kesejahteraan  umum  dan  kehidupan  bangsa.  Dalam  konteks  itu, masyarakat  membutuhkan  pemimpin  yang  sanggup  mewujudkan
tujuan  itu.  Dari  segi  kapabilitas,  kita  membutuhkan  pemimpin  yang memiliki  kemampuan  memecahkan  permasalahan-permasalahan  yang
ada. Kita juga butuh pemimpin yang mampu mendayagunakan potensi alam dalam mengatasi kemiskinan, termasuk mampu mengolah potensi
nasional lain sehingga mampu memberi nilai tambah.”
14
Dalam memimpin Partai Golkar, Akbar Tandjung menerapkan prinsip- prinsip  kepemimpinan  yang  moderat  dan  senantiasa  berupaya  untuk
menjembatani  berbagai  perbedaan  dan  kepentingan  yang  ada,  serta mengedepankan tercapainya konsensus.  Berbagai  pihak biasanya  mengaitkan
gaya  kepemimpinan  Akbar  Tandjung  dengan  gaya  kepemimpinan  yang didasari oleh budaya politik Jawa.
15
Jika dikaitkan dengan landasan teori pada bab  sebelumnya,  maka  tipe  gaya  kepemimpinan  Akbar  Tandjung  ini  lebih
cenderung  bersifat  paternalistik,  dengan  mengedepankan  sopan  santun  dan norma ala budaya Jawa.
B. Kepemimpinan Politik  Jusuf Kalla
1. Gaya Kepemimpinan Demokratis dan Egaliter
Sosok  Jusuf  Kalla  bisa  dikatakan  merupakan  sosok  yang  cukup fenomenal  di  dalam  dunia  perpolitikan  Indonesia.  Terlebih  saat  Jusuf  Kalla
menjadi wakil presiden Republik Indonesia periode 2004-2009, mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono. Permulaan fenomena pasangan ini dimulai saat
14
Biografi Politik, h. 30.
15
Akbar Tandjung, The Golkar Way, h. 123.
memenangi  pemilihan  presiden  dan  wakil  presiden  secara  langsung  untuk pertamakalinya  di  Indonesia.  Meskipun  tidak  diusung  oleh  partai  yang
membesarkannya,  yaitu  Partai  Golkar,  pada  putaran  kedua  pasangan  yang lebih dikenal dengan inisial SBY-JK ini mengungguli pasangan lainnya, yaitu
Megawati-Hasyim Muzadi. Saat  menjadi  wakil  presiden,  Jusuf  Kalla  dikenal  dengan  statement-
statement-nya  yang  spontan,  lugas,  berani,  dan  mengutamakan  kepentingan rakyat.  Hal  ini  ditambah  lagi  dengan  terpilihnya  Jusuf  Kalla  menjadi  ketua
umum  Partai  Golkar,  mengalahkan  Akbar  Tandjung  pada  Munas  Partai Golkar  di  Bali.  Kehadiran  sosok  Jusuf  Kalla  memberikan  warna  baru  dalam
pemerintahan dan perpolitikan di Indonesia. Saat  penulis  menanyakan  tentang  latar  belakang  Jusuf  Kalla  menjadi
ketua umum Partai Golkar, ia menjelaskan bahwa hal tersebut sudah menjadi keinginannya  sejak  dulu  saat  memutuskan  untuk  bergabung  dengan  Golkar
sebelum  menjadi  Partai.  Keberadaan  Jusuf  Kalla  di  Partai  Golkar  tidak muncul secara mendadak, yang oleh banyak pengamat politik disebut sebagai
“kader  instan”.  Ia  merintis  karir  politiknya  mulai  dari  bawah,  saat  menjadi pengurus  organisasi  kepemudaan  Golkar  di  Sulawesi  40  tahun  yang  lalu.
Selain itu, menurutnya, desakan dari para kader di daerah-daerah agar dirinya maju  mencalonkan  diri  sebagai  ketua  umum  Partai  Golkar,  juga  turut
memotivasi  tercapainya  keinginan  tersebut.  Dengan  mendengarkan  aspirasi tersebut,  Jusuf  Kalla  merasa  bahwa  dirinya  mencalokan  diri  bukan  dengan
modal  nekat  atau  hanya  karena  mengikuti  syahwat  politik  semata.  Ditambah lagi  dengan  sistem  presidensial  semi  parlementer  yang  dipakai  di  Indonesia,
kekuasaan  eksekutif  tidak  akan  efektif  tanpa  adanya  kekuasaan  di  legislatif. Sehingga  hal  ini  menjadi  salah  satu  pemicu  beberapa  anggota  legislatif  atau
eksekutif yang merangkap menjadi ketua partai. Seperti halnya Jusuf Kalla, ia merasa bahwa kebijakan yang akan diambilnya tidak akan bisa berjalan tanpa
ada  dukungan  dari  legislatif.  Untuk  itu,  ia  merasa perlu  menjadi  ketua  partai Golkar  agar  dapat  mendukung  program-program  yang  sudah  dicanangkan
oleh pemerintah. Seperti yang disampaikan kepada penulis: Sebagai  kader  Partai    Golkar  dan  pengurus  dah  hamper  40  tahun  di
Makassar,  mulai  pemilihan  pemuda  tahun  64,  cita-citanya  menjadi ketua  partai.  Sebagai  wapres  tahun  2004,  daerah-daerah  minta  saya
untuk  menjadi  ketua  dan  meminta  saya  untuk  membawa  Golkar menjadi partai sekutu pemerintah, agar pemerintah ini berjalan. Karena
tanpa  ada  dukungan  dari  partai,  yang  memiliki  peran  yang  signifikan di  legislatif,  semua  kebijakan  dan  program  pemerintah  tidak  akan
jalan.
16
Mengenai  motivasi  Jusuf  Kalla  menjadi  ketua  umum  Partai  Golkar, salah satunya juga dipicu oleh kultur partai Golkar itu sendiri  yang memiliki
kultur  pembangunan  atau  kultur  pemerintahan.  Sehingga,  meskipun  partai Golkar  bukan  pemenang  pemilu  legislatif  maupun  eksekutif,  partai  tersebut
selalu  mendukung  kebijakan  yang  dikeluarkan  oleh  pemerintah  dengna  tetap mempertahankan  sikap  kritis.  Mengutip  salah  satu  ceramah  Jusuf  Kalla  di
16
Wawancara  pribadi  dengan  Jusuf  Kalla,  Kantor  Kalla  Group,  Jakarta,  tanggal  10 September 2011 Pukul 10.15 WIB
depan  peserta  Kursus  Reguler  Angkatan  37  Lemhanas  di  Jakarta,  26  Juli 2005, ia mengatakan dengan lugas:
Kenapa  saya  menjadi  Ketua  Umum  Partai  Golkar?  Pertimbangannya sederhana;  tanpa  suatu  stabilitas  politik,  sulit  sekali  kita  membuat
suatu  kebijakan  ekonomi  yang  baik.  Tapi,  ada  satu  hal  yang  sangat penting.  Kultur  Golkar  itu  kultur  pembangunan  atau  kultur
pemerintahan.  Berbeda  dengan  kultur  PDIP.  Kultur  PDIP  itu  kultur oposisi.  Pada  saat  Ibu  Mega  memerintah,  orang-orang  PDIP  merasa
tetap  sebagai  partai  oposisi.  mereka  tetap  saja  mengkritik pemerintah,  walaupun  pemerintahannya  orang  PDIP.  Sebaliknya
Golkar,  walaupun  tidak  mempunyai  peranan  penting  dalam
pemerintahan, tetap saja bersahabat dengan pemerintah”
17
Saat  membicarakan  Parti  Golkar,  masyarakat  tidak  bisa  melepaskan peran  partai  yang  dulunya  merupakan  golongan  kekaryaan  ini  sebelum  era
reformasi.  Golkar  pada  masa  itu  merupakan  golongan  yang  sangat  dominan dalam pemerintahan. Hal ini dapat dimengerti,  mengingat Golkar merupakan
kendaraan  Soeharto  dalam  melanggengkan  kekuasaannya.  Hampir  semua birokrasi  di  Indonesia  merupakan  anggota  Golkar,  sehingga  sangat  sulit
menyaingi keberadaan Golkar pada masa itu. Namun keadaan tersebut berubah setelah terjadi reformasi pada tahun
1998  dengan  pengunduran  diri  Soeharto  dan  digantikan  oleh  Habibie.  Sejak saat  itu,  Partai  Golkar  menjadi  sorotan  banyak  pihak.  Sebagian  kalangan
menginginkan  agar  Golkar  dibubarkan,  karena  sudah  tidak  sesuai  dengan semangat  reformasi,  mengingat  Golkar  adalah  warisan  dari  Orde  Baru.
Sebagian  yang  lain  menginginkan  agar  Golkar  tidak  perkenankan  untuk mengikuti pemilihan umum.
17
Tomi Lebang, Berbeka Seribu Akal Pemerintahan dengan Logika; Sari Pati Pidato Wakil Presiden Jusuf Kalla, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, h. 4