Islam dan Negara: Menuju Hubungan yang Integratif

Model pemikiran Islam yang diperjuangkan oleh genersi intelgensia Muslim baru ini, yaitu yang lebih substansialistik—sebuah posisi yang menekankan pada pentingnya isi daripada bentuk, nilai daripada simbol—dapat mendorong berkembangnya kehidupan politik yang demokratis. Oleh karena itu, sudah cukup kuat alasan untuk menerima demokrasi; karena demokrasi pada prinsipnya sesuai dengan nilai-nilai Islam; begitu juga sebaliknya, nilai-nilai demokrasi sesuai dengan prinsip politik Islam, khususnya musyawarah, keadilan, dan persamaan. Berpijak dari persoalan di atas, Bahtiar berkesimpulah bahwa pemahaman keagamaan keislaman yang lebih menekankan nilai-nilai, landasan etis, inspirasi, atau substansilah—dalam istilah Bahtiar tertransformasikan—yang mempunyai tingkat kesesuaian yang tinggi dengan demokrasi. Sementara pandangan keagamaan yang lebih menekankan legal-formal sangat sulit dipertemukan dengan demokrasi, kecuali gerakan dan pemikiran yang seperti ini ditransformasikan menjadi pemahaman keagamaan keislaman yang lebih menekankan nilai-nilai universal seperti yang menjadi mainstream kedua.

2. Islam dan Negara: Menuju Hubungan yang Integratif

Hubungan yang integratif antara Islam dan negara jangan dimengerti seperti gagasan Supomo tentang negara integralistik yang memposisikan negara menyatu dengan masyarakat, sehingga berimplikasi pada munculnya pemerintahan yang otoriter. Ia juga jangan dimengerti sebagai penyatuan agama dan negara yang berimplikasi pada negara adalah agama; dan agama adalah negara al-din wa al-daulah. Tetapi, gagasan ini merupakan temuan Bahtiar dalam melihat perkembangan hubungan yang tepat antara Islam dan negara dalam dua puluh tahun terakhir. Meskipun gagasan tentang hubungan yang integratif antara Islam dan negara ini merupakan kelanjutan-kelanjutan—dan dalam tingkat tertentu tidak jauh berbeda—dari temuan-temuan sebelumnya, namun penting dikemukakan untuk mendedahkan tingkat orisinalitas gagasannya. Dalam konteks yang lebih detail, ia menegaskan bahwa terjalinnya hubungan yang integratif itu ditandai dengan lahirnya generasi intelengesia Muslim baru yang tidak memposisikan Islam sebagai musuh dari negara, tetapi terintegrasi atau menyatu dengan kontstruk negara Republik Indonesia. Perlu dijelaskan, kata “integrasi” di sini bukan berarti Islam dan negara menyatu secara legal-formal al-din wa al-daulah, tetapi menyatu dari sisi nilai-nilai di mana nilai-nilai Islam tidak bertentangan menyatuintegratif dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Bahtiar mencatat, hubungan yang mulai integratif itu setidaknya ditandai oleh tiga ciri utama. Pertama, landasan teologis; kedua, tujuan; dan ketiga, pendekatan Islam politik. 30 Dalam konteks teologisnya, format baru politik Islam tidak lagi berhubungan secara legalistik dan formalistik antara Islam dan negara, atau politik pada umumnya. Selama negara tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal Islam, baik secara ideologis maupun politis, maka komunitas Muslim tidak perlu menggugat idiom-idiom tersebut, dan malah harus mendukungnya. Pada matra tujuannya, sudah begitu nyata bahwa komunitas politik Islam tidak lagi memperjuangkan pembentukan sebuah negara Islam. Pada umumnya, mereka sudah memperjuangkan aspirasi politiknya berdasarkan pemahaman mereka tentang Islam yang lebih kontekstual dengan pluralitas masyarakat 30 Effendy, Islam dan Negara, h. 333. Indonesia. Mereka berpartisipasi dalam pembangunan politik kenegaraan yang mencerminkan atau sejalan dengan prinisp-prinsip universal nilai-nilai politik Islam, yaitu keadilan, egalitarianisme, musyawarah, dan partisipasi. 31 Dalam matra pendekatannya, khususnya untuk mencapai tujuan-tujuan di atas, Islam politik tidak lagi menekankan ikhtiar melalui politik partisan dengan parlemen sebagai medan utamnya. Lebih dari itu, Islam politik dengan format yang baru ini memperluas dan meragamkan basis perjuangannya 32 melalui medan masing-masing, baik itu organisasi sosial-keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU, lembaga swadaya masyarakat, lembaga riset, universitas-universitas, partai politik seprti Golkar, PPP, dan lain sebagainya, di birokrasi, dan lain sebagainya. Jadi, basis perjuangannya tidak hanya bertumpu pada parlemen dan partai politik, tetapi seluas wilayah dan ranah kebangsaan dan kenegaraan.

D. Catatan Kritis