BAB III DINAMIKA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA
A. Pertautan Antara Islam dan Negara
Pertautan antara Islam dan negara akan terus menjadi sorotan sekaligus perdebatan pada level akademik maupun dalam wilayah praktis. Kompleksitas
hubungan Islam dan negara bukan satu-satunya dasar penyebab perdebatan ini, melainkan lebih pada kenyataan bahwa Islam tidak mungkin dapat diterjemahkan
dalam bentuk yang tunggal. Perdebatan di seputar apakah Islam itu hanya sebatas agama din atau Islam merupakan Negara dawlah sekaligus merupakan pokok
inti perdebatan dalam hubungan Islam dan negara. Dari segi doktrin, seringkali disebutkan bahwa ajaran Islam telah
terumuskan sedemikina rupa sehingga akan selalu sesuai dengan perkembangan zaman dan selalu “hadir di mana-mana” omnipresence. Hal ini merupakan
sebuah pandangan yang mengakui bahwa dimanapun, kehadiran Islam akan senantiasa memberikan pandangan moral bagi tindakan manusia. Dalam
perkembangannya, ternyata pandangan semacam ini telah mendorong sebagian pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang total.
1
Sementara jika dipotret dari sudut pandang pemahaman pemeluknya, umat Islam mempunyai latar belakang sosial yang beragam. Secara sosiologis, dapat
1
Bahkan tidak sedikit di kalangan umat Islam yang melangkah lebih jauh dan menekankan bahwa, Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan
terhadap semua masalah kehidupan. Tak diragukan lagi, mereka meyakini bahwa Islam mempunyai sifat yang sempurna dan menyeluruh sehingga Islam mencakup din, dunya, dan
dawlah. Bahtiar Effendy, Agama dan Politik: Mencari Keterkaitan yang Memungkinkan Antara Doktrin dan Kenyataan Empirik dalam M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru
Ciputat: Penertbit PT Logos Wacana Ilmu, 2001, cet. I, h. ix-xii
dirumuskan secara sederhana bahwa latar belakang sosial budaya, pendidikan, dan geografis akan berpengaruh dalam membentuk pandangan seseorang tentang
bagaimana agama dan negara seharunsya berada. Dengan kata lain, situasi sosiologis, kultural, dan intelektual yang berbeda atau apa yang disebut
Mohammed Arkoun
2
sebagai “estetika penerimaan” sangat berpengaruh dalam menentukan bentuk dan isi pemahaman pemeluknya. Kecenderungan intelektual
yang berbeda dapat berujung pada pemahaman yang berbeda mengenai suatu doktrin. Manifestasi dari multiinterpretasi terhadap Islam tersebut yaitu
munculnya berbagai mazhab fikih, teologi, dan filsafat Islam yang juga beragam. Singkatnya, multiinterpretasi tentang Islam memang telah menjadi sesuatu yang
tidak bisa dihindari bahkan telah menjadi keniscayaan dalam sejarah Islam. Dalam Islam, persoalan hubungan agama dan negara menjadi perdebatan
yang cukup hangat dan berlanjut hingga saat ini. Dalam bukunya yang berjudul Pergolakan Politik Islam, Azyumardi Azra menuliskan, ketegangan perdebatan
mengenai hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai negara di lain pihak.
Setelah Perang Dunia II, lanjutnya, masyarakat di berbagai penjuru dunia, khususnya masyarakat Islam, terkesan mengalami hubungan yang canggung
antara Islam dan negara atau politik pada umumnya.
3
2
Mohammed Arkoun merupakan salah seorang pemikir Islam kontemporer. Ia dilahirkan pada tanggal 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, di Kabilia, suatu daerah pegunungan
berpenduduk Berber di sebelah timur Aljir. Salah satu pokok penting pemikiran Arkoun adalah pentingnya pembaruan pemikiran Islam. Bagi Arkoun, umat Islam masih belum beranjak dari
pembahasan teologis-dogmatis yang kaku dan dianggap standar dan tidak boleh diperdebatkan lagi. Untuk itu, Arkoun menyarankan agar umat Islam bersedia melakukan pembahasan secara
ilmiah dan terbuka dalam mempelajari dan mengungkapkan etika ajaran al-Quran yang tidak boleh dilepaskan dari konteks sejarahnya. Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog
Antar Agama Yogyakarta: Pustaka Pelajar cet, I Juni 2001, h. v-ix.
3
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme Jakarta: Paramadina cet. I Mei 1996, h. 1.
Kecanggungan hubungan Islam dan negara di atas bersumber dari kenyataan bahwa agama dalam pengertian terbatas hanya berkaitan dengan unsur
ilahiah, sakral, dan suci. Sementara negara pada umumnya berkaitan dengan bidang yang lebih profan atau keduniaan. Lebih jauh lagi, Islam dipandang tidak
pernah memberikan panduan praktis tentang ketatanegaraan. Tentang hubungan Islam dan negara, Munawir Sjadzali menyebutkan
sedikitnya ada tiga aliran yang menanggapinya.
4
Pertama, aliran yang berpandangan bahwa Islam merupakan agama yang sempurna dan holistik
rahmatan lil’alamin yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Penganut aliran ini meyakini Islam sebagai suatu agama serba lengkap yang di
dalamnya mencakup antara lain sistem ketatanegaraan. Pandangan holistik terhadap Islam mempunyai implikasi yang sangat luas.
Salah satu di antaranya yaitu kecenderungan untuk memahami Islam dalam pengertian yang literal yang hanya menekankan dimensi luarnya. Dalam
contohnya yang paling ekstrim, kecenderungan seperti ini telah menghalangi kaum muslimin untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan al-Quran
sebagai instrumen ilahiah yang dapat memberikan panduan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan manusia.
5
Aliran kedua beranggapan bahwa Islam tidak memiliki hubungan dengan negara karena Islam tidak mengatur aspek kehidupan bernegara dan tata
pemerintahan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad hanyalah seorang Nabi
4
H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran Jakarta: UI Press edisi ke-5, h. 1-3
5
Bahtiar Effendy, Agama dan Politik: Mencari Keterkaitan yang Memungkinkan antara Doktrin dan Kenyataan Empirik dalam M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru
Ciputat: Penertbit PT Logos Wacana Ilmu, 2001, cet. I, h. ix-xii
pembawa wahyu yang tugas utamnya mengajak manusia kembali pada kehidupan yang dimuliakan Allah dan Muhammad bukanlah pemimpin negara.
Sedangkan aliran ketiga merupakan kelompok yang mencoba
mendamaikan kedua pandangan di atas. Aliran ketiga ini menolak anggapan bahwa Islam merupakan sistem nilai yang serba lengkap dan mengatur hubungan
kenegaraan. Juga menolak persepsi bahwa Islam sama sekali tidak mengatur hubungan ketatanegaraan. Menurut aliran ini, Islam memang tidak menyediakan
sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
B. Ketegangan di Seputar Islam dan Negara