Pemikiran dawam raharjo tentang peranan manajemen zakat terhadap pemberdayaan ekonomi umat

(1)

PEMIKIRAN DAWAM RAHARDJO TENTANG PERANAN

MANAJEMEN ZAKAT TERHADAP PEMBERDAYAAN

EKONOMI UMAT

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Ekonomi Syari‟ah (S.E.Sy)

Oleh:

DICO ADHYA

NIM. 207046100606

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

PEMIKIRAN DAWAM RAHARDJO TENTANG PERANAN

MANAJEMEN ZAKAT TERHADAP PEMBERDAYAAN

EKONOMI UMAT

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

Oleh:

DICO ADHYA

NIM. 207046100606

Di Bawah bimbingan

Dr. Azizah, MA Djaka Badranaya, S. Ag, ME

NIP. 196304091989022001 NIP.197705302007011008

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H/2011


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul ”Pemikiran Dawam Rahardjo Tentang Peranan

Manajemen Zakat Terhadap Pemberdayaan Ekonomi Umat” telah diujikan

dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Muamalat.

Jakarta, 25 Maret 2011 Dekan,

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA, MM

NIP. 195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM (...) NIP. 195505051982011012

Sekretaris : Mufidah, SH.i (...)

Pembimbing I : Dr. Azizah, MA (...)

NIP. 196304091989022001

Pembimbing I : Djaka Badranaya, S.Ag, ME (...) NIP. 197705302007011008

Penguji I : Dr. Ir. Yadi Nurhayadi, M.SI (...)


(4)

ميحرلا نمحرلا ه مسب

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi Robbi, atas segala rahmat dan hidayat-Nya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi Syariah.

Shalawat serta salam tercurah kepadajunjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta sahabat dan keluarganya.

Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa banyak tangan yang terulur memberikan bantuan. Ucapan rasa hormat yang setinggi-tingginya dan terima kasih yang setulus-tulusnya atas segala kepedulian mereka yang telah memberi bantuan baik berupa saran, sapaan moril, kritik membangun, dorongan, semangat, dukungan finansial maupun sumbangan pemikiran dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag, selaku Ketua Koordinator Teknis Program (Non Reguler) yang telah membantu penulis memberikan masukan dan arahan dalam hal administrasi.


(5)

3. Kakak Mufida, SHi dan Kakak Syafi‟i, SEi yang telah banyak memberikan masukan dan bantuan dalam hal-hal administrasi serta memberikan masukan-masukan serta saran yang membantu penulis selama mengerjakan penulisan skripsi.

4. Ibu Dr. Azizah, MA, selaku pembimbing I dan Bapak Djaka Badranaya, S.Ag.,ME, selaku pembimbing II atas segala jasanya memberikan bimbingan dengan kesabaran dan keikhlasan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Azharuddin Lathif, MA, selaku penasihat akademik yang telah membantu penulis dalam merumuskan judul skripsi.

6. Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo, selaku narasumber yang telah bersedia membagi ilmu dan meluangkan waktu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

7. Ibu Mala selaku sekretaris Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo yang telah mempermudah penulis dalam hal menjadwalkan wawancara penulis sehingga skripsi ini dapat selesai lebih cepat.

8. Seluruh Staf pengajar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunyakepada penulis.

9. Pimpinan dan karyawan perpustakaan Syariah dan perpustakaan utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan pinjaman buku kepada penulis, sehingga dapat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(6)

10.Seluruh keluarga tercinta, Ayahanda Nizam Anwar dan Ibunda Endri Yenni yang selalu memberikan kasih sayang dan perhatian kepada ananda, Kakakku Zendy Prima yang telah memberikan banyak inspirasi sehingga skripsi ini dapat cepat terselesaikan dan Adikku Vetra Seyna yang selalu memberikan dukungan dan suport selama proses pengerjaan skripsi ini serta Ratih Novi Pratiwi yang selalu men-suport dan mendoakan selama proses pengerjaan skripsi ini berlangsung.

11.Senior-senior yang saya hormati, Jeddy octora Lausu (BOS) yang selalu membantu mengerjakan tugas-tugas dan selalu memberikan petuah-petuah emas dalam setiap permasalahan, Rivaldi Pragola yang telah banyak menghibur selama berlangsungnya skripsi ini, Rahman Shidiq yang memberikan masukan-masukan berharga dalam proses penulisan skripsi,

Rofi‟udin dan Aray yang telah banyak memberikan saran dan masukan-masukan yang sangat berguna dalam pengerjaan skripsi ini dan senior-senior lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

12.Tema-teman seperjuangan, Wahyu Hidayat (Manyun) yang telah sama-sama berjuang dari semester 3 hingga selesainyaa skripsi ini, Arif Sholeh (Om JON) yang telah memberikan ide-ide serta saran-saran yang brilian dalam skripsi ini, Hafidz juliansyah (Bang Jul) dan teman-teman angkatan 2007 umumnya serta teman-teman di PS B 07 NR khususnya yang telah memberikan atmosfer yang positif dalam suasana belajar di dalam kelas. Akhirnya , kepada semua pihak yang telah berjasa dalam membantu penyelesaian skripsi ini, baik yang telah penulis sebut di atas maupun yang


(7)

tidakdapat penulis sebutkan satu persatu. Mudah-mudahan Allah SWT membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda. Amin.

Ciputat, 03 Maret 2011 M

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 7

E. Metodologi Penulisan ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZAKAT A. Definisi Zakat ... 12

B. Syarat Wajib Zakat dan Mustahik Zakat ... 19

C. Dasar Hukum Zakat ... 31

D. Manajemen Zakat Dalam Lintasan Sejarah Islam Klasik ... 33

E. Manajemen Zakat ... 45


(9)

BAB III BIOGRAFI DAWAM RAHARDJO

A. Kehidupan, Lingkungan dan Pengaruh Pemikiran... 52

B. Riwayat Pendidikan dan Karir ... 59

C. Karya-Karya Ilmiah ... 63

D. Manajemen Zakat Dawam Rahardjo ... 66

Bab IV PERANAN MANAJEMEN ZAKAT TERHADAP PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT A. Urgensi ... 80

B. Relevansi ... 87

C. Implementasi ... 93

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 102

B. Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 104

LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

1

A. Latar Belakang Masalah

Ekonomi adalah kegiatan produksi, distribusi dan penggunaan (konsumsi) barang-barang material dan jasa. Dalam konteks Indonesia, yang 87 %

peduduknya beragama Islam, “ekonomi umat” dapat disebut identik dengan “ekonomi rakyat”. Ekonomi rakyat didefinisikan sebagai lapisan masyarakat

kecil. Jadi ekonomi umat dapat kita definisikan sebagai kegiatan produksi,

distribusi dan penggunaan (konsumsi) yang dilakukan oleh “orang kecil”. Jumlah

orang kecil yang kegiatan perekonomiannya biasa disebut dengan ekonomi umat di Indonesia cukup besar, jumlah mereka mencapai sekitar 33.459.030 juta orang, lebih banyak dari orang-orang atau masyarakat yang bisa dikatakan golongan yang kebutuhan pokok hidupnya dapat dikatakan cukup. Cukup ironi melihat jumlah penduduk miskin di Indonesia yag mencapai angka 33.459.030 juta orang, Mengingat Indonesia adalah sebuah Negara yang dikaruniai oleh Allah Swt kekayaan alam yang melimpah dan sumber daya alam yang seharusnya dapat memakmurkan dan mensejahterakan mayoritas penduduk dan masyarakatnya. Melihat jumlah penduduk miskin di Indonesia yang mencapai angka 33.459.030 juta orang, dapat dikatakan bahwa pada faktanya kekayaan alam yang melimpah di Indonesia belum terdistribusi dengan baik dan hanya segelintir golongan yang


(11)

telah menikmati dan masih menikmati karunia sumber daya alam yang melimpah di Indonesia.

Allah Swt adalah pemilik seluruh alam raya dan segala isinya, termasuk pemilik yang sebenarnya dari harta benda yang dimiliki oleh manusia, meskipun harta tersebut diperoleh dengan bekerja keras sekalipun. Pada hakikatnya manusia hanya sebagai orang yang dititipi harta oleh sang pemilik harta, dan manusia yang telah diamanati hendaknya menyalurkan dan membelanjakan harta tersebut sesuai dengan kehendak pemiliknya yaitu Allah Swt. Manusia yang dititipkan sudah seharusnya memenuhi ketetapan-ketetapan yang telah digariskan oleh sang pemilik, baik dalam hal pengembangan maupun dalam hal peggunaannya. Seperti yang telah orang Islam ketahui pada umumnya, zakat merupakan salah satu ketetapan Allah menyangkut harta, begitu pula dengan sedekah dan infak. Karena Allah Swt menjadikan harta benda sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya, maka sebagai manusia yang dititipkan harta sudah sepatutnya kita menggunakan harta kita untuk kepentingan umat.

Seseorang yang mengeluarkan zakat, berarti dia telah membersihkan diri, jiwa, dan hartanya. Dengan berzakat dia telah membersihkan jiwanya dari penyakit kikir dan membersihkan harta yang dia miliki dari hak orang lain yang terkandung dalam harta yang dimilikinya. Dan dengan zakat, maka orang yang berzakat telah membersihkan jiwa orang yang diberikan zakat atau orang yang berhak menerimanya dari penyakit dengki, iri hati terhadap orang yang


(12)

mempunyai harta.1 Zakat juga diharapkan dapat menyuburkan sifat kebaikan yang bersemayam di dalam hati nurani manusia, sehingga membuatnya dapat merasakan penderitaan orang lain, dan dia akan dengan sendirinya terdorong untuk membantu mereka dengan riang, ikhlas tanpa ada beban yang menyertai tindakannya.2

Agama Islam dalam salah satu ajarannya sering menempatkan urgensi zakat tepat setelah sholat. Zakat menjadi salah satu rukun Islam yang penyebutannya sering kali disenafaskan dengan sholat, yang menjadi rukun Islam yang kedua. Tetapi sangat ironi bahwa zakat yang menurut Islam merupakan ibadah yang nilainya cukup tinggi, masih kurang mendapatkan perhatian yang selayaknya dari umat Islam. Selain itu zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta kekayaan seseorang. Seseorang yang telah memenuhi syarat-syaratnya berkewajiban untuk membayarkan zakatnya, karena harta yang dia miliki pada hakikatnya adalah harta milik Allah Swt.

Betapa penting ibadah zakat bagi kesejahteraan umat, ibadah yang sifatnya perseorangan atau individual tetapi memiliki dampak sosial kemasyarakatan yang amat luas, oleh sebab itu sangat penting menumbuhkan kesadaran umat untuk membayar zakat. Selain itu agar zakat berdaya guna diperlukan manajemen dan pengelolaan yang sebaik-baiknya.

1

M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah zakat, pajak, asuransi, dan lembaga keuangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), cet, ke-1, h1.

2

M. Baqir Al-Habsyi, Fiqih praktis menurut A Qur‟an, As sunnah dan pendapat para ulama, (PT. Mizan, 1999), cet, ke-1, h.273.


(13)

Pengelolaan zakat secara profesional memerlukan tenaga yang terampil, menguasai masaah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh dedikasi, jujur dan amanah. Tidak dapat kita bayangkan apabila pengelola zakat tidak menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, seperti soal muzakki dan mustahik zakat, perhitungan zakat dan pendistribusian zakat. Dan sangat sulit dibayangkan apabila pengelola zakat tidak penuh dedikasi bekerja

lillahi Ta‟ala. Banyak penyimpangan yang akan terjadi apabila pengelola zakat tidak jujur dan amanah. Kemungkinan yang akan terjadi zakat tidak sampai ke tangan mustahik dan mungkin akan digunakan untuk kepentingan pribadi saja. Oleh karena itu, tenaga yang terampil menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, jujur dan amanah sangat dibutuhkan dalam manajemen zakat yang profesional agar tujuan zakat yang sebenarnya dapat tercapai sesuai dengan tujuan diberlakukannya zakat itu sendiri.3

Jika kita melihat urgensi zakat yang mana seringkali disenafaskan dengan sholat, ironisnya belum ada impikasi yang signifikan terhadap orientasi zakat itu sendiri yaitu mereduksi kemiskinan dan meningkatkan daya beli masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa ada kekeliruan pemahaman terhadap konsep zakat itu sendiri. Selama ini masyarakat pada umumnya hanya mengetahui dua bentuk zakat yaitu zakat fitrah dan zakat maal, yang kebanyakan diserahkan dalam bentuk konsumtif (sembako/uang sekadarnya) layaknya bantuan langsung tunai

3

MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Social, (Yogyakarta: PT Ukis Yogyakarta bekerja sama dengan pustaka pelajar yogyakarta, 1994), cet, ke-1, h.151.


(14)

yang menjadi program andalan pemerintah. Bila kita kaji lebih jauh, bentuk zakat

seperti ini hanya akan memberikan “angin segar” yang sifatnya sementara bagi masyarakat “kecil” (miskin).

Oleh karena itu diperlukan sebuah pemikiran yang sesuai dengan kondisi masyarakat kita. Sehingga kehadiran zakat tersebut mampu meningkatkan ekonomi umat secara lebih mandiri dan sifatnya berkesinambungan atau tahan lama. Sejalan dengan ini Dawam Rahardjo berpendapat bahwa zakat itu tidak hanya didistribusikan dalam bentuk konsumtif, tetapi harus ada manajemen yang baik agar zakat dapat didistribusikan secara produktif sehingga zakat dapat meningkatkan ekonomi umat secara berkesinambungan.

Berdasarkan masalah tersebut penulis melihat ada korelasi yang positif untuk diterapkan antara konsep manajemen zakat menurut Dawam Rahardjo dengan fungsi dan orientasi zakat itu sendiri. Hal tersebut diharapkan mampu menjadi solusi dalam pengembangan ekonomi umat.

Berdasarkan pemaparan di atas penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh pemikiran Dawam Rahardjo mengenai peranan manajemen zakat terhadap pemberdayaan ekonomi umat sehingga penulis ingin menuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul : “ PEMIKIRAN DAWAM RAHARDJO MENGENAI PERANAN MANAJEMEN ZAKAT TERHADAP PEMBERDAYAAN


(15)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Penulisan skripsi ini akan dibatasi pada masalah seputar konsep manajemen zakat menurut Dawam Rahardjo dan peranannya dalam pemberdayaan ekonomi umat.

Dengan melihat latar belakang masalah yang telah dijabarkan di atas, yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini adalah Bagaimana Manajemen Zakat yang baik dapat berperan dalam Pemberdayaan Perekonomian Umat Menurut Dawam Rahardjo. Untuk menjawab permasalahan pokok di atas penulis merumuskan masalah-masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Konsep Manajemen Zakat Menurut Dawam Rahardjo? 2. Bagaimana Urgensi Manajemen Zakat?

3. Bagaimana Relevansi Manajemen Zakat Terhadap Konstitusi Negara Indonesia?

4. Bagaimana Implementasi Manajemen Zakat?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setelah menyelesaikan skripsi ini, tujuan dan manfaat yang hendak dicapai adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui potensi zakat terhadap pemberdayaan ekonomi umat b. Untuk mengetahui bagaimana manajemen zakat dari sudut pandang


(16)

c. Untuk memperkaya khasanah keilmuan ekonomi Islam 2. Manfaat Penelitian

Bagi peneliti: diharapkan dapat menambah dan memberikan pengetahuan tentang bagaimana memanage zakat agar mampu memperbaiki perekonomian umat, serta bagaimana zakat itu dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan fungsi dan tujuannya.

Bagi Akademisi: Semoga hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi para akademisi untuk memperkaya wawasan keilmuan mereka dan dapat berdampak positif bagi pemikran-pemikiran mereka.

Bagi Masyarakat: Skripsi ini dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman yang jelas tentang manajemen zakat yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia menurut Dawam Rahardjo agar zakat tersebut dapat berfungsi optimal dan sukses membangun perekonomian umat.

D. Tinjauan Kajian Terdahulu

1. Pada tahun 2005 telah ditulis skripsi dengan judul zakat profesi sebagai salah satu usaha untuk memberdayakan ekonomi umat oleh Ahmad Sofyan

Hasibuan. Dalam skripsi ini dijelaskan secara khusus zakat dalam berbagai profesi dalam meningkatkan perekonomian umat.

2. Pada tahun 2005 telah ditulis skripsi dengan judul manfaat zakat bagi kesejahteraan umat (studi kasus pada BAZIS Jakarta Barat) oleh Ayanan


(17)

Supriyati. Skripsi ini memaparkan zakat secara umum dan prakteknya di Bazis Jakarta Barat.

3. Pada tahun 2006 telah ditulis skripsi dengan judul penyaluran zakat dari konsumtif ke produktif telaah atas pemikiran Dr. K.H. Didin Hafidhuddin, M.Sc. oleh Ahmad Yaman. Skripsi ini membahas mengenai orientasi zakat yang sifatnya konsumtif atau sementara menjadi yang bersifat produktif atau berkesinambungan.

Dengan mengacu pada tiga karya tulis di atas, penulis memiliki perbedaan kajian penelitian di mana penulis lebih menjelaskan mengenai pemikiran Dawam Rahardjo tentang manajemen zakat dan peranannya terhadap perekonomian umat

E. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yakni penelitian yang menggambarkan suatu gejala, data-data, dan informasi yang berdasarkan pada fakta yang diperoleh dari lapangan. Metode ini adalah metode kualitatif yakni penelitian yang menghasilkan deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari fenomena yang ditulis.

2. Sifat Data

Data pada penelitian ini bersifat kualitatif dan historis. Data kualitatif didasarkan pada isi atau mutu suatu fakta, sedangkan data historis didasarkan pada pengalaman masa lalu sampai sekarang yang menggambarkan secara


(18)

keseluruhan kebenaran kejadian atau fakta yang sampai sekarang masih diterapkan/dipakai.

3. Data (Sumber dan Teknik Pengumpulan) a. Sumber data

Sebagai sumber data primer dalam penulisan ini adalah buku karangan Dawam Rahardjo yang berkaitan dengan konsep pemikiran orisinil dari Dawam Rahardjo mengenai manajemen zakat dan perekonomian umat. Sedangkan sumber data yang bersifat sekunder penulis mengambil dari buku-buku, surat kabar, majalah, karya ilmiah yang tentunya berhubungan dan mendukung penelitian ini.

b. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan dengan menggunakan studi dokumenter yaitu kajian pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan penyimpanan informasi dalam bidang ilmu pengetahuan, yang diantaranya meneliti, memahami, menganalisa data-data yang berkaitan dengan pembahasan ini

4. Pedoman Penulisan

Pedoman penulisan skripsi ini menggunakan buku “Buku Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri


(19)

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini didesain secara sederhana dengan mengacu pada

buku “pedoman penulisan karya ilmiah di Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”. Dan secara sistematis penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab yaitu :

Bab I Yakni pendahuluan yang menjelaskan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kajian terdahulu, metodologi penulisan serta sistematika penulisan

Bab II Yakni tentang tinjauan umum tentang zakat yang meliputi: pengertian zakat dan syarat wajib zakat, orang-orang yang wajib memberi dan berhak menerima zakat dan pengertian manajemen zakat

Bab III Yakni tentang pembahasan biografi Dawam Rahardjo,bab ini memaparkan tentang sejarah kehidupan Dawam Rahardjo dan riwayat pendidikan Dawam Rahardjo serta karya-karya ilmiahnya Bab IV Yakni membahas tentang konsep manajemen zakat menurut Dawam

Rahardjo, Urgensi Manajemen Zakat, Relevansi Manajemen Zakat terhadap konstitusi negara Indonesia dan Implementasi Manajemen Zakat.


(20)

Bab V Penutup

Dalam bab ini, terdiri kesimpulan dan rekomendasi tentang pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.


(21)

12

A. Definisi Zakat

Zakat menurut bahasa memilik arti, tumbuh, menyucikan, bertambah dan kebersihan.1

Sedangkan di dalam Al-Qur‟an, zakat mempunyai beberapa istilah : 1. Zakat











Dan dirikanlah shalat dan berikanlah zakat, dan ruku‟lah bersama-sama orang yang ruku‟ “ (S.2 ; Al-Baqarah : 43)

2. Shadaqah









Apakah mereka tidak mengetahui bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hambnya dan mengambil shadaqah-shadaqah dan bahwasanya Allah sangat menerima taubat hambanya lagi senantiasa kekal rahmatnya “ (S.9 ; At taubah : 104)

1

Prof. DR. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta, PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1989, cet.1, h. 156.


(22)

3. Haq













Dan dialah Allah yang menciptakan tumbuh-tumbuhan yang dibuat panggungnya dan yang tidak dibuat, menciptakan korma dan tumbuh-tumbuhan yang beraneka rasanya, zaitun dan buah delima yang hampir-hampir bersamaan bentuknya dan yang tidak bersamaan. Makanlah sebagian daripada buahnya apabila dia berbuah dan berikan haqnya (zakatnya) dihari dia dituai dan janganlah kamu berlebih-lebihan, sesunguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan “ (S.6 ; Al

An‟am :141) 4. Nafaqah





































“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, “(S.9 ; At Taubah :34)

5. „Afuw







Ambilah „afuw(zakat) dan suruhlah yang ma‟ruf dan berpalinglah dari orang -orang yang jahil (tidak beradab)” (S.7 ; Al „raf : 199)


(23)

Secara ringkas zakat dapat digunakan dalam beberapa arti seperti di atas. Bahkan pada surat At Taubah ayat 60, yaitu :

























Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk membebaskan orang yang berhutang, untuk yang berada di jalan Allah dan untuk orang yang sedang di dalam perjalanan sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (S.9 ; At Tubah : 60)

Yang membahas mengenai golongan-golongan yang berhak menerima zakat,

Al-Qur‟an tidak menggunakan kata zakat tetapi menggunakan kata sedekah.2 Hal ini menunjukan bahwa zakat memiliki banyak definisi.

Sudah banyak tokoh-tokoh yang mendefinisikan zakat menurut syara‟ dan istilah, menurut pendapat Al Mawardi dalam kitab Al Hawi yang dikutip oleh Teungku Muhammad Hasbi dalam bukunya pedoman zakat mendefinisikan zakat sebagai sebutan untuk pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang

2

M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Jakarta, Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999, cet. Ke I, h. 474.


(24)

tertentu untuk diberikan kepada golongan yang tertentu.3 Asy Syaukani mengatakan zakat adalah memberikan suatu bagian dari harta yang sudah sampai nishab kepada orang fakir dan sebagainya, yang tidak bersifat dengan sesuatu halangan syara‟ yang tidak membolehkan kita memberikan kepadanya.4 Menurut Mahmud Syaltut zakat adalah nama pada sebuah bagian dari harta benda yang dikeluarkan oleh orang yang kaya dari harta bendanya kepada saudaranya yang fakir, dan untuk menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan umum yang memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dalam pangkalnya dan pengaturannya.5 Zakat menurut asy-Syaukani ialah memberikan sebagian dari harta yang sudah mencapai satu nishab kepada orang fakir dan sebagainya, yang menurut syara‟ tidak dilarang menerimanya. Zakat menurut Sayyid Quthb ialah kewajiban individu yang harus ditunaikan kepada masyarakat, yang kadang-kadang membebankan kewajiban kepada sebagian anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, dan dengan demikian Islam merealisir, sebagian dari prinsip umumnya agar (harta itu) tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya di antaramu saja. Zakat dalam tafsir Muhammad Ali dan pemikiran Murasa dan Sahri

3

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat, Semarang, PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 1999, cet. Ketiga, h. 5.

4

Hasbi, Pedoman Zakat, h. 5

5


(25)

muncul sebagai konsep dana masyarakat untuk golongan masyarakat miskin6 dimana zakat diambil dari harta orang kaya, dan diberikan kepada orang-orang yang papa di antara mereka.7 SA. Shiddieqy dalam bukunya Public Finance in Islam

mendefinisikan zakat adalah pajak yang bersifat wajib, yang dikenakan oleh suatu negara Islam kepada anggota masyarakat muslim, kelebihan uang dari anggota yang relatif mampu diambil untuk diberikan kepada kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang membutuhkan.8 Arti zakat menurut istilah fikih adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya, di samping berarti mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri. Dalam istilah ekonomi, zakat merupakan suatu pemindahan harta kekayaan dari golongan kaya kepada golongan miskin. Transfer kekayaan berarti juga transfer sumber-sumber ekonomi. Tindakan ini tentu akan mengakibatkan perubahan tertentu yang bersifat ekonomis umpamanya saja seseorang yang menerima zakat bisa menggunakannya untuk konsumsi atau produksi.9

Dari banyaknya definisi zakat, maka zakat dapat didefinisikan secara umum sebagai mengeluarkan sejumlah harta tertentu sesuai ketentun Syari‟ah kepada orang-orang

6

M. Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah: Menuju Ekonomi Islam, Bandung, MIZAN, Cet. IV, 1994, h. 144.

7

M. Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah : Menuju Ekonomi Islam, h.145

8

M. Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah : Menuju Ekonomi Islam, h.168

9

Muhammad, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran Zakat dalam Fiqih Kontemporer, Jakarta, Salemba Diniyah, Cet. I, 2002, h. 20.


(26)

tertentu dengan cara yang telah ditentukan,10 untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup baik produktif maupun konsumtif bagi umat Islam yang kurang mampu dan membersihkan harta umat Islam yang mampu serta untuk menjaga keamanan sosial dengan cara mengurangi kesenjangan masyarakat.

Berdasarkan definisi-definisi mengenai zakat, zakat mempunyai fungsi bagi muzakki (orang yang memberi zakat) dan tentunya mustahik (orang yang menerima zakat). Sejarah perkembangan Islam di Madinah, setelah Rasulullah saw. berhijrah ke Madinah demikian pesatnya, maka bersamaan dengan itu di daerah Yaman telah mulai pula perkembangan Islam. Beberapa kali perutusan dari Yaman datang menemui Nabi dan para sahabat. Kedatangan mereka adalah untuk mempelajari Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. Demikian pesatnya perkembangan Islam di Yaman, maka menurut pertimbangan Rasulullah saw, maupun karena permintaan umat Islam di Yaman saat itu, maka sudah saatnya Rasulullah saw mengirim duta Islam ke tanah Yaman, yaitu duta yang berfungsi sebagai guru dan pelaksana hukum dari ajaran Islam di wilayah Yaman. Untuk tugas itu Rasulullah saw memilih Muadz bin Jabal diantara para sahabat-sahabatnya. Sebelum berangkat Muadz bertanya dan meminta petunjuk Rasulullah saw mengenai berbagai permasalahan dalam pelaksanaan kekuasaan dan tata cara pengambilan keputusan yang harus dilakukannya di dalam setiap mengatasi permasalahan di Yaman. Salah satu hal yang Nabi pesankan adalah masalah zakat dan shadaqah yang harus diamalkan Muadz

10

Dr Khalid bin Ali al-Musyaiqih, Zakat Kontemporer : solusi Atas Fenomena Kekiknian, Jakarta, Embun Litera Publishing, Cet. I, 2010, h. 2.


(27)

kelak sebagai duta Islam di Yaman, wilayah baru Islam saat itu. Pesan itu yang hingga sekarang menjadi dasar bagi umat Islam dalam memenuhi kewajiban mengeluarkan zakat dan shadaqah. Hal ini disampaikan Rasulullah saw kepada Muadz sebelum keberangkatannya ke Yaman sebagai duta Islam. Sesudah Muadz mengarahkan penduduk Yaman untuk mengikrarkan dua kalimat syahadat, dan melaksanakan shalat, maka langsung mengarahkan mereka untuk mengeluarkan zakat dan shadaqah, yang diambil dari orang-orang kaya untuk diberikan kepada fakir miskin.11 Dalam hubungan wajib zakat dan shadaqah ini sejalan dengan firman Allah dalam kitabmsuci Al-Qur‟an yang artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta

mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa mereka dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui”.(S.9 ; At-Taubah :103) Riwayat di atas mengandung hikmah bahwa zakat dan shadaqah wajib ditarik dengan tertib sampai batas haulnya dari orang-orang yang diberi kelapangan rezeki dari Allah untuk disampaikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Pentingnya kewajiban zakat dan shadaqah ini kita lihat dari perintah Rasulullah saw kepada Muadz untuk disampaikan kepada kaum muslimin setelah membaca syahadat dan memerintahkan shalat, maka bagi si kaya wajib mengeluarkan zakat dan memberikan shadaqah kepada orang-orang miskin. Ayat 103 surah At-Taubah menjelaskan hikmah dan fungsi zakat dan shadaqah bagi orang-orang yang mampu sebagai

11 H. Amin Santoso , “

Fungsi Zakat dan Shadaqah” artikel diakses pada 3 Januari 2011 dari http://zakatmaliah.blogspot.com/2009/05/fungsi-zakat.html


(28)

Tuthahhiruhum yaitu untuk membersihkan harta mereka dari kotoran kebakhilan, keserakahan, kekejaman dan kezlaliman terhadap kaum fakir dan miskin dan tuzakkiehim yaitu mensucikan harta itu sendiri, sehingga ia tumbuh berkembang dengan penuh kebajikan dan keberkahan, baik dari moral dan amal yang membuatnya bahagia di dunia dan akhirat. Perintah ini dilakukan agar di tengah masyarakat Islam tidak terjadi praktik-praktik di mana apa yang seharusnya menjadi hak kaum lemah, fakir, dan miskin dikuras dan diambil oleh orang-orang kaya. Untuk menjaga agar orang-orang kaya dan para pejabat tidak melakukan perbuatan korupsi, pengambilan hak orang-orang-orang fakir dan miskin, Muadz diperintah oleh Rasulullah saw. agar menjaga kehormatan para hartawan yang telah mengeluarkan zakat dan shadaqahnya. Rasulullah saw. juga mengingatkan orang-orang kaya yang tidak mau mengeluarkan zakat dan shadaqah, bahwa doanya orang-orang lemah, fakir miskin, dan orang-orang yang teraniaya akan dikabulkan Allah swt. Jika perintah itu dapat terlaksana dengan baik maka kesejahteraan dan ketenteraman umat dapat dijaga dengan baik, sehingga pelaksanaan perintah ibadah-ibadah yang lain dapat berjalan dengan baik dan lancar. Serta stabilitas ekonomi dapat berjalan dengan baik.12

B. Syarat Wajib Zakat dan Mustahik Zakat

Sebelum melaksanakan ibadah zakat, ada beberapa syarat yang wajib dipenuhi agar kewajiban zakat dapat dibebankan kepada harta yang dipunyai oleh umat muslim dan

12 H. Amin Santoso, “

Fungsi Zakat dan Shadaqah”, artikel diakses pada 3 Januari 2011 dari http://majalahnh.com/index.php/hikmah/90-fungsi-zakat-aamp-shadaqah.html


(29)

kepada umat Islam itu sendiri. Ada enam syarat wajib zakat, Islam, Merdeka, Dimiliki secara penuh, Mencapai Nishab,Haul dan Digembalakan di padang rumput bebas.13

Untuk memberi pemahaman yang jelas terhadap syarat-syarat wajib tersebut, penulis akan memaparkannya sebagai berikut :

1. Islam

Orang Islam yang mempunyai harta yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan berkewajiban mengeluarkan zakat. Adapun orang kafir, maka jika ia adalah kafir asli (bukan murtad) maka tidak ada kewajiban zakat atasnya berdasarkan apa yang terfahami dari ungkapan Khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq: “Inilah kewajiban zakat sebagaimana yang ditetapkan oleh Rasulullah kepada segenap muslimin”. Sebab, orang kafir tidak dituntut untuk menunaikannya karena statusnya sebagai orang kafir ataupun setelah ia masuk Islam, zakat kedudukannya sama seperti shalat. Adapun orang yang murtad, maka kewajiban zakat tidak gugur karenanya, maka jika hartanya telah genap 1 haul padanya, dan ia masih dalam keadaan murtad, maka zakat dalam hal ini ada khilaf ulama yang shahih adalah hartanya harus disita (oleh pemerintahan Islam), maka jika ia kembali kepada Islam maka wajiblah ia menunaikan zakatnya, namun jika ia tetap dalam kemurtadannya maka tidak wajib ia tunaikan zakatnya.14

2. Tentang Merdeka

13

Artikel diakses pada tanggal 20 februari dari http://hauzahrinjani.com/admin/download/Kamis%204-3-10%20Keuangan%20Publik%20ZAKAT.pdf

14

Artikel diakses pada tanggal 20 februari dari http://hauzahrinjani.com/admin/download/Kamis%204-3-10%20Keuangan%20Publik%20ZAKAT.pdf


(30)

Maksudnya zakat tidak wajib atas orang yang berstatus budak, sebab ia tidak memiliki apapun (bahkan dirinya pun adalah milik tuannya). Dan andaipun ia memiliki harta pada tuannya atau pada orang lain maka yang sebenarnya adalah ia tidak memiliki apapun. Adapun mudabbar (orang yang berstatus ganda: budak dan merdeka), dan ummul walad (seorang budak yang melahirkan anak merdeka) adalah sama seperti rumah tinggal, tidak kena zakat. Adapun mukatib/mukatab (budak yang sedang melakukan perjanjian kemerdekaan) juga tidak wajib zakat atasnya sebab harta kepemilikannya adalah lemah statusnya, dan tuannya pun tidak terkena kewajiban zakat karenanya. Sebab, mukatib walaupun pada saat yang sama ia boleh membelanjakan hartanya sendiri, namun ia tidak wajib zakat. Jika budak tersebut telah merdeka dan ia memiliki sejumlah harta mencapai nishab, maka mulailah haul dihitung sejak saat itu. Jika ia tidak mampu untuk menunaikan zakatnya, dan kemudian harta itu menjadi milik tuannya, maka haulnya dihitung dari awal lagi sejak dipindah milikkan kepada tuannya tersebut. Oleh karena itu keharusan merdeka bagi wajib zakat menafikan kewajiban zakat terhadap hamba sahaya.15

3. Tentang Kepemilikan Penuh

Yang dimaksud dengan istilah ini adalah harta yang tidak ada di dalamnya hak orang lain yang wajib dibayarkan. Atas dasar syarat ini seorang yang memiliki harta yang

15


(31)

cukup satu nisab, tetapi ia masih memiliki hutang pada orang lain yang jika dibayarkan sisa hartanya tidak lagi mencapai satu nisb, maka dalam hal ini tidak wajib zakat padanya, karena hartanyabukanlah miliknya secara sempurna.16

4. Tentang Nishab (Standar Minimal Harta Wajib Zakat)

Diantara syarat wajib zakat adalah apabila hartanya telah mencapai satu nisab.17 Harta yang tidak termasuk dalam ketentuan wajib zakat adalah harta yang kurang dari nishab. Maka, tidak ada kewajiban zakat atas kepemilikan unta, sapi, kerbau, dan kambing, jika jumlahnya kurang dari nishab.18

5. Tentang Haul (Masa Putaran Satu Tahun)

Adapun haul sebagai syarat berzakat, maka harta yang tidak sampai melewati masa haul, baik harta itu mencapai nishab atau lebih, maka tidak wajib zakat, berdasarkan

sabda Rasulullah: “Tidak ada kewajiban zakat atas harta apapun jika tidak melewati

masa putaran 1 haul.” HR. Abu Daud No. 1573, Ibnu Majah No. 1792, Imam Malik No. 4 dan 6, dan beliau (Abu Daud) tidak mendhaifkannya, bahkan merupakan ijma‟

(kesepakatan) tabiin dan fuqaha. Demikian dikatakan oleh Imam Al-Mawardi, walaupun ada beberapa shahabat menyelisihinya. Disebut haul karena maknanya

16

A. Rahman, Fiqh Sunnah, h.178

17

A. Rahman, Fiqh Sunnah, h.178

18

Artikel diakses pada tanggal 20 februari dari http://hauzahrinjani.com/admin/download/Kamis%204-3-10%20Keuangan%20Publik%20ZAKAT.pdf


(32)

adalah perputaran masa selama satu tahun atau 12 bulan. Harta yang sudah cukup senisab baru wajib dizakatkan jika sudah sampai setahun dimiliki.19

6. Tentang Digembalakan

Syarat zakat berikutnya adalah digembalakan, maksudnya adalah digembalakan di padang rumput bebas. Dalilnya adalah berdasarkan surat keputusan Khalifah I (Abu Bakar Al-Shiddiq): “Tentang zakat kambing, yaitu jika digembalakan di padang rumput bebas, berjumlah minimal 40 ekor hingga 120 ekor, maka zakatnya adalah seekor kambing. Maka, riwayat ini menjadi dalil, yang bisa kita fahami, bahwa:

a. Hewan ternak yang tidak digembalakan namun dikandangkan tidak ada zakatnya.

b. Hewan ternak yang dikandangkan pada mayoritas waktu dalam setahunnya, tidak ada zakatnya, karena penjagaan dan pemeliharaan. c. Hewan ternak yang diternak selama setengah tahun (6 bulan) atau kurang,

seukuran ia bisa hidup walaupun tidak digembala, yang tidak

menimbulkan bahaya yang nyata, maka ia harus dizakati karena faktor penjagaan dan pemeliharaan minim.

d. Hewan ternak yang tidak bisa hidup kecuali dengan diternak kandang atau sebaliknya, namun ada muncul bahaya yang nyata, maka tidak ada

zakatnya, karena besarnya upaya pemeliharaan dan penjagaan.

19


(33)

e. Kemudian, muncul khilaf ulama tentang jika hewan itu diternak kandang tanpa disengaja. Jika disegaja untuk dikandang sehingga tidak digembala, maka tidak ada zakat, tanpa ada khilaf sedikitpun di kalangan ulama. f. Ketahuilah bahwa jika hewan diternak kandang dengan tujuan

menghindari dinginnya salju, dan akan digembala jika memungkinkan pada waktu lainnya, maka tidak ada zakatnya karena sebab pemeliharaan dan penjagaan.20

Hewan ternak yang digunakan untuk bercocok tanam, membajak lahan pertanian, maka tidak ada kewajiban zakatnya, karena digunakan untuk sarana keperluan hidup dan mata pencaharian. Hal ini sama kedudukannya dengan pakaian yang dipakai. Maka, tidak ada perbedaan antara apakah hewan itu digunakan sendiri ataupun untuk jasa rental transportasi, dan lain-lain.

Adapun tentang mustahik zakat ada 8 golongan yaitu : fakir, orang miskin, amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya (muallaf), hamba sahaya, orang yang berhutang, orang yang berada di jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan seperti yang termaktub dalam firman Allah surat At-Taubah ayat 60.

1. Fakir

20

Artikel diakses pada tanggal 20 februari dari http://hauzahrinjani.com/admin/download/Kamis%204-3-10%20Keuangan%20Publik%20ZAKAT.pdf


(34)

Fakir ialah orang yang mempunyai usaha, tetapi tidak mencukupi untuk keperluan sehari-hari. Pendapat ini dianut oleh Mazshab Hanafi dengan didasarkan firman Allah SWT pada surat Al Balad ayat 16 :





Atau orang miskin yang sangat fakir (terhampar di debu) (S.90 ; Al Balad : 16)

Menurut Maliki, Syafi‟i dan Hanbali yang dikutip oleh Arif Mufraini dalam bukunya akuntansi dan manajemen zakat fakir ialah orang yang tidak mempunyai mata pencaharian.21 Pendapat ini didasarkan firman Allah Swt yaitu surat al Kahfi ayat 79, yaitu :















Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera” (S.18 ; Al Kahfi : 79)

Selain berdasarkan surat al-Kahfi, Maliki, Syafi‟I dan Hanbali juga berpedoman pada surat al-Baqarah ayat 273 yang berbunyi :

21

M. Arief Mufraini, Lc., M.Si, Akuntansi dan Manajemen Zakat, Jakarta, PRENADA MEDIA GROUP, 2006, Cet. Ke-2, h. 182


(35)





















Berinfaklah kepada orang-orang fakir yang terikat oleh jihad di jalan Allah mereka tidak dapat berusaha di bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui” (S.2 ; Al Baqarah : 273)

2. Miskin

Terdapat definisi yang berbeda diantara mazhab Hanafi dengan Maliki, Syafi‟i dan Hanbali mengenai terminologi fakir. Begitu juga dengan definisi dari miskin. Mazhab Hanafi mendefinisikan miskin ialah orang yang tidak mempunyai mata pencaharian untuk mencukupi keperluan sehari-hari sedangkan Mazhab Maliki, Syafi‟i dan Hanbali mendefinisikan miskin ialah orang yang mempunyai mata pencaharian tetapi tidak memadai untuk memenuhi keperluan sehari-hari.

Para Fuqaha menyebutkan bahwa pembicaraan mengenai fakir tidak akan lepas dengan golongan kedua dari delapan asnaf yaitu miskin.22 Baik fakir dan miskin memiliki pemahaman yang hampir sama.

3. Amalah Zakat

22

M. Arief Mufraini, Lc., M.Si, Akuntansi dan Manajemen Zakat, Jakarta, PRENADA MEDIA GROUP, 2006, Cet. Ke-2, h. 182


(36)

Amalah zakat ialah mereka yang diangkat oleh penguasa atau oleh badan hukum perkumpulan untuk mengurus zakat mereka itu.23Badan ini dibagi kepada empat bagian besar.

Bagian pertama dinamakan jubah atau su‟ah. Pekerjaannya pergi mengumpulkan zakat dan fitrah dari yang wajib mengeluarkannya dan masuk kedalamnya ru‟ah (pengembala binatang zakat). Bagian kedua adalah khatabah yang pekerjaannya mendaftarkan zakat yang diterima dan menghitungnya. Bagian ketiga adalah

Qasamah pekerjaannya adalah mendistribusikan zakat kepada segala yang berhak. Bagian keempat disebut khazanah yang pekerjaannya menjaga atau memelihara harta zakat atau fitrah.24 Adapun yang mengawasi dan mengendalikan pekerjaan mereka itu adalah penguasa, wakilnya atau perkumpulan yang mengangkat badan itu.25

Dalam upaya optimalisasi sistem zakat sebagai salah satu proses redistribusi income, posisi amil dalam kelompok delapan asnaf memiliki peranan yang luar biasa walaupun cukup unik. Artinya, bahwa sistem zakat akan banyak sekali mempunyai ketergantungan terhadap profesionalisme amil. Secara konsep dapat dipahami bahwa dengan semakin tinggi tingkat keprofesionalan amil akan semakin tinggi tingkat kesejahteraan para mustahik, khususnya amil, mengingat konsep fikih secara

23

Hasbi, Pedoman Zakat, h. 175

24

Hasbi, Pedoman Zakat, h. 175

25


(37)

jelas mencanangkan bahwa hak mereka adalah 12,5 % atau 1/8 dari harta terkumpul.26

4. Riqab

Dalam kajian fiqih klasik yang dimaksud dengan para budak dalam hal ini menurut jumhur ulama adalah perjanjian seorang muslim (budak belian) untuk bekerja dan mengabdi kepada majikannya, di mana pengabdian tersebut dapat dibebaskan bila si budak belian memenuhi kewajiban pembayaran sejumlah uang , namun si budak belian tersebut tidak memiliki kecukupan materi untuk membayar tebusan atas dirinya tersebut.27

Jadi sangat dianjurkan untuk memberi zakat kepada golongan riqab untuk memerdekakan diri mereka sendiri. Seiring dengan berkembangnya zaman, maka definisi tersebut sudah tidak relevan lagi digunakan pada masa sekarang. Sehubungan dengan adanya pelarangan secara syariat dan bahkan konteks sekarang sudah menjadi isu pelarangan dalam skala internasional. Oleh sebab itu, penafsiran surat At Taubah : 60 masih terbuka untuk dikaji dan didalami ijtihadnya agar definisi dan pemahaman riqab pada surat At Taubah : 60 dapat disesuaikan dengan konteks sekarang.

Rasyid Ridlha dan Muhammad Syaltut mensinyalir, bahwa pengertian kata riqab dapat dialihkan kepada kelompok atau bangsa yang hendak memerdekakan diri dari penjajahan. Untuk pendapat yang satu ini, mungkin globalisasi dunia pada saat ini

26

Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat, h. 192

27


(38)

sudah mempropagandakan pembebasan atas penjajahan satu bangsa dengan bangsa lain di muka bumi.

Mungkin pendapat dari Abd al-Sami‟ al-Mishry dalam kitabnya yang berjudul al-muqawwimaat al-iqtishad al-Islamy dapat dikatakan yang cukup relevan dengan konteks sekarang, Abd al-Sami‟ menganalogikan budak dengan para karyawan memiliki upah yang minimum, sehingga dengan upah tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan dharuriyah (dasar).28 Upah yang diberikan majikan tidak dapat

meng-cover semua kebutuhan pokok. Abd al-Sami‟ berpendapat demikian didasarkan sejarah Islam tentang seseorang yang mengadukan kepada Amirul Mukminin Umar r.a mengadukan tentang karyawannya yang melakukan pencurian atas sebagian hartanya. Sebelum mengambil keputusan, Umar r.a mencari keterangan tentang sebab terjadinya pencurian. Para karyawan melakukan pencurian tersebut, karena majikan mereka tidak memberikan upah yang mencukupi kebutuhan pokok mereka, kemudian

Umar r.a berkata kepada majikan mereka : ”...jika mereka (karyawan) kembali melakukan pencurian maka aku akan memotong tangan kamu ”.29

5. Muallaf

28

Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat, h. 201

29


(39)

Yang dimaksud dengan golongan muallaf, antara lain adalah mereka yang diharapkan kecenderungan hatinya atau keyakinannya dapat bertambah terhadap Islam, atau terhalangnya niat jahat mereka atas kaum muslimin, atau terhalang akan adanya kemanfaatan mereka dalam membela dan menolong kaum muslimin dari musuh.30

6. Gharimin

Gharimin yang artinya orang-orang yang terjerat lehernya atau terikat kebebasannya oleh hutang, sedang mereka tidak berdaya untuk membebaskan diri.31

Menurut Mazhab Hanafi, gharim adalah orang yang mempunyai hutang dan dia tidak memiliki bagian yang lebih dari hutangnya.

Menurut Imam Malik dan Ahmad , bahwa orang yang mempunyai hutang terbagi kepada dua golongan. Pertama adalah orang yang mempunyai hutang untuk kemaslahatan dirinya sendiri dan kedua adalah orang yang mempunyai hutang untuk kemaslahatan masyarakat.

7. Fi‟Sabilillah

Fi‟Sabilillah adalah kalimat yang bersifat umum, mencakup segala amal perbuatan ikhlas, yang dipergunakan untuk bertakarrub kepada Allah ‟ Azza wa Jalla, dengan melaksanakan segala perbuatan wajib, sunnah dan bermacam kebajikan lainnya.

30

Salman Harun, Didin Hafidhuddin, Hasanuddin, Hukum Zakat, PT. Litera Antarnusa dan Penerbit MIZAN, 1996, cet. Ke-4, h. 563

31


(40)

Di antara para ahli tafsir ada yang berpendapat bahwa fi sabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah-rumah sakit dan lain sebagainya.32

8. Ibnu Sabil

Ibnu Sabil adalah segala mereka yang kehabisan bekal dalam perjalanan dan tidak dapat mendatangkan belanjanya dari kampungnya, walaupun ia orang yang berharta di kampungnya.33

C. Dasar Hukum Zakat

Zakat merupakan salah satu dari rukun Islam. Oleh karena itu, setiap muslim yang memiliki harta yang nisabnya sudah cukup dan haulnya sudah tiba, wajib menunaikan

zakat hartanya itu. Mengenai hukum itu Rasulullah Saw bersabda ” Islam mempunyai lima sendi (rukun), yaitu : pertama syahadatain, yakni mengakui bahwa tidak ada tuhan selain Allah, kedua mendirikan shalat, ketiga menunaikan zakat, keempat puasa bulan Ramadhan dan kelima menunaikan ibadah haji”34

(Riwayat Muslim) Dalam firman Allah terdapat juga mengenai zakat, seperi dalam surat Al Baqarah : 43 :

32

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Jakarta, Proyek Pengdaan Kitab Suci

Al-Qur‟an, 1984, h. 289

33

Hasbi, Pedoman Zakat, h. 191

34


(41)











Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ruku‟lah bersama-sama dengan orang-orang yang ruku‟” (S.2 ; Al Baqarah : 43)

Kemudian dalam surat Al Bayyinah : 5 :



















Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan menunaikan ketaatan kepadanya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supayamereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (S.98 ; Al Bayyinah : 5)

Surat Al Baqarah : 277 :













Sesungguhnya orang-orang yang beriman serta mengerjakan kebaikan, melakukan shalat, dan membayar zakat, mereka itu memperoleh ganjaran di sisi Allah, mereka tidak akan takut dan tiada akan berduka cita”. (S.2 ; Al Baqarah : 277)

Surat At Taubah : 11 :



















Maka apabila mereka telah taubat dan tetap mengerjakan shalat dan menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara-saudara seagama…”. (S.9 ; At Taubah : 11)


(42)















Pungutlah zakat dari kekayaan mereka untuk membersihkan dan mensucikan mereka dengannya dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu mendatangkan ketentraman“. (S.9 ; At Taubah : 103)

D. Manajemen Zakat dalam Lintasan Sejarah Islam Klasik

1. Di Masa Rasulullah SAW

Pada masa awal Islam, yakni pada masa Rasulullah SAW35dan para sahabat, prinsip prinsip Islam telah dilaksanakan secara demonstratif, terutama dalam hal zakat yang merupakan rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat. Secara nyata, zakat telah menghasilkan perubahan ekonomi yang menyeluruh dalam masyarakat Muslim. Hal itu sebagai akibat pembangunan kembali masyarakat yang didasarkan pada perintah Allah, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan. Jadi masyarakat dibimbing menuju kehidupan cinta kasih, persaudaraan dan altruisme.

Pada saat itu telah lahir generasi tanpa tandingan tidak hanya dalam sejarah Islam, namun juga dalam sejarah umat manusia. Rasulullah SAW mendidik generasi tiada taranya ini melalui tangannya di satu sisi, dan di sisi lain menanamkan dalam hati dan pikiran mereka ketaatan kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Rasulullah SAW juga mendidik mereka agara terbebas dari dominasi dan perbudakan oleh milik pribadi.

35

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, Yogyakarta : Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI) – STIS Yogyakarta, cet-1, 2003, h. 174-175


(43)

Sehingga, mereka punya keinginan yang kuat dan mulia untuk gemar bekerja dan memperoleh keuntungan.

Keberhasilan Rasulullah SAW dalam mendidik masyarakat muslim tak lepas dari suri tauladan beliau yang hidup berdasarkan prinsip-prinsip yang dibawanya dan berakhlak luhur dalam menjalankan aturan-aturannya, baik ketika sendiri maupun di depan umum. Kehidupan Rasulullah begitu sederhana dalam urusan makan dan minuman. Beliau hidup seperti layaknya orang miskin.36

Pada tahun kedua setelah Hijrah, sadaqah fitrah diwajibkan. Sadaqah ini diwajibkan setiap bulan Ramadanan. Semua zakat adalah sadaqah, sedangkan sadaqah wajib disebut zakat. Zakat mulai diwajibkan pembayarannya pada tahun kesembilan Hijrah.37

Zakat dan ushr38 merupakan pendapatan yang paling utama bagi negara pada masa Rasulullah hidup. Zakat dan ushr merupakan kewajiban agama dan termasuk salah satu pilar Islam. Pengeluaran untuk keduanya telah diatur dalam Alquran, sehingga pengeluaran untuk zakat tidak dapat dibelanjakan untuk pengeluaran umum negara. Pada masa Rasulullah, zakat dikenakan pada hal-hal berikut:

36

Muhammad, Zakat Profesi : Wacana Pemikran Zakat Dalam Fiqih Kontemporer, Edisi I, Jakarta : Salemba Diniyah,2002, h. 34

37

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, h. 177

38

Yaitu Bea Impor yang dikenakan Pada Semua Pedagang, dibayarkan Hanya Sekali Dalam Setahun Hanya Berlaku Pada Barang Yang Nilainya Lebih Dari 200 Dirham (M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, h. 178)


(44)

a. Benda logam yang terbuat dari emas, seperti koin, perkakas, ornamen atau dalam bentuk lainnya.

b. Benda logam yang terbuat dari perak, seperti koin, perkakas, ornamen tau dalam bentuk lainnya.

c. Binatang ternak: unta, sapi, domba, kambing.

d. Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak dan hewan. e. Hasil pertanian termasuk buah-buahan.

f. Luqta, harta benda yang ditinggalkan musuh. g. Barang temuan.39

Pencatatan seluruh penerimaan negara pada masa Rasulullah tidak ada karena beberapa alasan, yaitu:

a. Jumlah orang Islam yang bisa membaca sedikit dan jumlah orang yang dapat menulis atau yang mengenal aritmatika sederhana lebih sedikit lagi. b. Sebagian besar bukti pembayaran dibuat dalam bentuk yang sederhana

baik yang didistribusikan maupun yang diterima.

c. Sebagian besar dari zakat hanya didistribusikan secara lokal.

d. Bukti-bukti penerimaan dari berbagai daerah yang berbeda tidak umum digunakan.

e. Pada kebanyakan kasus, Ghanimah digunakan dan didistribusikan setelah terjadi peperangan tertentu.

39

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, h. 180-181


(45)

f. Catatan mengenai pengeluaran secara rinci pada masa hidup Rasulullah juga tidak tersedia, tetapi tidak bisa diambil kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada tidak dijalankan sebagaimana mestinya atau membingungkan. Dalam kebanyakan kasus pencatatannya diserahkan pada pengumpul zakat dan setiap orang pada umumnya terlatih dalam masalah pengumpulan zakat. Setiap perhitungan yang ada disimpan dan diperiksa sendiri oleh Rasulullah dan setiap hadiah yang diterima para pengumpul zakat akan disita (seperti yang terjadi pada kasus al-Lutbiga, pengumpul zakat dari Bani Sulaim), dan Rasulullah pun akan memberi nasihat terhadap hal ini. Rasulullah sangat menaruh perhatian terhadap zakat terutama zakat unta.40

Rasulullah adalah kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru di bidang keuangan negara di abad ketujuh, yaitu semua hasil pengumpulan negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan negara. Hasil pengumpulan itu adalah milik negara dan bukan milik individu. Tempat pengumpulan ini disebut baitul maal atau bendahara negara. Semasa Rasulullah masih hidup, Masjid Nabawi digunakan kantor pusat negara sekaligus menjadi tempat tinggalnya dan baitul maal.41

40

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, h. 181

41

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, h. 180-182


(1)

Di sini keduanya menghimpun dana zakat produktif dan menyelenggarakan pengembangan ekonomi masyarakat dengan dana zakat. Pada tingkat masyarakat, bisa dibentuk suatu lembaga baitul-maal yang berfungsi sebagai embrio semacam “bank- koperasi” yang berdasarkan nilai-nilai Islam. Dalam jangka tertentu diharapkan bisa terbentuk bank-koperasi Islam, yang menyelenggarakan kegiatan simpan- pinjam untuk melayani kegiatan produktif anggota masyarakat. Jadi, zakat dikaitkan dengan kegiatan produksi. Dari kegiatan produksi, uang yang tadinya diberikan sebagai modal, bisa direncanakan untuk dikembalikan secara berangsur kepada baitul-maal. Dengan begitu, lembaga ini merupakan wadah pemupukan modal, sehingga modal dapat dipinjamkan kepada yang lemah tanpa bunga.

Akan tetapi kepada satuan produksi yang telah berjalan lancar, bisa dibuat perjanjian pinjam- meminjam berdasarkan prinsip mudharabah (bank menerima bagian keuntungan tanpa ikut serta bertanggung jawab dalam usaha), atau qiradh (bank ikut bertanggung jawab dalam manajemen). Satuan produksi ini bisa perseorangan atau rumah tangga, bisa pula koperasi produksi, koperasi dagang atau koperasi jasa.

Sebagaimana posisi zakat sebagai bentuk ibadah aplikatif maka dalam penerapannya perlu diatur dengan baik sehingga tujuan zakat tersebut dapat tercapai. Melihat pemaparan dari konsep Dawam Rahardjo, maka penulis sepakat dengan pemikiran beliau. Mengingat bahwa potensi zakat Di Indonesia sangat besar namun pada kenyataannya belum mampu mereduksi kemiskinan secara signifikan. Solusi


(2)

111

dari implementasi zakat tersebut maka dipelukan pemberian insentif bagi para muzakki untuk memotivasi muzakki untuk membayar zakat ke lembaga-lembaga yang telah terdaftar sehingga terkumpul dana dalam jumlah yang besar. Dari sisi mustahiq selain penerimaan zakat dalam bentuk modal kerja hal itu harus didukung dengan penyuluhan atau pelatihan manajemen untuk mengembangkan usaha para mustahiq. Ketika mustahiq telah mendapatkan modal, penyuluhan yang dilakukan dapat membantu mustahiq keluar dari kemiskinan secara berkesinambungan. Sedangkan para pengelola zakat (lembaga) dituntut untuk lebih profesional baik dari sisi pengumpulan maupun pendistribusiannya. Lembaga-lembaga pengelola zakat tersebut haruslah memiliki sistem yang terintegrasi agar tidak terjadi penyimpangan penggunaan zakat maupun tumpang tindihnya distribusi dan penarikan zakat. Selain itu diperlukan juga bantuan-bantuan dari lembaga-lembaga lain seperti LPSM yang dapat membantu mustahiq mengembangkan dirinya dalam berwirausaha dan perlu ada koordinasi antara lembaga-lembaga amil zakat dengan Lembaga Perpajakan agar sistem zakat sebagai pengurang pajak dapat berlangsung secara efektif dan pemerintah seharusnya memperkuat landasan hukum mengenai zakat sebagai pengurang pajak. Selain itu jika perlu, pemberlakuan undang-undang zakat dapat ditegakkan dalam suatu cara yang tidak menyebabkan peningkatan konsumsi yang tidak penting, tetapi meningkatkan investasi dan pengembangan kepemilikan sarana-sarana produksi.

Lembaga-lembaga pengumpul zakat selain dapat membentuk BMT sebagai lembaga pendistribusian dana, juga dapat bekerja sama dengan Bank pemerintah atau swasta dalam hal pendistribusian dana zakat untuk menciptakan sebuah sistem ekonomi yang baru dalam hal manajemen zakat.


(3)

102 A. Kesimpulan

Dari penjelasan yang telah di paparkan sebelumnya, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Manajemen zakat yang ditawarkan Dawam Rahardjo adalah manajemen yang meliputi pembinaan terhadap muzakki, amil, dan mustahiq dengan koordinasi lembaga-lembaga lain yang ahli di dalam bidang pengembangan masyarakat dan perekonomian

2. Urgensi dari manajemen zakat yang ditawarkan Dawam Rahardjo adalah mereduksi kesenjangan pendapatan dan kekayaan, kontribusi zakat yang optimal terhadap perekonomian umat, Koordinasi antara lembaga penyelenggara zakat agar potensi zakat dapat lebih optimal sehingga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat

3. Relevansi manajemen zakat dari Dawam Rahardjo terhadap konstitusi dapat dilihat pada UUD tahun 1945 pasal 33 dan pasal 34 serta pasal 27 ayat 2. Di dalam pasal-pasal tersebut terkandung mengenai pemerataan terhadap pendapatan dan peningkatan taraf hidup yang layak yang dapat dicapai dengan efektifitas dari sistem zakat, peran negara untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kaum lemah dimana negara sebagai pelindung masyarakat


(4)

113

seharusnya dapat membuat peraturan-peraturan untuk mengoptimalkan zakat, serta keadilan ekonomi yang berarti tidak diperkenankannya dominasi sektor-sektor ekonomi hanya oleh segelintir pihak.

4. Implementasi dari manajemen zakat di Indonesia yaitu penyuluhan terhadap muzakki serta pemberian insentif kepada muzakki agar timbul keinginan membayar zakat melalui lembaga penyelenggara zakat, setelah itu dana dikumpulkan ke Badan/Lembaga Amil Zakat yang terdiri dari unsure pemerintah, swasta dan masyarakat yang telah terkoordinasi dan terintegrasi setelah dana dikumpulkan dana tersebut didistribusikan secara proporsional agar urgensi zakat dapat tercapai bagi perekonomian umat.

B. Saran

Agar skripsi ini dapat lebih bermanfaat bagi khalayak pembaca, maka penulis menyumbangkan saran-saran sebagai berikut:

1. Bagi muzakki, agar tergerak hatinya untuk membayarkan harta zakatnya kepada lembaga pengelolanya baik BAZIS/BAZ/LSM. Karena dana zakat dalam penyalurannya bisa digunakan secara konsumtif dan produktif.

2. Bagi mustahiq, agar berusaha bersungguh-sungguh dengan berbisnis dan berwiraswasta dari dana “zakat produktif” revolving fund (RF).

3. Bagi umat Islam, agar memahami zakat tidak secara tekstual an sich sebagai zakatkonsumtif, yaitu penyaluran dana dari orang kaya/muzakki kepada orang miskin saja, tetapi juga membaca zakat dalam pemahaman “zakat produktif”


(5)

104 para ulama, PT. Mizan, 1999, cet ke-1

Al-Musyaiqih, Ali, Zakat Kontemporer : solusi atas fenomena kekinian, Jakarta : Embun Litera Publishing, 2010, Cet ke-1

Ash-Shiddieqy, Hasbi, Pedoman Zakat, Semarang : PT PUSTAKA RIZKI PUTRA, 1999, cet ke-3

Azizy, A. Ahmad Qodri, Islam dan Permasalahan Sosial: Mencari Jalan Keluar, Yogyakarta: LKiS : 2000, cet ke-1

Chapra, M. Umar, Islam and Economic Development, terjemah Ikhwan Abidin Basri : Islam dan Pembangunan Ekonomi,

Chapra, M. Umar, Islam and The Economic Challange, terjemah Ikhwan Abidin Basri : Islam dan Tantangan Ekonomi,

Handoko, T. Hani, Manajemen, edisi II, Yogyakarta : BPFE-UGM, 2001, cet ke-XVII

Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah Zakat, Pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan, Jakarta : PT Raja Gafindo Persada, 1996, cet ke-1

Khidir, Lalu, Ibadah zakat dan Masyarakat Pembangunan, PT. Bina Ilmu, 1981, cet ke-1

Mahfudh, Sahal, Nuansa Fiqh Social, Yogyakarta : PT Ukis Yogyakarta bekerja sama dengan pustaka pelajar Yogyakarta, 1994, cet ke-1

Mufraini, M. Arif, Akuntansi dan Manajemen Zakat, Jakarta : PRENADA MEDIA GROUP, 2006, cet ke-2

Muhammad, Zakat Profesi : wacana pemikiran zakat dalam fiqh kontemporer, Jakarta : Salemba Diniyah, 2002, cet ke-1

Rahardjo, M. Dawam, Ekonomi Islam, Ekonomi Pancasila dan Pembangunan Ekonomi Indonesia: Etika Ekonomi Politik Elemen Strategis Pembangunan Masyarkat Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1997


(6)

115

Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi Al-Qur‟an : tafsir social berdasarkan konsep-konsep kunci, Jakarta : PARAMADINA, 2002

Rahardjo, M. Dawam, Intelektual, Intelegennsia, dan Perilaku Politik Bangsa : risalah cendekiawan Muslim, Bandung : MIZAN, 1999, cet ke-IV

Rahardjo, M. Dawam, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Jakarta, LSAF, 1999, cet ke-1

Rahardjo, M. Dawam, Perspektif Deklarasi Makkah : menuju ekonomi Islam, Bandung : MIZAN, 1994, cet ke-4

Rahardjo, M. Dawam, Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja, Jakarta : VI-Press 1984

Website

http://forginanjar.multiply.com/journal/item/7/ Tafsir_Sosial_M._Dawam_Rahardjo http://www.pdat.co.id/ads/html/D/ads,20030701-60,D.html

http://forginanjar.multiply.com/journal/item/7/Tafsir_Sosial_M._Dawam_Rahardjo

http://alamlib.wordpress.com/2007/07/12/dawam-rahardjo-demi-toleransi-dan-pluralisme/