Islam” versus “ negara nasional” mencuat ke publik Bumiputera, penganut alur berpikir ini mendukung “negara nasional”.
14
Selain Dahlan Ranuwihardja, di tahun-tahun kemudian, gerakan ini diteruskan oleh beberapa seperti Mintaredja, Sulastomo, Harono Mardjono, Akbar
Tanjung, dan Ridwan Saidi. Dalam perspektif birokratis, tradisi ini dikembangkan oleh eksponen seperti Sularso, Bintoro Tjokroamidjojo, Barli Halim, Bustanil
Arifin, Madjid Ibrahim, Norman Razak, Zainul Yasni, Omar Tusin, Sya’dillah Mursyid, Mar’ie Muhammad, Hariri Hadi, dan lain sebagainya. Kendati para
eksponen ini seringkali dicap keluar dari perjuangan politik umat Islam, karena memilih jalur yang berbeda dengan komunitas politik Muslim lainnya, namun
mereka memberikan kontribusi besar pada proses “Islamisasi birokrasi.”
15
3. Gerakan Transformasi Sosial
Gerakan transformasi sosial memang tidak secara spesifik memberikan perhatian pada hubungan Islam dan negara. Seperti diakui Bahtiar, gerakan ini
adalah salah satu gerakan yang paling sulit dideskripsikan karena lebih memberikan prioritas pada penguatan masyarakat sipil civil society vis-a-vis
negara. Namun demikian, Bahtiar melihat kaitan ide-ide madzhab transormasi sosial ini dalam ikhtiarnya untuk menciptakan hubungan yang sinergis dan
integratif antara Islam dan negara terletak pada beberapa poin berikut.
16
Pertama, madzhab gerakan transformasi sosial ini memberikan perhatian secara spesifik pada berkembangnya suatu masyarakat yang egaliter dan
emansipatif. Bagi Bahtiar, agenda yang demikian hendak menempatkan
14
Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 23.
15
Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 24.
16
Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 25.
pendekatan yang lebih integratif atau tidak partisan sifatnya. Mereka menyadari bahwa untuk mewujudkan ide-ide transformatifnya diperlukan serangkaian
strategi dan garapan yang lebih diversifikatif. Strategi dan langkah-langkah yang diambil oleh madzhab ini biasanya berujung pada penguatan civil society dengan
membangun lembaga-lembaga sipil, seperti LSM, lembaga riset, ormas-ormas, dan lain sebagainya.
Kedua, penganut alur berfikir ini beranggapan, dan memang begitu kenyataannya, bahwa rezim Orde Baru telah membuat negara sedemikian kuat,
dan bahkan cenderung otoriter. Karena demikian, negara berfungsi sebagai institusi yang paling dominan dalam pembangunan sosial dan politik masyarakat.
Menyadari kondisi dan situasi ini, penganut gerakan transformasi sosial megambil langkah uutama ntuk bekerjasama dengan berbagai lembagaaktor, atau institusi
demi terwujudnya masyarakat yang transformatif, kuat, mandiri, dan tidak mempunyai ketergantungan pada negara.
Oleh karena itu, Bahtiar berkesimpulan, bahwa melalui strategi yang demikian, gerakan transformasi sosial ini, mendorong komunitas Muslim untuk
memaknai politik secara lebih luas, tidak hanya terjebak pada satu panggung perjuangan politik yaitu melalui parlemen. Dengan kata lain, perjuangan politik
kaum Muslim bisa seluas ranah kemasyarakatan dan kenegaraan pada umumnya. Selain itu, komunitas politik umat Islam juga diajak untuk merumuskan hubungan
yang secara esensial lebih penting antara kekuatan politik Islam dengan negara serta lembaga-lembaga yang ada, utamanya dengan institusi yang mempunyai
aspirasi sama. Pada tahap berikutnya, madzhab ini juga mengajak umat Islam untuk merumuskan kembali tujuan politik Islam yang lebih terbuka.
17
Dalam tilikan Bahtiar, eksponen utama dari gerakan transformasi sosial ini adalah Sudjoko Prasojo dan Dawam Raharjdo. Meski Dawam Rahardjo juga
termasuk pada generasi intelegensia Muslim baru yang punya perhatian terhadap pembaruan dan penyegaran pemahaman keislaman, namun ia juga masuk dalam
katagori ini. Sudjoko Prasojo menggunakan—salah satunya—Perguruan Tinggi Dakwah Islam PTDI sebagai institusi untuk menerjemahkan gagasan-
gagasannya; sementara Dawam Rahardjo berjuang di atas lembaga bernama Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Eekonomi dan Sosial LP3ES.
Dalam perkembangan berikutnya, gerakan ini deteruskan oleh Adi sasono dengan Lembaga Studi Pembangunan LSP sebagai medan utamnya.
18
Ia menggawangi lembaga ini dengan merumuskan gerakan transformasi sosialnya
melalui berbagai studi kebijakan, seperti sosial, ekonomi, dan politik untuk membela kaum tertindas dan mengkampanyekan kesetaraan, keadilan sosial
ekonomi, dan demokratisasi politik. Untuk sementara, bisa disimpulkan bahwa tiga aras utama gerakan di atas
sangat berbeda dengan apa yang diperjuangkan oleh aktivis dan pemikir Muslim generasi awal. Jika eksponen generasi awal lebih menekankan pada keterpautan
Islam dan negara secara kaku—karena pengaruh pemahaman keagamaan mereka—maka generasi setelahnya lebih terbuka dengan medan perjuangan yang
mereka pilih sendiri.
17
Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 26.
18
Effendy, Islam dan Negara, h. 169-170.
Oleh karena itu, jika diringkas, sebagaimana sering diungkapkan oleh Bahtiar dalam beberapa tulisannya, paradima hubungan Islam dan negara telah
bergesar: pada awalnya menekankan legal-formal menuju komitmen pada substansi dan nilai-nilia. Dan, berkat gerakan ini pula, negara kemudian
memperlunak cengkramannya terhadap komunitas politik umat Islam.
B. Melemahnya Kooptasi Negara atas Politik Islam
Pengaruh gagasan baru intelegensia Muslim dengan tiga arus utama artikulasinya dalam memperbaiki hubungan Islam dan negara memberi kontribusi
besar terhadap peran negara untuk menurunkan tensinya mendesak peran politik Islam ke pinggiran. Selain itu, ketegangan internal rezim Orde Baru, khususnya
Soeharto dengan militer juga turut memberi keuntungan tersendiri bagi komunitas politik Islam. Ketidakpuasan militer terhadap Soeharto, membuat Soeharto
menoleh pada komunitas politik kaum Muslim untuk dijadikan patner dalam menjalankan proses-proses kenegaraan dan kebangsaan.
Seperti yang diamati oleh Yudi Latif, “Sikap-sikap bersahabat yang ditunjukkan oleh organisasi-organisasi Muslim terhadap ajaran resmi ortodoksi
negara mendorong rezim penguasa untuk mengakomodasi representasi Muslim dalam kepemimpinan politik dan birokrasi Orde Baru.”
19
Proposisi Yudi Latif di atas menggambarkan pergeseran paradigma komunitas Muslim dalam melihat
hubungan Islam dan negara yang semakin nyata. Hal ini yang menyebabkan negara punya ”iktikad baik” untuk
mengakomodir kepentingan-kepentingan kaum Muslim. Kebijakan ”iktikad baik”
19
Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, h. 576.
yang dijalankan negara terhadap kepentingan-kepentingan kaum Muslim juga tampak jelas dalam peningkatan dukungan terhadap Islam, baik struktural maupun
kultural, seperti diindikasikan oleh peningkatan yang berarti dalam subsidi-subsidi pemerintah terhadap masjid-masjid dan sekolah-sekolah agama; serta disahkannya
beberapa undang-undang yang lebih menguntungkan bagi kepentingan umat Islam.
Implikasinya, arus ”urbanisasi” komunitas Muslim untuk melebur ke dalam negara meledak. Ledakan terbesar arus ”urbanisasi” komunitas Muslim dari
pinggiran ke panggung ”kekuasaan,” baik dalam birokrasi maupun dalam partai Golkar, terjadi di pertengahan tahun 1980-an utamanya, tahun 1983-1988.
Pada saati itu pula, pemerintah banyak mengeluarkan kebijakan yang lebih akomodatif terhadap kepentingan kaum Muslim. Pada momen ini, komunitas
politik Muslim merasa bisa merefleksikan suatu ”tindakan sejarah” historical action dan menemukan kembali sejarah historical self-invention mereka yang
telah terputus ruptures—untuk menyuarakan aspirasi politiknya dengan langgam yang berbeda.
1. Panggung Politik Umat Islam