Panggung Politik Umat Islam

yang dijalankan negara terhadap kepentingan-kepentingan kaum Muslim juga tampak jelas dalam peningkatan dukungan terhadap Islam, baik struktural maupun kultural, seperti diindikasikan oleh peningkatan yang berarti dalam subsidi-subsidi pemerintah terhadap masjid-masjid dan sekolah-sekolah agama; serta disahkannya beberapa undang-undang yang lebih menguntungkan bagi kepentingan umat Islam. Implikasinya, arus ”urbanisasi” komunitas Muslim untuk melebur ke dalam negara meledak. Ledakan terbesar arus ”urbanisasi” komunitas Muslim dari pinggiran ke panggung ”kekuasaan,” baik dalam birokrasi maupun dalam partai Golkar, terjadi di pertengahan tahun 1980-an utamanya, tahun 1983-1988. Pada saati itu pula, pemerintah banyak mengeluarkan kebijakan yang lebih akomodatif terhadap kepentingan kaum Muslim. Pada momen ini, komunitas politik Muslim merasa bisa merefleksikan suatu ”tindakan sejarah” historical action dan menemukan kembali sejarah historical self-invention mereka yang telah terputus ruptures—untuk menyuarakan aspirasi politiknya dengan langgam yang berbeda.

1. Panggung Politik Umat Islam

Setelah hampir empat dekade umat Islam kehilangan medan aktualisasi dirinya untuk bisa bersuara melawan proses marginalisasi politik dan ekonomi, memasuki penghujung tahun 1970-an kalangan Muslim mulai menemukan kembali ranah perjuangannya dalam menyuarakan kepentingan mereka. Seperti dikatakan oleh Bahtiar Effendy: “Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif. Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya wacana politik Islam serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian besar masyarakat Islam. Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas, ada yang bersifat 1 struktural, 2 legislatif, 3 infrastruktural, dan 4 kultural.” 20 Dalam matra yang pertama, Bahtiar berpandangan bahwa negara semakin membuka ruang kepada aktivis-aktivis Islam untuk terlibat dalam proses kenegaraan, baik melalui jalur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Mereka ini ditampung baik di birokrasi pemerintahan, maupun dalam partai Golkar. Bahkan, seiring dengan kian membaiknya hubungan antara komunitas Muslim dengan pemerintah, komposisi Kabinet Pembangunan Kelima Presiden Soeharto 1988- 1993 mengakomodasi figur-figur teknokrat santri dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sikap akomodatif pemerintah terhadap intelektual Muslim juga ditunjukkan dengan diangkatnya Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan beberapa tokoh terkemuka Muslim lainnya sebagai anggota MPR dari utusan golongan di bawah bendera Golkar. 21 Klimaks dari ini semua, menurut Bahtiar, adalah keterbukaan pemerintah dalam mendukung pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia ICMI pada 1990. Pada matra yang kedua, Bahtiar menengarai, sikap akomodasi negara terhadap komunitas Islam ditunjukkan dengan disahkannya sejumlah undang- undang yang memihak pada kepentingan komunitas Muslim. Misalnya, disahkannya Undang-Unang Pendidikan Nasional UUPN pada 1989; disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama UUPA pada 1989; kompilasi 20 Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 35. 21 Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, h. 577-578. hukum Islam pada 1991; kebijakan baru tentang jilbab pada 1991; SKB tentang BAZIS pada 1991; dan kebijakan SDSB pada 1993. 22 Matra yang ketiga, menurut Bahtiar berhubungan dengan semakin tersedianya berbagai infrastruktur yang diperlukan oleh komunitas Muslim untuk menjalankan kewajiban kegamaannya. Melalui Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Soeharto membangun ratusan masjid dan—atas permintaan Majelis Ulama Indonesia MUI—memotori pengiriman para juru dakwah ke daerah- daerah terpencil. Yang paling fenomenal adalah kesediaan negara membantu mendirikan sebuah bank yang beroperasi menurut tuntunan ajaran Islam, yaitu Bank Muamalat Indonesia BMI pada 1991. 23 Matra yang keempat, demikian Bahtiar, menyangkut akomodasi kultural negara terhadap Islam. Hal ini ditunjukkan dari iktikad baik negara untuk tidak melarang idiom-idiom Islam dalam perbendaharaan bahasa pranata ideologis komunitas Muslim, baik dalam organisasi kemasyarakatan, kemahasiswaan, maupun politik kenegaraan. Menurut Bahtiar, hal ini merupakan bentuk akomodasi negara secara kultural yang paling dini dibanding yang lain. 24 Dalam konteks ini, kemudian Bahtiar Effendy melakukan abstraksi dari hasil-hasil studinya yang panjang untuk memberikan temuan baru menyangkut hubungan Islam dan negara. Selain itu, ia mencoba merumuskan dan meramalkan apakah perkembangan hubungan Islam dan negara yang semakin adekuat itu bisa bertahan lama bergerak maju atau sebaliknya bergerak surut.

C. Arah Baru Hubungan Islam dan Negara