18
c. Metode Penerjemahan Setia
Saat menerjemahkan dengan metode ini, seorang penerjemah memproduksi makna kontekstual, tetapi masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Kata-kata yang bermuatan
budaya dialihbahasakan, tetapi penyimpangan dari segi tata bahasa dan diksi masih tetapi dibiarkan. Ia berpegang teguh pada maksud dan tujuan Tsu, sehingga agak kaku dan terasa
asing. Ia tidak berkompromi dengan kaidah Tsa. Metode ini biasanya digunakan pada tahap awal pengalihan. Contoh:
م لا ي ك ه
Artinya: dia lk dermawan karena banyak abunya. Terjemahan tersebut terlihat menggunakan metode ini, karena penerjemahannya sudah memperhatikan makna kontekstual
dengan menerjemahkan ي ك
م لا dengan ‘dermawan’. Meski demikian, penerjemahannya
masih tampak memperhatikan arti dari struktur gramatikalnya. Ia masih menambahkan terjemahannya itu dengan ‘karena banyak abunya’. Padahal, klausa itu cukup diterjemahkan
menjadi ‘dia dermawan’, karena memang itu pesan yang hendak disampaikan Tsu. Ini terkait dengan
م لا ي ك yang memang idiom dan mempunyai arti ‘dermawan’.
c. Metode Penerjemahan Semantik
Saat menerjemahkan dengan metode ini, seorang penerjemah telah lebih luwes dan lebih fleksibel daripada penerjemah yang menggunakan penerjemahan setia. Ia
mempertimbangkan unsur estetika Tsu dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas wajar. Kata yang hanya sedikit bermuatan budaya diterjemahkan dengan kata
yang netral atau istilah fungsional. Contoh: ني ج لا تيا
مأ ل لا
19
Artinya: aku lihat si muka dua di depan kelas. Terjemahan tersebut terlihat menggunakan metode ini, karena penerjemahannya saat berhadapan dengan frasa
ني ج لا , ia mampu mener
jemahkannya dengan ‘si muka dua’, yang kebetulan juga dikenal dalam masyarakat penutur Tsa. Ia tidak terjebak dengan menerjemahaknnya menjad
i ‘orang yang memiliki muka dua’. Meskipun secara idiomatic, frasa itu bias saja diterjemahkan menjadi ‘si
munafik’. Metode ini merupakan salah satu metode yang para ahli dibenarkan untuk dipergunakaan saat menerjemahkan, lantaran metode ini menjamin keteralihan pesan dengan
baik.
2. Metode Penerjemahan yang Berorientasi pada Keterbacaan Tsa
d. Metode Penerjemahan Adaptasi
Saat menerjemahkan dengan metode ini, seorang penerjemah biasanya tidak terlalu memperhatikan keteralihan struktur Tsa. Ia hanya memperhatikan apakah terjemahannya
dapat dipahami dengan baik oleh si penutur Bsa atau tidak. Karenanya, metode ini dinggap sebagai metode yang paling bebas dan paling dekat dengan Tsa. Namun demikian,
penerjemahan tidak mengorbankan hal-hal penting dalam Tsu, eperti tema, karakter, atau alur. Metode ini biasanya dipergunakan untuk penerjemahan drama,puisi, atau film. Ciri lain
dari metode ini adalah terjadinya peralihan budaya Tsu ke budaya Tsa. Artinya, ada penyesuaian kebudayaan dan struktur kebahasaan. Contoh:
ع ق تا ثيح ا يعب تش ع
عيب يلا لا ع
Artinya: dia hidup jauh dari jangkauan di atas gemericik air sungai yang terdengar jernih. Bila memperhatikan terjemahan di atas, ada upaya dari penerjemah untuk meepaskan
diri dari struktur gramatika, meskipun struktur maknanya masih diperhatikan Tsu. Ia ingin memunculkan corak baru dalam pemaknaan terhadap Tsu, tanpa menghilangkan pesan yang
hendak disampaikan oleh penulis Tsu.ia berupaya menampilkan Tsu menjadi dinamis
20
mengikuti perkembangan pemaknaan pada Tsa. Karena bila tidak demikian, terjemahan di atas bias saja dalam bentuk seperti berikut: Dia hidup jauh sehingga kaki tidak bias
mengjangkaunya pada mata air di bagian sungai paling atas.
e. Metode Penerjemahan Bebas
Saat menerjemahkan
dengan metode
ini, seorang
penerjemah biasanya
mengutamakan isi dan mengorbankan bentuk teks Bsu. Tak jarang bentuk retorik seperti alur atau bentuk kalimatnya sudah berubah sama sekali. Dalam metode ini, terjadi perubahan
drastis antara sturktur luar Tsu dan struktur luar Tsa. Metode ini biasanya berbentuk parafrasa yang dapat lebih panjang atau lebih pendek dari aslinya. Metode ini sering kali dipergunakan
untuk keperluan media massa. Selain untuk media massa, penerjemah judul dalam teks Arab sering kali harus memaksa penerjemah untuk menggunakan metode ini, agar lebih berdaya
jual. Melihat sifatnya yang demikian, banyak ahli yang meragukan metode ini dimasukkan ke dalam salah satu metode penerjemahan. Contoh:
يف لصأ لا أ
صأ نم مي ع لا يحل س لا
نيع جأ
Artinya: harta sumber malapetaka. Bila memperhatikan terjemahan di atas, tampak sekali bahwa terjemahanya tidak ingin dikungkung oleh struktur gramatika dan struktur
makna Tsu. Ia ingin memunculkan perspektinya sendiri, tanpa menghilangkan pesan yang disampaikan oleh penulis Tsu. Terjemahan di atas juga terlihat berbentuk parafrasa yang jauh
lebih pendek dari Tsu. Karena bila diterjemahkan secara lengkap, maka terjemahannya akan menjadi bahwa harta merupakan sumber terbesar kehancuran bagi kehidupan umat
manusia.
f. Metode Penerjemahan Idiomatis
21
Saat menerjemahkan metode ini, seorang penerjemah memproduksi pesan dalam teks Bsu. Metode ini mengharuskannya untuk sering menggunakan kesan keakraban dan
ungkapan idiomatis yang tidak didapati pada versi aslinya. Banyak terjadi distorsi nuansa makna, tetapi lebih hidup dan lebih nyaman dibaca. Contoh:
بعتلا عب اا لا م
Artinya: berakit-rakit kehulu, berenang ketepian. Terjemahan di atas memperhatikan pengalihan idiom Tsu ke dalam idiom Tsa yang kebetulan memiliki makna yang sejenis.
Tanpa memperhatikan aspek idiomatic pada Tsu, maka terjemahan Tsu di atas sebagai berikut: setiap kenikmatan itu hanya bias diraih dengan kerja keras.
g. Metode Penerjemahan Komunikatif
Saat menerjemahkan dengan metode ini, seorang penerjemah memproduksi makna kontekstual yang sedemikian rupa. Aspek kebahasaan dan aspek isi langsung dapat
dimengerti oleh pembaca. Metode ini mengharuskan penerjemah memperhatikan prinsip- prinsip komunikasi pembaca dan tujuan penerjemahan. Metode ini dapat memberikan
variasi penerjemahan yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip komunikasi. ع نم مث ن نم
تن غ م نم مث
Artinya: kita tumbuh dari mani, lalu segumpal darah, dan kemudian segumpal daging awam. Kita berproses dari sperma, lalu zigot, dan kemudian embrio terpelajar. Tsu di atas
bias diterjemahkan dengan dua versi, disesuaikan dengan siapa target pembaca dan untuk tujuan apa Tsu itu diterjemahkan. Pesan yang sama selalu bias disampaikan dalam versi yang
berbeda. Metode ini juga salah satu metode yang disarankan oleh para ahli.
E. Strategi Penerjemahan
22
Penerjemahharus memiliki strategi atau teknik penerjemahan sebagai tuntunan teknis untuk menerjemahkan frasa demi frasa atau kalimat demi kalimat. Menurut Zuchridin dan
Sugeng, ada dua strategi, yaitu strategi struktural dan semantis.
12
Strategi Struktural
Yang dimaksud dengan strategi struktural adalah strategi yang berkenaan dengan struktur kalimat. Strategi ini harus diikuti oleh penerjemah jika ingin teks terjemahannya
diterima secara struktural di dalam Bsa, atau jika ingin teks terjemahannya memiliki kewajaran dalam Bsa.
Ada tiga strategi dasar yang berkenaan dengan masalah struktur ini, yaitu penambahan ziyadh, pengurangan hadzf, dan Transposisi Tabdil. Strategi penambahan
mengharuskan penerjemah untuk menambah kata dalam Bsu yang disebut dalam Bsa. Strategi pengurangan mengharuskan seorang penerjemah untuk membuang kata dalam Bsa
yang disebut dalam Bsu. Sedangkan strategi Transposisi mengharuskan seorang penerjemah untuk mengganti struktur kata dalam Bsu dengan memperhatikan makna dalam Bsa.
13
Pada strategi ziyadahmengharuskan seorang penerjemah untuk menambah kata dalam Bsu yang disebut dalam Bsa. Contoh:
ا لا م ف مأ
م م
Artinya: memahami al-Quran merupakan hal yang penting. Pada contoh tersebut, kata dalam Tsu berjumlah empat kata, sementara kata dalam Tsa bertembah menjadi enam
kata. Tambahan kata merupakan konsekuensi dari perbedaan struktur dalam Bsu dan Bsa.
12
Zuchridin Suryawinata dan Sugeng Heriyanto, Translation: Bahasan Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm. 67-76.
13
Moch. Syarif. Hidayatullah,Seluk Beluk Terjemahan Arab-Indonesia Kontemporer. Tangerang: Alkitabah, 2014, hlm. 55-56.
23
Kata tambahan dalam Tsa yang terlihat wujud luarnya leksikal itu merupakan konsekuensi struktur gramatikal dalam Tsu yang mengharuskan demikian. Dalam Tsu, tidak
diharuskan adanya pemarkah predikat untuk predikat berupa nomina, karena sudah diwakili oleh struktur gramatikal yang menyimpan hal itu.
Pada strategi hadzfmengharuskan seorang penerjemah untuk membuang kata dalam Bsa yang disebut dalam Bsu. Contoh:
نم ي يف يأا
ك سلا ي ل حا به
Artinya: suatu hari, Ahmad pergi memancing. Pada contoh ini, sejumlah kata dalam Tsu yang semula berjumlah Sembilan kata, ketika diterjemahkan menyusut menjadi lima
kata. Ada beberapa kata yang tidak diterjemahkan, karena kata-kata itu tidak diperlukan untuk kepentingan pengalihan Tsu ke Tsa. Bahkan, apabila kata-kata itu dimunculkan dan
tidak dibuang, maka mungkin pesannya menjadi menyimpang. Sementara itu pada strategi tabdilmengharuskan seorang penerjemah untuk mengganti
struktur kata dalam Bsu dengan memperhatikan makna dalam Bsa. Contoh: ي ا ن م
ي
Artinya: gratis atau tidak diperjualbelikan. Pada contoh tersebut, kata dalam Tsu yang berjumlah lima kata, cukup diterjemahkan dengan satu atau dua kata saja. Ini terkait dengan
kelaziman penggunaan konsep dari struktur itu dalam Tsa. Kapan diterjemahkan menjadi ‘gratis’ dan kapan diterjemahkan menjadi ‘tidak diperjualbelikan’, sepenuhnya dikaitkan
dengan konteks yang melingkupinya. Tiga strategi ini tak dimungkiri sangat berpengaruh dengan kualitas terjemahan.
Karena tiga strategi ini menentukan keefektifan dalam struktur kalimat sehingga mudah dibaca. Dalam konteks ini tidak sewenang-wenang mengurangi, menambahkan, ataupun