Kepemimpinan partai Golkar pasca orde baru (Studi Perbandingan Pola Kepemimpinan Akbar Tandjung [Periode 1999-2004] dan Muhammad Jusuf Kalla [Periode 2004-2009] dalam Partai Golkar)

(1)

(Studi Perbandingan Pola Kepemimpinan Akbar Tandjung [Periode 1999-2004] dan Muhammad Jusuf Kalla [Periode 2004-2009] dalam Partai Golkar)

Skripsi

Diajukan dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Strata Satu (S1)

Oleh:

Nurcholifah

NIM: 107033201647

PRODI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

[Periode 1999-2004]

dan Muhammad Jusuf Kalla [Periode

2004-20091

dalam Partai Golkar)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh: Nurcholifah NIM: 107033201647

Dosen Pembimbing:

A. Bakir Ihsan" M. Si NIP: 1972412 2t0312 | 002

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAI{ ILMU POLITIK

U]\IVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

skripsi berjudul 'SKEPEMTMPTNAN PARTAT GOLKAR PASCA ORDE BARU (STUDI PERBANDINGAN AIGAR TANJUNG [PERIODE 1999-2OO4I DAN MUHAMMAD JUSUF KALLA [PERIODE 2OO4.2OA9I DALAM PARTAT GOLKAR), telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah pada tanggal 24 November 2011. Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. sos) pada program Studi Ilmu politik.

J akarta, 24 Novemb er 2AI 1 Sidang Munaqosyah

Ketua Merangkap Anggota

Pembimbing

I

w_"_=

A. Bakir lhsan. M.Si NIP. I 972A4n 200312 1 002

Anggota

S ekretaris Merangkap Anggota

NIP. 19730927 200501 I 008 19651212 199203 I 004

Penguji I


(4)

l. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-I di tlIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

ul


(5)

iii

Nurcholifah, “KEPEMIMPINAN PARTAI GOLKAR PASCA ORDE BARU (Studi Perbandingan Pola Kepemimpinan Akbar Tandjung [Periode 1999-2004] dan Muhammad Jusuf Kalla [Periode 2004-2009] dalam Partai Golkar)

Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan pembahasan pada kepemimpinan mantan ketua Partai Golkar Akbar Tandjung yang menjadi ketua umum Partai Golkar periode 1999-2004 dan Muhammad Jusuf Kalla yang menjadi ketua umum Partai Golkar periode 2004-2009. Hal ini penulis lakukan agar pembahasan menjadi fokus dan tidak melebar ke periode yang lebih lama lagi karena keterbatasan penulis.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan hasil wawancara sebagai sumber primer. Adapun sumber sekunder penulis peroleh dari berbagai literatur, baik dari buku, majalah, maupun artikel yang ada di internet. Wawancara dilakukan dengan kedua tokoh tersebut, yaitu Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla dengan menggunakan interview guide (pedoman wawancara). Hal ini penulis lakukan agar wawancara tidak melebar ke hal-hal di luar pembahasan dan menjadi fokus pada inti permasalahan yang ingin dianalisa dalam skripsi ini.

Berdasarkan hasil penelitian dan analisa yang telah penulis lakukan, dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan Akbar Tandjung lebih bersifat paternalistik. Hal ini terlihat dari bagaimana Akbar Tandjung mengambil keputusan mengenai kebijakan Partai Golkar yang mengutamakan keselarasan antar sesama pengurus dengan banyak melibatkan para senior untuk mendapatkan pengarahan. Sedangkan gaya kepemimpinan Jusuf Kalla bersifat demokratis. Menilik latar belakang Jusuf Kalla sebagai pengusaha, tidak mengherankan jika kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Jusuf Kalla bersifat efisien, lugas, dan terus terang


(6)

v

yang telah memberikan kasih sayang dan karunia tiada terhingga kepada penulis. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi iniyang berjudul

“Kepemimpinan Partai Golkar Pasca Orde Baru: Studi Perbandingan Pola

Kepemimpinan Akbar Tandjung [Periode 1999-2004] dan Muhammad Jusuf Kalla [Periode 2004-2009] dalam Partai Golkar”.

Pada kesempatan ini penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga proses penyusunan skripsi ini selesai. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak di antaranya: 1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Ali Munhanif Ph.D. selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si. selaku Sekretaris Program Studi Ilmu

Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu memberikan kontribusi dalam segala hal. 4. Bapak A. Bakir Ihsan, M. Si. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu di antara kesibukannya dan selalu memberikan pengarahan serta masukan yang berarti dalam penulisan karya ini.

5. Bapak Idris Thaha, M. Si. dan Bapak Ali Munhanif Ph.D. selaku Dewan Pertimbangan Skripsi (DPS) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vi surat menyuratnya.

7. Bapak Dr. Ir Akbar Tandjung dan Muhammad Jusuf Kalla selaku mantan Ketua Umum Partai Golkar yang sudah meluangkan waktunya untuk wawancara dan pemberian buku terkait Partai Golkar, semoga bermanfaat bagi penulis.

8. Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Akbar Institute, Kalla Grup, Freedom Institute dan The Indonesia Institute, terima kasih telah meminjamkan dan memberikan buku semoga menambah wawasan dan bermanfaat serta berguna dalam penyelesaian Skripsi ini.

9. Ayahanda dan ibunda tercinta, yang selalu memberikan kasih sayang baik lahir maupun bathin, dukungan, doa yang tak henti-hentinya kalian curahkan, sehingga penulis dalam menjalani perkuliahan mampu menyelesaikan skripsi ini.

10.Kakakku tersayang, Nurjoko SH dan Marwan Kusuma Wijaya terima kasih sudah memberikan semangat untuk adeknya dalam menyelesaikan penulisan karya ini.

11.Imam Baihaqi (Ibeq) terima kasih yang selalu setia dan tidak pernah letih memberikan semangat dan dukungan serta perhatian yang luar biasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kehadiranmu bagaikan buku yang tak pernah selesai penulis baca. Thanks for everything.

12.Teman-teman Kost ku “Gayo Building dan Maus Village” yaitu Neneng terima kasih atas kebersamaannya, yang selalu bersama-sama dalam suka maupun duka, Ida, Teh Dahlia, Teh Ina, Fia, Nani dan Teh Ika, Hana,


(8)

vii

13.Teman-temann UIN Yogyakarta terima kasih atas kesetiaan dalam berjuang, diskusi, dukungan kepada penulis selama berlangsungnya penulisan karya ini yaitu Mas Anaiza Utama Al-Ishaqi, Mas Rozali, Mas Irfan, Mas Djul, Mas Ully dan teman-teman lainnya yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu namanya.

14.Kawan-kawan 2005, 2006 dan 2007 yaitu Siti, Abas, Siha, Lupih, Deni, Irvan in the gank, Ipul, Iwan, Muklas, Ones, Fikri, Beni, Ipank, Nadya, Putri kalian semua adalah teman-teman yang memberi nuansa hidup selama di kelas. Ka Rifat, Ka Rahmat, Ka Dedy, Ka Rina, Ka Hadi, Ka Rio, Ka Amin yang selalu memberikan input dan output selama kuliah. Eko Indrayadi, Lina Sumaya, Mutia, Jula dan yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu dukungan, serta canda dan tawanya kepada penulis selama ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan yang perlu disempurnakan. Untuk itu kritik serta saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis serta pembaca.

Jakarta, 8 Desember 2011


(9)

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR ISTILAH ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Masalah ... 7

D. Metodologi Penelitian ... 8

E. Sistematika Penelitian ... 9

BAB II TEORI KEPEMIMPINAN A. Pengertian Kepemimpinan ... 13

B. Teori dan Gaya Kepemimpinan ... 17

BAB III SEJARAH PARTAI GOLKAR DAN PROFIL AKBAR

TANDJUNG DAN JUSUF KALLA DALAM PARTAI


(10)

ix

A. Sejarah Partai Golkar ... 30

1. Partai Golkar sebelum Reformasi ... 30

2. Partai Golkar setelah Reformasi ... 33

B. Profil Akbar Tandjung ... 36

1. Masa Kecil dan Remaja Akbar Tandjung ... 36

2. Latar Belakang Pendidikan dan Pengalaman Organisasi Akbar Tandjung ... 37

3. Karir Politik Akbar Tandjung di Partai Golkar ... 38

C. Profil Jusuf Kalla ... 39

1. Masa Kecil dan Remaja Jusuf Kalla ... 39

2. Latar Belakang Pendidikan dan Pengalaman Organisasi Jusuf Kalla ... 40

3. Karir Politik Jusuf Kalla di Partai Golkar ... 42

BAB IV ANALISIS KOMPARATIF KEPEMIMPINAN AKBAR TANDJUNG DAN JUSUF KALLA DALAM PARTAI GOLKAR A. Kepemimpinan Politik Akbar Tandjung ... 44

1. Gaya Kepemimpinan Demokratis dan Paternalistik ... 44

2. Akbar Tandjung sang Penyelamat Partai Golkar ... 48

3. Kiat-Kiat Akbar Tandjung dalam Memimpin Partai Golkar .... 50

B. Kepemimpinan Politik Jusuf Kalla ... 53


(11)

x

2. Jusuf Kalla Sosok Progresif ... 59 3. Kiat-kiat Jusuf Kalla dalam Memimpin Partai Golkar ... 61 C. Pengaruh Kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla ... 62

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 64 B. Saran dan Kritik ... 66


(12)

xi

Birokrasi Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang kepada hirarki dan jenjang jabatan.

Demokratis Bersifat demokratis: gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.

Eksekutif Kekuasaan yang menjalankan Undang-undang.

Interpretasi Pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu. Kharismatik Keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan kemampuan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya.

Konstelasi keadaan, tatanan.

Konstitusi Segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan (Undang-undang Dasar, dan sebagainya).

Konvensi Konferensi tokoh masyarakat atau partai politik dengan tujuan khusus (memilih calon untuk pemilihan anggota DPR, dan sebagainya).

Legislatif Kekuasaan yang membuat Undang-undang.

Moderat Berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.

Orde Baru Sistem (pemerintahan dan sebagainya) yang dimulai sejak diangkatnya Soeharto menjadi Presiden RI pada tahun 1965 sampai dengan lengsernya Soeharto pada tahun 1998.


(13)

xii

(orang dan sebagainya) di perkumpulan dan sebagainya untuk tujuan tertentu.

Orientasi Peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar

Otoritas Kekuasaan yang sah yang diberikan kepada lembaga di masyarakat yang memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya.

Reformasi Perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) di suatu masyarakat atau negara.

Responsif Bersifat merespon, menanggapi.


(14)

1

A. Latar Belakang Masalah

Dalam beberapa kali pentas pemilihan umum secara demokratis sejak 1999, Partai Golkar menjadi salah satu partai yang sangat diperhitungkan. Hal ini, khususnya bisa dilihat dari fakta bahwa Partai Golkar selalu masuk tiga besar pada setiap proses pemilihan umum. Prestasi tersebut dicapai melalui perjuangan dan strategi-strategi para elit partai untuk tetap menjadikan sebagai partai besar sekaligus partai yang dominan.

Banyak pengamat memandang bahwa, kesuksesan Partai Golkar dalam mempertahankan posisinya sebagai partai yang dominan, tidak hanya ditopang oleh kecanggihan strategi-taktik, tapi juga ditopang oleh kepemimpinan partai yang efektif, efisien dan kuat. Setidaknya jika dilihat dari segi lainnya, partai ini dalam menguasai pemerintahan. Banyaknya elit Partai Golkar yang menempati posisi penting yang berada di pemerintahan, menjadi bukti nyata pernyataan tersebut. Kekuatan organisasi Golkar dan kecanggihan elit partai penguasa dibuktikan dengan fakta bahwa Partai Golkar telah dan pernah menjadi the rulling party.

Skripsi ini bermaksud menjelaskan tentang taktik dan strategi Partai Golkar dalam upaya mempertahankan dirinya dalam pemilu pasca 1998. Yang menjadi fokus kajian strategi politik di sini adalah pola kepemimpinan


(15)

partai. Dengan memfokuskan diri pada profil kepemimpinan partai pada periode Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla.

Pasca lengsernya Orde Baru yang di bawah rezim Soeharto pada tahun 1998, Golkar menghadapi tekanan-tekanan politik yang sangat keras dari berbagai kelompok masyarakat. Bahkan, ketika roda reformasi bergulir, isu dan tekanan terhadap pembubaran Partai Golkar begitu kuat karena kaum reformis memasukkan Partai Golkar dalam satu pilar dengan Soeharto dan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).1

Banyak elemen masyarakat dan mahasiswa yang menuntut Partai Golkar dibubarkan. Partai Golkar dianggap bertanggung jawab terhadap carut-marutnya kondisi bangsa Indonesia, terutama kondisi ekonomi. Selain itu, Partai Golkar juga menjadi mesin politik Orde Baru, sehingga hampir di semua sektor pemerintahan dikuasai oleh para petinggi Golkar. Tuntutan agar Partai Golkar dibubarkan ditandai dengan maraknya aksi dan pembakaran gedung-gedung Golkar, menjadikan Partai Golkar berada di ujung tanduk.

Di tengah situasi banyaknya elemen masyarakat dan mahasiswa yang menuntut Partai Golkar dibubarkan, Partai Golkar dituntut bekerja ekstra keras dari kader-kadernya,2 terlebih lagi para tokoh sentralnya, agar Golkar tetap bertahan dan jangan sampai dibubarkan, serta tetap menjadi partai besar serta memiliki kader yang solid.3 Di titik yang paling kritis antara dibubarkan atau tidak, muncullah tokoh Golkar, yaitu Akbar Tandjung dengan membawa

1

Sukardi Rinakit, Tuhan Tidak Tidur: Esai Kearifan Pemimpin, (Jakarta: PT Kompas

Media Nusantara, 2008), h. 65-66.

2

Denny J.A, Jalan Panjang Reformasi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 226.

3

Aulia A. Rahman, Citra Khalayak Tentang Golkar, (Jakarta: Pusat Studi Agama dan


(16)

jargon “Golkar Baru”. Sehingga Partai Golkar bisa diselamatkan oleh Akbar

Tandjung.4

Di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung dengan idiom “Golkar

Baru“ akhirnya Partai Golkar bisa dibawa keluar dari kemelut. Sebagai

langkah politik awal, Akbar Tandjung menjadikan Partai Golkar lebih demokratis dan terbuka dengan dibuktikan pada penjaringan capres-wapres di internal Partai Golkar pada pemilu 2004. Partai Golkar membuat konvensi internal partai. Akbar Tandjung mampu mencitrakan Partai Golkar sebagai partai baru yang tidak mempunyai relasi politik dengan Orde Baru.

Selain tetap bertahan di panggung politik Indonesia, Partai Golkar juga bisa diterima oleh masyarakat. Hal ini, membuka kran demokratisasi di internal Partai Golkar. Akbar Tandjung selaku ketua umum, berupaya keras untuk menanamkan motivasi kepada para pengurus dan kader-kader partai agar tidak patah semangat dalam menghadapi berbagai tekanan politik.5 Bahkan Akbar Tandjung sering berkunjung ke daerah-daerah dalam rangka konsolidasi Partai Golkar.

Banyak pengamat politik yang memprediksi di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung, Partai Golkar tidak akan mampu bertahan hidup (survive).6 Hal ini berkaitan dengan anggapan masyarakat, bahwa Partai Golkar merupakan kekuatan politik pendukung utama rezim Orde Baru. Meskipun kalah pada pemilu 1999, dengan kepiawaian Akbar Tandjung, Partai Golkar

4

Sukardi Rinakit, Tuhan Tidak Tidur, h. 66.

5

Sukardi Rinakit, Tuhan Tidak Tidur, h. 121.

6

Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik


(17)

mampu dengan cepat berintrospeksi dan berkonsolidasi yang akhirnya memenangkan kembali pemilihan umum 2004.

Pasca kepemimpinan Akbar Tandjung di Partai Golkar selama satu periode 1999-2004, nahkoda Partai Golkar digantikan oleh Jusuf Kalla pada Munas VII melalui kongres Golkar di Bali 28-30 Nopember 2004.7 Gaya kepemimpinan Jusuf Kalla tentu sangat berbeda dengan gaya kepemimpinan Akbar Tandjung. Akbar adalah seorang politisi tulen, sedangkan Jusuf Kalla adalah pengusaha. Keluarganya adalah pengusaha yang tumbuh dari bawah dan hidup dengan penuh kesulitan. Darah dan adat Bugis sangat kuat melekat dalam diri Jusuf Kalla. Dalam pergaulan dikenal hangat, berbicara terbuka dan tidak jarang sebagaimana kebiasaan orang Sulawesi Selatan, eksplosif.

Dalam kepemimpinan, Jusuf Kalla lebih mengutamakan hal-hal yang sifatnya teknis, karena latar belakang yang dimilikinya adalah pengusaha. Namun, sebagai salah satu syarat untuk menjadi pemimpin, kemampuan yang lebih dibutuhkan adalah kemampuan untuk mensinergikan kekekuatan-kekuatan di bawah kepemimpinannya itu supaya dapat melangkah seirama dan sejalan. Setiap kali beliau ditanya mengenai sesuatu, beliau dengan jelas menjawab dan mengatakan tentang penyelesaiannya yang begitu gamblang, sampai masuk ke dalam level teknis.

Gaya kepemimpinan Jusuf Kalla yang cenderung pragmatis bukan berarti tanpa resiko. Bahkan pendahulunya Akbar Tandjung sempat mengkritik gaya kepemimpinan Jusuf Kalla di Partai Golkar yang

7 Slamet Hariyanto, “ Pemerintah Dicurigai Intervensi Kongres Parpol,” artikel diakses


(18)

disampaikan, ketika menjawab ujian doktoral di Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada.8 Kritik Akbar Tandjung terhadap gaya kepemimpinan Jusuf Kalla adalah sebagai berikut:

“Kepemimpinan Jusuf Kalla yang hanya berorientasi pada kekuasaan jangka pendek tanpa memperhatikan tiga hal penting dalam memimpin partai yaitu memperkuat kelembagaan partai, intensitas konsolidasi partai dan rekrutmen untuk mencari kader-kader terbaik.

“Itulah bedanya kepemimpinan partai di bawah saudagar dengan kepemimpinan partai oleh politisi pejuang. Saya ini politisi pejuang yang tentunya mempunyai cita-cita untuk membesarkan partai,” kata Akbar Tandjung sambil menambahkan saudagar yang memimpin partai juga cenderung berpikir singkat menganggap implikasi dari

langkah yang diambil belakangan”.9

Seorang pemimpin mempunyai gaya kepemimpinannya masing-masing. Begitu pula dengan gaya Akbar Tanjung dan Jusuf Kalla, gaya kepemimpinan melekat pada diri seseorang yang dibentuk dari proses panjang berdasarkan lingkungan tempat ia lahir dan dibesarkan, latar belakang keluarga, pendidikan, lingkungan teman, lingkungan kerja, nilai-nilai yang diemban, serta pengaruh-pengaruh lainnya.10

Pemimpin merupakan salah satu bagian terpenting dalam sebuah organisasi. Pemimpin atau kepemimpinan merupakan kekuatan penggerak organisasi.11 Arah dan tujuan organisasi, amat sangat dipengaruhi oleh gaya

8

Dalam sidang terbuka yang dihadiri tiga Menteri Kabinet, yaitu Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Menteri Perekonomian Boediono, Menteri Hukum dan Ham Andi Matalatta. Selain dihadiri oleh Menteri, juga dihadiri oleh Ketua Umum yakni Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin, Ketua Umum Partai Hanura Wiranto, Ketua BPK Anwar Nasution, dan Sekjen PDIP Pramono Anung.

9“Kecam Kepemimpinan Jusuf Kalla,”

Sinar harapan 1 September 2007, h. 2.

10 Mar’ie Muhammad, “

Gaya Kepemimpinan SBY-JK” Majalah Bisnis Indonesia, 11

Oktober 2004, h. 17.

11

Sartono Kartodirdjo, Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1984), h.


(19)

kepemimpinan. Pemimpin memegang kendali yang cukup signifikan dalam setiap kebijakan yang hendak dikeluarkan tentang suatu permasalahan.

Dari latar belakang di atas, penulis mempunyai ketertarikan untuk melakukan penelitian dan pengkajian terhadap gaya kepemimpinan dua tokoh tersebut dalam membawa Partai Golkar, yaitu Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. Karena pada saat itu, di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla Partai Golkar merupakan partai yang sangat berpengaruh dalam dinamika politik nasional.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, agar skripsi ini lebih terarah, maka penulis dalam pembahasannya akan membatasi pada seputar kepemimpinan Partai Golkar pasca Orde Baru dalam kepemimpinan Akbar Tandjung (1999-2004) dan Jusuf Kalla (2004-2009).

Adapun pertanyaan yang dapat dirumuskan dan menjadi fokus permasalahan pada skripsi ini adalah:

1. Apa perbedaan dan persamaan pola kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla dalam memimpin Partai Golkar pasca Orde Baru? 2. Bagaimana pengaruh pola kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf


(20)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sebagaimana layaknya penulisan karya tulis, tentu saja skripsi ini juga memiliki tujuan-tujuan yang nyata dalam upaya dan proses penulisannya. Adapun yang dituju dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui lebih dalam tentang kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla dalam Partai Golkar pasca Orde Baru. 2. Untuk mengetahui pola kepemimpinan partai yang cocok dalam

konteks kepartaian dalam masa demokratisasi di Indonesia.

3. Untuk memenuhi persyaratan akademik bagi penulis dalam menyelesaikan studi tingkat Sarjana Program Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Ilmu Politik dengan gelar Sarjana Sosial (S. Sos).

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang politik, khususnya mengenai partai politik dalam hal ini kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla dalam Partai Golkar pasca Orde Baru.

2. Sebagai tambahan wacana politik untuk turut serta membangun perpolitikan nasional sebagai warga negara yang memiliki kesadaran politik.

3. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dan diterapkan untuk menjawab permasalahan serupa yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.


(21)

D. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif,12 yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu penulis menggambarkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, serta mengkaji dan menelaah lebih jauh tentang pola kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla dalam Partai Golkar pasca Orde Baru.

2. Teknik pengumpulan data

Adapun teknik pengumpulan data penelitian ini adalah pertama, dokumentasi yang meliputi bahan kajian dalam bentuk karya tulis baik dalam bentuk buku, artikel, jurnal, makalah seminar, buku, dokumen-dokumen Partai Golkar maupun data yang berasal dari media masa.

Kedua, wawancara yaitu proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung,13 di mana dua atau lebih bertatap muka, menggali secara langsung informasi atau keterangan dari beberapa narasumber yang memahami pola-pola kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla dalam Partai Golkar pasca Orde Baru.

3. Teknik analisis data

Sedangkan tekhnik analisis merupakan salah satu tekhnik dalam penelitian dengan melakukan analisa-analisa dari data-data yang didapat. Analisa ini bertujuan untuk menjelaskan sedetail mungkin dengan hal-hal

12

Syamsir Salam dan Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: UIN Jakarta

Press, 2006), h. 30.

13

Iin Tri Rahayu dan Tristiadi Ardi Ardani, Observasi & Wawancara, (Malang:


(22)

yang berkaitan tentang pola kepemimpinan Partai Golkar pasca Orde Baru.14 Maka analisis yang akan digunakan adalah deskriptif analisis, yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, menggali data dan informasi mengorganisasikan data, memilah-milah menjadi satuan yang dapat dikelola,15 dengan tujuan mencari gambaran yang sistematis, faktual, aktual mengenai fakta-fakta dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pola kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla dalam Partai Golkar pasca Orde Baru.

4. Teknik penulisan

Adapun pedoman penulisan skripsi ini merujuk pada buku

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Center For Quality Development and Anssurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

E. Sistematika Penulisan

Dalam rangka untuk mempermudah penulisan laporan penelitian ini, penulis membagi pembahasan ke dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri dari sub-bab sebagaimana berikut:

Bab I adalah Pendahuluan. Dalam bab ini dibahas tentang latar belakang masalah, mengapa penulis memutuskan untuk membahas tentang gaya kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. Agar pembahasan tidak meluas, penulis perlu melakukan batasan masalah terhadap tema

14

Lisa Horrison, Metodologi Penelitian Penelitian, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 86.

15

Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta:


(23)

penelitian yang dilanjutkan dengan perumusan masalah. Lalu diikuti oleh tujuan dan manfaat kegunaan. Kemudian dibahas tentang metodologi yang digunakan dalam penulisan hasil penelitian ini. Sedangkan yang terakhir adalah sistematika penulisan.

Bab II membahas tentang Teori Kepemimpinan. Pada bab ini penulis menguraikan tentang pengertian kepemimpinan, teori-teori yang terkait dengan kepemimpinan, serta gaya-gaya yang ada dalam teori kepemimpinan.

Bab III adalah Sejarah Partai Gokar dan Profil Akbar Tandjung dan Yusuf Kalla. Dalam bab ini diuraikan tentang sejarah Partai Golkar, Partai Golkar sebelum reformasi, Partai Golkar setelah reformasi. Dilanjutkan dengan pembahasan mengenai profil Akbar Tandjung, yang didalamnya dibahas tentang masa kecil dan remaja, latar belakang pendidikan dan pengalaman organisasi, serta karir politik di Partai Golkar. Pembahasan berikutnya berkenaan dengan profil Jusuf Kalla, yang membahas tentang masa kecil dan remaja, latar belakang pendidikan dan pengalaman organisasi, serta karir politik di Partai Golkar.

Bab IV merupakan analisis hasil penelitian. Dalam bab ini penulis membahas tentang kepemimpinan politik Akbar Tandjung, yang di dalamnya diuraikan tentang gaya kepemimpinan demokratis dan paternalistik, Akbar Tandjung sang penyelemat Partai Golkar, dan kiat-kiat Akbar Tandjung dalam memimpin Partai Golkar. Dilanjutkan dengan pembahasnya mengenai kepemimpinan politik Jusuf Kalla. Dalam sub bab ini, akan dianalisis tentang gaya kepemimpinan yang demokratis dan egaliter, Jusuf Kalla sosok progresif, kiat-kiat Jusuf Kalla dalam memimpin Partai Golkar. Berikutnya adalah Pengaruh kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla.


(24)

Bab V merupakan Penutup. Dalam bab ini akan dibuat kesimpulan dari hasil pembahasan dan analisis temuan penelitian disertai dengan saran dan kritik dari penulis.


(25)

12

LANDASAN TEORI

Kepemimpinan memiliki peran penting dalam membawa eksistensi sebuah organisasi, sehingga boleh dikatakan bahwa 50% kesuksesan organisasi ditentukan oleh pemimpin. Oleh sebab itu, studi terhadap kepemimpinan menjadi fokus tersendiri pula. Pemimpin pada awalnya lahir secara alami, yaitu melalui seleksi alam (the survival of the fittest). Siapa yang lolos dan mampu bertahan dalam seleksi tersebut, maka ia akan bertahan hidup dan menjadi pilihan-pilihan untuk menjadi pemimpin. Namun, pada saat ini pemimpin sudah banyak dilahirkan melalui latihan. Terlepas dari itu semua, konsep-konsep maupun paradigma kepemimpinan terus berkembang dan berubah sesuai dengan tuntutan zaman.1

Seorang pemimpin haruslah memiliki visi dan misi yang jelas sebagai sebuah pijakan dalam melangkah. Untuk itu, gagasan dan visi seorang pemimpin menentukan arah bagi perjalanan organisasi yang dipimpinnya. Dengan visi, maka tujuan, orientasi dan pengembangan organisasi dapat ditetapkan. Sehingga menjadi terpola dan sistematis.

Herman Musakabe memberikan beberapa substansi pokok yang perlu ada dalam sebuah visi sebagai berikut: pertama, visi adalah arah ke mana organisasi dan orang-orang yang dipimpin akan dibawa oleh seorang pemimpin. Kedua, visi

1


(26)

adalah pandangan ke masa depan yang mampu memberi inspirasi kepada para pemimpin dan memberi motivasi kepada orang-orang yang dipimpin untuk mencapai tujuan organisasi atau tujuan yang ditentukan oleh pemimpin. Ketiga,

visi harus realistis, yakni mampu menjembatani masa kini dengan masa depan lebih baik yang dapat dicapai sesuai dengan kondisi sosial (ekonomi, politik, dan budaya) masyarakat yang berlaku. Keempat, visi mengandung harapan-harapan bagi orang-orang yang dipimpin. Visi adalah impian seorang pemimpin yang harus diubah menjadi kenyataan.2

Kepemimpinan masa depan harus mampu melakukan otokritik dan merespon berbagai persoalan masyarakat. Untuk itu, kekritisan seorang pemimpin haruslah menjadi bagian penting dalam menjalankan roda kepemimpinan. Kepemimpinan kritis akan melihat segala sesuatu itu secara obyektif terhadap organisasinya sendiri maupun terhadap persoalan sosial kemasyarakatan. Selain itu, kepemimpinan kritis menempatkan keadilan dalam membuat kebijakan.

Dibawah ini, penulis hendak mengelaborasi sedikit tentang beberapa teori kepemimpinan sebagai alat analisa dalam pembahasan penelitian untuk tugas akhir.

A. Pengertian kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan tema yang selalu menarik. Ia selalu memiliki corak dan warna tersendiri sesuai dengan tuntutan kebutuhan situasi dan kondisi masanya. Kepemimpinan merupakan fenomena kemasyarakatan

2

Herman Musakabe, Mencari Kepemimpinan Sejati di Tengah Krisis dan Reformasi,


(27)

dan kebangsaan, yang berpengaruh terhadap perkembangan proses kenegaraan. Hal ini dikarenakan, kepemimpinan menjadi salah satu fungsi yang dapat mendorong terwujudnya cita-cita, tujuan, dan aspirasi nasional.3

Terminologi kepemimpinan muncul sebagai konsekuensi logis dari perilaku dan budaya manusia yang terlahir sebagai individu yang memiliki ketergantungan sosial, begitu tinggi dalam memenuhi berbagai kebutuhannya. Kepemimpinan merupakan gejala sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat. Model Kepemimpinan selalu melahirkan berbagai varian. Terbukti kepemimpinan bangsa ini selalu berbeda antara satu dengan masa yang lain.4

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepemimpinan diartikan sebagai perihal pemimpin; cara memimpin. Sedangkan memimpin itu sendiri memiliki makna: 1. Mengetuai atau mengepalai (rapat, perkumpulan, dan sebagainya); 2. Memenangkan paling banyak; 3. Memegang tangan seseorang sambil berjalan (untuk menuntun, menunjukkan jalan, dan sebagainya; 4. Memandu; membimbing; 5. Melatih (mendidik, mengajari, dan sebagainya) supaya dapat mengerjakan sendiri.5

Kepemimpinan yang berkualitas merupakan kunci utama keberhasilan. Kualitas kepemimpinan yang diharapkan tidak hanya meliputi kualitas fisik, intelektual semata, melainkan juga kualitas ekonomi. Berbagai pengalaman hidup dan perubahan memungkinkan wacana kepemimpinan selalu hadir dalam

3

Muladi dan Adi Sujatno, Traktat Etis Kepemimpinan Nasional, (Jakarta: RM Books,

2008), h. ix.

4

Muladi dan Sujatno, Traktat Etis Kepemimpinan Nasional, h. x.

5

Pusat Bahasa, Kamus Besar, Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Cet.


(28)

bentuknya yang sangat beragam. Mulai dari model kepemimpinan kharismatik, tradisional, paternalistik, hingga model kepemimpinan birokrasi.

Pengertian tentang kepemimpinan banyak dikemukakan oleh para ahli, namun pada umumnya hanya terbagi menjadi dua bagian, yaitu yang memandang kepemimpinan sebagai “ilmu” dan kepemimpinan sebagai “seni”.

1. Kepemimpinan sebagai Ilmu

Kepemimpinan sebagai ilmu, yang menitikberatkan kepemimpinan pada proses belajar dan latihan. Kepemimpinan ini akan berlangsung efektif, bilamana berada di tangan orang-orang berpengalaman atau terlatih dalam memimpin. Dengan belajar dari pengalaman, seseorang akan menjadi terampil dalam melaksanakan kepemimpinan.6

)

Kepemimpinan adalah suatu ilmu terencana yang dinamis melalui suatu periode waktu dalam situasi yang di dalamnya pemimpin menggunakan perilaku atau gaya kepemimpinan yang khusus dan sarana sertaprasaranakepemimpinanuntukmemimpindengan menggerakkan atau mempengaruhi bawahan, guna melaksanakan tugas pekerjaan ke arah (dalamupaya pencapaian) tujuan yang menguntungkan bagi pemimpindan bawahan,sertalingkungansosialdimanamerekaada atau hidup.7

2. Kepemimpinan sebagai Seni)

Kepemimpinan sebagai seni sangat tergantung dan dipengaruhi oleh faktor bakat. Tidak semua orang mempunyai bakat kepemimpinan yang

6

Herman Musakabe, Mencari Kepemimpinan Sejati: Di Tengah Krisis dan Reformasi,

(Jakarta: Citra Insan Pembaru, 2004), h. 8.

7

J.RobertClinton, TheMakingof ALeaderdandimodifikasiolehY.Tomatala, dalam


(29)

sama, setiap orang mempunyai bakat kepemimpinan yang berbeda secara kuantitas dan kualitas.8 Orang yang melaksanakan kepemimpinan secara efektif, berarti orang tersebut memiliki bakat kepemimpinan yang kualitasnya baik.

Kepemimpinan ialah seni mempengaruhi dan menggerakkan orang untuk bekerja secara terkoordinasi, sehingga setiap orang tergerak mengerjakan pekerjaannya serta menyelesaikan tugasnya dengan baik berdasarkan program yang telah dicanangkan dalam kinerja keorganisasian secaramenyeluruh.

Kepemimpinan ialah seni merangkum dan menyampaikan perintah, yang olehnya orang yang dipimpin tergerak dan bergerak melaksanakan tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya. Kepemimpinan ialah seni membuat peta keinginan tentang masa depan organisasi, dan kemampuan menerjemahkanpeta tersebut menjadisuatukerangkakeinginanyangnyata, sertakekuatanatau kuasamenggunakansegalasumberuntuk melaksanakan petatersebutmenjadiprodukyangberdaya-guna.

Kepemimpinan ialah seni mendaya-gunakan sumber-sumber daya: manusia, alam, teknologi, infrastruktur, dan sebagainya dalam upaya mempertahankan optimalisasi kerja yang tinggi sehingga menciptakan hasil yang bernilai lebih yang semakin besar yang membawa sukses kerja dalam organisasi.9

8

H. Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 1993), h. 40.

9


(30)

Dari berbagai definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah cara atau jalan untuk mengarahkan individu atau kelompok ke arah yang lebih baik, sesuai dengan kesepakatan dan tujuan yang diinginkan.

B.Teori dan Gaya Kepemimpinan 1. Teori Kepemimpinan

Salah satu prestasi yang cukup menonjol dari sosiologi kepemimpinan modern adalah perkembangan dari teori peran (role theory). Dikemukakan, setiap anggota masyarakat menempati status posisi tertentu. Demikian juga dengan individu, diharapkan memainkan peran tertentu. Dengan demikian, kepemimpinan dapat dipandang sebagai suatu aspek dalam diferensiasi peran. Ini berarti, bahwa kepemimpinan dapat dikonsepsikan sebagai suatu interaksi antara individu dengan anggota kelompoknya.

Menurut kaidah, para pemimpin atau manajer adalah manusia super lebih daripada yang lain, kuat, dan gigih. Para pemimpin juga merupakan manusia yang jumlahnya sedikit, namun perannya dalam organisasi merupakan penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai. Berangkat dari pemikiran, visi para pemimpin ditentukan arah perjalanan suatu organisasi. Karena seorang pemimpin harus mempunyai visi yang berawal dari mimpi, untuk kemudian mewujudkannya menjadi kenyataan.10

10


(31)

Walaupun bukan satu-satunya ukuran keberhasilan dari tingkat kinerja organisasi, akan tetapi kenyataan membuktikan tanpa kehadiran pemimpin, suatu organisasi akan bersifat statis dan cenderung berjalan tanpa arah.11

Dalam sejarah peradaban manusia, gerak hidup dan dinamika organisasi tergantung pada sekelompok kecil manusia penyelenggara organisasi. Bahkan, dapat dikatakan kemajuan umat manusia datangnya dari sejumlah kecil orang-orang istimewa yang tampil kedepan. Orang-orang ini adalah perintis, pelopor, dan ahli organisasi. Sekelompok orang istimewa inilah yang disebut pemimpin. Oleh karena itu, kepemimpinan seorang merupakan kunci dari manajemen. Dalam skripsi ini, penulis memberikan sedikit gambaran tentang teori-teori kepemimpinan, diantaranya:

1. Kepemimpinan Menurut Teori Sifat (Trait Theory)

Studi mengenai sifat atau ciri untuk mengidentifikasi karakteristik fisik, ciri kepribadian, dan kemampuan orang yang dipercaya sebagai pemimpin alami. Studi tentang sifat atau ciri telah dilakukan, namun sifat atau ciri tersebut tidak memiliki hubungan yang kuat dan konsisten dengan keberhasilan kepemimpinan seseorang. Penelitian mengenai sifat atau ciri tidak memperhatikan pertanyaan tentang bagaimana sifat atau ciri itu berinteraksi sebagai suatu integrator dari kepribadian dan perilaku atau bagaimana situasi menentukan relevansi dari berbagai sifat atau ciri dan kemampuan bagi keberhasilan seorang pemimpin. 12

11

Maryono Abdul Ghofur, Dasar-dasar Manajemen Organisasi, (Surabaya: Sinar Emas,

2007), h. 12-17.

12


(32)

2. Kepemimpinan Menurut Teori Perilaku (Behavioral Theory)

Selama tiga dekade, tahun 1950-an, penelitian mengenai perilaku pemimpin telah didominasi oleh suatu fokus pada aspek perilaku. Studi mengenai perilaku kepemimpinan, menggunakan kuesioner untuk mengukur perilaku yang berorientasi pada tugas dan hubungan. Beberapa studi telah dilakukan untuk melihat, bagaimana perilaku tersebut dihubungkan dengan kriteria tentang efektivitas kepemimpinan seperti kepuasan dan kinerja bawahan. Peneliti-peneliti lainnya menggunakan eksperimen laboratorium atau lapangan, untuk menyelidiki bagaimana perilaku pemimpin mempengaruhi kepuasan dan kinerja bawahan. Jika kita cermati, penemuan dari teori perilaku ini, bahwa para pemimpin yang penuh perhatian mempunyai banyak bawahan yang puas. 13

3. Teori Kontingensi (Contigensy Theory)

Teori kontingensi berasumsi bahwa, berbagai pola perilaku pemimpin atau ciri dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan. Pada umumnya, pemimpin memotivasi para pengikut dengan mempengaruhi persepsi mereka tentang konsekuensi dari berbagai upaya. Bila para pengikut percaya, hasil dapat diperoleh dengan usaha yang serius, akan mendapatkan hasil yang baik. Aspek-aspek situasi seperti sifat tegas, lingkungan kerja dan karakteristik pengikut

13


(33)

menentukan tingkat keberhasilan dari jenis perilaku kepemimpinan untuk memperbaiki kepuasan dan usaha para pengikut. 14

2. Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya, membentuk suatu pola atau bentuk tertentu.15 Dan gaya kepemimpinan merupakan hasil interaksi antara pemimpin dan orang-orang yang dipimpinnya di dalam kondisi yang mempengaruhinya.16

Gaya kepemimpinan adalah pendekatan yang dipakai pemimpin untuk memimpin, dalam arti mempengaruhi dan menggerakkan yang dipimpin untuk bekerja secara aktif guna mencapai tujuan organisasi. Gaya kepemimpinan apa pun yang digunakan sesuai situasi yang dihadapi. Yang menentukan, seberapa besar pengaruh pemimpin terhadap pengikutnya.17 Adapun gaya-gaya kepemimpinan, diantaranya:18

1. Gaya Otoriter

Kepemimpinan tipe ini, menempatkan kekuasaan pada seseorang atau sekelompok kecil orang, yang bertindak sebagai penguasa.19 Bahwa,

14

Subanto Zaini, Leadership in Action, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011), h.

66-68.

15

Davis dan Newstrom, Leadership And Manajemen, (Havard Univesity press, 1995), h.

61-19.

16

H. Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 1993), h. 139.

17

Herman Musakabe, Mencari Kepemimpinan Sejati: Di Tengah Krisis Kepercayaan,

(Jakarta: Citra Insan Pembaru, 2004), h. 10.

18

Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009),

h. 190.

19


(34)

gaya otoriter mengandung hal negatif. Gaya otoriter itu menindas, mempengaruhi pengikut dengan cara memaksa, dan memaksa semua orang bekerja tanpa kompromi. Biasanya pemimpin otoriter selalu mengabaikan bawahannya dalam proses pengambilan keputusan.20

Pemimpin yang otoriter selalu mengatakan; “kantor saya” atau “pegawai saya”, ungkapan itu menyatakan seluruh organisasi adalah milik pemimpin. Anggota organisasi menjadi manusia penurut atau pengekor. Sehingga, organisasi menjadi statis, karena pemimpin tidak menyukai perubahan.

2. Gaya Demokratis

Kepemimpinan tipe ini, menempatkan faktor manusia sebagai faktor utama dan terpenting dalam sebuah organisasi. Bahwa kepemimpinan yang ideal yang demokratis, karena mengandung unsur positif. Dalam kepemimpinan ini, setiap individu sebagai manusia yang diakui dan dihargai eksistensinya dalam mengembangkan organisasi.

Kepemimpinan demokratis selalu bersifat aktif, dinamis dan terarah. Aktif dalam menggerakkan dan memotivasi. Dinamis dalam mengembangkan dan memajukan organisasi. Terarah pada tujuan bersama yang jelas, melalui pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang relevan secara efektif.21

20

Sondang P. Siagian, Teori dan Praktek Kepemimpinan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003),

h. 25.

21

H. Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: Gadjah Mada


(35)

Menurut Siagian, sebagaimana yang dikutip oleh Alfan Alfian, gaya demokratis ini beberapa ciri, yaitu:

a. Memiliki pandangan, betapapun besarnya sumber daya dan dana yang tersedia bagi organisasi, kesemuanya itu pada dirinya tidak berarti apa-apa kecuali digunakan oleh manusia dalam organisasi demi pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi.

b. Dalam organisasi hendaknya tidak mentolelir semua kegiatan dilakukan sendiri oleh pemimpin dan hendaknya mengusahakan adanya pendelegasian wewenang yang praktis dan realistis tanpa kehilangan kendali organisasional.

c. Para bawahan dilibatkan secara aktif dalam menentukan nasib sendiri melalui peran sertanya dalam proses pengambilan keputusan.

d. Kesungguhan yang nyata dalam memperlakukan bawahan sebagai makhluk politik, ekonomi, sosial dan sebagai individu dengan karakteristik dan jati diri yang khas yang mempunyai kebutuhan yang kompleks.

e. Usaha memperoleh pengakuan yang tulus dari para bawahan atas kepemimpinan orang yang bersangkutan didasarkan kepada pembuktian memimpin organisasi dengan efektif.22

22

Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik: Perbicangan Kepemimpinan dan Kekuasaan,


(36)

3. Gaya Paternalistik

Paternalistik (paternalism) adalah suatu paham yang mengagungkan hierarki keluarga. Sehingga, orangtua harus dihormati dan ditaati oleh anaknya dan orangtua memberikan tanggung jawab untuk membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Paternalisme sangat lekat dalam penggunaan bahasa, seperti bahasa Jawa, di mana harus disesuaikan dengan usia, dan pangkat seseorang.23

4. Gaya Egaliter

Egaliter berarti sederajat. Pemimpin egaliter tidak terlalu “jaim

dan pemimpin ini tidak takut bahwa popularitasnya akan turun. Karena pemimpin sepeti ini, selalu merakyat dan bisa berkomunikasi dengan rakyat secara apa adanya.

Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan melalui tiga aliran teori berikut ini:

1. Teori Genetis (Keturunan) - Inti dari teori menyatakan bahwa “Leader

are born and not made” (pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat). Para penganut aliran teori ini, bahwa seorang pemimpin akan menjadi pemimpin, karena ia telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang ditempatkan karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin.24

Dalam ranah demokrasi, teori ini kurang mendapatkan apresiasi. Hal ini karena dengan mengandalkan keturunan, seseorang yang bukan dari

23

Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik, h. 207.

24

Herman Musakabe, Mencari Kepemimpinan Sejati: Di Tengah Krisis dan Reformasi,


(37)

keturunan pemimpin atau tokoh politik misalnya, akan sangat sulit untuk mendapatkan posisi sebagai pemimpin. Namun kenyataannya, di Indonesia masih terdapat sebagian masyarakat yang mempercayai tentang genetika (keturunan) yang bisa diperoleh seseorang dari orang tuanya. Sehingga hal ini memunculkan apa yang disebut dengan politik dinasti, yaitu kepemimpinan dalam partai politik atau organisasi politik yang terus-menerus dipegang oleh satu garis keturunan (keluarga) saja. 2. Teori Sosial - Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa pemimpin itu dibuat

atau dididik bukannya kodrati. Jadi teori ini merupakan kebalikan inti teori genetika. Para penganut teori ini berpendapat, bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan, pengalaman dan memiliki kesempatan yang cukup untuk membuktikan kemampuannya.25 3. Teori Ekologis - Kedua teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya mengandung

kebenaran. Maka, muncullah aliran teori ketiga. Teori ekologis ini, bahwa seseorang akan berhasil menjadi pemimpin yang baik, apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Teori ini menggabungkan segi positif dari kedua teori terdahulu sehingga dapat dikatakan merupakan teori yang paling mendekati kebenaran.

Dari ketiga aliran teori tersebut, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Evolusi teori aliran kepemimpinan tentu saja sangat bergantung kepada individu yang bersangkutan. Menurut hemat penulis,

25


(38)

meskipun seseorang memiliki bakat dan ditunjang dengan lingkungan yang memadai, tanpa ada komitmen yang kuat yang berasal dari individu yang bersangkutan, maka sangat sulit mengharapkan lahirnya seorang pemimpin.

3. Tipologi Kepemimpinan

Dalam praktiknya, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang beberapa tipe kepemimpinan. Sarlito memberikan uraian yang cukup jelas mengenai tipologi kepemimpinan yang berkembang dari ketiga gaya kepemimpinan di atas. Tipologi tersebut di antaranya adalah sebagian berikut:26

a. Tipe Otokratis.Seorang pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri sebagai berikut: menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi; Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi; menganggap bawahan sebagai alat semata-mata; tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat; terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya; dalam tindakan penggerakkannya sering mempergunakan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum.

b. Tipe Militeristis. Seorang pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat berikut: dalam menggerakan bawahan sistem perintah yang lebih sering dipergunakan; dalam menggerakkan bawahan senang bergantung kepada pangkat dan jabatannya; senang pada formalitas yang berlebih-lebihan; menuntut

26

S. G. Hunneryager & I. L. Heckman, Kepemimpinan, (Semarang: Dahara Prize, 1992),


(39)

disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan; sukar menerima kritikan dari bawahannya; menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.

c. Tipe Paternalistis. Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis ialah seorang yang memiliki ciri sebagai berikut: menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa; bersikap terlalu melindungi; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasinya; dan sering bersikap maha tahu.

d. Tipe Kharismatik. Hingga sekarang ini para ahli belum berhasil menemukan sebab-sebab-sebab mengapa seseorang pemimpin memiliki karisma. Pada umumnya, pemimpin ini mempunyai daya tarik dan pengikut yang jumlahnya besar. Meskipun, para pengikutnya tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin itu. Hal ini disebabkan, kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab seseorang menjadi pemimpin yang kharismatik. Maka sering dikatakan bahwa pemimpin yang demikian, diberkahi dengan kekuatan ghaib

(supra natural powers).

Salah satu tokoh sosiologi politik yang membicarakan tentang kepemimpinan kharismatik adalah Max Weber. Istilah kharisma akan diterapkan pada suatu mutu tertentu yang terdapat pada kepribadian


(40)

seseorang, yang karenanya dia terpisah dari orang biasa. Mutu seperti itu, menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengikut yang setia kepada pemimpin yang memiliki kharisma dan komitmen terhadap aturan-aturan yang ada atau moral yang dianutnya.27

Menurut Max Weber kepemimpinan yang diadopsi dari pengembangan otoritas dalam masyarakat, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:28

1) Pemimpin dengan otoritas kharismatik memiliki kesadaran misi dan panggilan yang terwujud dalam ide dan memanggil orang untuk ikut serta dalam misinya.

2) Otoritas kharismatik dijalankan bersama pengikut setia. Mereka dipilih karena kualitas kharismatik pribadi.

3) Kharisma itu bersifat “ekstra-legal”, mengabaikan struktur dan aturan formal pemimpin kharismatik hanya mengenal inner determination dan inner restraint.

4) Relasi dalam komunitas bersfiat personal. Karena pemimpin muncul dalam situasi krisis, otoritas ini tidak stabil. Ia bisa berakhir dan mengalami trans formasi ke arah otoritas tradisional/legal. 5) Kharisma pada dasarnya bersifat anti ekonomi, walaupun komunitas

kharismatik memerlukan uang.

27

Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, Penterjemah Robert M. Z.

Lawang, (Jakarta: PT Gramedia, 1996), Jilid 1, h. 229.

28Ayup Rano, “Kepemimpinan Kharismatik: Tinjauan Etis

-Teologis atas Kepemimpinan

Soekarno”, artikel diakses dari

http://books.google.co.id/books?id=-xkAxs7KPNwC&pg=PA51&lpg=PA51&dq=kepemimpinan+max+weber&source=bl&ots=rNi9x

HvKVz&sig=Wyxul9lRKQpK0hEPf3LlHBZOnwU&hl=id&ei=V3alTuWcGMLTrQfo-vmHAw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=3&ved=0CCUQ6AEwAg#v=onepage&q=k epemimpinan%20max%20weber&f=false, pada tanggal 22 Oktober 2011.


(41)

Sehingga Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak dapat dikatakan sebagai kriteria untuk menjadi pemimpin kharisma. Pemimpin kharisma didasarkan pada watak atau sifat pribadinya yang memberikan contoh atau yang bersifat pahlawan.29

e. Tipe Demokratis. Pengetahuan tentang kepemimpinan, telah membuktikan bahwa tipe pemimpin yang demokratis yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini dikarenakan, tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik sebagai berikut: dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia; selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari pada bawahannya; senang menerima saran, pendapat, dan bahkan kritik dari bawahannya; selalu berusaha mengutamakan kerjasama dalam usaha mencapai tujuan; ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat kesalahan yang lain; selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya; dan berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.30

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemimpin tidak hanya dilahirkan, melainkan bisa juga diciptakan melalui berbagai pelatihan,

29

Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, Penterjemah Robert M. Z.


(42)

pengalaman hidup, serta cara-cara lain yang dimungkinkan untuk menciptakan pemimpin-pemimpin andal. Selain itu, dalam kepemimpinan, baik dalam lingkup organisasi, partai politik maupun perkumpulan-perkumpulan lainnya, diperlukan kriteria-kriteria yang hendaknya dimiliki oleh seorang pemimpin. Meskipun dalam ranah demokrasi setiap orang berhak untuk memimpin dan dipimpin, namun dalam praktiknya, ada prasyarat yang harus dipenuhi bagi mereka yang menginginkan posisi tersebut.


(43)

30

SEJARAH PARTAI GOLKAR DAN PROFIL AKBAR TANDJUNG DAN JUSUF KALLA DALAM PARTAI GOKAR

Dalam bab ini penulis akan menguraikan secara ringkas tentang sejarah Partai Golkar, disertai dengan profil 2 (dua) mantan ketua umum Partai Golkar, yaitu Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. Sejarah Partai Golkar penting untuk dibahas, meskipun sekilas, karena menurut penulis hal ini untuk mendapatkan benang merah (link match) antara Partai Golkar itu sendiri dengan beberapa pemimpinnya, yang dalam pembahasan ini difokuskan pada dua orang, yaitu Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla.

Selain itu, karakter atau gaya kepemimpinan dua mantan ketua umum Partai Golkar tersebut dapat dikatakan memberikan warna tersendiri bagi Partai Golkar. Pengalaman masing-masing mantan ketua umum Partai Golkar tersebut, sedikit banyak memberikan pengaruh dalam menahkodai Partai Politik yang cukup diperthitungkan di tanah air.

A. Sejarah Partai Golkar

1. Partai Golkar sebelum Reformasi

Sejarah Golongan Karya (Golkar) sama tuanya dengan sejarah Orde baru. Soeharto menjadi tokoh sentral di Golkar dalam membesarkan dan menstabilkan dinamika politik di tubuh Golkar. Golkar menjadi salah satu jembatan yang menghubungkan Soeharto dengan kekuasaannya, dan


(44)

menjadi kendaraan politik Soeharto selama menjadi presiden. Bahkan, Golkar menjadi partai nomor satu dan selalu unggul diantara partai-partai lain. Selama kepemimpinan Soeharto nyaris tidak terdengar riak dalam tubuh orsospol (organisasi sosial politik) berlambang beringin tersebut. Selama Orde Baru, Partai Golkar berhasil membangun rezim politik yang kuat.

Golkar berawal dari Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang dideklarasikan pada tanggal 20 Oktober 1964.1 Dalam perkembangannya, Sekber Golkar berubah menjadi Golongan Karya yang merupakan organisasi peserta pemilu, memang patut diacungkan jempol. Hal ini dikarenakan, banyaknya organisasi yang bergabung dalam tubuh Golkar, namun dinamika politik yang terjadi berjalan lancar tanpa ada masalah. dan organisasi-organisasi itu dikelompokkan menjadi tujuh Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu: Sentral Organisasi Sosialis Karyawan Indonesia (Soksi), Kelompok Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Kino Profesi, Kino Ormas Hankam, GAKARI, dan Kino Gerakan Pembangunan.

Memasuki era Orde Baru seluruh sistem berubah, semua kekuasaan berada dalam genggaman Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai presiden. Selama berkuasa Soeharto menggunakan tiga pilar kekuatan, yaitu ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) militer yang

1

Harmoko, Quo Vadis Golkar: Mencari Presiden Pilihan Rakyat, (Jakarta: Kintamani


(45)

sekarang menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia), birokrasi dan Golkar, ketiga hal itu, menjadi penyangga kekuasaannya.2 Di era Orde Baru, Soeharto telah berhasil membangun kekuasaannya melalui peran Golkar yang memiliki dukungan massa fanatik sangat besar, hingga partai ini mampu meraih banyak dukungan pada setiap pemilu. Ada beberapa interpretasi, menyangkut kemenangan Golkar dalam setiap Pemilu. sebagian orang setuju, bahwa peranan ABRI dan birokrasi sangat instrumental dalam kemenangan Golkar. Bahkan Ali Moertopo dalam bukunya mengakui hal ini:

“Beberapa kalangan berpandangan bahwa kemenangan Golkar

terjadi karena beberapa faktor tersebut: tersedianya dana, dukungan pejabat, terutama dari ABRI, pembentukan Korpri di dalam berbagai kementrian, lembaga-lembaga dan perusahaan-perusahaan, dan juga karena berbagai macam intimidasi. Semua ini

tentu saja memberikan sumbangan pada kemenangan Golkar…”3

Di Era Orde Baru, Golkar menjadi ujung tombak dalam membangun visi Indonesia, dengan tahapan-tahapan yang jelas dan terarah, baik melalui tahap Pelita (Pembangunan Lima Tahun), maupun PJP (Pembangunan Jangka Panjang).4

Sebenarnya, Golkar diciptakan selama Orde Baru, karena tidak ada satupun dari partai-partai politik yang ada, bisa mewakili kepentingan

2

Dawam Raharjo, Angkatan Bersenjata Sebagai Kekuatan Politik, (Jakarta: Prisma, ), h.

109-123.

3

Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, (Jakarta: CSIS, 1974), h. 82-83.

4

http://www.madina-k.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2562:pak-harto-dan-golkar&catid. Diakses hari Rabu, 22 juni 2011.


(46)

militer.5 Dan juga pada era Orde Baru, Golkar benar-benar dalam kontrol Soeharto.

2. Partai Golkar sesudah Reformasi

Setelah Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden. merupakan titik awal reformasi yang selama ini disuarakan oleh Mahasiswa dan segenap rakyat Indonesia. Saat itulah, Golkar mengalami berbagai hujatan, karena jatuhnya Soeharto adalah jatuhnya Golkar juga. Dalam sentimen publik, Golkar dianggap sebagai penopang kekuasaan

Soeharto. “Terror” terhadap Golkar bukan saja datang dalam bentuk unjuk

rasa, namun terror yang bersifat fisik mereka dapatkan, seperti di Brebes Jawa Tengah sekelompok masa bentrok dengan kader Golkar yang sedang melakukan apel, di Tegal pembersihan terhadap simbol-simbol Golkar pun dilakukan.

Anggapan bahwa era reformasi merupakan runtuhnya dominasi Golkar ditandai dengan hilangnya dukungan formal dari birokrasi dan ABRI dan hancurnya citra Orde Baru. Sebagaimana dipahami, opini yang berkembang di masyarakat bahwa Golkar sering ditampilkan sebagai partai yang penuh dengan KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme), alat

kekuasaan, pemain utama “yang bertanggung jawab” terhadap terjadinya

masalah yang dialami bangsa, sulit lenyap begitu saja.6

5

Leo Suryadinata, Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik, (Jakarta: LP3ES,

1992), h. 139.

6

Aulia A. Rahman, Citra Khalayak tentang Golkar, (Jakarta: Pusat Stdui Agama dan


(47)

Pada saat itu, muncullah gerakan reformis yang membuat Golkar menyesuaikan diri dengan tantangan zaman. Di awal reformasi, Partai Golkar mengalami perubahan yang signifikan, perubahan ini lebih kepada pengembangan organisasi, dan manajemen yang disesuaikan oleh perubahan zaman. Meskipun pada akhirnya Golkar berubah menjadi sebuah partai yang resmi pada tahun 1999, yaitu Partai Golongan Karya. Hal ini terbukti, dalam pemilu 1999, Golkar menduduki posisi kedua setelah PDIP, sehingga banyak kadernya yang menduduki kursi pemerintahan di awal era reformasi.

Dalam perkembangannya, Golkar menjadi sebuah partai yang mandiri, bergerak dalam sistem yang sudah mapan. Walaupun banyak sekali tantangan yang dihadapi Golkar, tetapi Golkar menjadikan partai politik yang solid, dalam menghadapi konflik, baik internal maupun eksternal. Partai Golkar mampu bangkit dari keterpurukan rezim Orde Baru.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Heriyandi Roni,7 sebagaimana yang dikutip oleh Akbar Tandjung, menyebutkan bahwa perubahan politik 1998 berimplikasi positif terhadap Golkar terutama dalam bidang pengambilan keputusan. Perubahan signifikan dimulai pada Munaslub 1998, di mana pemilihan ketua umum dilakukan secara demokratis. Demikian pula posisi Ketua Dewan Pembina yang di masa lalu memiliki kekuatan yang sangat menentukan telah ditiadakan.

7

Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik


(48)

Perubahan ini dilakukan karena Golkar dihadapkan pada tekanan dan tuntutan masyarakat agar Golkar dibubarkan.

Salah satu terobosan yang ada di dalam Partai Golkar adalah diadakannya konvensi untuk menjaring calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung dalam pemilihan umum 2004. Prakarsa ini muncul saat Partai Golkar berada di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung. Sekilas menilik terobosan Partai Golkar dengan diadakannya konvensi yang dilaksanakan melalui tiga tahap. Pertama, tahap penjaringan yang terdiri dari pengusulan bakal calon oleh DPD, Provinsi, ormas tingkat pusat, atau perorangan dengan dukungan 500 dukungan surat penyataan. Kedua,

sosialisasi bakal calon ke minimal tujuh provinsi. Konvensi tingkat kabupaten/kota dengan memilih 5 nama, dan selanjutnya diajukan ke provinsi. Konvensi tingkat provinsi menetapkan 5 nama. Penapatan bakal calon oleh DPD Provinsi. Ketiga, tahap pemilihan dan penetapan, yang terdiri dari penetapan nominasi di pusat dengan terlebih dahulu melewati proses konvensi di tingkat provinsi.8

Perjuangan Partai Golkar pada masa sesudah era reformasi memang tidak semudah saat masih berada di era Orde Baru. Untuk itu, siapapun pemimpin yang berhasil membawa Partai Golkar melewati masa-masa sulit tersebut, tentu bukanlah pemimpin sembarangan. Pemimpin tersebut dapat dikatakan sebagai pemimpin yang memiliki integritas dan

8

Untuk lebih jelasnya, lihat Kholid Novianto, et.al., Memenangkan Hati Rakyat: Akbar

Tandjung dan Partai Golkar dalam masa Transisi, (Jakarta: Benda Press, 2003), Cet. Ke-1, h. 188-189.


(49)

komitmen yang tinggi dalam memperjuangkan dan mengangkat nama baik Partai Golkar di kancah perpolitikan Indonesia.

B. Profil Akbar Tandjung

1. Masa Kecil dan Remaja Akbar Tandjung

Nama lengkap Akbar Tandjung adalah Djandji Akbar Zahiruddin Tandjung, yang lahir pada tanggal 14 Agustus 1945, di Sibolga, Sumatera Utara. Akbar merupakan anak yang berasal dari keluarga besar. Akbar anak yang ke-13 dari 16 bersaudara. Keluarga Akbar memiliki berlatar belakang agama yang kuat. Pada masa kecilnya, Akbar tinggal di Sorkam diasuh oleh tantenya , karena orang tua Akbar membuka usaha di Sibolga.9

Masa kecil Akbar Tandjung menyukai berenang bersama teman sebayanya. Ia suka berenang di dekat desanya. Selain itu, Akbar juga menyukai durian, ketika musim durian tiba, Akbar bersama teman-temannya menunggu durian itu jatuh, kemudian ia mengejarnya. Hal itu, dilakukan sampai ia kelas tiga Sekolah Rakyat Muhammadiyah. Pengalaman masa kecil Akbar selalu banyak kenangan manis bersama teman-temannya. Disisi itu, Akbar hoby membaca buku hingga remaja. Ia anak yang cerdas.10

9

Majalah Biografi Politik, “Akbar Tandjung; Faktor Penentu Pemilhan Presiden 2009”,

Vo. 1, No. 1, Februari 2008, h. 81-82

10


(50)

2. Latar Belakang Pendidikan dan Pengalaman Organisasi Akbar Tandjung

Riwayat pendidikan Akbar Tandjung cukup memiliki warna tersendiri. Setelah melalui masa kecil dan masuk Sekolah Rakyat (SR) Muhammadiyah di Sorkam, anak ke-13 dari 16 bersaudara ini pun pindah ke Medan. Di Medan, ia menamatkan pendidika dasarnya di SR Nasrani. Sempat pula setahun duduk di bangku SMP di Ibukota Provinsi Sumatera Utara itu.

Pindah ke Jakarta, ia masuk kelas dua SMP Perguruan Cikini, dan kemudian berlanjut ke SMA Kanisius. Selanjutnya, ia memilih kuliah di Fakultas Teknik Universitas Indonesia jurusan teknik elektro.11 Akbar sudah mulai menyukai dunia politik, ketika kuliah di Universitas Indonesia. Pergulatan politik Akbar, tidak hanya di dalam kampus, tetapi di luar kampus. Ia aktif dalam gerakan mahasiswa yakni Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI-UI) dan Laskar Ampera Arif Rahman Hakim. Selama aktif di kampus, Akbar mempunyai modal politik yang kuat untuk menjadi ketua senat mahasiswa. Akhirnya tahun 1967, ia menjadi ketua senat mahasiswa Fakultas Teknik. Disisi itu, dia aktif sebagai Dewan Mahasiswa dan Majelis Permusyawaratan Universitas Indonesia.

Selain itu, kegiatan di luar kampus Akbar terpilih menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Jakarta. Tahun 1972,

11Majalah Biografi Politik, “


(51)

Akbar menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI). Dan aktivitasnya tidak hanya disitu saja, tahun 1973 ia juga ikut mendirikan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Sebagai Ketua Umum KNPI, Akbar juga mendirikan Angkatan Muda Pembaruan Indonesia (AMPI) dan tahun 1978, ia menjadi Ketua Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia. Kemudian, tahun 1983, Akbar menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar. Sehingga, kiprah Akbar dalam aktivitas organisasinya membuat langkahnya semakin maju.

3. Karir Politik Akbar Tandjung di Partai Golkar

Karir politik Akbar Tandjung berawal dari bawah. Sehingga tidak heran, jika banyak pengamat yang menyatakan bahwa Akbar Tandjung bukanlah politisi sembarangan. Pengalaman yang dimiliki Akbar Tandjung dalam berorganisasi tidak perlu dipertanyakan lagi.

Berdasarkan penelusuran penulis, karir Akbar Tandjung dalam dunia aktivits dimulai dari masa-masa kuliah.12 Pengalamannya cukup kaya, dari aktivitas di kampus hingga pengalaman di pemerintahan. Di Dewan Perwakilan Rakyat, tahun 1977-1988 Akbar menjadi anggota FKP DPR RI mewakili Propinsi Jawa Timur. Dan di perwakilan ia sebagai Wakil Sekretaris FKP DPR RI periode 1982-1983. Kemudian tahun 1987-1992, Akbar di percaya untuk menduduki Sektretaris MPR RI sekaligus Anggota Badan Pekerja MPR RI. Setelah pemilu tahun 1992, ia kembali

12


(52)

menjadi Sekretaris MPR RI, Anggota Badan Pekerja MPR RI. Kemudian Akbar terpilih menjadi Wakil Ketua FKP MPR RI, Wakil Ketua PAH II Badan Pekerja MPR RI periode 1997-1998. Dan tahun 1998 sampai sekarang, Akbar menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI.

Disamping karir politik Akbar di dalam pemerintahan. Pengalaman Akbar dalam menjalin kerja sama dengan negara-negara sahabat, tahun 2002-2003 Akbar dipercaya menjadi President of AIPO (Asean Inter Parliamentary Organization) dan President of PUOICM (Parliamentary Union of OIC Members) periode 2003-2004.

C. Profil Jusuf Kalla

1. Masa Kecil dan Remaja Jusuf Kalla

Nama lengkap Jusuf Kalla adalah Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, sering disingkat menjadi JK. Lahir di Wetampone, Sulawesi Selatan pada tanggal 25 Mei 1942. Pada masa kecilnya, Jusuf Kalla dipanggil Ucu. Ia anak ke-2 dari 17 bersaudara.13 Pada masa kecil Jusuf Kalla dapat dikatakan masa yang menyulitkan, karena kondisi waktu itu sedang kacau datangnya DI/TII (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia). Akhirnya ia dan

13

Saudara-saudaranya antara lain: Dokter yang kemudian jadi pemborong, tetapi sudah meninggal (Saman Kalla), ada pula insiyur ITB (Achmad Kalla), yang lain adalah Zohrah

(Unhas/Ekonomi), Suhaili (Unkris/Apoteker), Farida (Unhas/Ekonomi), Fatimah

(Unhas/Apoteker), Halim (Amerika/Mesin), Ramlah (Ikip/Istri Aksa Machmud), dan Nurani. S.

Sinansari Ecip dan M.Rusman Madjulekka, Percikan Pemikiran M. Jusuf Kalla: Mari ke Timur,


(53)

keluarga pindah beberapa bulan ke Bone, dan akhirnya tahun 1953 ia dan keluarganya pindah ke kota Makassar.14

Ucu dibesarkan dalam sebuah keluarga besar yang taat beragama. Ayah dan ibunya menekankan agama dan memegang teguh etika berdagang. Ibunya, Ny. Athirah mengasuh anak-anaknya dengan penuh kesabaran. Sedangkan ayahya, Hadji Kalla patuh menjalankan perintah agama dan sangat menghargai persahabatan. Dengan kata lain, Ucu

memperoleh pelajaran berharga, “ayah keras, dan ibu penyabar”. Dari

kecil Ucu memang sudah diasuh orang tuanya, untuk hidup sesuai ajaran agama Islam yang dianutnya.

Prinsip yang ditanamkan orang tua Ucu sebenarnya sangat sederhana, yaitu menjadi orang yang taat beragama, bekerja keras, jujur dan menghormati orang lain. Di masa kecil Ucu, selalu ditanamkan untuk saling menghormati kepada sesama manusia.15 Salah satu dari sikap jujur itu adalah tidak menjadi orang yang melupakan janji.16

2. Latar Belakang Pendidikan dan Pengalaman Organisasi Jusuf Kalla

Jusuf Kalla dalam riwayat pendidikannya sebelum benar-benar terjun all out sebagai pedagang/pengusaha. Selepas Jusuf Kalla menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) di Makassar,

14

http://berita.kapanlagi.com/pernik/jusuf-kalla-bernostalgia-di-kampung-halaman-8dv5bys.html

15

http://nasional.vivanews.com/news/read/69208-di_brebes__jk_terkenang_masa_kecil

16“M. Jusuf Kalla, Negarawan yang Religius”,

Majalah Tokoh Indonesia, Volume 4, h. 29.


(54)

Jusuf Kalla yang berlatarbelakang keluarga pebisnis ini memilih melanjutkan studinya pada Universitas Hasanuddin (UNHAS) di Makassar. Lulusan Fakultas Ekonomi tahun 1967 ini menulis skripsi tentang beras. Selama mahasiswa, Jusuf Kalla aktif di kegiatan mahasiswa. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya, dengan mengenyam pendidikan ke strata lebih tinggi yakni dengan berhijrah ke Paris, Perancis. Di Paris inilah Jusuf Kalla kuliah di The European Institute of Business Administration Fountainebleu dan lulus pada tahun 1977. Aktivitas sosialnya kian padat di tengah kesibukan bisnisnya. Ucu muda sangat enerjik, dinamis, dan kreatif. Dia aktif di berbagai kegiatan. Selama 24 tahun, dia jadi pengurus inti Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sulawesi Selatan (1985-1998). Lebih dari separuh waktunya menjabat Ketua Umum Koordinator Kadin se kawasan Timur Indonesia (KTI). Dalam lebih sepuluh tahun terakhir, ia memperjuangkan perbaikan ekonomi yang adil untuk KTI dan seluruh nusantara.17

Jusuf Kalla menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Pusat. Jusuf Kalla masih sempat memimpin Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UNHAS mulai dari tahun 1992 sampai dengan sekarang, dan anngota dewan penyantun tiga perguruan tinggi negeri di Makassar, yaitu UNHAS, IKIP, dan IAIN, beserta perguruan tinggi swasta. Sebagia ekonom, dia aktif di Ikatan Sarjana Ekonomi Indoneisa (ISEI). Sampai

17


(55)

sekarang menjadi penasehat ISEI Pusat. Bahkan semenjak kuliah ia beserta teman-temannya sering menyantuni yayasan-yayasan pendidikan.

Disisi itu, berawal ia memulai karir organisasinya sebagai Ketua HMI cabang Makasar dan Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Hasanuddin tahun 1965. Serta menjadi Ketua Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Sulawesi Selatan tahun 1966.18 Setelah pembentukan Sekber Golkar di Sulawesi Selatan, Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Pemuda Sekber periode 1965-1998 dan terpilih menjadi anggota DPRD mewakili Sekber Golkar di Sulawesi Selatan. Kemudian, Jusuf Kalla menjadi anggota MPR-RI periode 1998-2001. Tahun 2004-2009, Jusuf Kalla menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar.

3. Karier Politik Jusuf Kalla di Partai Golkar

Tulisan mengenai pembahasan karir politik Jusuf Kalla, terutama kiprahnya di Partai Golkar tidaklah banyak. Hal ini mengingat latar belakang Jusuf Kalla sendiri yang merupakan salah seorang pengusaha sukses di Indonesia, yang kemudian memutuskan untuk berkecimpung di dunia politik. Meskipun ada catatan pengalaman organisasi Jusuf Kalla semasa kuliah, namun karirnya di Partai Golkar belum banyak yang merekamnya.

Karir Jusuf Kalla di Partai Golkar, berdasarkan penelusuran penulis dimulai setelah pembentukan Sekber Golkar di Sulawesi Selatan, Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Pemuda Sekber periode 1965-1998 dan

18


(56)

terpilih menjadi anggota DPRD mewakili Sekber Golkar di Sulawesi Selatan (1965-1968). Kemudian, Jusuf Kalla menjadi anggota MPR-RI periode 1982-1999 sebagai Utusan Daerah Sulsel. Tanpa sengaja, ia sudah terlibat dalam dunia politik sebagai Anggota Dewan Penasihat DPP Partai Golkar (1999-sekarang).19 Tahun 2004-2009, Jusuf Kalla menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, yang merupakan puncak karir seseorang di dalam partai politik. Pencapaian ini patut mendapat apresiasi, karena dalam pemilihan ketua umum tersebut, Jusuf Kalla mengalahkan salah satu tokoh politik penting di Indonesia, Akbar Tandjung.

19“Manuver Politik JK”, dalam Majalah Biografi Politik, Edisi Khusus Pilpres 2009, h.


(57)

44

ANALISIS KOMPARATIF KEPEMIMPINAN AKBAR TANJUNG DAN JUSUF KALLA DALAM PARTAI GOLKAR

A. Kepemimpinan Politik Akbar Tandjung

1. Gaya Kepemimpinan Demokratis dan Paternalistik

Saat seseorang terjun ke dunia politik, ia harus siap menanggung segala konsekuensi yang mengikutinya. Tak terkecuali berbagai konflik atau perselisihan, baik di internal partai politik yang diikuti maupun dengan lawan politik yang berlainan interest (kepentingan) yang ingin diwujudkan. Hal ini mengingat partai politik memiliki visi dan misi serta platform yang berbeda. Kalaupun ada kesamaan dalam hal ideologi maupun asas, masing-masing partai tetap ingin mempertahankan cirinya masing-masing.

Partai Golkar, salah satu partai yang ada di Indonesia, adalah partai lama yang sudah ada sejak zaman Orde Baru. Eksistensi partai ini cukup mewarnai perpolitikan di Indonesia, bahkan sempat menjadi penguasa di bawah rezim Soeharto. Akbar Tandjung, salah satu tokoh Partai Golkar, menyadari betul keberadaan partainya yang banyak menghadapi rintangan untuk tetap bertahan dalam memperjuangkan visi partai.

Saat penulis menanyakan tentang motivasi Akbar Tandjung untuk menjadi ketua umum Partai Golkar, beliau menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan pilihan hati nuraninya. Karena latar belakangnya di dunia aktivitis,


(58)

maka menjadi pengurus partai politik adalah salah satu cara yang bisa ditempuh oleh para aktivitis yang ingin memperjuangkan aspirasi rakyat dengan terjun langsung di dalam kehidupan politik. Menjadi anggota dewan maupun pejabat eksekutif adalah bagian dari peran politik yang harus diambil oleh mereka yang peduli terhadap rakyat. Tanpa terlibat langsung, sangat sulit untuk menyampaikan keinginan dan aspirasi masyarakat banyak. Sebagaimana yang diungkapkan beliau kepada penulis:

“Jika ada pertanyaan tentang motivasi saya menjadi ketua umum Partai Golkar, saya bisa menjawab bahwa hal tersebut sudah merupakan insting aktivis atau politisi. Karena dengan berada di tengah-tengah lapangan, baik di legislatif maupun eksekutif, perjuangan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat lebih terbuka, jika dibandingkan dengan berada di luarnya. Kalau dulu ketika mahasiswa saya berusaha memperjuangkan aspirasi masyarakat dengan turun ke jalan atau demonstrasi, maka sekarang jalurnya adalah melalui sistem itu sendiri. Menjadi ketua partai politik, bisa saya artikan sebagai salah satu cara

untuk berjuang.”1

Lebih lanjut Akbar Tandjung memberikan penjelasan tentang perannya sebagai ketua umum Partai Golkar. Pada posisi ini, menurutnya pikiran dan tenaga yang dibutuhkan lebih besar jika dibandingkan saat masih menjadi pengurus harian atau pengurus departemen tertentu dalam partai. Untuk itu dirinya menyatakan bahwa diperlukan startegi-strategi khusus dalam menyelamatkan Partai Golkar dari citra buruk yang terlanjur ada di benak masyarakat. Salah satunya adalah dengan cara memberikan gagasan baru dalam hidup berdemokrasi. Misalnya dengan adanya konvensi di dalam Partai Golkar. Meskipun cara ini cukup lama dan melelahkan, menurutnya hal

1

Wawancara pribadi dengan Akbar Tandjung bertempat di kantor Akbar Tandjung Institute, Jakarta 22 September 2011 pukul 11.15 WIB


(59)

tersebut tidak menjadi alasan untuk menaikkan citra Partai Golkar di tengah-tengah masyarakat. Seperti yang dituturkan Akbar Tandjung kepada penulis:

“Jadi ketua umum itu perlu tenaga dan pikiran yang lebih. Berbeda kalau kita masih menjabat pengurus harian atau departemen tertentu, seperti departemen kaderisasi misalnya. Apalagi menjadi ketua umum Partai Golkar, yang sudah terlanjur mendapat stigma negatif di masyarakat karena dianggap sebagai warisan dari Orde Baru yang otoriter. Di sini saya berusaha untuk memperjuangkan bagaimana bisa menaikkan citra Partai Golkar, agar mendapat tempat lagi di hati masyarakat. Salah satu strategi yang saya tempuh adalah dengan membuat suatu terobosan (breaktrough) dalam hidup berdemokrasi. Konvensi adalah wujud riilnya. Ini memang melelahkan, membutuhan banyak biaya, serta perlu waktu yang tidak sebentar. Tapi konsekuensi

tersebut harus diambil, mengingat kondisi yang ada. Slogan “Golkar

Baru” harus benar-benar terimplementasikan, bukan hanya sekedar bualan semata. Nanti kalau tidak ada realisasinya, maka anggapan bahwa politisi hanya sekedar berkata tanpa berbuat akan semakin

mengakar di benak masyarakat.”2

Meskipun hasil konvensi tersebut tidak memenangkan pemilihan umum tahun 2004, apresiasi terhadap terobosan Partai Golkar patut diberikan. Mengingat kultur partai politik yang belum begitu transparan dalam mekanisme pengkaderan dan pencalonan, maka Partai Golkar memberikan angin segar bagi demokratisasi di Indonesia. Hasil dari konvensi yang dilakukan Partai Golkar tersebut, oleh Harmoko dinilai positif. Setidaknya Partai Golkar mendapatkan porsi publikasi yang cukup banyak. Media massa mau tidak mau harus memberi perhatian terhadap semua tahapan konvensi yang berjalan.3

2

Wawancara pribadi dengan Akbar Tandjung bertempat di kantor Akbar Tandjung Institute, Jakarta 22 September 2011 pukul 11.15 WIB

3

Harmoko, Quo Vadis Golkar: Mencari Presiden Pilihan Rakyat, (Jakarta: Kintamani


(1)

PPRESENSI KONSULTASI BIMBINGAN SKIPSI MAHASISWA Nama No. Pokok Fak/Jur Judul Skripsi Pembimbi Nurcholifah 107033201647

Ilmu Sosial Ilmu Politik/Ilmu Politik

Kepemimpinan Partai Golkar Pasca Orde Baru ( Studi Perbanding an Pola Kepemimpinan Akbar Tandjung Periode 1999 - 2004 Dan Jusuf Kalla Periode 2004 -2009 Dalam Partai Golkar )

A. Bakir lhsan. M.Si

Jakarta, l4 Juni 201 1

ultas Ilmu Sosialdan Ilmu Politik r rnsan. vl.5l

No. Hari, Tgl. Materi yang Dikonsultasi pemb/Td.Te.Keterangan

t.

9.

7 .

4

5.

Jrrm'ai

, 16

A3ustus

2otr

$\asa, t3

Sqternber

Zotl lr

Ye\aso"

, ,'

otftobtr

2atr

Jumat,

{

Nb\ember

20u

JqrnaT

, lt

NDvember

2ott

t4n Eut

{aci *nn4

"noi

Daptar

Ie

i

dan Lotar Br"lo<ono Maqa\ah'

J

Vrenptqhs"^n B"b i dan Bo.b

!t'

Boro

\ lo\gKoteKsran

Ji \tet"dolc

4\ pt\e\rkictn'

f.,lernbaha5

Bab I dan Bab li ,a&

behtap^ fy horuc c\t 14666'[6 ^n

Me.hr\ber

rN qn h*s,L trl,terv\e'N,

bcer

!".. penarn(u..han 5ub

bab Jd gAb

\)

Menyerohran hq(tL Rtvtgtatn

Seml"


(2)

TANDA TERIMA

Telah saya terima proposal skripsi sebagai berikut: Nama

No. Pokok Fak/Jur Judul Skripsi

Nurcholifah r0703320t647

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik/Ilmu Politik

Kepemimpinan Partai Golkar Pasca Orde Baru ( Studi Perbanding an Pola Kepemimpinan Akbar Tandjung Periode 1999 - 2004 Dan Jusuf Kalla Periode 2004 -2009 Dalam Partai Golkar ) Dengan ini saya menyatakan bersedia I ffi. be+sedia_ menjadi pembimbing skripsi mahasiswa tersebut di atas.

Jakarta,l4 Juni 2011 Horrnat Sava.

A. Bakir Ihsan. M.Si NB:Mahasiswa yang bersangkutan mengembalikan lembaran persetujuan ini ke Seketaris Prodi Ilmu Politik Dua Minggu sejak dikeluarkan.


(3)

I(EME,NTERIAN

AGAMA

UNIVE,RSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF IIIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Jl. Kedamukti, Fisangan, Ciputat 15419 Jakarta Selatan

Telp. 021 -7 47 05215, 7 4705969, 7 47 02013, F ax. 021-7 4702013 Website : www.uinjkt.ac.id; E-mail : fisip_uin@yahoo.com

Nomor

Lamp

Hal

: Un.O1/F1 1/OT.0l .6l wu l2g11 : Permohonan Wawancara Skripsi

Kepada Yth,

Bapak Dr. Akbar Tanjung Ketua Akbar Tanjung Institute Jl. Pancoran Indah Raya

Komp.Liga Mas Indah Blok B No. A1 perdatam Jakarla Selatan

Assalamu'alaikum Wr. Wb

Jakarta,

8 Agustus

2011

Dengan Hormat, bersama ini kami sampaikan surat pennohonan wawancara untuk penulisan skripsi mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta atas nama:

Nama NIM Semester Judul Skripsi

Nurcholifah

107033201647

IX (Sembilan)

Kepemimpinan

Partai Golkar Pasca Orde Baru (Studi pola

Kepemimpinan

Akbar Tandjung periode 1999-2004

dan M.

Jusuf Kalla Periode 2004-2009

dalam partai Golkar)

Sehubungan hal tersebut di atas, mohon kesediaan Bapak untuk menerima wawancara mahasiswa FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada waktu yang sesuai dengan jadwal Bapak.

Demikian, atas kesediaan dan ke{a sama Bapak, kami ucapkan terima kasih. Wassalamu'alaikum Wr. Wb

lVV

iProf. Dr. Bahtiar Effendy

N r P . 1 9 5 8

1 2 1

0 1

9 9 6 0 3

I 001


(4)

Nama : Nurcholifah Jurusan : Ilmu Politik Universitas Islarn Neeeri Jakarta

BASIC OF INTERVIEW

1. Apa yang melatarbelakangi atau motivasi Bapak untuk menjadi Ketua Umum Partai Golkar disaat Golkar mensalarni masa-lnasa kritis?

2 .

a J .

A

Apa perbedaan Gollar sebelum Orde Baru dan Pascabide garuf Dan apa "Golkar Baru" itu menurut Bapak?

Apa strategi Bapak untuk membangun Parlai Golkar disaat Golkar mengalami krisis kepercayaan dimata masyarakat?

5. Apa strategi Bapak untuk membangun Partai Golkar?

6. Apa kebijakan - kebijakan Bapak dalam membangun Partai Golkar? 7. Bagaimana cara atau pola rekruitmen dan kaderisasi di Par-tai Golkar? 8. Bagaimana perkembangan Golkar setelah dibawah kepemimpinan Bapak? 9. Bagaimana pandangan Bapak terhadap gaya kepemimpinan Jusuf Kalla di

Partai Golkar selama periode 2004-2009?

Jakarta, September 201 1


(5)

Nam! ; : Nurcholifah Jurusan : Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta

BASIC OF INTERVIEW

1. Apa yang melatarbelakangi Bapak untuk menjadi Ketua Umum Partai Golkar?

2._.,Apaperbedaan Golkar sebelum Orde Baru Dan Pasca Orde Baru? 3. Apa strategi Bapak untuk membangun Partai Golkar?

4. Apa kebijakan - kebijakan Bapak dalam membangun Partai Golkar? 5. Bagaimana cara atau pola rekruitmen dan kaderisasi di Partai Golkar? 6. Bagaimana perkembangan Golkar setelah dibawah kepemimpinan Bapak? 7. Bagaimana pandangan Bapak terhadap gaya kepemimpinan Akbar

Tandjung di Partai Golkar selama periode 1999-2004?

Jakarta, Agustus

2011


(6)

SURAT KETERANGAN

No. :01/JK/Vl,ll2O11

Dengan

ini menerangkan

bahwa mahasiswidi

bawah ini, yaitu :

Nama

:

Nurcholifah

Mahasiswi :

FISIP Universitas

lslam Nasional

I

adalah benar telah melakukan

wawancara

skripsi di kantor kami, pada tanggal 10 Agustus

Demikian

Surat Keterangan

inidibuat untuk dipergunakan

dengan

sebaik-baikhya.

Jakarta,

10 Agustus

2011.

Hormat

kami,