Sementara euforia politik ditandai dengan munculnya puluhan partai yang tak terbayangkan dalam sejarah Indonesia modern. Seperti yang pernah
dilaporkan banyak media, antara Mei sampai Oktober 1998, di tengah situasi yang tidak menentu, kita dapat menyaksikan lahirnya 181 partai politik. Dari jumlah
itu, 42 partai dapat dikategorikan sebagai partai politik Islam. Mayoritas dari mereka menggunakan asas dan simbol Islam. Mungkin saja munculnya puluhan
partai politik tersebut merupakan sesuatu yang menggelisahkan karena setiap kelompok akan terjebak pada imajinasi politik mereka msing-masing yang lebih
mengedepankan kepentingan golongan ketimbang bersama-sama memikirkan masalah bangsa. Namun di ujung sprektrum yang lain, menjamurnya partai politik
setelah ruhtuhnya tembok otoritanisme Sueharto, harus difahami sebagai ekpresi kebebasan berserikat yang selama Sueharto berkuasa tidak pernah mereka
dapatkan. Termasuk di dalamnya, maraknya partai politik yang mengklaim dirinya sebagai partai Islam.
D. ”Penjinakan” Islam oleh Negara
Pada sebagian besar babakan sejarahnya, relasi politik antara Islam dan negara di Indonesia diwarnai dengan cerita antagonisme dan kecurigaan satu sama
lain. Seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya, hubungan antara Islam dan negara di Indonesia sudah lama mengalami jalan buntu. Baik saat presiden
Suekarno maupun Sueharto berkuasa. Keduanya memandang partai-partai yang berlandaskan Islam sebagai pesaing tangguh kekuasaan yang potensial dapat
merobohkan landasan negara yang nasionalis. Karena alasan ini, sepanjang lebih
dari empat dekade, kedua pemerintahan di atas berupaya untuk melemahkan dan menjinakkan kekuatan Islam dengan serangkaian kebijakan yang diskriminatif.
A. Zaman Orde lama
Sesuai dengan watak pemikirannya yang nasionalis, Soekarno sebagai penguasa rezim Orde Lama Orla ingin memisahkan Islam dari negara. Menurut
Soekarno, Islam dan negara merupakan dua entitas yang berbeda yang harus dipisahkan dari kehidupan politik bernegara. Islam harus berdiri sendiri dan
negara berada jauh bahkan sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan Islam. Meskipun konsep Soekarno ini mengharuskan pemisahan agama dari negara,
namun pada dasarnya ia tidak menolak sama sekali adanya persatuan agama dan negara. Ia berpendapat bahwa persatuan agama dan negara dalam Islam bisa
berlaku jika seluruh masyarakatnya seratus persen beragama Islam dan secara murni menjalankan ajaran-ajaran Islam. Dengan kondisi masyarakat yang tidak
seratus persen Islam, ia meyakini, gagasan penyatuan Islam dan negara pasti ditolak penganut agama lain.
Pandangan pemisahan agama dan negara Soekarno itu diilhami oleh pengalaman Mustafa kamal Ataturk di Turki dengan ajaran sekularisasinya.
Menurut Suekarno alasan Mustafa kamal memisahkan agama dari negara disebabkan karena pada masa awal khalifah-khalifah Usmaniah di Turki, sudah
terdapat dualisme hukum. Yang pertama hukum Islam dan yang kedua hukum yang difirmankan oleh sultan dan parlemen. Akibat dualisme hukum inilah, Turki
mengalami kemunduran karena pengaruh syaikhul Islam yang sangat dominan, sementara mereka berpandangan kolot yang cenderung menghambat kemajuan.
28
Selain itu, di masa Orde Lama terjadi perdebatan-perdebatan yang sangat sengit antara kubu Suekarno yang nasionalis dengan kubu M. Natsir yang agamis.
Kelompok Natsir berpendapat bahwa nilai-nilai agama harus dijalankan dalam bernegara. Negara dalam bentuk apapun harus menjalankan nilai-nilai agama.
Natsir berkali-kali menegaskan bahwa, Islam tidak megenal pemisahan agama dengan negara. Sementara itu, kubu Soekarno berpendirian, demi kemajuan
negara agama harus terpisah dari negara. Dengan pemisahan itu, bukan saja negara yang akan semakin maju melainkan juga agama pun akan menjadi lebih
maju dan merdeka. Lebih penting lagi, Soekarno beranggapan bahwa yang dikatannnya itu tidak bertentangan dengan Islam, sesuai dengan apa yang
difahami, baginya Islam memiliki hukum-hukum yang luwes yang selalu dapat disesuaikan dengan zaman
Perdebatan yang dimulai sebelum pra-kemerdekaan itu memasuki babak yang tidak menemukan pangkal penyelesaiannya. Setelah Indonesia merdeka,
kalagan agamis tetap mendesakkan supaya Islam dijadikan dasar negara. Yang paling krusial, perdebatan dijadikannya Islam sebagai dasar negara dibuka
kembali dalam Majelis konstituante. Dalam sidang tersebut, umat Islam tetap menginginkan Islam sebagai dasar negara. Namun sekali lagi, keinginan kalangan
agamis ini ditolak dengan alasan menjaga keutuhan bangsa. Dalam konteks ini, sekali lagi kekuatan politik Islam dapat dijinakkan dalam perdebatan di
konstituante.
28
Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme. Jakarta: Penerbit PT Logos Wacana Ilmu. 1999 cet. I, h. 140-141.
B. Zaman Orde Baru