Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ekonomi adalah kegiatan produksi, distribusi dan penggunaan konsumsi barang-barang material dan jasa. Dalam konteks Indonesia, yang 87 peduduknya beragama Islam, “ekonomi umat” dapat disebut identik dengan “ekonomi rakyat”. Ekonomi rakyat didefinisikan sebagai lapisan masyarakat kecil. Jadi ekonomi umat dapat kita definisikan sebagai kegiatan produksi, distribusi dan penggunaan konsumsi yang dilakukan oleh “orang kecil”. Jumlah orang kecil yang kegiatan perekonomiannya biasa disebut dengan ekonomi umat di Indonesia cukup besar, jumlah mereka mencapai sekitar 33.459.030 juta orang, lebih banyak dari orang-orang atau masyarakat yang bisa dikatakan golongan yang kebutuhan pokok hidupnya dapat dikatakan cukup. Cukup ironi melihat jumlah penduduk miskin di Indonesia yag mencapai angka 33.459.030 juta orang, Mengingat Indonesia adalah sebuah Negara yang dikaruniai oleh Allah Swt kekayaan alam yang melimpah dan sumber daya alam yang seharusnya dapat memakmurkan dan mensejahterakan mayoritas penduduk dan masyarakatnya. Melihat jumlah penduduk miskin di Indonesia yang mencapai angka 33.459.030 juta orang, dapat dikatakan bahwa pada faktanya kekayaan alam yang melimpah di Indonesia belum terdistribusi dengan baik dan hanya segelintir golongan yang 2 telah menikmati dan masih menikmati karunia sumber daya alam yang melimpah di Indonesia. Allah Swt adalah pemilik seluruh alam raya dan segala isinya, termasuk pemilik yang sebenarnya dari harta benda yang dimiliki oleh manusia, meskipun harta tersebut diperoleh dengan bekerja keras sekalipun. Pada hakikatnya manusia hanya sebagai orang yang dititipi harta oleh sang pemilik harta, dan manusia yang telah diamanati hendaknya menyalurkan dan membelanjakan harta tersebut sesuai dengan kehendak pemiliknya yaitu Allah Swt. Manusia yang dititipkan sudah seharusnya memenuhi ketetapan-ketetapan yang telah digariskan oleh sang pemilik, baik dalam hal pengembangan maupun dalam hal peggunaannya. Seperti yang telah orang Islam ketahui pada umumnya, zakat merupakan salah satu ketetapan Allah menyangkut harta, begitu pula dengan sedekah dan infak. Karena Allah Swt menjadikan harta benda sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya, maka sebagai manusia yang dititipkan harta sudah sepatutnya kita menggunakan harta kita untuk kepentingan umat. Seseorang yang mengeluarkan zakat, berarti dia telah membersihkan diri, jiwa, dan hartanya. Dengan berzakat dia telah membersihkan jiwanya dari penyakit kikir dan membersihkan harta yang dia miliki dari hak orang lain yang terkandung dalam harta yang dimilikinya. Dan dengan zakat, maka orang yang berzakat telah membersihkan jiwa orang yang diberikan zakat atau orang yang berhak menerimanya dari penyakit dengki, iri hati terhadap orang yang 3 mempunyai harta. 1 Zakat juga diharapkan dapat menyuburkan sifat kebaikan yang bersemayam di dalam hati nurani manusia, sehingga membuatnya dapat merasakan penderitaan orang lain, dan dia akan dengan sendirinya terdorong untuk membantu mereka dengan riang, ikhlas tanpa ada beban yang menyertai tindakannya. 2 Agama Islam dalam salah satu ajarannya sering menempatkan urgensi zakat tepat setelah sholat. Zakat menjadi salah satu rukun Islam yang penyebutannya sering kali disenafaskan dengan sholat, yang menjadi rukun Islam yang kedua. Tetapi sangat ironi bahwa zakat yang menurut Islam merupakan ibadah yang nilainya cukup tinggi, masih kurang mendapatkan perhatian yang selayaknya dari umat Islam. Selain itu zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta kekayaan seseorang. Seseorang yang telah memenuhi syarat-syaratnya berkewajiban untuk membayarkan zakatnya, karena harta yang dia miliki pada hakikatnya adalah harta milik Allah Swt. Betapa penting ibadah zakat bagi kesejahteraan umat, ibadah yang sifatnya perseorangan atau individual tetapi memiliki dampak sosial kemasyarakatan yang amat luas, oleh sebab itu sangat penting menumbuhkan kesadaran umat untuk membayar zakat. Selain itu agar zakat berdaya guna diperlukan manajemen dan pengelolaan yang sebaik-baiknya. 1 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah zakat, pajak, asuransi, dan lembaga keuangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996, cet, ke-1, h1. 2 M. Baqir Al-Habsyi, Fiqih praktis menurut A Qur‟an, As sunnah dan pendapat para ulama, PT. Mizan, 1999, cet, ke-1, h.273. 4 Pengelolaan zakat secara profesional memerlukan tenaga yang terampil, menguasai masaah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh dedikasi, jujur dan amanah. Tidak dapat kita bayangkan apabila pengelola zakat tidak menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, seperti soal muzakki dan mustahik zakat, perhitungan zakat dan pendistribusian zakat. Dan sangat sulit dibayangkan apabila pengelola zakat tidak penuh dedikasi bekerja lillahi T a‟ala. Banyak penyimpangan yang akan terjadi apabila pengelola zakat tidak jujur dan amanah. Kemungkinan yang akan terjadi zakat tidak sampai ke tangan mustahik dan mungkin akan digunakan untuk kepentingan pribadi saja. Oleh karena itu, tenaga yang terampil menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, jujur dan amanah sangat dibutuhkan dalam manajemen zakat yang profesional agar tujuan zakat yang sebenarnya dapat tercapai sesuai dengan tujuan diberlakukannya zakat itu sendiri. 3 Jika kita melihat urgensi zakat yang mana seringkali disenafaskan dengan sholat, ironisnya belum ada impikasi yang signifikan terhadap orientasi zakat itu sendiri yaitu mereduksi kemiskinan dan meningkatkan daya beli masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa ada kekeliruan pemahaman terhadap konsep zakat itu sendiri. Selama ini masyarakat pada umumnya hanya mengetahui dua bentuk zakat yaitu zakat fitrah dan zakat maal, yang kebanyakan diserahkan dalam bentuk konsumtif sembakouang sekadarnya layaknya bantuan langsung tunai 3 MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Social, Yogyakarta: PT Ukis Yogyakarta bekerja sama dengan pustaka pelajar yogyakarta, 1994, cet, ke-1, h.151. 5 yang menjadi program andalan pemerintah. Bila kita kaji lebih jauh, bentuk zakat seperti ini hanya akan memberikan “angin segar” yang sifatnya sementara bagi masyarakat “kecil” miskin. Oleh karena itu diperlukan sebuah pemikiran yang sesuai dengan kondisi masyarakat kita. Sehingga kehadiran zakat tersebut mampu meningkatkan ekonomi umat secara lebih mandiri dan sifatnya berkesinambungan atau tahan lama. Sejalan dengan ini Dawam Rahardjo berpendapat bahwa zakat itu tidak hanya didistribusikan dalam bentuk konsumtif, tetapi harus ada manajemen yang baik agar zakat dapat didistribusikan secara produktif sehingga zakat dapat meningkatkan ekonomi umat secara berkesinambungan. Berdasarkan masalah tersebut penulis melihat ada korelasi yang positif untuk diterapkan antara konsep manajemen zakat menurut Dawam Rahardjo dengan fungsi dan orientasi zakat itu sendiri. Hal tersebut diharapkan mampu menjadi solusi dalam pengembangan ekonomi umat. Berdasarkan pemaparan di atas penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh pemikiran Dawam Rahardjo mengenai peranan manajemen zakat terhadap pemberdayaan ekonomi umat sehingga penulis ingin menuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul : “ PEMIKIRAN DAWAM RAHARDJO MENGENAI PERANAN MANAJEMEN ZAKAT TERHADAP PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT” 6

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah