Strategi Penerjemahan Kualitas Terjemahan Media Online (Studi Kasus terhadap Terjemahan Dokumen Berita Politik dan Kekerasan dari Melayu.Palinfo.com

23 Kata tambahan dalam Tsa yang terlihat wujud luarnya leksikal itu merupakan konsekuensi struktur gramatikal dalam Tsu yang mengharuskan demikian. Dalam Tsu, tidak diharuskan adanya pemarkah predikat untuk predikat berupa nomina, karena sudah diwakili oleh struktur gramatikal yang menyimpan hal itu. Pada strategi hadzfmengharuskan seorang penerjemah untuk membuang kata dalam Bsa yang disebut dalam Bsu. Contoh: نم ي يف يأا ك سلا ي ل حا به Artinya: suatu hari, Ahmad pergi memancing. Pada contoh ini, sejumlah kata dalam Tsu yang semula berjumlah Sembilan kata, ketika diterjemahkan menyusut menjadi lima kata. Ada beberapa kata yang tidak diterjemahkan, karena kata-kata itu tidak diperlukan untuk kepentingan pengalihan Tsu ke Tsa. Bahkan, apabila kata-kata itu dimunculkan dan tidak dibuang, maka mungkin pesannya menjadi menyimpang. Sementara itu pada strategi tabdilmengharuskan seorang penerjemah untuk mengganti struktur kata dalam Bsu dengan memperhatikan makna dalam Bsa. Contoh: ي ا ن م ي Artinya: gratis atau tidak diperjualbelikan. Pada contoh tersebut, kata dalam Tsu yang berjumlah lima kata, cukup diterjemahkan dengan satu atau dua kata saja. Ini terkait dengan kelaziman penggunaan konsep dari struktur itu dalam Tsa. Kapan diterjemahkan menjadi ‘gratis’ dan kapan diterjemahkan menjadi ‘tidak diperjualbelikan’, sepenuhnya dikaitkan dengan konteks yang melingkupinya. Tiga strategi ini tak dimungkiri sangat berpengaruh dengan kualitas terjemahan. Karena tiga strategi ini menentukan keefektifan dalam struktur kalimat sehingga mudah dibaca. Dalam konteks ini tidak sewenang-wenang mengurangi, menambahkan, ataupun 24 mengganti. Akan tetapi selalu melihat struktur Tsu sehingga cocok atau tidak cocok menggunakan strategi ini. Untuk itu, sebuah kalimat yang sudah memiliki padanan yang sama antara Tsu dan Tsa seyogyanya tidak harus menggunakan strategi ini. Karena ini hanya seni dalam proses menghasilkan karya yang baik. Strategi Semantis Strategi semantis adalah strategi penerjemahan yang dilakukan dengan pertimbangan makna. Strategi ini ada yang dioprasikan pada tataran kata, frasa maupun klausa dan kalimat. Strategi ini antara lain terdiri dari pungutan, padanan budaya, padanan deskriptif, dan analisis komponensial, sinonim, penambahan, penghapusan, dan modulasi. 14 Strategi pungutan dilakukan dengan cara meminjam kata atau ungkapan dari bahasa sumber. Melalui teknik pemadanan paling sederhana ini penerjemah mengambil dan membawa item leksikal dari Bsu ke dalam bahasa target tanpa modifikasi formal. Dalam praktiknya, bias jadi peminjaman itu bersifat murni atau peminjaman alamiah. Pemakaian teknik peminjaman murni sejatinya mengindahkan tata aturan transliterasi. Sedangkan teknik peminjaman alamiah sudah barang tentu harus memperhatikan kaidah fonotaktik dan morfotaktik yang berlaku dalam bahasa Indonesia. Contoh peminjaman murni, kata غي تditerjemahkan menjadi ‘tabligh’, contoh peminjaman yang dinaturalisasi, kata م diterjamahkan menjadi ‘musala’. Strategi padanan budaya direalisasikan penerjemah dengan berupaya mencari padanan yang pas dalam menerjemahkan ungkapan-ungkapan kebudayaan Bsu. Padanan diupayakan sesuai dengan ungkapan-ungkapan kebudayaan yang berlaku dalam bahasa target. Contoh: 14 Abdul Munip, Tranmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia Studi Tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2010, hlm. 28. 25 ت ء م لا ل ق أ نئ لا Artinya: sebelum memanah isi dahulu tabung anak panah. Lebih berterima jika diterjamahkan menjadi sedia paying sebelum hujan. Terjemahan ini lebih dikenal dan mudah dipahami ketimbang terjemahan harfiahnya. Struktur lahir keduanya memang berbeda, tetapi struktur batin keduanya jelas sama. Strategi padanan deskriptif ialah strategi penerjemahan yang dilakukan dengan cara mengganti suatu ungkapan atau istilah tertentu dengan mendeskripsikan bentuk dan fungsinya. Pemadanan bentuk atau fungsi bahasa sumber yang tidak dikenal dalam bahasa target dapat dilakukan dengan menggunakan kata generik sebagai item leksikaldisertai dengan modifikasi. Dalam bahasa Arab misalnya, terdapat banyak kosakata yang bertalian dengan unta. Sering kali kata-kata tersebut tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, teknik deskriptif bias menjadsi pilihan dalam menangani penerjemahan kata- kata semacam itu. Sebagai contoh kata ا ح bias diterjamahkan ‘anak unta yang belum disapih ’, sedangkan ل نبا‘anak unta jantan berumur dua tahun’, sementara itu ل ت ب‘anak unta berumur dua tahun ’, dan sebagainya. Strategi komponensial penerjemah menyamakan konsep Bsu dalam bahasa target. Penerjemah berasumsi bahwa antara Bsu dan bahasa target terdapat kesamaan konseptual. Operasionalisasi strategi ini dilakukan dengan menyamakan konsep Bsu dan bahasa target melalui penerjemahan kata dengan kata atau frasa dengan frasa. Contoh: ء ج ق هنا مأ كب Artinya: sesungguhnya telah dating ketetapan Tuhanmu. Penerjemahan kata كب dengan arti ‘Tuhanmu’ menggunakan teknik komponensial pola ini. Hal ini dilandasi pada asumsi bahwa terdapat kesamaan konseptual antara kata Kt1 atau له Kt2 dalam bahasa 26 Arab dengan kata ‘Tuhan’ dalam bahasa Indonesia. Namun, tentu saja struktur makna kata ‘Tuhan’ ini tidak mempresentasikan struktur makna kata dan له . Dalam bahasa Arab, kata bermakna Tuhan dalam pengertian yang mengurus, memelihara, dan mengatur. Sedangkan kata له bermakna Tuhan dalam pengertian wajib dipuja, disembah, dan diibadati. Adapun makna Tuhan dalam bahasa Indonesia ialah yang diyakini, dipuja, disembah oleh manusia sebagai Yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa. Strategi sinonim dilakukan dengan cara memilih istilah yang lebih umum atau istilah netral, yakni dari subordinat ke superordinat. Contohnya kata dan له diterjemahkan menjadi “Tuhan”. Maka makna kata “Tuhan” ini lebih bersifat umum dan bisa memayungi makna kata dan له fitur semantik kata “Tuhan” terdapat pada kedua kata ini. Dalam strategi penerjemahan, penambahan berati kehadiran satu atau beberapa kata dari yang dimaksudkan untuk memperjelas pesan penulis Tsu. Dengan demikian,diharapkan teks terjemahan lebih berterima, mudah dipahami, dan tidak ambigu. Untuk maksud inilah strategi penambahan digunakan dalam penerjemahan. Penerapan teknik ini terdapat pada hasil terjemahan penggalan Surat al-Qashash ayat 32 yang berbunyi ‘dan dekapkanlah kedua tanganmu ke dada mu bila ketakutan’. Pada penggalan ayat ini terdapat frasa preposisi ‘kepadamu’ yang diterjemahkan menjadi ‘ke dadamu’. Dalam Tsu sebenarnya tidak ada kata ‘dada’ atau semacamnya. Penambahan kata dadadalam teks target dipandang perlu oleh penerjemah demi kejelasan makna. Penggunaan strategi penghapusan persis dengan strategi reduksi. Keduanya sama- sama meniscayakan adanya penghilangan unsur-unsur linguistik yang ada dalam Bsu. Bedanya, pada strategi reduksi penghilangan bersifat parsial, sedangkan pada strategi penghapusan, informasi yang dihilangkan bersifat menyeluruh. 27 Sedangkan strategi modulasi berarti perbedaan dua bahasa yang sering kali menyebabkan pemadanan literal sulit diterapkan dalam proses penerjemahan. Di sini, penerjemah harus membuat keputusan untuk memperoleh kesepadanan yang paling mendekati antara Bsu dan bahasa target. Kesepadanan, antara lain, dapat dihasilkan dengan melakukan peralihan formal-struktural, misalnya pada tataran morfem, kategori kata, sintaksis, bahkan pada tataran semantis. Peralihan semacam ini mungkin terjadi dan mampu diatasi dengan menggunakan strategi modulasi. Sebab, penerjemahan bukanlah proses yang statis, melainkan proses yang dinamis. Penggunaan teknik modulasi bisa dilihat dari hasil terjemahan penggalan Surat Maryam ayat 4 yang berbunyi ‘sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban’. Di sini terjadi perubahan sudut pandang dari pola aktif bahasa Arab menjadi pola pasif dalam bahasa Indonesia yang bermakna “telah ditumbuhi uban’. 15

F. Teori Penilaian Terjemahan

Kualitas terjemahan dapat diketahui dengan beberapa teknik evaluasi. Nida dan Teber menyatakan bahwa kualitas terjemahan dapat diukur dengan a menggunakan teknik rumpang, b meminta tanggapan pembaca terhadap nas terjemahan, c mengetahui reaksi para penyimak terhadap pembacaan nas terjemahn, dan d membaca terjemahan dengan nyaring, sehingga dapat diketahui apakah pembacaannya itu lancar atau tersendat-sendat. 16 15 M. Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab-Indonesia, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011, hlm. 65-84. 16 E.A Nida Taber, The Theory and Practice of Translation, Leiden: E.j Brill, 1969, h. 168-173. 28 Sementara itu Larson membicarakan kualitas terjemahan dari empat aspek, yaitu a alasan dilakukannya penelitian, b orang yang menilai, c cara melakukan penilaian, dan d pemanfaatan hasil penilaian. 17 Menurut Rochayah Machali, penilaian terjemahan dilakukan terhadapproduk terjemahan dan bukan proses. Dalam penilaian terjemahan, yang perlu dipahami adalah segi dan aspek penilaian: 1 ketepatan, 2 kewajaran ungkapan, 3 peristilahan, dan 4 ejaan. Kriteria penilaian ditetapkan terhadap masing-masing segi atau aspek penilaian baik secara positif maupun secara negatif. Cara penilaian terbagi menjadi dua, yaitu cara umum relatif dapat diterapkan pada segala jenis terjemahan dan cara khusus untuk jenis teks khusus seperti teks bidang hukum dan puisi. Penilaian terjemahan dilakukan terhadap ada tidaknya serta besarnya penyimpangan makna referensial yang terjadi. 18 Adapun penilaian yang dinilai dalam metode ini ialah. Keakuratan Pengalihan pesan Pada dasarnya untuk mencapai keakuratan pengalihan pesan dari Tsu-Tsaperlu memperhatikan pesan yang disampaikan penulis. Keakuratan pengalihan pesan menjadi prioritas utama sebagai konsekuensi dari konsep dasar penerjemahan bahwa suatu teks dapat disebut terjemahan jika teks tersebut mempunyai hubungan padanan equivalence relation dengan teks sumber. Karena suatau terjemahan ditujukan kepada pembaca sasaran, maka terjemahan yang dihasilkan tersebut tidak boleh bertentangan dengan kaidah, norma dan budaya berlaku dalam masyarakat pembaca bahasa sasaran. 17 Mildred L. Larson, Meaning-based Translation: A Guide to Cross-languange Equivalence, New York: Univ.Press, 1984, h. 485-503. 18 Rochayah Machali, Pedoman bagi Penerjemah: Panduan Lengkap bagi Anda yang Ingin Menjadi Penerjemah Profesional, Jakarta: Grasindo, 2000, h. 54. 29 Akan tetapi tidak sedikit yang berpendapat bahwa keakuratan pesan merupakan suatu konsep yang relatif. Dengan kata lain, pernyataan tentang terjemahan yang akurat sangat tergantung pada orang yanhg menilainya. Keraguan antara benar dan salah yang dikemukakan oleh Hoed 2003, misalnya dengan jelas menggambarkan betapa subjektifnya parameter akurat yang ddigunakan untuk menentukan tingkat kesetian teks bahasa sasaran pda teks bahasa sumber. Meski demikian proses untuk mendapatkan hasil terjemahan yang baik pada awalnya harus diterapkan sedini mungkin melalui proses mengakuratkan pengalihan pesan. Artinya sebelum hasil terjemahan dikonsumsi oleh penikmat bacaan sebaiknya para penerjemah berusaha semaksimalkan mungkin menghidangkan terjemahan yang sempurna. Hal ini merupakan keharusan yang masif bagi penerjemah agar karyanya dapat melambung di atas karya penerjemah lainnya. Sebab, pepatah mengatakan “Sedia Payung Sebelum Hujan.” Sementara itu, penilaian terhadap kualitas terjemahan terkait erat dengan fungsi terjemahan sebagai alat komunikasi antara penulis asli dengan pembaca sasaran. Fungsi terjemahan sebagai alat komunikasi ini pada umumnya dipahami sebagai upaya untuk mengalihkan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya dari suatu bahasa ke bahasa lainnya. Pada aspek ini yang dinilai hanya menyangkut tingkat keakuratan pengalihan pesan. Guna menguji keakuratan berarti mengecek apakah makna yang dipindahkan dari Bsu sama dengan yang di Bsa. tujuan penerjemah adaah mengkomunikasikan makna secara akurat. Tentunya penerjemah tidak boleh mengabaikan, menambah, atau mengurangi makna yang terkandung dalam Bsu, hanya karena terpengaruh oleh bentuk formal Bsa. untuk menyatakan makna secara akurat penerjemah bukan hanya boleh, melainkan harus melakukan penyimpangan atau perubahan bentuk atau struktur gramatikal.