Gaya Kepemimpinan Teori dan Gaya Kepemimpinan

23 3. Gaya Paternalistik Paternalistik paternalism adalah suatu paham yang mengagungkan hierarki keluarga. Sehingga, orangtua harus dihormati dan ditaati oleh anaknya dan orangtua memberikan tanggung jawab untuk membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Paternalisme sangat lekat dalam penggunaan bahasa, seperti bahasa Jawa, di mana harus disesuaikan dengan usia, dan pangkat seseorang. 23 4. Gaya Egaliter Egaliter berarti sederajat. Pemimpin egaliter tidak terlalu “jaim” dan pemimpin ini tidak takut bahwa popularitasnya akan turun. Karena pemimpin sepeti ini, selalu merakyat dan bisa berkomunikasi dengan rakyat secara apa adanya. Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan melalui tiga aliran teori berikut ini: 1. Teori Genetis Keturunan - Inti dari teori menyatakan bahwa “Leader are born and not made” pemimpin itu dilahirkan bakat bukannya dibuat. Para penganut aliran teori ini, bahwa seorang pemimpin akan menjadi pemimpin, karena ia telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang ditempatkan karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin. 24 Dalam ranah demokrasi, teori ini kurang mendapatkan apresiasi. Hal ini karena dengan mengandalkan keturunan, seseorang yang bukan dari 23 Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik, h. 207. 24 Herman Musakabe, Mencari Kepemimpinan Sejati: Di Tengah Krisis dan Reformasi, Jakarta: Citra Insan Pembaru, 2004, h. 2. 24 keturunan pemimpin atau tokoh politik misalnya, akan sangat sulit untuk mendapatkan posisi sebagai pemimpin. Namun kenyataannya, di Indonesia masih terdapat sebagian masyarakat yang mempercayai tentang genetika keturunan yang bisa diperoleh seseorang dari orang tuanya. Sehingga hal ini memunculkan apa yang disebut dengan politik dinasti, yaitu kepemimpinan dalam partai politik atau organisasi politik yang terus-menerus dipegang oleh satu garis keturunan keluarga saja. 2. Teori Sosial - Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa pemimpin itu dibuat atau dididik bukannya kodrati. Jadi teori ini merupakan kebalikan inti teori genetika. Para penganut teori ini berpendapat, bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan, pengalaman dan memiliki kesempatan yang cukup untuk membuktikan kemampuannya. 25 3. Teori Ekologis - Kedua teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya mengandung kebenaran. Maka, muncullah aliran teori ketiga. Teori ekologis ini, bahwa seseorang akan berhasil menjadi pemimpin yang baik, apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Teori ini menggabungkan segi positif dari kedua teori terdahulu sehingga dapat dikatakan merupakan teori yang paling mendekati kebenaran. Dari ketiga aliran teori tersebut, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Evolusi teori aliran kepemimpinan tentu saja sangat bergantung kepada individu yang bersangkutan. Menurut hemat penulis, 25 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, h. 19-23. 25 meskipun seseorang memiliki bakat dan ditunjang dengan lingkungan yang memadai, tanpa ada komitmen yang kuat yang berasal dari individu yang bersangkutan, maka sangat sulit mengharapkan lahirnya seorang pemimpin.

3. Tipologi Kepemimpinan

Dalam praktiknya, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang beberapa tipe kepemimpinan. Sarlito memberikan uraian yang cukup jelas mengenai tipologi kepemimpinan yang berkembang dari ketiga gaya kepemimpinan di atas. Tipologi tersebut di antaranya adalah sebagian berikut: 26 a. Tipe Otokratis. Seorang pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri sebagai berikut: menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi; Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi; menganggap bawahan sebagai alat semata-mata; tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat; terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya; dalam tindakan penggerakkannya sering mempergunakan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum. b. Tipe Militeristis. Seorang pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat berikut: dalam menggerakan bawahan sistem perintah yang lebih sering dipergunakan; dalam menggerakkan bawahan senang bergantung kepada pangkat dan jabatannya; senang pada formalitas yang berlebih-lebihan; menuntut 26 S. G. Hunneryager I. L. Heckman, Kepemimpinan, Semarang: Dahara Prize, 1992, h. 9-10. 26 disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan; sukar menerima kritikan dari bawahannya; menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan. c. Tipe Paternalistis. Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis ialah seorang yang memiliki ciri sebagai berikut: menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa; bersikap terlalu melindungi; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasinya; dan sering bersikap maha tahu. d. Tipe Kharismatik. Hingga sekarang ini para ahli belum berhasil menemukan sebab-sebab-sebab mengapa seseorang pemimpin memiliki karisma. Pada umumnya, pemimpin ini mempunyai daya tarik dan pengikut yang jumlahnya besar. Meskipun, para pengikutnya tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin itu. Hal ini disebabkan, kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab seseorang menjadi pemimpin yang kharismatik. Maka sering dikatakan bahwa pemimpin yang demikian, diberkahi dengan kekuatan ghaib supra natural powers. Salah satu tokoh sosiologi politik yang membicarakan tentang kepemimpinan kharismatik adalah Max Weber. Istilah kharisma akan diterapkan pada suatu mutu tertentu yang terdapat pada kepribadian 27 seseorang, yang karenanya dia terpisah dari orang biasa. Mutu seperti itu, menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengikut yang setia kepada pemimpin yang memiliki kharisma dan komitmen terhadap aturan- aturan yang ada atau moral yang dianutnya. 27 Menurut Max Weber kepemimpinan yang diadopsi dari pengembangan otoritas dalam masyarakat, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 28 1 Pemimpin dengan otoritas kharismatik memiliki kesadaran misi dan panggilan yang terwujud dalam ide dan memanggil orang untuk ikut serta dalam misinya. 2 Otoritas kharismatik dijalankan bersama pengikut setia. Mereka dipilih karena kualitas kharismatik pribadi. 3 Kharisma itu bersifat “ekstra-legal”, mengabaikan struktur dan aturan formal pemimpin kharismatik hanya mengenal inner determination dan inner restraint. 4 Relasi dalam komunitas bersfiat personal. Karena pemimpin muncul dalam situasi krisis, otoritas ini tidak stabil. Ia bisa berakhir dan mengalami trans formasi ke arah otoritas tradisionallegal. 5 Kharisma pada dasarnya bersifat anti ekonomi, walaupun komunitas kharismatik memerlukan uang. 27 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, Penterjemah Robert M. Z. Lawang, Jakarta: PT Gramedia, 1996, Jilid 1, h. 229. 28 Ayup Rano, “Kepemimpinan Kharismatik: Tinjauan Etis-Teologis atas Kepemimpinan Soekarno”, artikel diakses dari http:books.google.co.idbooks?id=- xkAxs7KPNwCpg=PA51lpg=PA51dq=kepemimpinan+max+webersource=blots=rNi9x HvKVzsig=Wyxul9lRKQpK0hEPf3LlHBZOnwUhl=idei=V3alTuWcGMLTrQfo- vmHAwsa=Xoi=book_resultct=resultresnum=3ved=0CCUQ6AEwAgv=onepageq=k epemimpinan20max20weberf=false, pada tanggal 22 Oktober 2011. 28 Sehingga Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak dapat dikatakan sebagai kriteria untuk menjadi pemimpin kharisma. Pemimpin kharisma didasarkan pada watak atau sifat pribadinya yang memberikan contoh atau yang bersifat pahlawan. 29 e. Tipe Demokratis. Pengetahuan tentang kepemimpinan, telah membuktikan bahwa tipe pemimpin yang demokratis yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini dikarenakan, tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik sebagai berikut: dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia; selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari pada bawahannya; senang menerima saran, pendapat, dan bahkan kritik dari bawahannya; selalu berusaha mengutamakan kerjasama dalam usaha mencapai tujuan; ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat kesalahan yang lain; selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya; dan berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin. 30 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemimpin tidak hanya dilahirkan, melainkan bisa juga diciptakan melalui berbagai pelatihan, 29 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, Penterjemah Robert M. Z. Lawang, Jakarta: PT Gramedia, 1996, Jilid 1, h. 230.