Kesepadanan dan Pergeseran dalam Teks Terjemahan Fiksi Halilian dari Bahasa Angkola ke Bahasa Indonesia

(1)

KESEPADANAN DAN PERGESERAN DALAM TEKS

TERJEMAHAN BAHASA ANGKOLA DALAM

BAHASA INDONESIA

DISERTASI

Kesepadanan dan Pergeseran dalam Teks Terjemahan Fiksi Halilian dari Bahasa Angkola ke Bahasa Indonesia

Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, D. T. M&H, (C. T. M), SpA (K) Di Medan, Sumatera Utara

Rosmawaty Harahap

068107007

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

KESEPADANAN DAN PERGESERAN DALAM TEKS TERJEMAHAN FIKSI HALILIAN DARI BAHASA ANGKOLA KE BAHASA INDONESIA

ABSTRAK ROSMAWATY

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan masalah-masalah kesepadanan dan pergeseran dalam teks terjemahan fiksi Halilian Angkola-Indonesia. Secara teoretis diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi peneliti bahasa dan budaya, karena dalam teks terdapat kekhasan bahasa dan budaya yang dapat digunakan sebagai pembanding teori gramatika universal. Dan sebagai pengajar, kajian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk melakukan kajian teks terjemahan. Bagi para mahasiswa Jurusan Bahasa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan kajian terhadap bentuk lingual yang dimiliki budaya tertentu. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan kontribusi tentang pentingnya memahami dan melestarikan budaya melalui bahasa terutama bagi generasi penerus supaya nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa tidak sampai luntur. Hal ini berkaitan dengan penggunaan bahasa daerah apakah keunikan atau kekhasan bahasa daerah tersebut memiliki kewibawaan bagi generasi selanjutnya.

Data penelitian terdiri tiga teks fiksi terjemahan dalam bahasa angkola yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia yaitu; teks 1) NPR pertama sekali memang dalam bentuk lengkap/penuh, yang terdiri atas 521 klausa, 2) teks BNH terdiri atas 206 klausa, 3) teks Bittot Van De Longas terdiri atas 46,76%, teks BNH kepadatan klausa 18,49% dan teks BVD kepadatan klausa 34%.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang dilandasi oleh kerangka teori yang bersifat plural dan elektik (text-based theory dan translator-based theory) di satu sisi dan di sisi lain form-based translation dan meaning-based translation yang diterapkan secara manasuka, parsial, atau simultan mengingat hakekat terjemahan sebagai suatu bidang ilmu terapan dan kompleksitas fenomena penerjemahan itu sendiri.

Fokus kajian terletak pada kesepadanan dan pergeseran makna pada teks fiksi Halilian Angkola-Indonesia ini, teori semantik sebagai pisau analisis termasuk: (1) reference theory yang bisa mengungkapkan hubungan antar kata dengan entitas melalui cara tertentu; (2) relasi makna atau meaning postulates

yang bisa menangani hubungan kemiripan dan keberbedaan antar konsep, dan (3)

componential analysis yang mampu melihat tipe kesepadanan lintas bahasa dan pergeseran makna sebagai akibat dari proses pemadanan.


(3)

Pergeseran terjadi akibat adanya kesenjangan bahasa dan budaya antara bahasa sumber dan bahasa target. Dalam pemadaman ketiga teks sumber terjadi secara bersamaan penyesuaian berupa pergeseran dari suatu sistem linguistik dan sistem kultural (Angkola) ke dalam sistem linguistik dan sistem sosio-kultural yang lain (Indonesia). Fenomena penyesuaian berwujud (1) pergeseran mikro (micro shift) dan (2) pergeseran makro (macro shift). Pergeseran mikro muncul sebagai pergeseran vertikal yang mengarah ke atas di mana unit bahasa sumber disubsitusi dengan unit yang lebih tinggi rank-nya dalam bahasa target dan sebaliknya pergeseran yang mengarah ke bawah, unit bahasa sumber disubsitusi dengan unit yang lebih rendah rank-nya dalam bahasa serta pergeseran horizontal atau pergeseran intrasistem (intta system shift) yang berwujud realisasi padanan yang berbeda dari suatu unit bahasa sumber dalam bahasa target dalam rank yang sama. Pergeseran makro terjadi dalam kawasan ranah teks yang melibatkan semua variabel tekstur, konteks (situasi dan sosio-budaya), dan gaya dan muncul dipermukaan sebagai pergeseran semantik dan pragmatik. Pergeseran semantik yang muncul berupa perluasan, penyempitan dan penyimpangan makna leksikal berupa pergeseran sudut pandang, atau perspektif. Pergeseran pragmatik yang terjadi pada dasarnya menyangkut pergeseran kohesi (hubungan kohesi intrakalimat atau hubungan lokal) dan koherensi (hubungan kohesif antarkalimat atau hubungan global) yang bersifat tekstual seperti misalnya acuan (references), elipsis.

Kata-kata kunci: kesepadanan, pergeseran, teks terjemahan, teks sumber, teks sasaran, teks halilian.


(4)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI...vi

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR ISTILAH...xi

DAFTAR LAMPIRAN...1-141

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Fokus Penelitian...11

1.3 Tujuan Penelitian ...13

1.4 Manfaat Penelitian ...13

1.5 Asumsi Penelitian ...15

1.6 Klarifikasi Istilah ...16

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka ...21

2.1.1. Pengantar...21

2.1.2. Penelitian Terjemahan yang Pernah Dilakukan...21 2.1.3. Kajian Pustaka yang Berkaitan dengan Bahasa


(5)

dan Kebudayaan dalam Kerangka Kajian Terjemahan... 25

2.1.3.1 Bahasa... 28

2.1.3.2 Budaya Etnik Angkola... 35

2.1.3.3 Terjemahan sebagai Objek Peninjauan Beberapa Bidang

Ilmu... 40

2.1.3.4 Hakekat Terjemahan... 47

2.1.3.5 Jenis-Jenis Terjemahan... 52

2.1.3.5.1 Terjemahan Menurut Ragam Bahasa... 54

2.1.3.5.2 Terjemahan Menurut Bentuk Teks... 55

2.1.3.5.3 Terjemahan Menurut Hierarki Bahasa... 56 2.1.3.5.4 Terjemahan Menurut Tingkat Isi... 67

2.1.4 Teknik Terjemahan... 71


(6)

2.1.4.1 Terjemahan Harfiah... 71

2.1.4.2 Substitusi... 72

2.1.4.3 Terjemahan Bebas... 74

2.1.4.4 Parafrase... 75

2.1.5 Makna Teks Terjemahan... 83

2.1.6 Kesepadanan ...87 2.1.7 Pergeseran (Shifs) dalam Terjemahan... 92

2.2 Landasan Teori... 94

2.2.1 Pergeseran... 94

2.2.1.1 Pergeseran Komponen Semantik... 98


(7)

2.2.1.2 Pergeseran Komponen Pragmatik... 101

2.2.2 Bahasa Konteks dan

Teks...103

2.2.3 Teori dan Fungsi Bahasa... 112

2.2.4 Konstruksi Analisis Kesepadanan dan Pergeseran... 115

2.2.5 Defenisi Operasional... 119.

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan, Rencana, dan Kerangka Model Penelitian... 120

3.2 Data Penelitian dan Sumber Data Penelitian……….. 124

3.2.1 Data

Penelitian……….……….……...124 3.2.2 Sumber Data Penelitian………...


(8)

3.3 Analisis Data………... 128

3.3.1 Prosedur Penelitian………... 128

3.3.2 Teknik Pengumpulan

Data……….130 3.3.3 Teknik Analisis

Data...131

3.3.4 Keabsahan Data Penelitian... 136

3.3.5 Teknik

Penyajian...138

BAB IV DATA DAN ANALISIS DATA PENELITIAN

4.1 Analisisis Tipe Kesepadanan dari Teks Sumber keTeks Terjemahan 4.1.1 Kesepadan Ideal ... 140

4.1.1.1 Kesepadanan Referensial... 144

4.1.1.2 Kesepadanan Konotatif... 145


(9)

4.1.1.3 Kesepadanan Pragmatik... 148

4.1.2 Terjemahan Sepadan tetapi Bentuknya Tidak Korespondensi... 149

4.1.3 Terjemahan Sepadan tetapi Maknanya Tidak Berkorespondensi..150

4.2 Analisis Pergeseran TeksTerjemahan...152 4.2.1 Analisis Mikro...153 4.2.1.1 Pergeseran Unit dalam Tataran

Gramatikal...153

4.2.1.2 Pergeseran Unit Kata...159 4.2.1.3 Pergeseran Unit Frasa...166

4.2.1.3.1 Frasa –

Kata...167 4.2.1.3.2 Frasa –

Klausa...168 4.2.1.4 Pergeseran


(10)

4.2.1.5 Pergeseran

Kelas...178 4.2.2 Analisis Pergeseran

Makro...186

4.2.2.1 Pergeseran Komponen Pragmatik... 187

4.2.2.2 Pergeseran Komponen Semantik...191

4.3 Analisis Keterkaitan Konteks Situasi dan Budaya dalam Teks

Terjemahan...195 4.3.1 Konteks Situasi Teks-Teks

Terjemahan...195 4.3.1.1 Analisis Field Teks Terjemahan...196

4.3.1.2 Analisis Pelibat/Tenor dalam Teks Halilian...199

4.3.1.3 Analisis Mode dalam Teks Halilian... 211


(11)

4.4 Konteks Budaya Teks Halilian... 216

4.4.1 Genre Teks... 217

4.4.1.1 Struktur Semantik Genre Teks... 218

4.4.1.1.1 Pemberian Label Linier Teks... 219

4.4.1.1.2 Label Linier pada Teks BNH... 219

4.4.1.1.3 Label Linier pada BVD... 220 4.4.1.1.4 Label Linier pada NPR... 221

4.4.1.1.5 Hubungan Konjungsi pada Teks Halilian... 224

4.4.1.1.7 Hubungan Leksikal dalam Teks Halilian...226

4.5 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Pergeseran...228


(12)

BAB V TEMUAN HASIL PENELITIAN

5.1

Temuan...2 45

5.1.1 Kesepadanan yang Diperoleh dalam Proses Padanan yang Terdapat dalam Teks Sumber dan Teks

Terjemahan... 245 5.1.2 Jenis Pergeseran yang

Terjadi... 246 5.1.3 Keterkaitan Konteks Situasi dan Konteks

Budaya... 247 5.1.4 Faktor Terjadinya

Pergeseran... 249

5.2 Pembahasan... 250

5.2.1 Kesepadanan yang Diperoleh dalam Proses Padanan yang

Terdapat dalam Teks Terjemahan... 250

5.2.2 Jenis Pergeseran... 252


(13)

5.2.3 Keterkaitan Konteks Situasi dan Konteks Budaya... 261

5.2.3.1 Konteks Situasi pada Teks-Teks Terjemahan... 261

5.2.3.2 Konteks Budaya pada Teks Halilian... 265

5.2.4 Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Pergeseran... 270

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan... ...,... 274

6.2 Saran... 276

DAFTAR


(14)

KESEPADANAN DAN PERGESERAN DALAM TEKS TERJEMAHAN FIKSI HALILIAN DARI BAHASA ANGKOLA KE BAHASA INDONESIA

ABSTRAK ROSMAWATY

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan masalah-masalah kesepadanan dan pergeseran dalam teks terjemahan fiksi Halilian Angkola-Indonesia. Secara teoretis diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi peneliti bahasa dan budaya, karena dalam teks terdapat kekhasan bahasa dan budaya yang dapat digunakan sebagai pembanding teori gramatika universal. Dan sebagai pengajar, kajian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk melakukan kajian teks terjemahan. Bagi para mahasiswa Jurusan Bahasa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan kajian terhadap bentuk lingual yang dimiliki budaya tertentu. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan kontribusi tentang pentingnya memahami dan melestarikan budaya melalui bahasa terutama bagi generasi penerus supaya nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa tidak sampai luntur. Hal ini berkaitan dengan penggunaan bahasa daerah apakah keunikan atau kekhasan bahasa daerah tersebut memiliki kewibawaan bagi generasi selanjutnya.

Data penelitian terdiri tiga teks fiksi terjemahan dalam bahasa angkola yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia yaitu; teks 1) NPR pertama sekali memang dalam bentuk lengkap/penuh, yang terdiri atas 521 klausa, 2) teks BNH terdiri atas 206 klausa, 3) teks Bittot Van De Longas terdiri atas 46,76%, teks BNH kepadatan klausa 18,49% dan teks BVD kepadatan klausa 34%.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang dilandasi oleh kerangka teori yang bersifat plural dan elektik (text-based theory dan translator-based theory) di satu sisi dan di sisi lain form-based translation dan meaning-based translation yang diterapkan secara manasuka, parsial, atau simultan mengingat hakekat terjemahan sebagai suatu bidang ilmu terapan dan kompleksitas fenomena penerjemahan itu sendiri.

Fokus kajian terletak pada kesepadanan dan pergeseran makna pada teks fiksi Halilian Angkola-Indonesia ini, teori semantik sebagai pisau analisis termasuk: (1) reference theory yang bisa mengungkapkan hubungan antar kata dengan entitas melalui cara tertentu; (2) relasi makna atau meaning postulates

yang bisa menangani hubungan kemiripan dan keberbedaan antar konsep, dan (3)

componential analysis yang mampu melihat tipe kesepadanan lintas bahasa dan pergeseran makna sebagai akibat dari proses pemadanan.


(15)

Pergeseran terjadi akibat adanya kesenjangan bahasa dan budaya antara bahasa sumber dan bahasa target. Dalam pemadaman ketiga teks sumber terjadi secara bersamaan penyesuaian berupa pergeseran dari suatu sistem linguistik dan sistem kultural (Angkola) ke dalam sistem linguistik dan sistem sosio-kultural yang lain (Indonesia). Fenomena penyesuaian berwujud (1) pergeseran mikro (micro shift) dan (2) pergeseran makro (macro shift). Pergeseran mikro muncul sebagai pergeseran vertikal yang mengarah ke atas di mana unit bahasa sumber disubsitusi dengan unit yang lebih tinggi rank-nya dalam bahasa target dan sebaliknya pergeseran yang mengarah ke bawah, unit bahasa sumber disubsitusi dengan unit yang lebih rendah rank-nya dalam bahasa serta pergeseran horizontal atau pergeseran intrasistem (intta system shift) yang berwujud realisasi padanan yang berbeda dari suatu unit bahasa sumber dalam bahasa target dalam rank yang sama. Pergeseran makro terjadi dalam kawasan ranah teks yang melibatkan semua variabel tekstur, konteks (situasi dan sosio-budaya), dan gaya dan muncul dipermukaan sebagai pergeseran semantik dan pragmatik. Pergeseran semantik yang muncul berupa perluasan, penyempitan dan penyimpangan makna leksikal berupa pergeseran sudut pandang, atau perspektif. Pergeseran pragmatik yang terjadi pada dasarnya menyangkut pergeseran kohesi (hubungan kohesi intrakalimat atau hubungan lokal) dan koherensi (hubungan kohesif antarkalimat atau hubungan global) yang bersifat tekstual seperti misalnya acuan (references), elipsis.

Kata-kata kunci: kesepadanan, pergeseran, teks terjemahan, teks sumber, teks sasaran, teks halilian.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumatera Utara memiliki sejumlah bahasa daerah yang tetap dimanfaatkan oleh masing-masing penuturnya terutama sebagai sumber daya komunikasi dan pengungkap kebudayaan. Sibarani, (2004:38) mengamati bahwa fungsi bahasa secara mikro dan makro. Fungsinya mikro lebih khusus untuk kebutuhan setiap manusia yaitu lebih menyangkut kebutuhan individu atau kepentingan pribadi. Fungsi makro bahwa fungsi bahasa secara lebih luas memenuhi kebutuhan sosial dengan melampaui kepentingan pribadi. Bahasa merupakan suatu sistem bunyi yang bersifat arbitner dan bermakna yang digunakan sebagai sarana komunikasi anggota masyarakat, yaitu dalam kontak sosial. Ini berarti dalam bahasa terdapat dua unsur yang penting yaitu lambang bunyi dan makna. Saussure (1966:16) dalam Sibarani, (2004:36) menyebutkan bahwa bahasa sebagai sistem tanda yang mengekspresikan ide-ide. Kumpulan lambang bunyi atau tanda akan mempunyai makna apabila lambang-lambang tersebut mempunyai fungsi, yaitu fungsi komunikatif dan fungsi ekspresif. Fungsi komunikatif adalah fungsi bahasa sebagai media dalam mentransfer ide yang ada dalam pikiran penutur. Ide tersebut dapat dipahami melalui makna verbal, sedangkan fungsi ekspresif bahasa dipakai untuk mengekspresikan atau merealisasikan pikiran atau perasaan penutur.


(17)

Sibarani, (2004:39) juga mengatakan hal senada bahwa bahasa adalah sebagai alat komunikasi, berupa simbol verbal yang didasarkan pada alat intelektual yang paling fleksibel dan paling berkekuatan yang dikembangkan oleh manusia. Dengan kata lain, bahasa mewakili dan mengalirkan pikiran manusia dalam ekspresi kata-kata yang mempunyai makna dan mendeskripsikan budaya masyarakat pemakai bahasa, dan melalui bahasanya kita dapat memahami budaya pemakai bahasa itu.

Bahasa yang menjalankan fungsinya untuk memaparkan, mempertukarkan, dan merangkai pengalaman sesuai dengan konteks. Menurut Saragih (2006 : 23), konteks adalah aspek-aspek internal teks dan segala sesuatu yang secara eksternal melingkupi teks. Saragih juga mengatakan bahwa bahasa merupakan fenomena sosial yang wujud sebagai semiotik sosial dan bahasa merupakan teks yang berkonstrual (saling menentukan dan merujuk) dengan konteks sosial.

Dalam fungsinya sebagai pemelihara budaya di Angkola, bahasa Angkola dipakai untuk mendokumentasikan budaya, termasuk mendokumentasikan legenda yang berbentuk cerita rakyat. Cerita rakyat adalah salah satu produk bahasa yang mempunyai fungsi komunikatif dan ekspresif. Penuturan cerita rakyat mempunyai pesan lewat bentuk verbal cerita. Pesan tersebut bisanya bersifat mendidik, mempunyai nilai budaya serta mencerminkan watak


(18)

pendukungnya. Salah satu dari cerita itu adalah teks Halilian. Teks ini menceritakan gambaran sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia. Gambaran sosial dalam teks Halilian ini lahir sebagai hasil kepekaan jiwa pengarang untuk mengungkapkan imajinasinya. Secara intrinsik, ketika fiksi teks terjemahan Halilian ini memiliki genre yang sama, yaitu prosa naratif yang dibangun oleh elemen struktur tema dan latar belakang budaya Angkola. Hardjana (1991:71) mengatakan bahwa sastra tidak akan lahir jika terjadi kekosongan sosial, karena imajinasi seseorang selalu dipengaruhi oleh faktor lingkungan setempat.

Bahasa layaknya sebuah napas bagi manusia, bahasa memiliki fungsi primer yaitu sebagai alat interaksi sosial di dalam masyarakat karena bahasa tidak dapat dipisahkan dari semua kegiatan. Jika tidak memiliki bahasa, kita dapat kehilangan kemanusiaan kita sebagai manusia. Oleh karena itu bahasa adalah sarana bagi masyarakat penggunanya untuk dapat saling berkomunikasi. Jika ada bahasa tentu ada masyarakat penggunanya. Manusia dalam menggunakan bahasa dilatarbelakangi maksud dan tujuan tertentu. Salah satu cuplikan dari teks itu bahwa bahasa menjalankan fungsinya adalah data ini.

Teks I: “Jadi botima da! Sattabi sappulu noli, sappulu noli

marsattabi, maradop koum sisolkot sasudena, nasolkot bope na rangrang,

maradopkon kahanggi, mora, bope anakboru, lalu pisangraut, na adong di luat Angkola, di pangarattoan, na di jakarta sanga di Amsterdam, na di Surabaya, ro hami tu adopon munu, artina nakkinani giot patandahon hami na ro sian Silangge, salikometer sian Sipirok dalan tu Tarutung.

Terjemahannya: “Dengan mengucapkan salam dengan mengangkat sepuluh jari tangan meminta maaf kepada sanak famili semua dan kepada


(19)

kahanggi, mora, bope anakboru, dan pisang raut yang ada di daerah Angkola dan di kota seberang yang susah maupun yang senang yang berada di perantauan yang di Jakarta maupun di Amsterdam, Surabaya, kami datang kehadapan kamu adalah memperkenalkan bahwa kami dai Silangge satu kilo meter dari Tarutung.”

Teks II: “Bo, Songon na laman roha ni anakboru on”, ning roha ni si Sakkot, Kehe ia tudapur. Ma diida ia indahan jeges tutupi dohot sange. Ikkayuna na bulung botik na disattanan mardongan rimbang dohot torung na poso. Sambalna lasiak tuktuk mardonangan harasak na marbola dua-duanna.”

Terjemahannya: “Kok diam anakboru kita ini, dalam hati si Sakkot sambil pergi ke dapur. Di dapur sudah ada nasi di tutup tudung saji, sayurnya daun ubi yang di santan dengan rimbang dan terong dan sambal tuktuk”.

Teks III: “Ho pe ttong Amang”, ning ia muse mengadop si sakkot, “holong rohamu di parmaenkon, sahata sa oloan hamu, songon

gulang-gulang ni siala sappagul, rap tu ginjang rap tu toru, sanga songon pege sangkarippang hamu boanon tu Batangtoru, sapanimbung rap tu ginjang sapa ngambe rap tutoru. Mula lalu hamu tu kualo Batang Muar, rohamu

diakkang namborumu na matua bulung i. Sahali sattumtum hamu, mangalului na suada. Songon i ma da Amang da, dohot parmaen. Na pola ginjang be hata sidohonan.”

Terjemahannya: “Ayahnya mengatakan kepada si sakkot sayang kamu kepada menantuku seia sekata seperti pepatah mengatakan harus bersama ke atas dan bersama juga ke bawah, jangan seperti pohon jahe. Kalau kamu sampai ke batang muar, kau harus sayang kepada namboru yang sudah sendiri. Seia sekata kamu dalam menghadapi kehidupan, dalam keadaan susah dan senang. Itulah nasihatku kepadamu anakku dan menantuku.”

Teks di atas menggambarkan nasehat tentang kehidupan dan bermasyarakat. Dalam teks Halilian ini terdapat gambaran kehidupan sosial yang mempunyai relevansi dengan keadaan dewasa ini. Pelibatan dua bahasa di atas sangat kompleks apabila tidak dilakukan penerjemahan, karena pada umumnya anak-anak yang sudah merantau maupun etnik Angkola yang kelahiran


(20)

kota sudah banyak yang tidak mengetahui bahasa daerahnya karena itu perlu dilakukan terjemahan sebagai pemahaman mengenai kenyataan dalam masyarakat Angkola. Bukan mengurangi fiksi yang berbahasa Angkola tetapi memperkaya kebudayaan masyarakat Angkola melalui teks terjemahan dan melihat kesepadan dan pergeserannya.

Secara linguistik, sosiolinguistik, atau semantik contoh di atas telah menggambarkan sistem dari bahasa Angkola ke bahasa Indonesia. Penguasaan terhadap sistem dua bahasa tersebut merupakan prasyarat utama dan langkah pertama ke proses pengalihan pesan dari teks sumber dan kebahasa sasaran. Apabila kita perhatikan data yaitu “holong rohamu di parmaenkon, sahata sa oloan hamu, songon gulang-gulang ni siala sappagul, rap tu ginjang rap tu

toru. Terjemahannya, Sayang kau sama menantuku ini, seia sekata kamu

seperti songon gulang-gulang ni siala sappagul, rap tu ginjang rap tu toru.(pepatah)

Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Angkola tersebut menjalankan fungsinya sesuai maksud dan tujuan. Karena bahasa dalam fungsional dipandang sebagai alat interaksi sosial antarmanusia, dengan tujuan utama mengadakan hubungan komunikatif antara pembicara dan pendengar. Dan sejalan dengan perjalanan manusia yang berdinamika yang di dalamnya manusia hidup tidak terlepas dari bahasa yaitu bahasa daerah. Untuk menjembatani interaksi dan


(21)

komunikasi lintas bahasa dan budaya, penguasaan bahasa Indonesia menjadi suatu kebutuhan utama. Adanya tuntutan akan pengalihan informasi dan alih ilmu pengetahuan dan juga menjadikan kemampuan dan kegiatan penerjemahan sesuatu yang sangat penting. Walaupun secara Nasional, jaminan hak hidup dan berkembang bahasa daerah tersebut dimuat dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 32 ayat 2, hasil Amandemen ke-3, tentang Pendidikan Nasional yang berbunyi “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya Nasional”. Bersamaan dengan itu, arah kebijakan bahasa daerah dinyatakan dalam Politik Bahasa Nasional (Alwasilah, 2001:30).

Masyarakat Angkola tetap memberdayakan bahasa daerahnya, agar tetap eksis, sehingga eksistensi bahasa daerak tidak hilang. Untuk itu, penutur bahasa daerah yang bersangkutan harus memiliki rasa kebahasaan yang tinggi terhadap bahasanya. Rasa kebahasaan itu terlihat dari upaya yang dilakukan untuk tetap melestarikan bahasa daerah sebagaimana yang dikemukan oleh Alwasilah (2001:157) bahwa “Rakyat harus memelihara bahasanya sehingga bahasa itu akan dihormati dan dipelihara negara”. Karena tanpa bahasa, masyarakat tidak dapat berkomunikasi.

Seiring dengan era globalisasi yang bercirikan keterbukaan akses terhadap informasi, rasa ingin tahu dunia luar akan Indonesia dengan segala aspek manusia dan kebudayaanya dapat terpenuhi melalui kegiatan terjemahan teks –


(22)

teks (karya ilmiah maupun sastra) dari bahasa daerah ke Indonesia. Berangkat rasa ingin tahu dan keinginan memperkenalkan budaya lokal, berbagai karya tulis terutama karya sastra berbahasa Angkola dan berbahasa Indonesia. Secara budaya karya-karya terjemahan tersebut dapat menjadi sumbangan pada paradaban dunia. Dengan demikian dalam rangka pengenalan dan apresiasi lintas budaya, penerjemahan karya-karya sastra semakin diperlukan.

Dalam perkembangannya kegiatan penerjemahan dari bahasa daerah dan bahasa Indonesia banyak dilakukan oleh orang Indonesia yang tertarik dengan budaya setempat. Seperti yang telah dilakukan oleh Lubis, (2009) dengan desertasi “Penerjemahan Teks Mangupa dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggeris”.

Pada hakekatnya bahasa mempunyai fungsi sosial yang oleh Saragih (2006 :35) dikatakan dengan “metafungsi”. Makna fungsi itu sendiri kurang lebih sama dengan pengertian penggunaan. Jadi fungsi bahasa dalam masyarakat sama bagaimana masyarakat mengerjakan aktivitasnya dengan menggunakan bahasa. dalam interaksi, pemakai bahasa mengorganisasikan pengalamannya. Dengan fungsi bahasa ini sekaligus berfungsi memiliki tiga fungsi, yaitu memaparkan, mempertukarkan, dan merangkai pengalaman secara teknis masing-masing.

Bertitik tolak dari apa yang dikatakan bahwa fungsi bahasa dalam masyarakat merupakan memaparkan, mempertukarkan, dan merangkai


(23)

pengalaman maka cuplikan dari teks data pada teks I dan II, dapat menggambarkan bagian dari tiga fungsi bahasa tersebut dan makna ungkapan yang bercetak tebal menggambarkan konteks budaya Angkola seperti: Anak boru

dalam teks I itu berbeda dengan anak boru pada teks II. Anak boru pada teks I merupakan bagian dari dalihan na tolu sedangkan anak boru pada teks II memiliki padanan makna “perempuan”. Anak boru pada teks I kalau diterjemahkan akan terjadi pergeseran. Pergeseran tersebut merupakan pergeseran komponen pragmatik. Dari persfektif pragmatik, makna suatu ungkapan (kalimat) dapat beragam sesuai dengan tujuan atau maksud di balik ungkapan tersebut dan kondisi yang melatari tindak komunikasi tersebut. Oleh karena itu , berbeda dengan makna linguistik yang dapat dipahami melalui hubungan gramatikal dalam suatu teks, makna pragmatik hanya dapat dianalisis dengan mengacu pada konteks budaya/ atau linguistik dari teks tersebut.

Linguistik Sistemik fungsional (LSF) adalah salah satu aliran kajian bahasa fungsional yang mengkaji makna teks. Aliran ini mengembangkan sebuah teori bahasa dengan memandang bahasa sebagai suatu proses sosial. Dengan kata lain, aliran tersebut mencari cara-cara bahasa yang digunakan manusia tersusun dalam konteks yang berbeda (konteks situasi dan konteks budaya). Di samping konteks situasi, sebuah teks juga dibangun oleh konteks budaya. Karena itu dalam kajian terjemahan terhadap sebuah teks akan mencapai hasil yang memadai jika


(24)

dilakukan dengan mempertimbangkan konteks budaya dan konteks situasi. Kontek budaya mengacu pada nilai yang dianut oleh sekelompok orang (masyarakat). Halliday (1992:63) mengatakan “Setiap konteks situasi yang sebenarnya, susunan medan tertentu, pelibat dan sarana yang telah membentuk teks itu bukanlah suatu kumpulan ciri yang acak, melainkan suatu keutuhan sebagai suatu paket yang secara khas bergandengan dalam suatu budaya.

Terjemahan yang merupakan pengungkapan sebuah makna yang dikomunikasikan dalam bahasa sumber ke dalam bahasa target dengan memperhatikan pesan atau makna ditransperkan. Dapat dikatakan bahwa terjemahan memiliki kontibusi ganda pada seseorang, yaitu dalam membentuk IPTEK dan juga perkembangan. Penerjemahan muncul tidak saja sebagai pengalihan kode (transcoding) atau sistem bahasa (struktur luar) tetapi juga pengalihan makna (apa di balik struktur luar). Fitur-fitur umum yang dimiliki oleh terjemahan adalah pengertian: (a) adanya pengalihan bahasa (dari bahasa sumber ke bahasa target); (b) adanya pengalihan isi (content); dan (c) adanya keharusan atau tuntutan untuk menemukan padanan yang mempertahankan fitur-fitur keaslianny. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan maka penerjemahan tidak saja dipahami sebagai pengalihan bentuk dan makna tetapi juga budaya. Konsekuensinya adalah penerjemahan sebagai bentuk komunikasi tidak saja dapat mengalami hambatan kebahasaan tetapi juga segi budaya.


(25)

Menerjemahkan sebuah naskah sumber atau mencarikan padanannya di dalam bahasa sasaran tidaklah semudah apa yang sering diperkirakan orang. Penerjemahan yang benar-benar identik dengan keterangan, pesan, atau gagasan, yang ditulis oleh pengarang asli bukanlah pekerjaan yang mudah. Contoh seperti: “kahanggi, anak boru, mora, pisang raut, dan gulang-gulang ni siala

sappagul, rap tu ginjang rap tu toru, sanga songon pege sangkarippang, kalau diterjemahkan akan terjadi pergeseran. Walaupun secara teoretis kesepadanan bisa dicapai akibat adanya sifat universal bahasa dan konvergensi budaya tetapi fakta menunjukkan bahwa suatu bahasa (target) digunakan oleh penutur yang memiliki budaya sering amat berbeda dengan budaya penutur bahasa lain (sumber) sehingga sulit menemukan padanan leksikal.

Diharapkan terjemahan sebagai medium komunikasi mampu mempertahankan unsur budaya dalam menterjemahkan bahasa Angkola-Indonesia. Karena terjemahan adalah; ada pengalihan informasi, alih ilmu pengetahuan, dan pengenalan budaya. Oleh sebab itulah, dirasa perlu mengadakan kajian “Kesepadanan dan Pergeseran dalam Teks Terjemahan Bahasa Angkola-Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, teks terjemahan fiksi yang terdapat pada cerita Halilian perlu dikaji dengan memandang bahwa teks “Halilian” terkandung makna dan nilai budaya yang perlu dipertahankan. Ekologi bahasa dan budaya


(26)

Angkola yang telah berubah dari waktu ke waktu oleh desakan budaya dan bahasa luar, terutama penggunaan bahasa Indonesia, dan didukung oleh kemajuan teknologi dan pasca-modernisasi diduga telah menyebabkan pergeseran makna dan nilai yang terdapat dalam teks terjemahan “Halilian”.

Jangkauan permasalahan penelitian adalah pada tataran linguistik mikro, yaitu tata bahasa leksikal atau leksikogramatika (lexico-grammar), dan tataran linguistik makro yaitu semantik-wacana (discourse – semantics). Analisis tema dalam teks, kesepadan, konteks situasi dan konteks budaya dari teks untuk melihat terjadinya pergeseran..

Dalam upaya mempertahankan keberadaan bahasa Angkola dirasa perlu untuk melakukan “Kajian Kesepadanan, dan Pergeseran Makna dalam Teks Terjemahan Bahasa Angkola – Indonesia).

1.2 Fokus Penelitian

Lingkup penelitian ini dibatasi pada terjemahan teks cerita rakyat atau folklor Angkola ke dalam bahasa Indonesia yaitu teks Hallian, sebagai salah satu teks budaya Angkola yang dijadikan sebagai objek penelitian, yang terfokus pada “ Kesepadanan, dan Pergeseran Makna dalam Terjemahan Fiksi Halilian dari Bahasa Angkola ke Indonesia.

Secara khusus, ruang lingkup kajian terjemahan ini adalah (1) mendeskripsikan tema terdapat pada teks, mengidentifikasi tipe kesepadanan


(27)

makna ungkapan (kata) yang berkonteks budaya Angkola yang tercermin dalam teks Bahasa Angkola dan mengkaji kecenderungan pemadanannya ke dalam bahasa Indonesia. (2) kajian terjemahan ini berusaha melihat terjadinya pergeseran menentukan dan menganalisis konteks situasi dan konteks budaya, yang terdapat dalam teks bahasa Angkola sehingga terjawab dalam konteks apa terjadi pergeseran, (3) faktor apa yang menyebabkan pergeseran dan menganalisis secara deskriptif kualitatif pergeseran (shift) yang terjadi dalam pengalihan makna, pada tingkat mikro dan makro.

Menurut Saragih (2006 : 43) satu teks membawa makna konteks budaya karena itu makna budaya tersebut mengaitkan linguistik dengan unsur sosial dan kebudayaan. “ Berdasarkan pendapat itu maka” teks dalam terjemahan ini untuk mendekripsikan konteks situasi menggunakan kerangka kerja LSF, yang terdiri atas tiga komponen utama, yaitu Field, Tenor, dan Mode. Berdasarkan latar belakang tersebut dirumuskan masalah dalam penelitian penerjemahan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah tipe kesepadanan yang diperoleh dalam proses padanan yang terdapat dalam teks sumber dan teks terjemahan ?

2. Jenis pergeseran apakah yang terdapat pada teks terjemahan?

3. Bagaimanakah keterkaitan konteks situasi dan konteks budaya pada teks? 4. Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya pergeseran?


(28)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian adalah menyumbangkan karya ilmiah pada linguistik mikro maupun makro, dengan melihat teks Angkola sebagai bagian dari kekhasan dan keunikan bahasa dan budaya masyarakat Angkola. Secara khusus, penelitian ini bertujuan;

1. mendeskripsikan tipe padanan yang terdapat dalam teks target;

2. mendeskripsikan jenis pergeseran (shifts) pada teks Halilian ke dalam bahasa Indonesia

3. mendeskripsikan keterkaitan konteks situasi dan konteks budaya, dalam pergeseran makna;

4. mendeskripsikan fakor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran.

1.4 Manfaat Penelitian

Secara teoretis temuan penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerhati bahasa dan budaya karena di dalam teks terdapat kekhasan bahasa dan budaya yang dapat digunakan sebagai pembanding teori gramatika universal. Bagi para linguis dan pengajar bahasa, kajian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan tambahan maupun sebagai bahan perbandingan lebih lanjut untuk melakukan kajian linguistik yang bernuansa budaya. Para mahasiswa Jurusan


(29)

Bahasa dapat pula memanfaatkan tulisan ini untuk memperluas pandangan kelinguistikan mereka terutama untuk melakukan kajian terhadap keragaman bentuk lingual yang dimiliki budaya tertentu (etnosemantik), makna, fungsinya dalam masyarakat serta dinamika penggunaan bahasa daerah yang merupakan bagian dari budaya mereka sendiri dari sudut pandang bahasa yang digunakan (languange in use dalam LSF).

Secara praktis, temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi tentang pentingnya memahami dan melestarikan budaya melalui bahasa terutama bagi generasi penerus supaya nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa tidak sampai luntur. Hal ini berkaitan dengan penggunaan bahasa daerah apakah keunikan atau kekhasan bahasa daerah tersebut masih memiliki kewibawaan bagi generasi selanjutnya. Juga diharapkan temuan penelitian ini dapat memberikan masukan bagi Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara, dalam hal mengantisipasi pergeseran makna lingual dalam teks terjemahan.

Adapun manfaat dari kajian ini adalah;

1. diperolehnya gambaran kesepadanan dalam teks;

3. terjemahan yang merupakan pengalihan informasi, dapat memberikan sumbangan atau akses terhadap informasi;

3. sebagai salah satu antisipasi dalam menghadapi ancaman dari bahasa Indonesia agar eksistensi bahasa daerah tidak hilang;


(30)

4. diperolehnya gambaran pergeseran yang terdapat pada tek terjemahan, dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadiya pergeseran.

1.5 Asumsi Penelitian

Bahasa adalah instrumen utama manusia dalam mengintegrasikan dirinya baik secara internal maupun eksternal sebagai individu yang berfungsi dan partisipan aktif dalam kelompok atau masyarakat manusia (Mc Glynn, 2000:171). Oleh karenanya kajian tentang bahasa harus selalu menempatkan kajian itu dalam hubungannya dengan kehidupan manusia (Kridalaksana, 1998:2)

Kajian dalam penelitian ini bersumber pada buku Halilian bahasa Angkola yang sudah dimodifikasi. Teks ini diasumsikan bahwa dapat digunakan untuk menambah wawasan dalam bahasa Angkola dan tingkat keberterimaannya sangat tinggi dimasyarakat. Walaupun Penerjemah tidak berlatar belakang bidang kebahasaan karena itu struktur kalimat menjadi rendah tetapi tingkat keakuratan pesanannya mudah dipahami. Saragih (2006:25) juga menegasakan bahwa, teks adalah bahasa yang berfungsi yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi. Teks pada dasarnya adalah suatu produk penggunaan bahasa yang berdasarkan fungsinya dapat dipahami sama seperti bahasa itu sendiri yakni sebagai sarana untuk tidak saja bisa dipahami sebagai pengalihan bentuk dan makna tetapi juga budaya. Konsekuensinya adalah penerjemahan tidak saja dapat


(31)

mengalami hambatan kebahasaan tetapi juga segi budaya. Oleh karena itu, kajian terjemahan tidak bisa dilepaskan dari pendekatan fungsional..

Komunikasi antarbudaya tidak selalu mudah dan tergantung pada besarnya perbedaan antara kebudayaan yang bersangkutan. Walaupun secara teoretis penerjemahan tidak mungkin dilaksanakan akibat di samping adanya perbedaan sistem dan struktur juga semantik serta kebudayaan yang melatarbelakanginya, kegiatan penerjemahan sampai batas-batas tertentu bisa dilakukan dengan cara mencari dan menemukan padanan di dalam bahasa serta konvergensi kebudayaan-kebudayaan di dunia (Hoed,1992:80). Oleh karena itu pengalihan makna dalam penerjemahan etnografik ditentukan oleh sejauh mana konsep-konsep budaya dalam teks sumber diketahui atau dimiliki (shared) atau tidak dalam bahasa target.

1.6 Klarifikasi Istilah

Penelitian ini adalah “Kajian Teks terjemahan Bahasa Angkola” (Suatu kajian tentang Kesepadanan, Fungsi Bahasa dan Pergeseran dalam Terjemahan Bahasa Indonesia – Angkola. Untuk tidak terjadi kesalahpahaman tentang istilah-istilah pada penelitian ini maka makna setiap kata perlu diklarifikasi.

1. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang digunakan oleh penutur masyarakat Indonesia dalam berkomunikasi.


(32)

2. Bahasa Batak Angkola adalah bahasa bahasa yang digunakan oleh masyarakat etnis Angkola-Sipirok

3. Budaya Angkola, memiliki ciri seperti; falsafah dasar “Dalihan Na Tolu” sebagai tatanan/pandangan hidup sampai saat ini tetap dipedomani. Di lihat dari segi falsafah Dalihan Na Tolu,hubungan kekeluargaan etnik Angkola dibagi kepada; 1. Mora yaitu pihak keluarga pemberi bora. Mora ini mendapat posisi didahulukan,

karena pihak mora dalam hubungan kekeluargaan memiliki posisi yang sangat dihormati, di samping Raja-raja maupun Pemangku Adat,

2. kahanggi, yaitu keluarga yang mempunyai hajatan atau horja adat, termasuk di dalamnya Suhut selaku tuan rumah, dan 3. Anak Boru yaitu, pihak keluarga pemberian boru (pangalehenan boru). Di dalam peelaksanaan sesuatu pekerjaan adat, masing-masing unsur “Dalihan Na Tolu” tersebut masih mempunyai teman sekelompok (sajugukan) seperti Mora dengan Mora Ni Mora (bisaa disebut dengan Hula dengan Kahanggi/ Suhut dengan Pareban.

4. Penerjemahan merupakan proses pengalihan makna teks sumber ke dalam teks sasaran pada dua bahasa yang berbeda.

5. Ada dua pengertian terjemahan, pertama terjemahan sebagai proses kegitaan manusia di bidang (analisis)yang hasilnya merupakan teks


(33)

terjemahan. Kedua terjemahan hanya sebagai hasil dari kegiatan manusia. Hasil itu disebut teks terjemahan.

6. Proses terjemahan adalah transpormasi teks dari suatu bahasa lain tanpa mengubah isi teks asli

7. Padanan suatu bentuk dalam bahasa target dilihat dari segi semantik sepadan dengan suatu bentuk bahasa sumber.

8. Pergeseran adalah perubahan bentuk dan makna bahasa sumber ke dalam bahasa target, Pergeseran dalam terjemahan ada dua jenis, yaitu level shift adalah yang muncul di permukaan dalam bentuk item bahasa sumber pada level linguistik memiliki padanan dalam level yang berbeda ( misalnya tatarangrammar berpadanan dengan leksikal, dan category shift, suatu istilahgenerik yang mengacu pada pergeseran yang mencakup empat kategori, yakni (a) pergeseran struktural yang menyangkut perubahan gramatikal antara struktur teks sumber dan teks target, (b) pergeseran kelas bila item bahasa sumber dipadankan dengan item bahasa target yang memiliki kelas gramatikal yang berbeda, verba diterjemahkan dengan nomina, (c) pergeseran unit unit yang menyangkut perubahan rank, dan (d) pergeseran intra –sistem yang terjadi bila secara konstituen memiliki perbedaan (misalnya tata urutan kontituen berbeda antarabahasa sumber dengan padanannya


(34)

dalam bahasa target, bentuk tunggal (singular) bahasa sumber menjadi ja.mak (plural) dalam bahasa target.

9. Pergeseran Mikro (Micro Shifts) adalah bisa berujud dari pergeseran partikel yang mengarah ke atas atau ke bawah dan pergeseran horizontal. Pergeseran vertikal yang mengarah ke atas terjadi bila unit bahasa sumber disubstitusi dengan unit yang lebih tinggi rank-nya dalam bahasa target. Pergeseran horizontal identik dengan konsep

intra system sifts.

10.Pergeseran Makro (Makro Shifts) bergerak dalam kawasan ranah teks yang melibatkan tekstur, budaya, gaya, dan retorik yang memungkinkan terjadinya pergeseran pada tataran selain pada tataran sintaksis (seperti komponen semantik, tekstual, prakmatik dan retorik). 11.Istilah teks dan konteks tidak dapat dipisahkan. Konteks adalah segala sesuatu di luar yang diujarkan dan yang tertulis, termasuk aspek non verbal sehingga dikatakan sebagai keseluruhan lingkungan di mana teks itu ada atau diujarkan

12.Istilah fungsi bahasa sama dengan kegunaan bahasa, satu unit bahasa sebagai semiotik sosial adalah bahasa berfungsi di dalam konteks sosial. Fungsi bahasa berarti mengupas penggunaan bahasa itu sendiri. Fungsi bahasa pada teks terjemahan yang dipengaruhi eksternal bahasa


(35)

Haliliday. Hasan dan Amrin. Teks dibatasi sebagai unit bahasa yang fungsional dalam konteks sosial.

13.Konteks sosial mengacu kepada segala sesuatu di luar yang tertulis atau terucap, yang mendampingi bahasa atau teks dalam peristiwa pemakaian bahasa atau interaksi sosial.

14.Konteks situasi terdiri atas; apa (field) yang dibicarakan, siapa (tenor), yang membicarakan sesuatu bahasan, dan bagaimana (mode), pembicaraan dilakukan.

15.Konteks Budaya; dibatasi sebagai aktivitas sosial bertahap untuk mencapai suatu tujuan.

16.Makna teks terjemahan dalam penelitian ini adalah makna yang muncul dalam teks. Oleh sebab itu, konsep makna dari teks terjemahan dimulai dengan makna teks dalam konteksnya, yaitu konteks situasi dan konteks budaya . Makna teks dibagi tiga fase, yaiu makna ide, makna antarpelibat, dan makna tekstual (Halliday dalam Amrin, 2006:40).


(36)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Pengantar

Kajian pustaka yang terdiri dari pencermatan terhadap penelitian atau kajan terjemahan yang pernah dilakukan untuk memberikan fakta-fakta empiris tentang masalah terjemahan dan telaah teoretik terhadap teori dan konsep-konsep tentang terjemahan untuk mendapatkan acuan dasar membangun landasan teori penelitian.

2.1.2 Penelitian Terjemahan yang Pernah Dilakukan

Tinjauan hasil terjemahan tentang penelitian yang pernah dilakukan ini merupakan dasar peneliti untuk mendudukkan kajian penelitian terhadap penelitian kajian yang peneliti kaji. Ada beberapa hasil penelitian yang dapat dikumpulkan untuk dijadikan bahan teoritik.

Soemarno (1988) dalam desertasinya meneliti hubungan antara belajar dalam bidang penerjemahan, jenis kelamin, kemampuan berbahasa Inggeris dengan tipe-tipe kesilapan terjemahan dari bahasa Inggeris ke dalam bahasa Indonesia. Disimpulkan dalam penelitian tersebut bahwa lama belajar dalam bidang penerjemahan tidak berkorelasi dengan frekwensi kesilapan terjemahan


(37)

yang dibuat oleh para mahasiswa. Kontribusinya lebih banyak bersifat praktis bagi pengajaran penerjemahan, sedangkan kontribusi hasil penelitian Hoed lebih bersifat teoritis. Penelitian Hoed merupakan model kajian terpadu antara pendekatan sastra, linguistik dan terjemahan yang sekaligus membuktikan adanya benang merah yang menghubungkan dan menembus sekat-sekat bidang keilmuan serta mengindikasikan kesalingbermaknaan pemahaman bidang ilmu tertentu terhadap pengkajian suatu masalah kebahasaan yang lebih holistik.

Secara teoretis penelitian ini telah mengungkapkan bahwa dalam penerjemahan yang memberikan prioritas kepada usaha mempertahankan keutuhan pesan teks sumber pada hasil terjemahan memang lazim menjauhi perwujudan kesejajaran bentuk antara bentuk bahasa sumber dan bentuk bahasa target. Walaupun demikian, belum diungkapkan bahwa dalam proses penerjemahan, pemadanan teks sumber tidak saja membawa implikasi pergeseran bentuk tetapi juga pergeseran makna (meluas, menyempit atau hilangnya informasi.

Ida Bagus Putra Yadnya desertasinya yang berjudul, Pemadanan Makna Berkonteks Budaya: Sebuah Kajian Terjemahan Indonesia-Ingeris (2004), yang mengkaji representasi makna berkontek budaya sebagai konsekuensi dari strategi pemadanan.


(38)

Pendekatan linguistik dalam studi terjemahan juga pernah dilakukan Yadnya dan Resen (1986). Topik tersebut yaitu studi kasus terjemahannya adalah pergeseran formal frasa benda dalam terjemahan Ingeris-Indonesia. Jangkauan masalah dalam penelitian terbatas pada mengidentifikasi seberapa jauh terjadi kesejajaran bentuk penerjemahan frasa benda bahasa Ingeris ke dalam bahasa Indonesia dan sejauh mana terjadi pergeseran formal tau alih bentuk berwujud alih unit, struktur, dan kelas pengisi elemen struktur dalam penerjemahan. Temuan dan analisis data pergeseran formal yang disajikan menunjukkan terjadinya peristiwa pergeseran unit, struktur, dan kelas.

Sembiring (1995) dalam artikel yang berjudul “Masalah Penerjemahan Hubungan Kekerabatan dalam Alkitab dalam Bahasa Karo”, menegaskan bahwa di samping memberi prioritas pada arti yang mendukung teks sumber (Alkitab) dan bukan pada bentuk dari bahasa sumber, penerjemah juga peka terhadap kebudayaan penerima dan sejauh mungkin haruslah wajar.

Puspani (2003) mengungkapkan dalam tesisnya tesisnya yang berjudul “The Semantic Features of The Terms Related to Balinese Culture in the Novel Sukreni Gadis Bali and Their Translation in The Rape of Sukreni” (Kajian Terjemahan). Kajiannya berhasil mengidentifikasikan terms yang berhubungan dengan budaya Bali dari berbagai bidang mencakup (1) aspek kehidupan petani;


(39)

(2) fenomena historis; (3) upacara agama Hindu Bali; (4) sistem sapaan serta bagaimana terms tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Lubis, (2009) mengkaji kasus penerjemahan etnografik dengan melakukan studi kasus penerjemahan teks mangupa dari bahasa Mandailing ke dalam bahasa Inggris. Dalam penelitian Lubis, mengidentifikasi (1) perbedaan kelinguistikan dalam bahasa sumber dan bahasa target, (2) mengidentifikasi masalah kelinguistikan yang muncul dalam penerjemahan bahasa sumber ke bahasa target.(3) perbedaan budaya yang ada dalam bahasa sumber dan bahasa target. (4) masalah budaya apa yang muncul dalam penerjemahan bahasa sumber ke bahasa target. ( 5) dampak teknik penerjemahan yang digunakan terhadap kualitas terjemahan dalam hal keakuratan (accuracy), keterbacaan (readabbility) dan (keberterimaan (acceptability). Masalah menarik lainnya adalah bagaimana wujud dan kecenderungan pola-pola perpadanan makna berkonteks budaya dan pergeserannya.

Persamaan kajian penelitian yang telah dilakukan Lubis, dan Puspani dengan kajian penelitian “Kajian Teks Bahasa Angkola – Indonesia” terletak pada substansi pokok yakni sama-sama mengangkat masalah penerjemahan.

Muara perbedaan dari kajian Lubis, dan Puspani dengan kajian penulis terletak pada kontribusinya berdasarkan paradigma yang dibangun (melihat terjemahan sebagai produk) dengan kesesuaian pendekatan yang digunakan


(40)

(semantik). Penulis menyakini hasil kajian Puspani memberikan kontribusi yang berarti pada pengayaan analisis semantik dan menunjukkan pada kasus-kasus terjemahan seberapa jauh kontribusi semantik dalam menentukan tingkat kesepadanan pesan dari suatu bahasa sumber dalam bahasa target. Walaupun terdapat persamaan dalam menilai pentingnya peran semantik dalam penerjemahan tetapi berdasarkan perspektif yang melihat penerjemahan sekaligus sebagai produk dan proses (LSF) serta memandang teori semantik sebagai sarana maka kontribusi hasil kajian penulis lebih condong pada teori terjemahan dibandingkan dengan teori semantik dan pada praktek penerjemah dan mengkaji teks sebagai produk dengan kerangka kerja Haliday dan Saragih 2006 (Angkola-Indonesia).

2.1.3 Kajian Pustaka yang Berkaitan dengan Bahasa dan Kebudayaan dalam Kerangka Kajian Terjemahan

Untuk menentukan paradigma terhadap bahasa dan budaya serta keterkaitan penerjemahan perlu dilakukan kajian terhadap pustaka yang berhubungan dengan bahasa dan budaya dalam kaitannya dengan fenomena penerjemahan.

Penelitian terfokus: 1) bagaimanakah tipe kesepadanan yang diperoleh dalam proses padanan yang terdapat dalam teks sumber dan teks terjemahan, 2)


(41)

dalam konteks apakah terjadi pergeseran makna (shifts) teks terjemahan, 3) Bagaimanakah tautan konteks situasi dan konteks budaya pada teks, dan 4) faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pergeseran. Dalam hal mengkaji masalah-masalah tersebut maka diperlukan kerangka teori.

Teori terjemahan selalu bertumpu pada asumsi tertentu tentang penggunaan bahasa. Asumsi ini dikelompokkan dalam dua kategori, yakni (1) instrumental dan (2) hermeneutik. Teori terjemahan yang menganut konsep instrumental memandang bahasa sebagai komunikasi untuk mengekspresikan pikiran dan makna, yang didasarkan atas acuan terhadap realitas empiris atau yang berasal dari konteks ( pada dasarnya konteks ini tidak hanya linguistik tetapi juga mencakup situasi pragmatik).

Teori terjemahan yang menganut konsep hermeneutik memandang bahasa sebagai interpretasi, pertalian pikiran dan makna di mana makna membentuk realitas dan dinyatakan sesuai dengan situasi sosial dan budaya. Konsep instrumental tentang bahasa mengarah pada teori terjemahan yang mengutamakan pengkomunikasian meminimalkan dan kadang-kadang mengesampingkan masalah fungsi di balik komunikasi. Konsep hermeneutik terhadap bahasa mengarah pada teori terjemahan yang mengutamakan interprestasi nilai-nilai kreatif (Venuti, 2000:5-6).

Hermeneutik dalam pandangan klasik akan mengingatkan kita pada apa yang ditulis oleh Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De Interpretation yaitu


(42)

kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tuliskan juga merupakan simbol dari kata-kata-kata-kata yang kita tulis.

Hermeneutik secara etimologis adalah berasal dari bahasa Yunani Hermeneuin yang berarti ‘menafsirkan’ dan kata benda Hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai ‘penafsir’ atau ‘intepretasi’

Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Seperti halnya terhadap diri kita, kalau kita berpikir melalui bahasa, kita berbicara melalui bahasa, dan kita menulis juga dengan bahasa, bahkan kita berkomunikasi dengan seni yang lain juga menggunakan bahasa. Sebagai contoh patung dan lain-lain, juga diapresiasi dengan menggunakan bahasa.

Melalui bahasa kita berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pula kita salah paham dan salah tafsir apabila kita tidak menyimak hasil pembicaraan orang lain. Karena arti atau makna dapat kita peroleh tergantung dari banyak fakta: siapa yang berbicara, keadaan dan waktu, tempat semua ini dapat mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa.

Konsekuensinya kajian terjemahan bahasa Angkola ke dalam bahasa Indonesia ( Kesepadanan dan Pergeseran dalam Teks Terjemahan Fiksi Halilian dari Bahasa Angkola ke Bahasa Indonesia) dan harus pula mempertimbangkan prinsip-prinsip pragmatik di samping semantik (untuk menangani makna leksikal/referensial). Penerapan pragmatik dalam kajian ini dilakukan analisis


(43)

pergeseran (shifts) makro yang mencakup komponen tekstual yang membangun kohesi dan koherensi teks. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan bahwa analisis pergeseran pragmatik dalam terjemahan hanya bisa dilakukan dengan mempertimbangkan konteks situasi dan budaya.

Budaya dalam bahasa target untuk bisa menunjukkan bidang-bidang pergeseran yang mungkin terjadi tatkala penerjemah mencoba memadankan makna. Dengan demikian, dapat dikatakan dalam kajian makna dengan pendekatan semantik dan pragmatik harus berjalan bersama. Dalam kajian ini pendekatan semantik mengungkap hubungan antar simbol dengan konsep dan benda atau hal yang diacu oleh makna tersebut sedangkan pragmatik mengungkap makna dengan memperhatikan konteks situasi yang berkaitan dengan pemakaian unsur lingual pengungkap makna tersebut.

2.1.3.1 Bahasa

Bahasa adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari budaya para penuturnya. Perbedaan budaya yang diperlihatkan oleh bahasa terlihat jelas pada kosa katanya. Kosakata adalah wadah konsep yang terdapat dalam budaya. Sebagai contoh; Segala sesuatu yang bertalian dengan perkawinan ”Horas tondi madingin sayur matua bulung” dalam bahasa Indonesia tidak terdapat padanan yang terdiri kalimat tersebut. Setiap bahasa memiliki kosakata yang


(44)

mencerminkan kekhasannya budaya penuturnya yang belum tentu dimiliki oleh bahasa lain.

Proses penerjemahan melibatkan dua bahasa dan di dalam bahasa-bahasa tersebut terkandung berbagai makna. Oleh karena itu sebelum sampai pada tahap pengkajian masalah penulis memandang perlu untuk menentukan paradigma terhadap bahasa dan budaya serta keterkaitan penerjemahan dengan keduanya. Untuk menentukan paradigma tersebut perlu dilakukan kajian terhadap pustaka yang berhubungan dengan bahasa dan budaya dalam kaitannya dengan fenomena penerjemahan.

Bahasa di dalam masyarakat adalah wujud untuk memenuhi kebutuhan manusia. Saragih (2006:1) menegaskan, untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam berbagai kegiatan sebagai anggota masyarakat dan bahasa yang didasarkan pada kegunaan, penggunaan, fungsi bahasa bagi manusia atau unsur lain di luar teks yang diucapkan dapat dikatakan dengan pendelatan fungsional. Berdasarkan ini maka kajian terjemahan bahasa Angkola ini memakai pendekatan fungsional.

Budaya dibangun dari kesamaan faktor-faktor pembentuk yang disebut dengan komponen kebudayaan. Bahasa dan simbol merupakan salah satu komponen budaya yang sangat penting. Bahasa merupakan mediasi pikiran, perasaan dan perbuatan. Seperti kebudayaan secara umum, bahasa dipelajari untuk melayani pikiran manusia. Sibarani, (2004:47) mengatakan bahwa “Bahasa


(45)

adalah bahagian dari kebudayaan yang erat hubungannya dengan berpikir”. Karena budaya dibangun dari kesamaan faktor-faktor pembentuk yang disebut dengan komponen kebudayaan. Bahasa dan sistem simbol merupakan salah satu dari komponen budaya yang sangat penting. Bahasa merupakan mediasi pikiran, perasaan dan perbuatan.

Di dalam tulisan ini kata budaya, bukan kebudayaan dipakai sebagai padanan bahasa Inggris culture tetapi budaya di sini diartikan sebagai mengacu pada seperangkat praktik, kode, dan nilai yang menandai suatu kelompok (Morgan, 1999:495). Defenisi ini sesuai dengan pengertian budaya menurut Farr dan Ball dalam Tampubolon (2005:45), yang mengatakan bahwa budaya adalah sistem pengetahuan yang dipunyai bersama oleh kelompok orang, yang berkaitan dengan perilaku dan yang dipakai (oleh mereka) untuk menafsirkan pengalaman. Tampubolon (2005) menjelaskan lebih lanjut budaya terdiri atas “Apa saja yang perlu diketahui atau dipercayai (oleh seseorang) agar ia dapat bertingkah laku dengan cara yang berterima oleh para anggota (masyarakat)”.

Defenisi budaya seperti yang dikutip di atas menyiratkan bahwa budaya itu berkaitan dengan cara hidup (ways of living). Karena cara hidup itu membawahkan cara berkomunikasi (ways of communicating), dapat dikatakan bahwa budaya juga menentukan bagaimana para anggota masyarakat budaya itu berkomunikasi atau bertutur, Richard dkk (1985:97).


(46)

Fishman (1985:99) menyatakan bahwa hubungan bahasa dengan budaya bisa dilihat dalam tiga perspektif, yakni (1) sebagai bagian dari budaya, (2) sebagai indeks budaya, dan (3) sebagai simbolik budaya. Sebagai bagian dari budaya bahasa merupakan pengejawantahan perilaku manusia. Misalnya upacara, ritual, nyanyian, cerita, doa merupakan tindak tutur atau peristiwa wicara. Semua yang ingin terlibat dan memahami budaya tersebut harus menguasai bahasa karena dengan itu barulah mereka bisa berpartisipasi dan mengalami budaya tersebut. Sebagai indeks budaya bahasa juga mengungkapkan cara berfikir dan menata pengalaman penuturnya yang dalam bidang tertentu muncul dalam item leksikal dan sebagai simbolik budaya bahasa menunjukkan identitas budaya etnis.

Implikasi budaya dalam terjemahan bisa muncul dalam berbagai bentuk berkisar dari lexical content dan sintaksis sampai idiologi dan pandangan hidup (way of life) dalam budaya tertentu. Oleh karena itu penerjemah harus menentukan tingkat kepentingan yang diberikan pada aspek-aspek budaya tertentu dan sampai sejauh mana aspek-aspek tersebut perlu atau diinginkan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa target. Hubungan bahasa dan budaya begitu dekat sehingga dalam penerjemahan kedua aspek tersebut harus dipertimbangkan. Penerjemah harus menangani teks bahasa sumber sedemikian rupa sehingga versi teks bahasa target berkorespondensi dengan versi bahasa sumber.


(47)

Newmark (1988:94) mendefenisikan kebudayaan sebagai ”They way of life and its manifestations that are peculiar to a community that uses a particular language as its means of expression”. Konsep budaya tersebut mengandung kata-kata kunci “way of life peculiar to community”, dan “particular language” sebagai inti suatu budaya dan sekaligus ciri pembeda dengan budaya lain. Dari defenisi tersebut dapat dimengerti bahwa budaya merupakan keseluruhan konteks di mana manusia berada berfikir dan berinteraksi satu sama lainnya dan sekaligus menjadi perekat suatu komunitas. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan dan sekaligus merupakan sarana membangun dan mengekspresikan budaya sehingga perbedaan budaya berarti perbedaan bahasa.

Secara spesifik Newmark membedakan ciri bahasa ke dalam tiga kategori; (1) bahasa bersifat universal, contohnya, kata-kata yang berupa artefak seperti meja, atau cermin, kata-kata ini tidak akan menimbulkan masalah karena semua budaya memiliki bahasa yang mampu mengekpresikan konsep-konsep tersebut. (2) bahasa bersifat kultural, contoh dalam kosakata bahasa Angkola seperti

“marhusip, suhut, dan pisangraut penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia akan menimbulkan permasalahan yang cukup rumit akibat kesenjangan pemahaman konsep. (3) bahasa bersifat personal.

Selanjutnya newmark (1988:95- 103 dalam Yadnnya desertasi 2004) mengelompokkan makna berkonteks budaya ke dalam katagori (1) ecology


(48)

termasuk flora, fauna, angin lembah, gunung, (2) material culture culture atau artefak seperti makanan, pakaian, perumahan dan kota, (3) social culture termasuk kerja(work) dan waktu luang (leisure), (4) organisations, customs, activities, procedures, concepts, yang bersifat politik dan aministratif, religius, dan artistik dan (5) gesture dan hubits.

Kebudayaan terungkap dalam bentuk kebudayaan eksplisit yang berwujud artefak yang diproduksi masyarakat seperti pakaian, makanan, teknologi, dan lain lain. Memahami budaya lain tidaklah mudah karena budaya itu secara langsung dapat diamati. Langkah pemahaman suatu kebudayaan dapat dilakukan dengan memahami terlebih dahulu konsep kebudayaan, kosmologi, pandangan hidup dan nilai budaya karena ketiga inti tersebut akan teraktualisasi dalam perilaku manusia pendukungnya.

Cerminan budaya dalam bahasa tidak hanya terbatas pada tingkatan kosa kata saja tetapi juga terdapat pada tingkat yang lebih luas lagi seperti pada aspek retorika. Sama halnya dengan penampilan fisik seseorang (orang yang satu berbeda dengan orang yang lain), begitu juga kebudayaan. Pernyataan ini sesuai dengan defenisi kebudayaan yang diberikan Newmark (1888: 94 dalam Yadnya Putra) yaitu, “The way of life and its manifestation that are peculiar to a comunity that uses a particular language as its means of expression”. Dari defenisi tersebut


(49)

terkandung pengertian bahwa masing-masing gayub bahasa (language group) memiliki fitur spesifik sendiri secara budaya.

Sebagaimana diungkapkan dalam subpembicaraan asumsi dasar di muka, Sibarani, (2004:46) mengatakan bahasa adalah alat intelektual yang paling fleksibel dan paling berkekuatan yang dikembangkan oleh manusia. Dan Sibarani, juga menegaskan, melihat bahasa sebagai instrumen utama manusia dalam mengintegrasikan dirinya baik secara eksternal maupun internal sebagai invidu yang berfungsi dan partisipan aktif dalam kelompok atau masyarakat manusia. Dalam konteks budaya bahasa (termasuk produk penggunaannya seperti karya sastra atau teks non-sastra lainnya) tidak saja bisa dipandang sebagai sarana komunikasi individu atau kelompok untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat, harapan, kegelisahan, cinta, kebencian, opini, dan sebagainya kepada individu atau kelompok lain, tetapi juga bisa dipandang sebagai suatu sumber daya unutk menyingkap misteri budaya, mulai dari perilaku berbahasa, identitas dan kehidupan penutur, pendayagunaan dan pemberdayaan bahasa sampai dengan pengembangan serta pelestarian nilai-nilai budaya. Berangkat dari paradigma ini maka studi tentang bahasa tidak hanya terbatas pada penelitian mikro yang dilakukan secara intrinsik semata-mata untuk kepentingan bahasa itu sendiri tetapi juga bersifat makro secara ekstrinsik untuk mengungkapkan apa yang berada di balik bahasa yang digunakan.


(50)

2.1.3.2 Budaya Etnik Angkola

Budaya berkaitan dengan cara hidup (way of living). Karena cara hidup itu membawakan cara berkomunikasi (way of comunication), dan dapat dikatakan bahwa budaya juga menentukan bagaimana para anggota masyarakat budaya itu bertutur. Dapat dikatakan bahwa budaya mengatur penggunaan bahasa. Tampubolon, (2005:45) mengatakan bahwa budaya berkaitan dengan aturan yang harus diikuti oleh para anggota masyarakat budaya yang bersangkutan, dan karena itu ia bersifat normatif, budaya menentukan standar perilaku.

Pandangan tradisonal suku Batak yaitu berkisar angka tiga. Pertama, alam semesta ini dilihat sebagai yang terdiri atas tiga bahagian yang disebut banua na tolu, banua ginjang (dunia atas), banua tonga (dunia tengah) dan banua toru

(banua bawah). Menurut Sihombing dalam Tampubolon, (2005:46), ketiga dunia itu sederejat, yang berbeda adalah jenis penghuniya. Kedua dalam masyarakat Batak kesatuan sosial diibaratkan sebagai bonang na tolu (benang yang terdiri atas lilin) yang masing-masing mewarnai, putih dan hitam, yang mungkin sekali melambangkan tiga unsur utama di dalam masyarakat Batak Angkola. Ketiga yang paling penting dalam falsafah orang batak Angkola karena ia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari adalah azas dalihan na tolu (tungku yang tiga) yang di dalam hal ini tiga itu merujuk ke tiga buah batu yang dipakai untuk


(51)

menanak nasi. Apabila diamati betapa pentingnya perlambang batu ketika kita melihat menanak beras. (Beras adalah makanan pokok suku Batak maupun suku Jawa) sebagai lambang kehidupan. Agar kehidupan berlangsung terus , belanga tempat menanak beras itu harus seimbang, dan ini dapat terlaksana dan dipertahankan tiga syarat dipenuhi. Tiga batu di dalam masyarakat Angkola yaitu dongan sabatuha.

Kebudayaan Masyarakat Angkola-Sipirok dalam banyak hal mempunyai persamaan dengan kebudayaan masyarakat Padang Bolak dan Masyarakat Mandailing.

Adat istiadat tersebut tidak banyak berbeda, demikian juga bahasanya. Masyarakat Angkola–Sipirok merupakan masyarakat agraris yang hidupnya tergantung kepada pertanian, sawah, dan perkebunan yang ditanami dengan karet, kopi, kulit manis, dan lain-lain.

Masyarakat Angkola – Sipirok adalah masyarakat yang sejak dahulu kala mendiami wilayah Angkola dan wilayah Sipirok yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan. Wilayah Angkola terdiri atas tiga bagian, yaitu; 1) Angkola Jae (Angkola Hilir), 2) Angkola Julu (Angkola Hulu), 3) Angkola Dolok(Angkola Pegunungan).

Pada saat ini wilayah Angkola atas sepuluh wilayah kecamatan. Sepuluh kecamatan tersebut meliputi; 1) Kecamatan Batang Angkola, 2) Kecamatan


(52)

Batang Toru, 3) Kecamatan Padang Sidempuan Barat, 4) Kecamatan Padang Sidempuan Timur, 5) Kecamatan Padang Sidempuan Selatan, 6) Kecamatan Padang Sidempuan Utara, 7) Kecamatan Sipirok, 8) Kecamatan Saipar Dolok Hole, 9) Kecamatan Padang Bolak, dan 10) Kecamatan Dolok. Wilayah masyarakat Angkola-Sipirok berdampingan dengan wilayah Padang Bolak (Padang Lawas) dan Wilayah Mandailing.

Masing-masing kelompok etnik (suku bangsa) yang merupakan bagian integral dari bangsa Indonesia mempunyai kebudayaan sendiri. Oleh karena itu, dalam kehidupan bangsa Indonesia terdapat mosaik kebudayaan etnik sebagai aset kultur yang tidak ternilai harganya. Karena itu, bahasa-bahasa daerah itu tetap dipelihara keberadaannya, baik secara Internasional maupun secara Nasional. Secara Internasional, adanya jaminan hak asasi bahasa untuk tetap bertahan dan mengembangkan diri. Untuk itu, UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (Alwasilah, 2001:1). Dalam konteks mayarakat Indonesia, umumnya Bahasa Ibu mereka adalah bahasa daerah/lokal (vernacular).

Menurut Bahri, Samsul dalam Www.harian.global.com bahwa, Jauh sebelum penjajahan Belanda menjejakkan kaki di bumi persada ini, telah ada penduduk yang mendiami Wilayah Angkola, yang diperkirakan 9000 tahun sebelum masehi, itulah yang dinamakan Etnik Angkola (asli Angkola, bukan


(53)

pecahan atau yang memisahkan diri dari etnik lain). Terbukti dengan adanya kerajaan-kerajaan di sekitar Sabungan/Padangsidimpuan, Batunadua, Sipirok/Parau Sorat, Siala Gundi, Muara Tais, Batang Toru sekitarnya, Batarawisnu, Mandalasena dan lain-lain.

Etnik Angkola memiliki ciri tersendiri, seperti:

- Falsafah dasar “Dalihan Na Tolu”, sebagai tatanan/pandangan hidup sampai saat ini telah dipedomani,

- Adat Istiadat Budaya,

- Pakaian Adat dengan Tenunan sendiri,

- Bahasa dengan Aksara. Bahasa yang kaya dengan tingkatan penggunaannya Bisaa, Andung, Bura atau yang lainnya dapat diperdalam melalui Impola ni Hata. Sedangkan Aksara Angkola yang jika dibaca menurut ejaan Latin adalah A, HA, NA. RA, TA, I, JA, PA, U, WA, SA, DA, BA, LA, NGA, KA, CA, NYA, GA, YA (Konsonan Ina ni Surat). Dilengkapi dengan simbol yang menandakan perubahan bunyi Vokal E, I, O, dan U serta Simbol Pembatas disebut Pangolat menandakan huruf mati, misalnya NGA menjadi NG, dll. Bentuk huruf/abjadnya jelas ada tersendiri lain dari aksara etnik lainnya.

- Mempunyai Kesenian dan Alatnya serta Ornamen khas. - Ciri khas kebudayaannya telah dianut secara turun menurun.


(54)

Bahasa dan Aksara Angkola dahulu dipergunakan menjadi salah satu mata pelajaran di SD dan SMP/sederajat di seluruh Tapnanuli Selatan, baik pelajaran Tata Bahasa (Impola Ni Hata), Bahan Bacaan (Turi-turian), dan lain-lain yang dipergunakan adalah versi Angkola.

Dari segi garis keturunan yang menerapkan sistem Patrilineal, masyarakat Angkola ditandai dengan Marga/Clan yang dominan seperti Harahap, Siregar, Pane dengan rumpun marganya, seluruhnya mendiami ketiga order distrik tersebut.

Dilihat dari segi Falsafah Balihan Na Tolu, hubungan kekeluargaan Etnik Angkola dibagi kepada: 1) Mora, yaitu pihak keluarga pemberi boru. Mora ini mendapat posisi didahulukan, karena pihak Mora dalam hubungan kekeluargaan memiliki posisi yang sangat dihormati, disamping raja-raja maupun Pemangku Adat; 2) Kahanggi, yaitu keluarga yang mempunyai hajatan atau Horja Adat, termasuk di dalamnya Suhut selaku Tuan Rumah; 3) Anak Boru, yaitu pihak keluarga pemberi Boru (pangalehenan Boru). Di dalam pelaksanaan suatu pekerjaan adat, masing-masing unsur Dalihan Na Tolu tersebut masih mempunyai teman kelompok (sajuguan) seperti Mora dengan Mora ni Mora (bisaa juga disebut Hula Dongan, Kahanggi/Suhut dengan Pareban, (saudara/keluarga sepengambilan), dan Anak Boru bersama Anak Borunya yaitu Pisang Raut yang sering juga disebut Piso Pangirit.


(55)

Dari segi garis keturunan menerapkan sistem Patrilineal, masyarakat Angkola ditandai dengan marga yang dominan seperti Harahap, Siregar, pane dengan rumpun marganya.

Dalam sejarah mencatat bahwa sebelum Indonesia merdeka, wilayah pemeintahan di Tapanuli Selatan dahulunya bernama Afdeling dipinpin seorang Residen dengan pusat pemerintahan di Padang Sidempuan, membawahi 3 order Afdeling dan masing-masing dipimpin oleh Controlleur, seterusnya membawahi Order Distrik yang dpimpin oleh Asisten Demang. Order Afdeling di bawah Afdeling, antara lain Angola dan Sipirok berpusat di Sidempuan, Order Afdeling Padang Lawas di Sibuhuan, dan Order Afdeling Mandailing di Kota Nopan.

2.1.3.3 Terjemahan Sebagai Objek Peninjauan Beberapa Bidang Ilmu

Terjemahan sebagai transformasi antarbahasa merupakan gejala yang menyita perhatian para pakar beberapa bidang ilmu: psikologi, etnografi, ilmu sastra, ilmu bahasa dan lain-lain. Terjemahan merupakan masalah substansial bagi pakar psikologi karena keistimewaan peranan orientasi, pemahaman, pengetahuan, penerjemah dalam proses penerjemahan. Sedangkan bagi pakar etnografi, terjemahan adalah objek yang menarik untuk pengamatan di bidang yang disebut “semantik etnografis”, yang mencakup masalah luas sehubungan dengan adanya perbedaan budaya, dengan adanya ide yang bermacam-macam


(56)

tentang dunia sekitar. Lain halnya dengan ilmu sastra. Bagi ahli sastra, masalah terjemahan adalah masalah keunggulan artistik penerjemah, kemampuannya menyampaikan ragam sastra individual pengarang dan mempertahankan citra dasar dan isikarya sastra yang diterjemahkan atau dapat disebut dengan belles-letters seorang estitikus yang mengenal dan mempelajari ilmu keindahan. Hanya saja, terjemahan ragam sastra tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan terjemahan ragam bahasa lainnya dalam kaidah-kaidah universal

Arti terjemahan bagi ilmu bahasa merupakan sumber data-data yang sangat menarik bagi ilmu linguistik, terutama sekali bagi linguistik perbandingan

(contrastive linguistics). Bentuk hubungan timbal balik (korelasi) antara linguistik terjemahan dan linguistik perbandingan terletak pada kepentingan-kepentingan dan tujuan masing-masing pihak. Namun, bersamaan dengan itu, kita melihat adanya persamaan antara kepentingan-kepentingan perbandingan bahasa dengan tujuan linguistik terjemahan, karena teori terjemahan mengkaji hubungan- hubungan antar bahasa. justru karena keterkaitan dengan kajiannya sendiri inilah, maka linguistik terjemahan pun mempuyai fungsi yag bisa dijadikan arahan linguodidaktis, yakni pengajaran bahasa asing lewat terjemahan dengan tujuan, di antaranya, untuk mengatasi interferensi dan menggalakkan semantisasi kontrastif.

Teori terjemahan adalah bagian integral dari linguistik perbandingan. Hal ini di tulis, oleh seorang ahli teori terjemahan dari Amerika, E. Nida (1975:40).


(57)

Pendapat yang senada disampaikan juga oleh pakar teori terjemahan dari Inggris,

J. Catford yang menganggap teori terjemahan sebagai cabang linguistik perbandingan, karena teori terjemahan mengkaji korelasi antarbahasa. Karena itu dapat dikatakan bahwa linguistik terjemahan dijadikan bagian integral dari linguistik perbandingan.

Persoalannya ialah, bahwa tugas-tugas linguistik perbandingan hanya sama sebagian dan bukannya sepenuhnya dengan tugas-tugas teori terjemahan. Linguistik perbandingan mempunyai hubungan langsung dengan teori terjemahan, tapi tidak lebih banyak ketimbang hubungan antara hubungan linguistik perbandingan dengan teori dan praktik pengajaran bahasa asing. Objek kajian linguistik perbandingan adalah perbandingan sistem-sistem bahasa leksikal, grmatikal dan stilistis (stylistic). Sedangkan yang penting bagi teori terjemahan ialah tidak hanya perbandingan sistem-sistem bahasa, tapi juga pengungkapan pelaksanaan kontekstual sehubungan dengan adanya perbedaan sistem-sistem bahasa tersebut. Kecuali itu, teori terjemahan mempunyai tugas khusus yang tidak mungkin bisa diputuskan oleh linguistik perbandingan, yakni dijelaskan meknisme proses terjemahan, menentukan semua faktor yang mempengaruhi pemutusan penerjemahan dan menerangkan logika pemutusan tersebut.

Wajarlah, ketika analisis ilmiah tentang proses terjemahan menuntut jalan keluar: ke estetika (aesthetics), psikologi, etnologi, geografi dan ke ilmu paduan.


(58)

Tugas ini bagi linguistik terjemahan menjadi ringan berkat adanya hubungan erat antara linguistik kontemporer dengan bidang-bidang ilmu tersebut. Hubungan erat seperti itu memperluas ruang kerja penelitian linguistik terjemahan di bawah arahan antar disiplin ilmiah/ antar cabang ilmu.

Salah satu dari arahan itu ialah sosiolinguistik (sociolinguistics) dan yang dekat dengan sosiolinguistik – etnolinguistik (etnolinguistics). Perhitungan faktor-faktor sosiolinguistik dan etnolinguistik mempunyai arti khusus dalam penerjemahan ke dalam bahasa-bahasa dari bangsa-bangsa yang berada pada tahap perkembangan budaya dan sosial yang berbeda-beda. Bukankah terjemahan berarti tidak hanya kontak antar sistem bahasa, tapi juga berarti kontak-kontak antar budaya dan antar peradaban yang berbeda-beda. Dalam proses terjemahan tidak kecil arti yang diperoleh dari diferensiasi sosial bahasa. dalam hal ini, yang sangat berdaya guna sekali untuk teori terjemahan ialah data-data dari beberapa penelitian sosiolinguistik.

Perhitungan faktor-faktor psikologi yang memberi pengaruh pada proses terjemahan tidak sedikit, artinya dalam membantu untuk mengerti penerjemahan. Peranan faktor-faktor itu kadang-kadang disebut unsur-unsur subjektif yang mempengaruhi proses terjemahan. Perbedaan antara pendekatan terhadap bahan-bahan dalam linguistik perbandingan dan dalam teori terjemahan terletak dalam hal, bahwa dalam menggunakan hasil-hasil terjemahan sebagai objek untuk


(59)

generalisasi, linguistik perbandingan tidak memasukkan ke dalam pengamatannya semua unsur-unsur subjektif yang ada, tapi hanya memusatkan perhatiannya pada ketaatasasan objektif, yang memberi ciri-ciri khas pada korelasi antar sistem yang dibandingkan. Sebaliknya, teori terjemahan tidak bisa sepenuhnya mengabstrakkan unsur-unsur subjektif yang menjadi pemeran serta ujaran dwi bahasa dalam proses terjemahan: penulis teks asli (sender), penerima/ pembaca teks asli (translator) dan penerima/ pembaca teks terjemahan (receptor).

Sedangkan pengaruh-pengaruh estetika pada proses terjemahan besar artinya dalam penerjemahan bellea-lettres, karena faktor-faktor itu merupakan objek pengamatan khusus dalam teori terjemahan ragam sastra, kendati faktor-faktor seperti itu bisa mempunyai arti tertentu dalam teori terjemahan ragam bahasa yang lain, seperti ragam surat kabar, ragam jurnalistik, bahkan ragam ilmiah dan lain-lain, karena karya terjemahan ragam sastra tidak merupakan karya cipta tersendiri dengan peraturan tersendiri. Hal ini menunjukkan, bahwa faktor-faktor teori terjemahan suatu ragam bahasa yang lain, mengingat setiap peraturan terjemahan ragam bahasa yang satu mempunyai kesamaan ciri-ciri umum dengan peraturan terjemahan ragam bahasa yang lain, yakni berasakan distribusi komplementer. Ini juga berarti, bahwa suatu bidang ilmu bisa mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan bidang ilmu lain.


(60)

Kalau menganggap terjemahan salah satu ragam bahasa, misalnya ragam sastra, merupakan “ciptaan murni” yang tidak mengenal hukum linguistik terjemahan, maka bisa disimpulkan bahwa penyusunan teori umum terjemahan tidak mungkin dilakukan, karena teori yang disusun hanya untuk terjemahan ragam bahasa tertentu tidak bisa disajikan teori umum. Teori umum linguistik terjemahan mencakup semua jenis kegiatan terjemahan, berupaya untuk mengungkapkan peraturan-peraturan yang menyangkut terjemahan pada umumnya, tak pandang akan adanya spesifikasi ragam bahasa yang satu, maupun yang lain.

Sedangkan prinsip karya cipta atau bukan karya cipta terdapat dalam setiap terjemahan ragam apapun, meski saling hubungan antara mereka bisa berubah tergantung pada genre terjemahan masing-masing. Di satu pihak, ada terjemahan ragam dokumen resmi, seperti undang-undang, terjemahan ragam ilmiah yang mempunyai peraturan lebih ketat, di pihak lain, ada terjemahan ragam sastra: prosa, puisi, drama yang peranannya tidak mencatat peraturan ketat.

Tugas linguistik terjemahan adalah menyusun teori umum terjemahan yang terdiri dari bagian-bagian yang khusus. Teori umum terjemahan merupakan pengarahan antar disiplin ilmiah – berdasarkan ilmu linguistik – yang erat berhubungan dengan linguistik perbandingan, psikolinguistik, sosiolinguistik, etnolinguistik, geografi linguistik. Yang dimaksud disini sebenarnya ialah


(1)

4 Bidang Teknologi

TeksSumber Teks Target

30 Nahipas ma ripukmi manapori pinggan di bagas on”, ning ia mamuruhi pahoppunia i salaho mardalan-dalan makkirpas- kirpas pasippan-sippankon bagas i, “Pinggan parmanoan i. Na diboto ho bagi na sadia godang rohakku tusi. Adong bening rohamu luluan songon i pinggan di maso on. So adong bagi

Cerita Bittot Van De Longas

31 igor sian toru ni baroar. Tep, ninna na buragan, tartuktuk mada ujung ni jari-jari ni patnia siambirang. Di ida ia adong sada tarsongon tumbaga tar gorsing-gorsing.

30 Neneknya marah kepada cucunya yang baru belajar berjalan sambil berkata “Ringan kali tangan mu memecahkan piring di rumah ini Dengan kesalnya karena piring simpanan, piring yang turun-temurun yang disayangi telah pecah. Cucunya tidak mengetahuibagaimana besarnya hatiku terhadap piring tersebut Kau pikir ada lagi piring itu pada zaman sekarang, biar kau tahu bahwa ibumu

Cerita Bittot Van De Longas

31 Si Tigor merunduk di bawah pohon rotan. Tidak disangka-sangka, ujung jari-jari kakinya sebelah kiri tersandung. Dia melihat sepertinya ada sebuah benda seperti tembaga agak kekuning-kuningan.

Dari identifikasi terdapat beberapa variasi padanan dalam bidang teknologi sebagai berikut:

No Item Leksikal Variasi Padanan 1

pinggan Piring, tempat untuk


(2)

2 Tumbaga Besi Kuningan Tembaga

5. Bidang Peternakan

Leksikon yang berhubugan dengan produk perternakan, terdapat juga sejumlah leksikon yang tergolong artefak budaya perternakan dalam teks sumber yang berkaitan dengan perumahan dan tempat penyimpanan produk tersebut.

Teks Sumber Teks target

Baginda Napal Hatoguan

32 i bagasanna i adong pira manuk dohot piring na matobang.

33 Di hatiha na jolo ni na jolo, di na robi ni na robi adong ma sada harajaon na maringanan di Kualo Batang Muar, rajana na margoar Baginda Napal Hatoguan. Ia raja on, na lobi suntuk di hamoraon, na tuk marsinadongan, partaring na so jungada mittop, parhata na so juaon. Sudena marhosa di harajaon guru doknia. Bagasnia bagas siomagodang na marpittu na sagodang ni gaja, jandelana na lobi bahat, martirket-tirket sumigat ombun, parbilik marpulu marratus, paralaman na bidang marruput na ijo. Sandok pahan-pahanan na adong di harajaon I, kuasonia, na manjappal na so dipabara. Ise halak na giot padiaro pahan-pahanan horbo, kudo, lembu, manuk dohot na asing-asing, tola, tai muda giot manyambolna akkon mangido isin sian raja bolon i.

Baginda Napal Hatoguan

32 Di dalamnya ada telur ayam, dengan piring tua

33 Zaman dahulu kala ada sebuah kerajaan yang bertempat di Kuala batang Maruar. Rajanya bernama baginda Napal Hatoguan. Raja ini selalu susah dengan hamoraaon dan ia orang kaya, seperti api yang tidak pernah padam dan perkataan tidak bisa dibantah. Segala yang bernapas di Kerajaan harus berguru kepadanya. Rumah Raja tersebut besar, berpintu besar jendelanya sangat banyak dan bertingkat-tingkat, agar embun mudah masuk, kamarnya beratus, halamanya sangat luas berumput hijau. Semua peliharaan yang ada di Kerajaan itu dikuasainya.baik yang liar dan yang dipelihara. Peliharaan seperti; kerbau, lembu,

kuda, ayam dan lain-lain. Kalau

ada orang yang mau menyembelihnya atau memotong harus minta ijin kepadan kepada Raja.


(3)

34 Sora ni si Ganjo Mabuk dohot pasukania masuk tu tonga-tonga halak na bahat makkuling sian ginjang ni kudonia i.

35 Muda ngot manyogot karuar nappuna kudo i sian bagas, manigor ma tarsonggot mangaligi ulu ni kudonia i mangadop tusia, leng matana bolang.

36 Bagian anak boru pe kehe markuras manyambol horbo dohot lombu na giot loppaon. Gondang dohot doal na adong di harajaon i pe dipalu matumongmongsampe tarbege tu jae tu julu. Adong muse martoktok pajongjong gaja luppat dohot na hombar tu karejo siluluton i Halak na torop pe rukkar maraer muli marsikarejohon karejo na be.

37 Hum di boto anggi ni raja i Sutan Sialang Djongdjongan dung malongas angin sipurpuron ni angkangna, manigor ma marpokat halahi na sian harajaon, ulubalang si Ganjo Mabuk, dohot Palakpak Marogang-Rogang. Dipasadio ma kudo marbilang marratus dohot sude ulubalang ni raja i.

Bittot Van De Longas

38 Dipupu ia na mardalan asok-asok songon pardalan ni entok na giot marpira, mangaronang tu jae mangaronang tu julu, baba i pe ngangang-ngangang songon gatcip na hurang onyak, laho torus marpikir-pikir, “na jeges ma’ttong ingananon”.

39 Dungi tarpaida ia ma sahulanan lombu, jeges boti ias manjappal di padang-padang i, adong na lomlom, adong na sikolat, adong muse na marbolang na bottar, adong na menek, jara-jara, inangna dohot

34 Ganjo Mabuk berkata di atas

kudanya di tengah orang banyak

diiringi pasukannya.

35 Ketika yang punya kuda bangun pagi ke luar dari rumah, langsung terkejut melihat kepala kudanya menghadap kepadanya, dengan mata melotot

36 Bagian anak boru pun pergi bekerja memotong kerbau dengan

lembu yang mau di masak.

Gendang dengan doal yang ada di kerajaan di pukul sampai terdengar ke Selatan dan Timur. Ada yang mendirikan gajah lumpat dekat dengan tempat kerja. Orang pun sibuk mengerjakan pekerjaannya masing-masing.

37 Begitu tahu adik raja itu Sutan Sialang Djongdjongan meninggal, langsung bermusyawarah dari kerajaan, hulubalang si ganjo Mabuk, dengan Palakpak Marogang-Rogang. Disediakanlah

kuda brebelang beratus dengan

semua hulubalang Raja.

Bittot Van De Longas

38 Kemudian ia berjalan pelan-pelan seperti entok yang ingin bertelur, berenang ke tengah, berenang ke pinggir, mulutnya ternganga seperti terjepit tetapi kurang tekan, sambil terus berpikir-pikir, “bagus sekali tempat tinggal ini”.

39 Kemudian ia melihat segerombolan

lembu, cantik dan bersih sedang

merumput di padang rumput itu, ada yang hitam, ada yang cokelat, ada juga yang berbelang putih, ada yang kecil, lembu dewasa, induknya,


(4)

amangna, rap-rap manjappal, mokmok-mokmok ma i sude. Hum paida-idasa pe ma jop rohaniba.

dan jantan, sama-sama makan rumput (manjappal), mereka juga gemuk-gemuk. Melihatnya saja kita sudah senang hati.

Dalam korpus di atas kata-kata yang digaris bawahi adalah unit terjemahan TS (teks sumber). Teks Target yang terdapat dalam teks terjemahan mengandung padanan terjemahan dalam bahasa Indonesia. Kata-kata yang tergolong dalam produks peternakan dan variasi padanannya ditabulasi sebagai berikut:

No Item Leksikal Variasi Padanan

1 Pira manuk Telur ayam, telur

2 Kerbau Kerbau, lembu, kuda

3 Entok Itik, bebek

4 Manuk Ayam, burung

6 Bidang Tekstil

Leksikon yang berhubugan dengan produk tekstil, terdapat juga sejumlah leksikon yang tergolong artefak budaya tekstil dalam teks sumber yang berkaitan dengan perumahan dan tempat penyimpanan produk tersebut.

Teks Sumber Teks target

Nai Pandan Runare Bulan

40 Dicaritahon ia bahaso adong pitu bujing-bujing marbaju hobang sian Banua Lumban di Ginjang na sai maridi lalu marmayam-mayam tu porlak nia i, apala boru tulang si Sakkot, na margoar Batara Guru.

41 Songon na didokkon ni Sutan

Nai Pandan Runare Bulan

40 Ia bercerita bahwa ada anak tulang si Sakkot,i tujuh gadis yang berpakaian kembang datang dari banua Lumban di Ginjang yang selalu mandi dan bermain di tempatnya, apalagi anak tulangnya yang bernama batara Guru


(5)

Hasundutan halak Pangaranjulu i, dipake ia ma pakean ni anak ni raja baju bialal-bialul, saraor barokat-barokit, marponding nantigo bale, sangalit pade padunon, mangatop sahalindan bonang, ruga ruge satangan baju

42 Koris siondam-ondam, diondamkon tu tano, tano mabola, diondamkon tu ginjang, langit mabola, dipake muse ma tukkot maralu sere, manambai sahala dohot darajat ni na mamake muda diambehon tukkot i lumonduk tano oroman ni anak na mora.

(Cerita Baginda Napal Hatoguan).

43 Ia raja bolon I parsonduknia dua. Sada ma i Boru Na Mora sian Sosopan Gubo-Gubo na manyorangkon sada dakdanak halaklahi na dibaen goarna si Dikot. Dung dipabuatboru di aben goar harajaon Sutan Murik meden Tinamboran. Di bagasan bagas siomagodang ni raja i adong sada ina-ina naringgas boti na denggan parkarejona sisuru-suruon, mardahan, pasikoppon bagas, paias-iaskon pakean ni namora i. Boti pattun maradop raja dohot bohina tata dohot tama aloon mangecet. Ina-ina on adong boruna bujing-bujing na uli sai tong dohot-dohotan maringanan di bagas na godang i.

Cerita Vande Longas

44 Abiti pe leng hadang mai di abara i, jadi ulos hatiha modom, jadi gobak-gobak di pardalanan muda hatiha

seperti dikatakan oleh Sutan Hasundutan orang Pagaranjulu. Si Sangkot kemudian memakai pakaian anak raja yaitu baju balal-balul, kemudian celana yang ada

manik-maniknya yang bercorak, tiga

warna, yang satu bagus sedangkan yang kedua benang merambe-rambe setangan

baju.

42 Keris ditancapkan ke tanah, tanah dapat berbelah, ditancapkan ke langit, langit terbelah, dipakai pula tongkat berkepala emas untuk menambah derajat bagi yang memakainya. Kalau di pakaikan tongkat itu, tunduk semua penghuni tanah karena aromanya.

(Cerita Baginda Napal Hatoguan).

43Raja mempunyai dua istri, yang satu bernama boru na mora dari Sosopan Gubo-Gubo punya anak satu laki-laki diberi nama si Dikot. Ketika ia berkeluarga diberi gelar rajanya adalah Sutan Murik Meden Tinamboran. Di rumah Raja ada seorang pembantu untuk membersihkan rumah, memasak dan mencuci pakaian, orangnya rajin. Kalau menghadap raja orangnya santun dan baik serta enak diajak berbicara. Ibu (pembantu) itu mempunyai anak gadis, dan bertempat tinggal di rumah besar yaitu rumah Raja.

Cerita Vande Longas

44Kain pun tetap lengket di pundaknya, menjadi selimut ketika tidur, dililitkan ke badan sebagai pelindung ketika cuaca


(6)

239

ngali ari, bisa muse gabe singgulu maroban soban. Baju i pe mamulai makkasuak harani jotjotna dipake-pake. Anggo na hum hara ni na mai soban, nanggo pakeon nia be i.

dingin, bisa juga menjadi pengaman kepala ketika menjunjung kayu bakar.

Bajunya pun sudah mulai robek karena

sering sekali dipakai

Dalam korpus di atas kata-kata yang digaris bawahi adalah unit terjemahan TS (teks sumber). Teks Target yang terdapat dalam teks terjemahan mengandung padanan terjemahan dalam bahasa Indonesia. Kata-kata yang tergolong dalam produks peternakan dan variasi padanannya ditabulasi sebagai berikut

No Item Leksikal Variasi Padanan

1 Baju Pakaian, baju

2 Saraor Pakaian, celana, kain 3 Barokat Kain yang manik-manik,

Kain raja

4 Abit Kain, sarung

5 Keris Pisau, pedang