Indonesia. Mereka berpartisipasi dalam pembangunan politik kenegaraan yang mencerminkan atau sejalan dengan prinisp-prinsip universal nilai-nilai politik
Islam, yaitu keadilan, egalitarianisme, musyawarah, dan partisipasi.
31
Dalam matra pendekatannya, khususnya untuk mencapai tujuan-tujuan di atas, Islam politik tidak lagi menekankan ikhtiar melalui politik partisan dengan
parlemen sebagai medan utamnya. Lebih dari itu, Islam politik dengan format yang baru ini memperluas dan meragamkan basis perjuangannya
32
melalui medan masing-masing, baik itu organisasi sosial-keagamaan seperti Muhammadiyah dan
NU, lembaga swadaya masyarakat, lembaga riset, universitas-universitas, partai politik seprti Golkar, PPP, dan lain sebagainya, di birokrasi, dan lain sebagainya.
Jadi, basis perjuangannya tidak hanya bertumpu pada parlemen dan partai politik, tetapi seluas wilayah dan ranah kebangsaan dan kenegaraan.
D. Catatan Kritis
Pandangan-pandangan Bahtiar Effendy cukup memberikan harapan bagi bersemainya hubungan Islam dan negara secara tepat. Yaitu hubungan yang tidak
memposisikan Islam besebrangan dengan negara, tetapi terintegrasi melalui nilai- nilai universal Islam, dan bukan melalui legal-formalnya hukum Islam.
Gagasannya-gagasanya dengan analisis yang tajam dan didukung dengan data yang akurat membuat ia layak ditempatkan sebagai pemikir terkemuka di negeri
ini mengenai hubungan Islam dan negara. Namun demikian, sebagaimana layaknya seorang pemikir, bukan berarti
gagasannya tanpa kelemahan. Kelemahannya terletak pada pembedaan yang
31
Effendy, Islam dan Negara, h. 334.
32
Effendy, Islam dan Negara, h. 334.
kurang tegas antara “negara” dan “politik.” Di hampir semua kesempatan dalam karya-karyanya, ia jarang sekali membatasi keduanya secara tegas, terutama
menyangkut definisi, dan bahkan sering menempatkan “negara” dan “politik” sebagai entitas yang sama. Padahal, keduanya mempunyai fungsi dan peran yang
berbeda. Negara adalah jaringan yang rumit dari organ-organ, institusi-institusi, dan proses-proses yang semestinya menerapkan kebijkan-kebijakan yang diambil
melalui proses politik dalam setiap masyarakat. Sedangkan ‘politik’ adalah proses dinamis dalam memilih di antara pilihan-pilihan kebijakan yang saling
bertentangan. Di atas semua itu, Bahtiar telah memberikan pijakan baru bagi hubungan Islam dan negara yang lebih visibel.
Selain itu, terdapat sejumlah kelamahan lainnya yang juga tidak dijelaskan secara tegas dalam banyak buku yang ditulis Bahtiar. Kelemahan itu mencakup,
pertama tiadanya definisi Islam dan Negara. Karena ketiadaan definisi tersebut, seringkali membuat pemerhati Islam politik kesulitan menangkap bagaimana
sebenarnya Bahtiar mendefinisikan Islam dan Negara. Kedua, relevansi hubungan Islam dan Negara dalam konteks kekinian. Dari delapan buku yang sudah
ditulisnya, tak satupun terdapat pembahasan komprehensif yang menjelaskan bagaimana relevansi perdebatan Islam dan Negara saat ini. Relevasi Islam dan
Negara dianggap penting untuk diungkapkan dalam skripsi ini mengingat topik tersebut belum pernah dibahas dalam sejumlah bukunya. Untuk memenuhi
kebutuhan itu, penulis melakukan wawancara langsung dengan Bahtiar guna menjelaskan kelemahan-kelemahan di atas.
Pertama menyangkut definis Islam dan Negara. Menurut Bahtiar, Islam adalah panduan yang digariskan Tuhan melalui utusan-NYA. Sebagai panduan,
tentu saja nilai-nilai Islam menjadi pedoman kehidupan bagi para pemeluknya. Penegasan Islam sebagai panduan ini tidak ada bedanya dengan agama-agama
samawi lainnya seperti Hindu, Budha, dan Kristen yang juga menjadikan agama sebagai panduan bagi pemeluknya. Dalam panduan itu, Tuhan menerapkan
seperangkat aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi para pengikutnya. Dalam Islam, sudah jelas disebutkan bahwa seseorang dapat
dikatakan muslim jika ia mengucapkan dua kalimat syahadat, melaksanakan shalat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu.
Sementara negara dimaknai sebagai wilayah teritori dengan batas wilayah tertentu yang dihuni sejumlah komunitas masyarakat dengan beragam
kepentingan. Karena ragamnya kepentingan itu maka, negara diatur oleh sebuah sistem pemerintahan dengan seperangkat aturan-aturan yang mengikat demi
kepentingan bersama. Oleh karena itu, dapat dikatakan secara tegas bahwa Islam dan Negara merupakan entitas berbeda yang bisa saling melengkapi. Yang
menjadi persoalan kemudian ketika multi tafsir terhadap ajaran Islam dipraktikkan dalam kehidupan bernegara yang masyarakatnya sangat majemuk.
33
Sebagai implikasi atas keberagaman tafsir terhadap Islam dalam kehidupan bernegara,
beragam alternatif pun juga telah ditawarkan guna memberikan solusi dalam memposisikan Islam dalam kehidupan bernegara. Ada perspektif yang
menginginkan Islam dan Negara harus disatukan teokrasi. Sementara satu perspektif lainnya menegaskan pentingnya pemisahan keduanya sekuler. Dalam
perjalanannya, tak jarang dua pandangan berbeda ini saling bergesekan bahkan bertabrakan.
33
Hasil wawancara dengan Bahtiar Effendy pada 29 Maret 2008.
Dari dua perspektif di atas, Bahtiar menyodorkan pertanyaan-pertanyaan kritis. Apa mungkin Islam dan Negara bisa dipisahkan dalam masyarakat yang
mayoritas Islam? Pertanyaan selanjutnya, apa mungkin Islam dan negara disatukan – dalam pengertian Islam dijadikan dasar negara – sementara
penduduknya tidak semuanya beragama Islam? Dari pertanyaan itu, Bahtiar memberikan penjelasan yang sangat lugas. Menurutnya, di Indonesia Islam tidak
mungkin sama sekali dipisahkan dari Negara mengingat dominasi pendudukanya menjadikan Islam sebagai agama. Meski begitu, Indonesia juga tidak mungkin
didasarkan pada perundang-undangan Islam syariat Islam mengingat potret masyarakatnya cukup majemuk. Oleh karena itu, kata Bahtiar, sebenarnya tidak
ada hubungan ideal antara Islam dan Negara untuk mendamaikan keduanya. Yang ada hanyalah hubungan fungsional, realistis pragmatis, masuk akal, dan aplikatif
yang dapat meminimkan ketegangan antar keduanya. Bahtiar mencontohkan adanya Departemen Agama Depag merupakan hasil kompromi politik antara
kelompok yang pro negara teokrasi dan pro negara sekuler.
34
Kompromi politik tersebut didasarkan pada keinginan untuk mendamaikan masing-masing kelompk
yang berada di dua kutub ekstrim yang saling berjauhan. Tidak ada pilihan lain,
kecuali menegoisasikan kedua kutub tersebut guna menciptakan stabilitas. Hal
inilah yang disebut Bahtiar dengan akomodasi parsial. Sampai saat ini, akomodasi
parsial dinilai sebagai bentuk akomodasi yang paling aplikatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, menyangkut relevansi hubungan Islam dan Negara saat ini. Bahtiar meyakini, perdebatan seputar Islam dan Negara akan terus menjadi polemik yang
34
Hasil wawancara dengan Bahtiar Effendy pada 29 Maret 2008.
tetap akan dibicarakan sepanjang masa baik di kalangan pemerhati maupun praktisi Islam politik. Meski perdebatan ini sudah memakan waktu yang cukup
lama, namun sampai saat ini persoalan meletakkan keduanya dalam posisi ideal masih terus diperbincangkan. Bahtiar mengakui, banyak pihak yang tidak terlalu
nyaman dengan pilihan menjadi teokrasi maupun sekuler. Saat ini, katanya, secara de facto yang berjalan di Indonesia adalah hubungan akomodasi parsial antar
keduanya. Dalam hubungan akomodasi parsial ini, negara pada titik-titik tertentu diperbolehkan mengatur dan mengelola kehidupan penduduknya seperti
kebebasan memilih agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Akan tetapi, hak pengelolaan itu harus dibatasi apalagi
menyangkut persoalan hukum pidana. Hal itu sangatlah problematis dan membutuhkan penafsiran mendalam sehingga negara bisa mengaturnya dengan
baik.
35
Tidak hanya itu, Bahtiar juga menengarai adanya tuntutan menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara sebagai implikasi dari perdebatan Islam dan
Negara yang tidak kunjung selesai. Menurutnya, lahirnya kelompok-kelompok masyarakat yang menyuarakan pentingnya Islam sebagai dasar negara bisa
difahami sebagai respon terhadap kegagalan Pancasila dasar negara yang sekuler dalam menjalankan amanahnya dalam menjamin stabilitas bernegara. Untuk itu,
adanya desakan menjadikan Islam sebagai solusi kehidupan sangat bisa dimengerti sebagai salah satu upaya untuk menjawab persoalan bangsa yang kian
carut marut. Oleh karena itu, di sinilah sebenarnya letak relevansi perdebatan Islam dan Negara terus dibicarakan.
35
Hasil wawancara dengan Bahtiar Effendy pada 29 Maret 2008.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan