sekularisasi dalam pengertian sosiologisnya berhenti dan berubah menjadi penerapan sekularisme secara filosofis.
12
Sejalan dengan ikhtiar tersebut, pemikir-pemikir lain seperti Harun Nasution, Munawir Sjadzali, dan Abdurrahman Wahid, dalam pandangan Bahtiar,
juga mengemukakan pandangan-pandangan teologis lain yang ”kurang lebih sama.” Pada prinsipnya, mereka semua lebih menekankan isi substance daripada
bentuk form dalam menerjemahkan Islam hubungannya dengan negara. Komunitas politik Muslim, demikian Bahtiar, tidak harus mengartikulasikan
aspirasi politiknya secara formalistik-legalistik, namun harus berkomitmen kepada nilai-nilai Islam yang lebih substansialistik.
2. Keterlibatan Dalam Birokrasi
Selain munculnya generasi baru intelegensia Muslim yang memberi pengaruh besar terhadap paradigma baru hubungan Islam dan negara, Bahtiar
mengakui bahwa reformasi birokrasi menjadi salah satu pilar yang meneguhkan pergeseran pandangan tentang hubungan Islam dan negara. Arus besar gerakan
ini, demikian Bahtiar, meyakini bahwa ketegangan hubungan Islam dan negara akan menghilang jika para pemikir dan aktivis Muslim melibatkan diri dan
berpartisipasi dalam proses kehidupan birokrasi negara. Islam tidak seharusnya diposisikan vis-a-vis dalam kaitannya dengan negara; serta tidak perlu
menempatkan Islam sebagai entitas yang bertentangan dengan Pancasila.
13
Menurut penganut aliran ini, hubungan antara Islam dan negara bersifat komplementer, yaitu dalam Pancasila terkandung nilai-nilai Islam. Dengan
12
Madjid, Islam Kemodernan, h. 207.
13
Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 21.
demikian, dilihat dari perspektif keagamaan tidak ada keharusan bagi komunitas Islam untuk mempermasalahkan bangunan negara Indonesia yang berdasarkan
Pancasila. Selain itu, Bahtiar mengemukakan bahwa mereka yang menganut gerakan ini beranggapan, sepanjang sejarah politik Islam modern, para pemimpin
dan aktivis politik Islam belum mampu mengembangkan sebuah tradisi pemerintahan yang kuat. Ketika tokoh-tokoh terkemuka dari komunitas Muslim
diberi kesempatan untuk mendudukan jabatan birokrasi dalam pemerintahan, komunitas Islam politik tidak mempunyai peran yang dominan dalam mengemban
jabatan-jabatan tersebut. Realitas ini menunjukkan bahwa aktivis politik Islam tidak hanya marjinal dalam negara, tetapi juga tidak-dekat dengan negara.
Hal penting lain, menurut Bahtiar, aktivis gerakan ini mempercayai bahwa pendekatan seperti ini dinilai efektif untuk mengembalikan harga diri politik
komunitas Muslim, yang sering diperlakukan sebagai kaum marjinal dalam panggung politik di Indonesia. Di samping itu, strategi ini dipandang penting
untuk menghidupkan kembali perhatian komunitas politik Islam terhadap masalah-masalah kenegaraan.
Sang pemula dari gerakan ini adalah Dahlan Ranuwihardja, mantan ketua umum HMI dan GPII tahun 1960-an. Ia berpendapat, demikian menurut Bahtiar,
dalam bingkai negara yang berasap pada Pancasila, terdapat banyak peluang dan ruang untuk mengimplementasikan nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu,
komunitas politik Muslim tidak mempunyai alasan yang kokoh untuk menolak negara Indonesia yang berdasarkan Pancasilah. Bahkan, ketika masalah “negara
Islam” versus “ negara nasional” mencuat ke publik Bumiputera, penganut alur berpikir ini mendukung “negara nasional”.
14
Selain Dahlan Ranuwihardja, di tahun-tahun kemudian, gerakan ini diteruskan oleh beberapa seperti Mintaredja, Sulastomo, Harono Mardjono, Akbar
Tanjung, dan Ridwan Saidi. Dalam perspektif birokratis, tradisi ini dikembangkan oleh eksponen seperti Sularso, Bintoro Tjokroamidjojo, Barli Halim, Bustanil
Arifin, Madjid Ibrahim, Norman Razak, Zainul Yasni, Omar Tusin, Sya’dillah Mursyid, Mar’ie Muhammad, Hariri Hadi, dan lain sebagainya. Kendati para
eksponen ini seringkali dicap keluar dari perjuangan politik umat Islam, karena memilih jalur yang berbeda dengan komunitas politik Muslim lainnya, namun
mereka memberikan kontribusi besar pada proses “Islamisasi birokrasi.”
15
3. Gerakan Transformasi Sosial