ditekan tombol putar bersamaan dengan menghidupkan stopwach. Selama beberapa jam kapsul didisolusi dalam cairan lambung buatan (pH 1,2) dan cairan usus buatan (pH 7,2). Pada interval waktu 0-120 menit untuk cairan lambung buatan dan 0-135 menit untuk cairan usus buatan, lalu dipipet cairan sebanyak volume tertentu. Pengambilan cuplikan dilakukan pada posisi yang sama yaitu pada pertengahan antara permukaan medium disolusi dan bagian atas dari dayung tidak kurang 1 cm dari dinding wadah (Ditjen POM, 1995). Larutan itu kemudian diukur pada panjang gelombang (λ) 264 nm. Pengujian yang sama dilakukan terhadap nanopartikel ibuprofen (Mansouri, et al., 2011).

3.8 Penentuan Biovailabilitas Obat

3.8.1 Penyiapan hewan percobaan

Dua minggu sebelum pengujian dilakukan, hewan percobaan dirawat sebaik-baiknya pada kandang yang mempunyai ventilasi baik dan selalu dijaga kebersihannya. Hewan yang sehat ditandai dengan pertumbuhan normal dan suhu badan normal (Ditjen POM, 1979).

3.8.2 Pemberian obat secara oral pada hewan percobaan

Sebelum digunakan kelinci dipuasakan selama 18 jam. Kelinci dibagi menjadi 2 kelompok dan setiap kelompok terdiri dari 6 kelinci.


(53)

(2) Kelompok kedua dengan ibuprofen nanopartikel dosis 35 mg/kg BB secara peroral

Interval waktu pengambilan darah kelinci yaitu 15, 30, 45, 75, 105, 135, 195, 255, 315, 435, 555 dan 675 dalam menit setelah pemberian obat peroral.

3.8.3 Penentuan bioavaibilitas ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel setelah pemberian peroral

Pengambilan darah dilakukan pada masing-masing kelinci tiap kelompok. Darah diambil dari vena auricularis telinga kelinci sebanyak 1 ml, dimasukkan pada politube yang telah berisi heparin 5000 IU, ditambahkan 2 ml TCA dan kemudian diputar dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan plasmanya dan diukur pada panjang gelombang ibuprofen.

3.9 Pengujian Analgetik dengan Metode Plantar Test

Sebelum pengujian kelinci diadaptasikan selama 1 minggu dan dipuasakan selama 18 jam. Kelinci dibagi menjadi 2 kelompok dan setiap kelompok terdiri dari 6 kelinci.

(1) Kelompok pertama diberi ibuprofen baku dosis 35 mg/kg BB (2) Kelompok kedua dengan ibuprofen nanopartikel dosis 35 mg/kg BB

Interval waktu pengujian kelinci yaitu 15, 30, 45, 75, 105, 135, 195, 255, 315, 435, 555 dan 675 dalam menit setelah pemberian obat peroral. Selanjutnya masing-masing kelompok ditempatkan di atas alat plantar test. Dicatat waktu (detik) ketahanan kelinci terhadap respon rasa nyeri yang disebabkan rangsangan inframerah. Respons rasa nyeri ditandai oleh bentuk reaksi mengangkat, menjilat telapak kaki atau melompat (Demirtürk dan Öner, 2003).


(54)

3.10 Analisis Statistik

Data hasil bioavailabilitas ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel dianalisis dengan uji beda antar dua rata-rata.


(55)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HasilKarakterisasi Ibuprofen Baku dan Nanopartikel

4.1.1 Scanning electron microscopy (SEM)

Hasil pengujian scanning electron microscopy (SEM) dari ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel, dapat dilihat pada Gambar 4.1 dan 4.2.

Gambar 4.1 Hasil SEM ibuprofen baku

Ibuprofen baku mempunyai ukuran partikel 40 µm sedangkan ibuprofen nanopartikel mempunyai ukuran partikel 50 nm sampai 100 nm, ini menunjukkan bahwa ukuran partikel dari ibuprofen nanopartikel lebih kecil dibandingkan ibuprofen baku. Disamping itu ibuprofen baku berbentuk kristal, permukaannya lebih kasar sedang ibuprofen nanopartikel permukaannya lebih halus dan berbentuk amorf. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chen, et al., (2012),


(56)

ibuprofen nanopartikel yang diuji menghasilkan ukuran partikel sebesar 34,8 nm dan berbentuk spheric.

Gambar 4.2 Hasil SEM ibuprofen nanopartikel

4.1.2 Particle size distribution (PSD)

Hasil pengujian particle size distribution (PSD) dari ibuprofen nanopartikel terlihat pada Gambar 4.3. Hasilnya menunjukkan bahwa ibuprofen dengan ukuran partikel 50-100 nm terdapat sebanyak 94,5%, dan ukuran 100-150 nm terdapat sebanyak 4,7% dan di atas 150 nm sebanyak 0,5%. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran partikel dari ibuprofen nanopartikel dengan jumlah terbanyak sekitar 50-100 nm dan sangat jauh berbeda dari ukuran ibuprofen baku yaitu 40 µm. Berdasarkan penelitian Mansouri, et al., (2011), ibuprofen baku memiliki ukuran antara 90 - 425 µm, sedangkan ibuprofen nanopartikel memiliki ukuran partikel 200 - 450 nm.


(57)

Gambar 4.3 Hasil PSD ibuprofen nanopartikel

4.1.3 Diffrential thermal analyzer (DTA)

Hasil pengujian differential thermal analyzer (DTA) dari ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel terlihat pada Gambar 4.4. Ibuprofen baku mempunyai titik lebur pada suhu 101,5°C sedangkan ibuprofen nanopartikel mempunyai titik lebur pada suhu 100,9°C. Perbedaan ukuran partikel sangat berpengaruh terhadap titik lebur sebuah zat, karena semakin besar ukuran partikel yang digunakan maka semakin sulit terjadinya pelelehan (Keenan, et al., 1980). Penelitian yang dilakukan oleh Chen, et al., (2012), menyebutkan bahwa titik lebur antara ibuprofen baku dengan ibuprofen nanopartikel terdapat perbedaan, dimana ibuprofen baku memiliki titik lebur 81°C, sedangkan ibuprofen nanopartikel yang dilapisi dengan poly-(methyl vinyl eter-co-maleic anhydride) titik leburnya pada suhu 164,3°C. Ini berarti ibuprofen nanopartikel lebih lama melebur, dikarenakan polimer tersebut dapat menjaga stabilitas ibuprofen nanopartikel terhadap suhu yang tinggi sehingga tidak terlalu cepat melebur.


(58)

Gambar 4.4 Hasil pengukuran DTA ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel

4.1.4 X-ray diffraction (XRD)

Difraksi sinar-X dari ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel ditunjukkan pada Gambar 4.5 dan 4.6. Hasilnya menunjukkan puncak dengan intensitas yang tajam dan kurang menyebar, hal ini mengindikasikan sifat kristalin dari bahan obat tersebut, dimana ibuprofen baku menunjukkan puncak dan pola difraksi yang sama dengan ibuprofen nanopartikel pada daerah 6, 12, 15, 16, 18, 20, 21, 22 dan 28 (2θ°). Pada gambar grafik terlihat jelas bahwa ibuprofen

nanopartikel menunjukkan intensitas puncak yang lebih rendah dibandingkan ibuprofen baku. Pola difraksi yang serupa menunjukkan partikel tersebut merupakan zat yang sama, perbedaannya terletak pada intensitas puncak yang semakin lebar dan semakin rendah, hal ini menunjukkan obat telah berubah bentuk secara fisik dari kristal menuju bentuk amorf (Chiou dan Riegelman, 1971).


(59)

Gambar 4.5 Grafik hasil difraksi sinar-X dari ibuprofen baku

Gambar 4.6 Grafik hasil difraksi sinar-X dari ibuprofen nanopartikel

4.2 Kurva Kalibrasi Ibuprofen

Hasil kurva kalibrasi ibuprofen dapat dilihat pada Gambar 4.7. Pada grafik terlihat absorbansi vs konsentrasi dari ibuprofen diperoleh harga persamaan regresi y = 0,000188 x – 0.00120 dan nilai r = 0,99980. Nilai r tidak dapat mencapai korelasi linier yang sempurna, tetapi. masih menunjukkan korelasi yang dapat diterima antara konsentrasi dan absorbansi karena r yang didapatkan hampir sempurna (Shargel, et al., 2005).


(60)

Gambar 4.7 Kurva kalibrasi ibuprofen

4.3. Hasil Pengujian Kecepatan Disolusi Ibuprofen Baku dan Nanopartikel dalam pH 1,2 dan 7,2

Pengaruh perbedaan kelarutan zat, ukuran partikel, bentuk kristal dan pH dapat memberikan perbedaan yang signifikan dalam hal disolusi. Pengaruh perbedaan ukuran partikel ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel terhadap kecepatan disolusi, hasilnya dapat dilihat pada Gambar 4.8 dan 4.9 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2, 3, 4 dan 5.

Gambar 4.8 Hasil disolusi ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel pada pH 1,2


(61)

Gambar 4.9 Hasil disolusi ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel pada pH 7,2

Hasil pengamatan Gambar 4.8 dan 4.9 di atas terlihat jelas bahwa ibuprofen nanopartikel lebih mudah terdisolusi dibandingkan ibuprofen baku. Pada cairan lambung buatan (pH 1,2) ibuprofen nanopartikel lebih cepat larut, pada menit ke-20 telah mencapai kadar 31,741% sedangkan ibuprofen baku hanya mencapai 7,92% dan diperoleh kadar puncak pada menit ke-120 untuk ibuprofen baku dan hasilnya dapat mencapai 22,77%, sedangkan ibuprofen nanopartikel mencapai 48,77%. Hasil ini dapat disimpulkan ibuprofen nanopartikel terdisolusi 2,14 kali ibuprofen baku, dikarenakan ukuran partikel ibuprofen nanopartikel lebih kecil sehingga tetap dapat larut dalam pH 1,2 sedangkan ibuprofen memiliki nilai pKa 4,5-4,6 (Potthast, et al., 2005). Pada cairan usus buatan (pH 7,2) ibuprofen nanopartikel sangat cepat terlarut pada menit ke-5 mencapai 93,58%, sedangkan ibuprofen baku 61,00%. Ibuprofen baku membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan persen kumulatif yang hampir sama dengan


(62)

ibuprofen nanopartikel mencapai 101,05%. Hasil ini dapat disimpulkan bahwa ibuprofen nanopartikel lebih cepat terlarut didalam medium, karena kecilnya ukuran partikel yang didapatkan berdasarkan pengukuran ukuran partikel menggunakan particle size distribution. Menurut Ditjen POM (1995), ibuprofen merupakan zat yang praktis tidak larut dalam air dan termasuk senyawa model Biopharmaceutical Classification System (BCS) II, dimana memiliki permeabilitas yang tinggi dan memiliki kelarutan yang rendah (Dahan dan Amidon, 2009). Kadar yang diperoleh pada cairan usus buatan (suasana basa) juga memenuhi persyaratan USP XXX (2007) yaitu kadar tidak kurang dari 80% (Q) dalam waktu 60 menit.

Berdasarkan penelitian Jiang, et al., (2005), pengujian disolusi ibuprofen yang di larutkan dalam DEAE dextran (Ddex) dan diuji dalam berbagai pH (1,0; 5,8 dan 7,4), yang dilakukan hingga 40 jam, didapatkan hasil bahwa kecepatan disolusi pada pH 1,0 sangat rendah. Pada pH 5,8 dan 7,4 terjadi peningkatan kecepatan disolusi di awal pengujian, dan konsentrasi akhir yang didapat setelah 40 jam berturut-turut 60, 80 dan 90%. Disimpulkan bahwa pelepasan obat yang tidak sempurna diakibatkan oleh adanya hubungan elektrostatik antara Ddex dan molekul ibuprofen, hingga pada akhirnya konsentrasi ibuprofen lebih rendah dari pada konsentrasi pelepasan yang seharusnya.

4.4 Hasil Penentuan Kadar Ibuprofen Baku dan Nanopartikel dalam Plasma

Penentuan kadar ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel dilakukan dengan menggunakan darah kelinci yang diambil dari vena auricularis telinga kelinci. Pengukuran kadar dalam plasma digunakan alat spektrofotometer


(63)

ultraviolet (UV) pada panjang gelombang 264,4. Data rata-rata konsentrasi ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel dalam plasma dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan Gambar 4.10. Contoh perhitungan dosis kesetaraan pada kelinci dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6, 7, dan 8.

Tabel 4.1 Data rata-rata konsentrasi ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel dalam plasma

No (menit) Waktu Konsentrasi dalam plasma Baku Nanopartikel (µg/ml)

Konsentrasi dalam plasma (µg/ml)

1 15 2,813 ± 1,188 27,322 ± 1,213

2 30 3,077 ± 1,288 28,599 ± 0,877

3 45 4,022 ± 1,638 30,497 ± 0,533

4 75 7,037 ± 2,677 34,067 ± 1,308

5 105 10,155 ± 3,887 38,170 ± 1,120

6 135 16,877 ± 6,443 49,227 ± 0,610

7 195 26,615 ± 10,135 37,866 ± 1,548

8 255 32,532 ± 12,450 30,897 ± 0,792

9 315 43,161 ± 16,361 26,186 ± 0,452

10 435 25,587 ± 9,731 20,386 ± 0,646

11 555 18,797 ± 7,243 16,493 ± 0,719

12 675 11,173 ± 4,310 6,258 ± 0,787


(64)

Grafik di atas menunjukkan bahwa terjadi perbedaan antara ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel, dimana pada menit ke-15 terlihat jelas bahwa kadar ibuprofen nanopartikel dalam plasma lebih tinggi dari ibuprofen baku. Hal ini dikarenakan ukuran partikel ibuprofen nanopartikel sangat kecil dibandingkan ibuprofen baku, sehingga kemungkinan terjadi perbedaan kecepatan pelarutan partikel ibuprofen di dalam saluran pencernaan dan meningkatkan jumlah obat yang diabsorbsi ke dalam plasma. Berdasarkan pengujian in vitro, ibuprofen nanopartikel sangat cepat larut dibandingkan ibuprofen baku. Semakin cepat terdisolusi maka semakin cepat pula peningkatan kadar di dalam medium. Begitu pula pada pengujian in vivo, dengan cepatnya pelarutan ibuprofen nanopartikel di dalam saluran pencernaan dapat meningkatkan jumlah konsentrasi dalam plasma dengan waktu yang lebih cepat. Dilihat dari grafik di atas bahwa ibuprofen nanopartikel memiliki kadar maksimum yang lebih tinggi dan waktu untuk mencapai kadar maksimum yang lebih cepat, sedangkan ibuprofen baku membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai kadar maksimum, hal ini dikarenakan lamanya pelarutan ibuprofen baku dengan ukuran mikro di dalam saluran pencernaan. Berdasarkan pengujian in vitro, terlihat bahwa ibuprofen baku dengan ukuran mikro lebih lama terdisolusi dibandingkan ibuprofen nanopartikel dikarenakan besarnya ukuran partikel dan perbedaan luas permukaan ibuprofen baku dibandingkan ibuprofen nanopartikel.

Data nilai rata-rata parameter ketersediaan hayati untuk masing-masing ibuprofen dapat dilihat pada Tabel 4.2, data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9 dan 10.


(65)

Tabel 4.2 Data rata-rata parameter ketersediaan hayati ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel dalam plasma

No

Parameter Bioavailabilitas

Ibuprofen Baku

Ibuprofen Nanopartikel

Kesimpulan

1 Cmaks (µg/ml) 43,161 ± 16,361 49,227 ± 0,610 p > 0,05 2 tmaks (menit) 315 ± 0,00 135 ± 0,00 p < 0,05 3 AUC 0-∞ 14883,791 ±

531,393 (menit.µg/ml)

17190,779 ±

141,967 p > 0,05 Parameter dalam penentuan ketersediaan hayati untuk data plasma adalah konsentrasi plasma puncak (Cmaks), waktu konsentrasi plasma darah mencapai puncak (Tmaks

Hasil rata-rata parameter ketersediaan hayati di atas dapat dilihat bahwa konsentrasi maksimum (C

), area di bawah kurva kadar obat dalam plasma-waktu (AUC) (Gunaratna, 2001; Toutain dan Bousquet-Me´lou, 2004).

maks) dari ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel tidak berbeda bermakna (p > 0,05). Nilai Cmaks menunjukkan bahwa obat cukup untuk diabsorpsi secara sistemik agar menghasilkan efek teraupetik dan juga memberi petunjuk kemungkinan adanya kadar toksik obat dalam tubuh (Anderson, et al., 2002). Namun dapat dilihat Cmaks ibuprofen baku lebih rendah dibandingkan ibuprofen nanopartikel, berturut-turut adalah 43,161 ± 1,373 dan 49,227 ± 0,610 µg/ml. Hal ini menunjukkan bahwa nilai Cmaks dari ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel masih dalam rentang terapi ibuprofen yaitu sekitar 10 - 50 µg/ml dan belum mencapai konsentrasi toksik (Potthast, et al., 2005; Holubek, et al., 2007). Perbedaan nilai Cmaks dapat dilihat pada Gambar 4.11.


(66)

Gambar 4.11 Perbedaan nilai Cmaks (µg/ml) terhadap rata-rata ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel

Waktu untuk mencapai konsentrasi plasma puncak (tmaks) ibuprofen baku dan ibuprofen nanopartikel berbeda bermakna (p < 0,05). Perbedaan nilai tmaks dapat dilihat pada Gambar 4.12. Dapat dilihat tmaks ibuprofen baku lebih lama dibandingkan ibuprofen nanopartikel yaitu berturut-turut 315 ± 0,00 dan 135 ± 0,00 menit. Hal ini berarti ibuprofen baku memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai konsentrasi maksimum dibandingkan dengan ibuprofen nanopartikel. Nilai tmaks tergantung pada tetapan laju absorpsi (ka) dan tetapan laju eliminasi (kel). Pada waktu konsentrasi puncak (tmaks), laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Nilai tmaks dapat digunakan untuk memperkirakan laju absorpsi obat dan akan menjadi lebih kecil bila laju absorpsi obat lebih cepat (Shargel dan Yu, 1988).


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)