66
Jakarta : Paramadina, 1996, Islam dan Transformasi Sosial Budaya Jakarta : LP3ES, 2000
26
, Paradigma al-Quran : Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial Jakarta : PSAP, 2005
D. Manajemen Zakat Dawam Rahardjo
Potensi zakat di Indonesia yang sangat besar tetapi belum maksimal pencapaiannya hingga saat ini, mendasari pertanyaan dari Dawam Rahardjo
tentang bagaimana mencari sitem pengelolaan zakat yang efektif dan efisien serta dapat berkontribusi bagi perekonomian umat. Hal yang menarik dari pertanyaan
ini adalah bahwa Dawam Rahardjo langsung berorientasi kepada pengalaman empiris dengan mengetengahkan kasus-kasus pengelolaan zakat. Pertama adalah
kasus pengelolaan zakat oleh lembaga setengah resmi, yaitu Badan Amil Zakat BAZ atau Badan Amil Zakat, Infaq dan Sodaqoh BAZIS yang dipelopori dan
dibantu oleh pemerintah, seperti BAZIS DKI Jaya dan BAZIS Ujung Pandang. Yang kedua adalah BAZ Putukrejo Malang, yang i
nisiatifnya lebih bersifat “ dari bawah”, walaupun pemerintah desa setempat juga membantu secara positif. Yang
ketiga adalah kasus pengalaman LP3ES, sebuah eksperimen dari LPSM, yaitu LP3ES Klaten.
27
26
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, Yogyakarta: PT. DANA BHAKTI PRIMA YASA, Cet. I, 2002, hlm. sampul
27
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Jakarta, Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999, cet. Ke I, h. 501-502.
67
Dawam Rahardjo berpendapat bahwa masalah zakat terlalu banyak dibicarakan secara teoritis tanpa atau kurang mengkaitkannya dengan aspek
pengalaman dan pelaksanaannya. Tapi dilain pihak kita juga melihat bahwa ternyata berbagai kalangan tanpa banyak bicara telah menjalankan usaha usaha
pengembangan zakat secara konkrit dengan hasil yang menimbulkan harapan.
28
Parameter yang mempengaruhi pemikiran Dawam Rahardjo mengenai pelaksanaan zakat adalah masa pembangunan sejak orde baru. Kegiatan
pembangunan oleh pemerintah dan masyarakat telah menimbulkan berbagai pengaruh besar di bidang ekonomi, struktur sosial, pandangan politik dan
kelembagaan. Perkembangan dan perubahaan itu seterusnya berpengaruh terhadap konsep zakat, khususnya dari segi muzakki pembayar zakat, mustahiq
penerima zakat, serta amil pengelola zakat.
29
Perkembangan di bidang ekonomi, sebagai dampak dari pembangunan itu telah menimbulkan perubahan-perubahan dalam tingkat produktivitas, hasil
eksploitasi sebagai “penemuan” seseorang yang mendatangkan kekayaan besar secara mendadak, tingkat dan besarnya surplus atau laba, makin bervariasinya
sumber pendapatan perseorangan atau rumah tangga, meningkatnya frekuensi dalam transaksi dan meningkatnya penghasilan. Kesemuanya itu menimbulkan
28
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, h. 502
29
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, h. 503
68
dampak tunggal yaitu makin besarnya dan bervariasinya sumber zakat dan potensi penerima dan pemungutan zakat.
30
Perubahan-perubahan di bidang ekonomi itu berpengaruh juga terhadap struktur sosial. Di satu pihak kita melihat makin banyaknya potensi muzakki.
Pada masa lalu jumlah “orang kaya” hanya terbatas. Sekarang jumlah itu semakin banyak dengan terbukanya kesempatan usaha. Tapi yang lebih penting untuk kita
perhatikan adalah makin besarnya “golongan menengah”. Pada masa lalu, zakat mungkin lebih banyak diasosiasikan dengan “orang kaya” pemilik harta
aghniya . Sekarang, potensi total dari sumber zakat itu melebar dan lebih besar.
Dengan melebarnya potensi total sumber zakat akan berdampak kepada aspek mobilisasi zakat.
31
Di lain pihak, mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, yang berhak menerima zakat walaupun dari segi angka absolute bisa bertambah. Tapi di sini
konsep “garis kemiskinan” harus diperhatikan. Kalau kita melihatnya dari struktur sosial, segolongan masyarakat mungkin tergolong miskin. Tapi tingkat
kemiskinannya berkurang atau dengan kata lain sebagian lapisan masyarakat miskin telah meningkat pendapatan dan kesejahteraannya. Oleh karena itu perlu
ada pengkategorian miskin yang tepat agar pendistribusian zakat dapat diberikan
30
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, h. 505
31
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, h. 505
69
secara tepat. Maka yang perlu lebih mendapat perhatian utama adalah golongan “destitute” fakir miskin yang sengsara.
32
Berkurangnya golongan masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan atau hidup sebagai
“destitute” itu berpengaruh terhadap konsep mustahiq, khususnya dalam zakat fitrah. Banyak orang muslim yang sadar tidak
mau lagi disebut sebagai penerima zakat fitrah. Mereka tidak mengalami kesulitan untuk esok, bahkan sebagian dari mereka mulai merasa berkewajiban untuk
membayar zakat fitrahnya sebab seperti hadist yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah berkata :
“tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah” dan membayar zakat itu mendapatkan pahala. Ini tentu mengurangi potensi
mustahiq atau menambah potensi muzakki. Berbagai masalah di atas perlu menimbulkan usaha pemikiran yang
berbentuk inisiatif dan inovatif. Bagaimana mengaitkan kewajiban keagamaan yang mengandung unsur sosial-ekonomi ini, dengan kegiatan pembangunan, tidak
hanya pembangunan yang bersifat spiritual, misalnya berkaitan dengan pembangunan mesjid tetapi juga dengan aspek pembangunan material atau
ekonomi. Salah satu konsep yang dilontarkan Dawam Rahardjo bahkan telah
dijalankan oleh BAZIS dan BAZ adalah program yang disebut zakat produktif. Pokok dari gagasan ini adalah menolong golongan miskin tidak dengan
32
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, h. 505-506
71
memberikan “ikan” melainkan dengan memberikan “kail”. Jika zakat diberikan semata-mata untuk konsumsi, maka pertolongan itu bersifat sementara. Tapi jika
pertolongan itu diberikan untuk membantu yang bersangkutan berproduksi atau usaha, maka pertolongan itu akan membantu yang bersangkutan untuk keluar dari
situasi kemiskinan itu sendiri. Dengan munculnya gagasan itu maka dewasa ini kita mengenal beberapa
pola penggunaan zakat : 1.
Zakat diberikan langsung kepada fakir miskin untuk keperluan konsumtif. Dalam konteks perubahan sekarang , maka bagian zakat ini diarahkan
terutama kepada golongan “destitute” yang sifatnya “relief” dan dampaknya
bersifat jangka pendek. 2.
Zakat diberikan kepada mereka yang terlibat dalam kegiatan pendidikan dakwah, yang dalam taraf hidup kekurangan.
3. Sebagian dana zakat dan dana lainnya shodaqah, infak, wakaf diperuntukkan
guna membangun prasarana ibadah dan pendidikan da‟wah Islam. 4.
Sebagian kecil zakat kini telah mulai diarahkan untuk tujuan produktif, baik berupa hibah maupun pinjaman tanpa bunga bagi golongan miskin tetapi tidak
mesti tergolong “the destitute”, dengan harapan, mereka bisa melepaskan diri
dari kemiskinan, bahkan dalam jangka waktu tertentu diharapkan bisa menjadi muzakki, setidak-tidaknya dalam zakat fitrah.
5. Bagian yang lain yang jumlahnya sedikit diperuntukkan untuk amil. Di sini,
konsep amil bisa berkembang yaitu tidak semata untuk orangnya melainkan
71
bisa pula lembaga yang mengelola dan bisa memajukan segi pengorganisasiannya.
33
Hal yang perlu dikaji lebih lanjut adalah pengalokasian dana zakat. Baik amil, maupun badan amil dan muzakki langsung pada umumnya mengalokasikan
sebagian besar dana zakat itu lebih dari 50 untuk fakir miskin. Namun dengan meningkatnya jumlah penerimaan zakat dan di lain pihak berkurangnya jumlah
mustahiq, maka secara hipotis dapat diperkirakan bahwa bagian zakat untuk non- fakir dan non-konsumtif akan semakin meningkat. Demikian juga meningkatnya
sodaqoh, wakaf, atau infaq memberi peluang bagi meningkatnya dana produktif baik zakat maupun non-zakat.
Dalam perspektif seperti itu, maka pengelolaan zakat tidak hanya membutuhkan ”amil zakat” dalam konsep lama, melainkan membutuhkan
kerjasama dengan lembaga-lembaga lain. Misalnya Bank atau koperasi dapat dipikirkan sebagai penyimpan dana yang terpercaya. Selain itu, peranan lain yang
dibutuhkan adalah dalam pengembangan zakat itu sendiri. Dalam hal ini peranan LPSM semacam LP3ES atau P3M perlu dipikirkan lebih lanjut.
34
Kualitas yang dimiliki LPSM adalah kemampuannya untuk menyediakan informasi, melalui penelitian atau pengalaman dalam pengembangan masyarakat,
mengenai potensi muzaki dan mustahiq. Dengan kualitas itu LPSM dapat
33
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, h. 507.
34
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, h. 508
72
berperan besar dalam pengembangan konsepsi dan konsep-konsep zakat secara teoritis maupun operasional. Selanjutnya LPSM dapat pula bertindak sebagai
penyalur dana tanpa mengambil keuntungan finansial sekaligus membina mustahiq.
35
Salah satu kesulitan dalam penerapan ”zakat produktif” adalah menemukan bidang kegiatan atau usaha. BAZIS atau BAZ tidak memiliki
kualitas untuk melakukan hal ini. Selanjutnya mustahiq memerlukan latihan dan bimbingan serta penyuluhan. Dengan dana dari sumber lain, LPSM bisa
melakukan hal itu. Akhirnya program zakat produktif memerlukan juga pembinaan kelembagaan yang bisa dilakukan oleh LPSM.
Jika kita membicarakan mengenai zakat, sangat penting membicarakan mengenai kriteria kemiskinan. Dengan itulah kita dapat mengetahui berapa orang
yang hidup di atas atau di bawah garis kemiskinan serta bagaimana persentasenya. Hingga saat ini kita mengenal beberapa kriteria yang dipakai,
yaitu: 1.
Kriteria Sayogyo yang menetapkan angka pendapatan atau pengeluaran yang setara 240 kg beras untuk daerah desa dan 480 kg beras untuk daerah kota
atau rata-rata 360 kg beras.
36
35
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, h. 505.
36
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, h. 439.
73
2. BPS mengumumkan tingkat kemiskinan distandarkan berdasarkan
pengeluaran perkapita perhari sebesar Rp 10.000,- 3.
Word Bank menetapkan standar kemiskinan pengeluaran perkapita perhari sebesar 2 .
Dari kriteria-kriteria tersebut Islam memiliki pandangan yang berbeda mengenai kriteria kemiskinan. Ajaran Islam memiliki komitmen yang sistemik
terhadap penghapusan kemiskinan. Kebebasan dari kelaparan dan dari rasa takut adalah dua hak azasi manusia yang selalu disebut dalam Al-
Qur‟an. Pemberantasan kemiskinan dilembagakan dalam salah satu rukun Islam yaitu
zakat. Diantara sasaran zakat yang penting adalah : 1.
Orang fakir the destitute 2.
Orang miskin the poor 3.
Mereka yang dibelenggu dalam perbudakan 4.
Mereka yang dililit hutang
37
Zakat adalah bagian dari pendapatan dan kekayaan masyarakat yang berkecukupan untuk menjadi hak dan karena itu harus diberikan kepada yang
berhak, terutama untuk memberantas kemiskinan dan penindasan.
38
37
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, h. 445.
38
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, h. 446
74
Dalam zakat terdapat ketentuan bahwa suatu pendapatan atau kekayaan itu wajib dizakati jika dalam setahun sudah memenuhi nishab. Nishab untuk
memenuhi zakat maal adalah pendapatan atau kekayaan setara 89 gram emas setahun. Jika harga emas 24 karat itu Rp 300.000,- per gram, maka nilai 89 gram
emas murni adalah Rp 26.700.000,- setahun. Inilah garis batas dalam kriteria pendapatan antara yang miskin dan berhak menerima zakat dan yang cukup dan
wajib berzakat.
39
Zakatnya adalah 2,5 yang berarti Rp 667.500,- pertahun.
Dengan ukuran nishab itu, maka garis kemiskinan jika kita menggunakan standar 1 = Rp 10.000 adalah sebesar US 2.670 per tahun. Dengan kriteria
tersebut, mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia masih sangat banyak. Apabila kita lihat pendapatannya secara bulanan, tentu saja terdapat
kelompok atau lapisan masyarakat yang pendapatannya lebih dari Rp 2.225.000,- Rp 26.700.000 : 12. Jika suami maupun istri ikut menyumbang pendapatan
keluarga, maka pendapatan keluarga yang wajib zakat di atas Rp 2.225.000,- tentulah tidak sedikit. Dengan pendapatan sebesar itu seorang keluarga muslim
wajib zakat sebesar Rp 55.625,- per bulan atau Rp 667.500,- per tahun. Dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi dan tingkat kemudahan yang didapat, maka
tarif zakat seharusnya bisa lebih besar menjadi 5 - 20 agar tercipta kondisi yang proposional.
39
Hasil Wawancara dengan M. Dawam Raharjo, Pada Tanggal 4 Januari 2011.
75
Dari surat Al Taubah : 60 dapat dibaca secara jelas bahwa dari delapan golongan yang berhak menerima zakat, yang pertama orang fakir atau papa the
destitute. Yang kedua orang miskin the poor, yaitu mereka yang kekurangan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa prorioritas zakat adalah untuk golongan fakir dan miskin. Jika sebagian besar dana zakat diperuntukkan bagi pemberantasan
kemiskinan maka hal tersebut telah sesuai dengan maksud Al- Qur‟an.
Golongan ketiga dan keempat, amil zakat dan budak atau orang yang sumber daya insaninya dikuasai orang lain, dalam konteks sekarang barang kali
termasuk pembantu rumah tangga. Sedangkan golongan seterusnya adalah muallaf dan orang yang berhutang atau jelasnya orang yang tidak mampu
membayar hutang. Dua golongan inipun dapat dikategorikan miskin. Barang kali golongan kedelapan yaitu orang yang berada dalam perjalanan dapat
dikategorikan juga sebagai miskin secara relative, paling tidak dalam kesulitan keuangan atau kekurangan sehingga eksistensinya terancam di rantau orang.
40
Apabila jelas pengertiannya, bahwa zakat itu dimaksudkan untuk membangun manusia, dengan menghilangkan kemiskinan. Bagaiman hal itu bisa
terjadi? Jika seseorang itu miskin, lalu diberi zakat, apakah dia akan terentas dengan sendirinya dari kemiskinan? Dengan kata lain mekanisme pengentasan
40
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, h. 460.
76
orang atau kelompok masyarakat tertentu dari kemiskinan itu perlu penjelasan yang rasional, artinya tidak semata-mata bersifat dogmatis, bahwa zakat itu
menghilangkan kemiskinan.
Secara rasional hal itu tergantung dari beberapa faktor. Pertama, tingkat kemiskinan dan kompleksitas masalah kemiskinan itu sendiri, apakah kemiskinan
itu bersifat fungsional atau struktural. Kedua, besarnya dana yang diberikan sesuai dengan kebutuhan, sifat dan bentuk kemiskinan, luas dan dalamnya
kemiskinan. Ketiga, cara bagaiman dana Zakat itu digunakan oleh yang bersangkutan, misalnya untuk konsumtif ataukah produktif, untuk mengatasi
hutang-hutang ataukah untuk modal kerja. Keempat, kemampuan penerima Zakat untuk mempergunakannya dalam menolong diri sendiri, apakah penerima zakat
itu memiliki keterampilan dan kepandaian ataukah belum. Kelima, bentuk Zakat yang diberikan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh penerima, apakah
berupa uang atau barang, hibah atau pinjaman, mungkin juga berupa pemberian keterampilan.
41
Dalam rangka metode pengembangan ekonomi Islam dengan zakat sebagai titik-masuk entry-point, Dawam menggambarkannya dalam bentuk
diagram sebagai berikut:
41
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, h. 461
77
Refleksi Teologis
Analisis Sosial Penyadaran
Evaluasi dan perumusan teori Perencanaan Partisipasi
Kegiatan Kolektif
Secara sederhana, metode praksis ini terdiri atas enam langkah, yang di dalam setiap langkahnya terkandung unsur-unsur partisipasi masyarakat. Langkah pertama,
adalah melakukan suatu analisis sosial untuk mencari dan menemukan dasar-dasar dan tujuan kemasyarakatan dari ibadah zakat. Hal ini tentu saja didasarkan pada
asumsi bahwa perintah zakat dalam Alquran berkaitan dengan alasan-alasan dan tujuan sosial, di samping bersifat „ubudiyah yang dalam arti khusus, menyangkut
hubungan antara manusia dan Tuhan. Analisis dilakukan untuk melihat keadaan
78
kemakmuran dan kemiskinan relatif secara umum berdasarkan indikator-indikator agregat, seperti tingkat perkembangan wilayah dan, distribusi pendapatan.
Langkah kedua, adalah melakukan “refleksi teologis” untuk melihat segi yang
lebih dalam dan horison pemikiran yang lebih luas. Di situ istilah tazkiyah erat kaitannya dengan konsep-konsep birr kebajikan, ihsan perbaikan atau pembaruan,
„adl keadilan, ta‟a kerjasama, fakku raqabah pembebasan manusia dari perbudakan dan berbagai konsep yang berdimensi sosial. Dengan refleksi ini,
masalah zakat yang selama ini selalu dikemukakan sebagai masalah legal, yaitu dalam kerangka hukum fikih, bisa ditransendensikan sebagai isu filosofis-sosial.
Langkah ketiga yaitu melakukan program penyadaran. Proses penyadaran ini
penting, agar berbagai kelompok dalam masyarakat tidak saja menghayati tujuan- tujuan hakiki zakat, tetapi juga memiliki motivasi kuat untuk melaksanakan zakat
sebagai ibadah yang mengandung nilai-nilai sosial, ekonomi, dan politik. Langkah keempat
adalah perencanaan dan penyelenggaraan zakat. Perencanaan zakat ini dilakukan secara partisipatif, yaitu dilakukan bersama-sama
dengan muzakki, dan selanjutnya dengan mustahiq. Pada tingkat calon pembayar zakat, berbagai kelompok pemilik surplus ekonomi perlu mengetahui cara
menghitung sendiri. Mereka perlu mengetahui bagaimana menentukan nilai dasar floor harta atau pendapatan yang terkena zakat nishab, dan berapa rate
zakatnya, yaitu apakah 2 ½ persen, 5 persen atau 10 persen. Program distribusi zakat memerlukan pula perencanaan. Perlu dibuat definisi
dan kriteria mustahiq dengan pertolongan sosiologis maupun ekonomi dan skala
79
prioritas, secara kelompok maupun secara regional, agar sasaran zakat cukup tepat. Langkah kelima
ialah aksi bersama collective action yang mendasarkan diri pada prinsip
ta‟awun. Di sini, dilakukan kegiatan pelaksanaan seperti telah direncanakan bersama oleh kelompok mustahiq, yaitu melakukan kegiatan produksi
bersama secara kooperatif atau kolektif. Apabila kegiatan produktif ini berhasil, maka pada tingkat perkembangan tertentu, kelompok produktif ini, pada gilirannya,
akan terkena kewajiban pembayaran zakat. Kegiatan tersebut di atas, selanjutnya memerlukan monitoring dan evaluasi
dari waktu ke waktu yang merupakan langkah keenam. Dari hasil monitoring ini, kegiatan-kegiatan pelaksanaan baik keberhasilan maupun kegagalan, perlu dicatat.
42
42
Hasil Wawancara dengan M. Dawam Raharjo, Pada Tanggal 4 Januari 2011.
80
BAB IV PERANAN MANAJEMEN ZAKAT