Islam Sebagai Kekuatan Ideologi Politik di Indonesia

Nusantara. Selama periode ini, praktis tidak ada perdebatan serius antara aktivis Islam dengan kelompok Nasionalis. Perdebatan yang sempat menghangat seputar hubungan Islam dan negara dihentikan. Sejenak mereka bersedia melupakan perdebatan-perdebtan ideologis di antara mereka. Dan tidak diragukan lagi, pada masa itu, para pendiri republik merasa bahwa mereka harus mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru merdeka dan mencegah kembali Belanda berkuasa. Akibat tidak adanya pertikaian, kedua kelompok ini mampu mengembangkan hubungan politik yang relatif harmonis. Sementara kelompok nasionalis tetap memegang kemudi kekuasaan, pada saat yang bersamaan pada Desember 1949, Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada Reublik Indonesia, kelompok Islam mulai memperlihatkan kekuatannya dalam kancah politik nasional. Dengan Masyumi sebagai satu-satunya kendaraan politik, kelompok Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang cukup besar.

C. Islam Sebagai Kekuatan Ideologi Politik di Indonesia

Berbicara tentang Islam sebagai kekuatan politik di Indonesia, penelusurannya tidak akan terlepas dari kiprah awal umat Islam dalam upaya merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Saat itu, Islam sangat efektif dan mampu mengkonsolidasikan kekuatan perlawanan di daerah-daerah menjadi sebuah kekuatan nasional yang mengantarkan kemerdekaan Indonesia. Setelah merdeka, Islam tetap saja dianggap sebagai kekuatan politik yang tidak bisa dianggap remeh. Hal itu bisa dilihat dari perdebatan-perdebatan dalam Majelis Konstituante tentang perumusan dasar dan falsafah negara dimana kelompok Islam menjadi sorotan utama karena menuntut disahkannya kembali tujuh kata dalam piagam Jakarta. Bahkan di masa orde lama, orde baru, dan orde reformasi sampai pada masa transisi demokrasi pun, Islam tetap dianggap sebagai kekuatan politik yang cukup dominan yang memberikan aroma tersendiri dalam upaya melakukan pembaharuan. Sementara itu, adanya dikotomi antara kelompok Islam dan nasionalis dalam perpolitikan nasional, secara tidak sengaja menempatkan Islam sebagai kekuatan politik tersendiri yang cukup signifikan di luar kekuatan politik lainnya. Dalam sub ini, penulis tidak akan mengulas secara detail mengenai kekuatan Islam sepanjang sejarah perjuangan dan pasca kemerdekaan Indonesia. Melainkan hanya sebatas memberikan cuplikan babakan sejarah tentang Islam yang cukup memainkan peran penting dalam perpolitikan Indonesia. Dalam potret sejarah, bangkitnya nasionalisme Indonesia pada dekade pertama abad 20, memancing munculnya gerakan-gerakan masyarakat pribumi untuk menentang penjajahan Belanda untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Tidak diragukan lagi, dalam upaya nasionalistik ini, sebagai agama mayoritas yang dianut penduduk Indonesia, Islam memainkan peran yang cukup signifikan. Seperti yang telah ada, Islam berfungsi sebagai mata rantai yang mampu menyatukan rasa persatuan nasional melawan penjajahan Belanda. Dalam fase ini, Islam bukan saja menjelma sebagai kekuatan politik yang mampu mengikat tali persatuan nasional, melainkan juga Islam tampil sebagai simbol persamaan nasib keterjajahan dari agama lain Belanda yang kristen. Menurut Natsir, tanpa Islam nasionalisme Indonesia tidak akan pernah ada karena Islam pertama-tama telah menanamkan benih persatuan Indonesia dan telah menghapuskan sikap-sikap isolasionis pulau-pulau yang beragam. Pada masa awal perjuangan kemerdekaan, umat Islam menjadikan Sarekat Islam SI sebagai satu-satunya perwujudan dan perjuangan politik umat Islam. Bermula dari sebuah organisasi dagang Sarekat Dagang Indonesia SDI, 19 SI berkembang pesat menjadi organisasi politik nasional yang pertama di Indonesia. Perubahan SDI menjadi SI bukan hanya dalam perubahan nama, melainkan juga perubahan orientasi dari komersial ke politik. Salah seorang tokoh Muslim lulusan Barat, Tjokroaminoto merupakan tokoh muslim petama yang menyatakan bahwa Islam merupakan faktor pengikat simbol nasional menuju kemerdekaan yang sempurna bagi rakyat Indonesia. SI mempunyai tujuan jangka panjang yaitu Islamisasi bagi masyarakat Indonesia. Untuk meraih cita-cita jangka jauh ini, bagi Tjokroaminoto kemerdekaan Indonesia merupakan sesuatu yang mutlak. 20 Selama periode awal, SI dengan cepat mendapat respon positif dari kalangan masyarakat Indonesia. Hanya dalam beberapa tempo, SI telah berkembang dengan cepat. Salah satu ciri yang menonjol dari kemajuan SI bukan saja agenda politiknya yang berskala nasional, melainkan juga disebabkan kemampuan SI dalam menghimpun dukungan basis massa yang memutus dikotomi pengelompokan-pengelompokan sosial di masyarakat yang lokalistik. Dengan agenda politiknya yang berskala nasional itulah, SI mampu meraup dukungan dari semua kelas dan struktur sosial baik yang berada di pedesaan 19 SDI didirikan pada 11 November 1911 oleh Saman Hudi, salah seorang pedagang Muslim kaya asal Sura Karta, Jawa Tengah. Semula SDI diarahkan untuk melawan dominasi perdagangan Cina dengan mengorbankan penduduk pribumi. Sisi lain perjuangan SDI itu adalah- meski tidak secara langsung- ditujukan kepada Belanda yang memberikan prioritas dan perlindungan kepada usahawan Cina yang agresif dalam perdagandan dan Industri. Pada 1922 SDI berganti nama menjadi SI dengan pemimpin baru H.O.S Tjokroaminoto. 20 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, edisi revisi, Jakarta: Penerbit LP3ES, 2006 cet. I, h. 80. maupun di kota. Mulai dari pedagang Islam, kalangan priyai hingga petani bergabung dalam gerakan politik nasional SI untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Dengan kata lain, SI merupakan pusat kebangkitan nasional Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Islam tetap saja menjadi kekuatan politik yang cukup dominan bahkan sangat menonjol. Proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 telah memberikan kesempatan yang sama kepada berbagai aliran politik di Indonesia untuk dengan bebas membentuk partai-partai politik sebagai sarana demokrasi. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh kelompok Islam. Maka pada tanggal 7-8 November 1945 melalui sebuah kongres umat Islam di Yogyakarta dibentuklah sebuah partai politik Islam dengan nama Masyumi. Akan tetapi, Masyumi yang dideklarasikan pada November ini bukan Masyumi buatan Jepang karena dibentuk oleh ummat Islam sendiri tanpa intervensi dari pihak luar. Sebagaimana telah diprediksikan semula, kehadiran Masyumi mendapat sambutan hampir dari semua gerakan Islam nasional maupun lokal, yang berhaluan politik maupun keagamaan. Banyak kalangan yang memprediksi, jika pemilu dilaksanakan saat itu juga maka, bukan hal mustahil bagi Masyumi – yang saat itu merupakan gabungan dari kelompok muslim modernis seperti Muhammadiyah dan kelompok Islam tradisional seperti NU – akan keluar sebagai pemenang dalam pemilu tersebut. Menurut Natsir, Masyumi pada periode awal pembentukannya benar-benar merupakan jumlah massa yang sangat konkret. Bila dihubungakan dengan setting politik tahun 1945, bisa difahami bahwa pembentukan Masyumi dalam rangka menyalurkan aspirasi politik uamt Islam sebagai cerminan dari potensi mereka sebagai penduduk yang mayoritas. Sementara jika dilihat dari sisi lain, Munculnya Masyumi pada 1945 dapat pula dipandang sebagai jawaban positif ummat terhadap manifesto politik Wakil Presiden Hatta tanggal 1 November 1945 yang mendorong pembentukan partai-partai. Setidaknya ada dua hal penting yang dihasilkan dalam kongres November 1945 tersebut. Pertama, pembentukan partai politik dengan nama Masyumi. Kedua, selain Masyumi umat Islam tidak memiliki partai politik lain. Hasil kongres ini mendapat respon yang baik dari kalangan ulama baik yang modernis maupun yang tradisionalis, disamping juga dukungan dari pemimpin umat nonulama jawa-madura. 21 Salah satu kekuatan Masyumi terletak pada organisasinya yang federatif yang di dalamnya terdapat anggota biasa perorangan dan anggota luar biasa kolektif seperti NU dan Muhammadiyah. Karena wataknya yang federatif itulah, Masyumi berhasil merangkul organisasi dan kelompok-kelompok muslim lainnya. Namun, bentuknya yang federatif ini juga merupakan kekurangan Masyumi. Dalam beberapa kesempatan, semangat lebih nononjolkan golongan mengalahkan semangat persatuan dalam partai. Pada suatu waktu semangat golongan ini begitu dominan sehingga menyulitkan partai dalam melakukan konsolidasi. Kegagalan dalam mempersatukan antar golongan tersebut ternyata telah menghadapkan Masyumi pada persoalan-persoalan yang serius, yaitu perpecahan partai. Pada 1947 PSII keluar dari Masyumi dan menyatakan dirinya kembali kepada partai yang independen disusul NU yang juga keluar dari Masyumi pada 1952 dan mengubah dirinya dari gerakan sosial keagamaan menjadi gerakan politik. Tentu 21 Syafii Maarif, Islam dan Pancasila, h.113. saja peristiwa itu sangat mengguncang Masyumi terutama setelah NU keluar dari Masyumi. Meski di penghujung babak perjuangannya Masyumi melemah karena konflik internal di kalangan pemimpinnya, namun tidak bisa dipungkiri bahwa Masyumi merupakan salah satu kekuatan politik di Indonesia yang merepresentasikan kepentingan politik umat Islam secara keseluruhan. Untuk memberikan gambaran lebih jauh mengenai posisi politik Islam Masyumi pada masa pascarevolusi, beberapa catatan historis berikut tampaknya sangat relevan dikemukakan di sini. Pertama, pada tahun 1950 partai partai politik di Indonesia mengalami penyegaran setalah sekian lama mengalami kelesuan pada 1949. Dalam parlemen yang baru dibentuk, Masyumi tampil sebagai partai terbesar dengan menduduki 49 kursi dari 236 kursi. Kedua, dalam beberapa kesempatan Masyumi diminta untuk membentuk dan memimpin kabinet. Dari tujuh kabinet yang berjalan di bawah sistem demokrasi konstitusional 1950-1957 tiga kabinet kepemimpinannya dipercayakan kepada Masyumi; kabinet Natsir pada 1950- 1951, kabiner Sukiman pada 1951-1952, dan kabinet Burhanuddin Harahap pada 1955-1956. Selain itu, ketika PNI diberi mandat untuk membentuk pemerintahan, Masyumi dan NU berperan sebagai pasangan koalisi utama. Yang terakhir, dalam pemilu pertama yang diselenggarakan pada 1955 golongan Islam yang terdiri dari Masyumi, NU, PSII, dan Perti menguasai 114 suara dari 257 kursi. 22 Memasuki rezim orde baru pada 1965, banyak pemimpin Islam yang menaruh harapan besar terhadap rezim yang dipimpin Soeharto ini. Harapan itu 22 Effendy, Islam dan negara, h.94. terpatri jelas dari para aktivis Islam karena selama masa demokrasi terpimpin politik Islam benar-benar dipojokkan. Tidak hanya itu, harapan besar itu juga didasarkan pada kenyataan keterlibtan aktivis politik Islam bersama militer, kelompok keagamaan, pelajar, dan mahasiswa yang berhasil mengganyang PKI dan meruntuhkan kekuasaan rezim orde lama. Meski Orde Baru membebaskan para aktivis Islam dari tahanan, khusunya dari kalangan Masyumi, namun umat Islam tidak bisa menaruh harapan besar terhadap rezim ini. Orde Baru menerapkan sistem dan kebijakan kembali ke UUD 45 dengan tegas dan kosekuen serta menindak tegas kelompok manapun tak terkecuali Islam, yang mencoba melawan Pancasila. Oleh karena itu, untuk mengembangkan sayap politiknya, kelompok Islam mulai merumuskan ulang srategi politiknya yang selama dua dasawarwa awal kemerdekaan lebih mengedepankan aspek legal formal terutama keinginan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Mengacu pada perjuangan yang legal formal itulah, arus utama politik Islam pada masa orde baru lebih bersifat substansialistik. Dengan kata lain, para aktivis Islam mulai merubah strategi perjuangannya dengan mengedepankan aspek nilai, makna dan isi, daripada bentuk dan simbol. Perubahan stategi ini tentu saja tidak muncul secara kebetulan. Melainkan kesadaran ini lahir dari sebuah refleksi perjuangan dimana ekspresi politik Islam yang lebih mengedepankan aspek legal formalistik sering menemui kendala-kendala yang bersifat kultural maupun struktural. Bahkan, dalam beberapa periode awal kemerdekaan politik Islam diperlakukan secara diskriminatif dan dimarjinalkan. Akibat dari perubahan strategi perjuangan itu, setidaknya sepanjang akhir tahun 1980-an hingga pertengagan 1990-an, negara membuat sejumlah kebijakan yang menguntungkan kelompok Islam. Di antara kebijakan tersebut yaitu, disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional UUPN, disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama UUPA, pembentukan ICMI, dibuatnya Kompilasi Hukum Islam, dikeluarkannya keputusan bersama tingkat menteri mengenai BAZIS, dan dihapuskannya SDSB merupakan contoh kebijakan lain negara yang sangat menguntungkan politik Islam. 26 Menurut Bahtiar, lahirnya ICMI pada Desember 1990, menunjukkan bahwa situasi politik nasional tengah berpihak pada Islam. Pada masa itu, bulan madu antara Islam dan negara dimulai. Kendatipun dalam waktu yang cukup lama Islam menjadi sasaran kecurigaan negara, namun dengan bulan madu yang sedang dirajut itu, lambat laun ketegangan antara Islam dan negara mulai terkikis. Sejak saat itu, satu persatu kepentingan Islam mulai diakomodir oleh negara, baik yang menyangkut hal-hal yang bersifat struktural maupun kultural. 27 Memasuki masa reformasi yang ditandai dengan lengsernya Sueharto, era ini membawa perubahan yang cukup besar terhadap iklim politik di Indonesia. Sueharto yang selama 32 tahun mengangkangi kebebasan berekspresi akhirnya dipaksa meletakkan jabatannya oleh seluruh rakyat Indonesia dengan kepeloporan gerakan mahasiswa. Tentu saja, rontoknya rezim diktator ini membawa berkah kebebasan dan euforia politik yang sangat luar biasa. Salah satu berkahnya yaitu, terbukanya pintu liberalisasi dan relaksasi politik. Dengan demikian, rakyat Indonesia merasa terbebas dari belenggu kultural maupun struktural yang selama ini menyulitkan mereka melakukan adaptasi terhadap politik nasional serta melakukan kontrol peneyelenggaraan negara. 26 Effendy, Teologi Baru Politik Islamh, h. 45. 27 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politk Islam; Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah. Jakarta: Penerbit Ushul Press, 2005 cet. I, h. 254. Sementara euforia politik ditandai dengan munculnya puluhan partai yang tak terbayangkan dalam sejarah Indonesia modern. Seperti yang pernah dilaporkan banyak media, antara Mei sampai Oktober 1998, di tengah situasi yang tidak menentu, kita dapat menyaksikan lahirnya 181 partai politik. Dari jumlah itu, 42 partai dapat dikategorikan sebagai partai politik Islam. Mayoritas dari mereka menggunakan asas dan simbol Islam. Mungkin saja munculnya puluhan partai politik tersebut merupakan sesuatu yang menggelisahkan karena setiap kelompok akan terjebak pada imajinasi politik mereka msing-masing yang lebih mengedepankan kepentingan golongan ketimbang bersama-sama memikirkan masalah bangsa. Namun di ujung sprektrum yang lain, menjamurnya partai politik setelah ruhtuhnya tembok otoritanisme Sueharto, harus difahami sebagai ekpresi kebebasan berserikat yang selama Sueharto berkuasa tidak pernah mereka dapatkan. Termasuk di dalamnya, maraknya partai politik yang mengklaim dirinya sebagai partai Islam.

D. ”Penjinakan” Islam oleh Negara