pembawa wahyu yang tugas utamnya mengajak manusia kembali pada kehidupan yang dimuliakan Allah dan Muhammad bukanlah pemimpin negara.
Sedangkan aliran ketiga merupakan kelompok yang mencoba
mendamaikan kedua pandangan di atas. Aliran ketiga ini menolak anggapan bahwa Islam merupakan sistem nilai yang serba lengkap dan mengatur hubungan
kenegaraan. Juga menolak persepsi bahwa Islam sama sekali tidak mengatur hubungan ketatanegaraan. Menurut aliran ini, Islam memang tidak menyediakan
sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
B. Ketegangan di Seputar Islam dan Negara
Dalam bukunya yang berjudul Islam dan Negara, Bahtiar Effendy mengatakan, salah satu alasan menulis buku itu karena diilhami terutama oleh
fenomena mengejutkan yang terjadi di negara-negara muslim seperti Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia, dan Aljazair tentang tidak harmonisnya
hubungan Islam dan negara. Menurutnya, sejak berakhirnya kolonialisme barat pada pertengahan abad ke-20, negara-negara tersebut mengalami kesulitan dalam
upaya mengembangkan sintesis yang memungkinkan viable antara praktik dan pemikiran politik Islam dengan negara di daerah mereka masing-masing. Di
negara-negara tersebut, jika bukan konflik hubungan politik antara Islam dan Negara diwarnai ketegangan-ketegangan yang tajam.
6
Di Indonesia, dalam hal hubungan politiknya dengan negara, sudah lama Islam mengalami jalan buntu baik saat Soekarno maupun ketika Soeharto
6
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia Jakarta: Paramadina, 1998 cet. I, h. 2.
berkuasa. Kedua pemimpin itu memandang partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing kekuasaan yang potensial yang dapat
merobohkan landasan negara yang nasionalis. Degan alasan ini, selama empat dekade, kedua pemerintahan tersebut berupaya untuk melemahkan dan
menjinakkan partai-partai Islam. Akibatnya, tidak saja para pemimpin dan aktivis Islam politik gagal menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan agama negara
pada 1945 menjelang Indonesia merdeka dan lagi pada akhir 1950-an dalam perdebatan-perdebatan di Majelis Konstituante mengenai masa depan konstitusi
Indonesia, tetapi mereka juga mendapatkan diri mereka berkali-kali disebut ‘kelompok luar’ atau kelompok minoritas. Pendek kata, Islam politik telah
dikalahkan baik secara konstitusional, fisik, birokratis, lewat pemilihan umum maupun secara simbolik. Yang lebih menyakitkan lagi, Islam politik seringkali
menjadi sasaran ketidak percayaan dan dicurigai sebagai anti ideologi pancasila.
7
Dalam situasi seperti itu, banyak pemikir dan aktivis politik Islam memandang negara dengan rasa curiga. Bagi mereka, negara telah menerapkan
kebijakan ganda terhadap Islam. Di satu pihak Islam dibiarkan bahkan didorong untuk menumbuh kembangkan dimensi ritualnya, namun pada saat yang
bersamaan negara tidak membiarkan Islam berkembang secara politik.
8
Banyak tokoh dan analis yang memprediksi akar terjadinya ketegangan hubungan antara Islam dan Negara. Salah satu akar persoalan yang sering
dikemukakan yaitu tentang watak Islam yang holistik. Sudah menjadi rahasia umum jika umat Islam percaya akan sifat Islam yang holisitk. Ada yang melihat
agama sebagai sistem peradaban yang menyeluruh. Bahkan, ada yang
7
Effendy, Islam dan Negara, h. 2-3.
8
Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Antara Agama, Negara, dan Demokrasi Yogyakarta: Galang Press, 2001 h. 5.
mempercayainya sebagai agama dan negara. Pandangan semcam ini mengindikasikan bahwa Islam tidak sekedar sistem ritus belaka. Bahkan lebih
tegas lagi, Islam tidak mengenal pemisahan antara nilai spritual dan temporal.
9
Cara pandang terhadap Islam yang holisitk semacam ini menghasilkan dampak pemahaman keagamaan yang cenderung memahami Islam secara ‘literal’
yang hanya menekankan dimensi luarnya saja serta melupakan dimensi kontekstual ajaran Islam tersebut. Dengan kata lain, hubungan Islam dengan
segala aspek kehidupan manusia harus dalam bentuk legal-formalistik yang ditandai keinginan untuk menerapkan syari’ah secara langsung sebagai konstitusi
negara. Sementara di pihak lain ada yang melihat totalitas Islam dalam dimensinya
yang lebih substantif. Pandangan substantif ini lebih mengedepankan isi dari pada bentuk dalam melihat kehidupan sosial masyarakat Islam. Karena wataknya yang
substansialis itu kecenderungan pandangan ini menganggap syari’ah tidak perlu diformalkan menjadi undang-undang dasar negara, yang terpenting semua aspek
hukum positif yang dijalankan negara berkesesuaian dengan prinsip ajaran Islam yang holistik.
Menanggapi ketegangan ini Bahtiar Effendy mengatakan, pertama, masalah hubungan politik antara Islam dan negara muncul dan berkembang dari
pandangan-pandangan yang berbeda dari kalangan pendiri Republik ini tentang cita-cita Indonesia. Kedua, antagonisme politik antara Islam dan negara yang
tidak mesra tersebut tidak hanya muncul dari doktrin Islam itu sendiri, melainkan juga dari bagaimana Islam diartikulasikan secara sosio-kultural, ekonomis, dan
9
Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 7-8.
politis. Menurut Bahtiar, adanya pandangan mengenai Islam yang legal formalistik, memancing munculnya ketegangan-ketegangan dalam sebuah
masyarakat yang secara sosial-keagamaan sangat plural. Pada sisi lain, pandangan Islam yang substansialistik dapat memberi landasan yang penting bagi
pengembangan sintesis yang sesuai antara Islam dan Negara, dalam rangka membentuk kembali hubungan politik antara keduanya.
10
Di Indonesia, lanjut Bahtiar Effendy, akar ketegangan hubungan politik antara Islam dan negara tidak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan
pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional
terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di Indonesia menjelang kemerdekaannya.
11
Setelah berjuang selama empat dasawarsa merebut kemerdekaannya, untuk pertama kalinya Indonesia mengalami masalah yang
sangat substansial seputar dasar negara. Pertanyaan yang kerap muncul yaitu, atas dasar apakah negara yang baru merdeka ini didasarkan? Saat itu, para wakil rakyat
Indonesia terbelah atas dua kelompok. Pertama, kelompok yang menganjurkan agar negara berdasarkan kebangsaan tanpa kaitan khas pada ideologi keagamaan
tertentu. Kedua, kelompok yang menganjurkan Islam sebagai dasar negara. Dalam perkembangannya, kelompok pertama disebut sebagai kaum nasionalis sekuler
sedangkan kelompok kedua dikenal dengan kelompok nasionalis Islami.
12
10
Effendy, Islam dan Negara, h. 15-16.
11
Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 9.
12
Nasionalis Islami menunjuk pada kalangan nasionalis yang berkomitmen pada pandangan negara dan masyarakat harus diatur oleh Islam dalam cakupannya yang sangat luas.
Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, melainkan juga mengatur soal hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Sedangkan
nasionalis sekuler didekatkan kepada mereka yang Islam, Kristen, dan lainnya yang menginginkan pemisahan agama dari negara. H. Endang Saifuddin Anshari, M.A., Piagam Jakarta; 22 Juni 1945
Kedua aliran pemikiran tersebut masing-masing mempunyai akar dalam sejarah dan perkembangan gerakan nasionalis Indonesia pada tengah pertama
abad ini. Kalangan nasionalis sekuler berpandangan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia dimulai sejak berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei
1908. Organisasi kepemudaan ini dianggap sebagai organisasi pertama di antara bangsa Indonesia yang disusun dengan bentuk modern dan mempunyai makna
yang cukup besar. Dari gerakan Boedi Oetomo inilah, gerakan-gerakan nasionalis sekuler lainnya muncul. Sebut saja seperti Partai Nasional Indonesia PNI, Partai
Indonesia Parindo, Pendidikan Nasional Indonesia PNI-Baru, Partai Indonesia Raya Parindra, dan Gerakan Rakyat Indonesia Gerindo. Gerakan-gerakan ini
lahir sebagai respons atas kolonialisme dan mencita-citakan Indonesia merdeka berdasarkan faham kebangsaan nasionalisme.
13
Dengan faham kebangsaan sebagai sentimen dan kekuatan utama, kelompok nasionalis sekuler dengan dipelopori Soekarno, kemudian mendominasi
dan mengarahkan gerakan nasionalis Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari penjajah. Yang terjadi kemudian, dalam kadarnya yang lebih besar, ternyata
kelompok ini membangun panggung konfrontasi ideologi dengan kelompok nasionalis Islami terutama dalam soal hubungan agama Islam dan negara dalam
sebuah negara Indonesia yang akan merdeka. Sedangkan kelompok nasionalis Islami meyakini berdirinya Sarekat Islam
SI pada 16 Oktober 1905 sebagai titik tolak pergerakan nasional Indonesia. Berbeda dengan Boedi Oetomo yang ruang lingkup gerakan awalnya tidak
mengarahkan perhatiannya pada seluruh rakyat Indonesia, SI sejak awal
Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1949, Jakarta, Gema Insani Press, 1997 cet. I, h. 8-9.
13
Saifuddin Anshari, M.A. h. 4.
berdirinya diarahkan kepada rakyat jelata dengan ruang lingkup Indonesia. Pada tahun 1923 SI berganti nama menjadi Partai Sarekat Islam PSI, kemudian pada
tahun 1927 dirubah lagi menjadi Partai Syarikat Islam Hindia Belanda PSIHT, dan akhirnya pada tahun 1930 menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia PSII.
Menyusul gerakan ini, pada tahun 1932 di Sumatera didirikan Persatuan Muslimin Indonesia Permi dan pada tahun 1938 berdiri juga Partai Islam Indonesia PII di
Jawa.
14
Semua partai ini berdasarkan Islam. Menurut M. Natsir yang menjadi tokoh kunci kaum nasionalis Islami, bagi
pergerakan-pergerakan Islam seperti PSII, Permi, dan PII, kemerdekaan tidak sekedar kemerdekaan Indonesia, melainkan juga kemerdekaan kaum muslim di
seluruh Indonesia dan sekaligus kemerdekaan Islam. Bagi Natsir, cita-cita kaum muslim dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah untuk kemerdekaan
Islam agar kaidah-kaidah Islam dilaksanakan untuk kesejahteraan dan kesempurnaan kaum muslimin serta segenap ciptaan Allah.
15
Bahkan dalam banyak kesempatan, Natsir menegaskan bahwa tanpa Islam, maka nasionalisme Indonesia tidak akan ada. Menurutnya, Islam pertama-tama
telah menanamkan benih-benih persatuan Indonesia dan telah menghapus isolasionis pulau-pulau yang beragam. Sejalan dengan itu, ia juga menyatakan
bahwa orang Islam tidak akan berhenti berjuang hingga kemerdekaan diperoleh, melainkan akan terus melanjutkan perjuangannya selama negara belum
didasarkan dan diatur menurut susunan hukum kenegaraan Islam.
16
14
Saifuddin Anshari, M.A. h. 6.
15
Saifuddin Anshari, M.A. h.7-8.
Pada awalnya, benturan antara dua kelompok ini berlangsung di sekitar masalah watak nasionalisme dalam upaya menemukan ikatan bersama untuk
mencapai kemerdekaan Indonesia. Namun pada awal 1940-an, polemik di atas berkembang jauh melampaui masalah nasionalisme. Polemik-polemik itu
menyentuh masalah yang lebih penting yakni mengenai hubungan politik antara Islam dan negara. Dalam periode ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak
ada tokoh yang begitu sering terlibat dalam berbagai perdebatan kecuali Suekarno dan Natsir.
16
Dari tulisan-tulisan awalnya mengenai Islam di tahun 1940-an, dapat diketahui bahwa Suekarno mendukung pemisahan Islam dari Negara. Dengan
tegas ia menentang pandangan mengenai hubungan legal formal antara Islam dan Negara, khususnya dalam sebuah negara yang semua penduduknya tidak
beragama Islam. Baginya, model negara semacam itu akan menimbulkan perasaan diskriminatif terhadap kelompok minoritas non Islam di negara tersebut.
17
Kontan saja gagasan pemisahan Islam dan negara mendapat respon keras dari aktivis dan pemikir Islam, khususnya M. Natsir. Bertolak belakang dengan
sikap Soekarno, Natsir menjadi corong utama paham penyatuan Islam dan negara. Seperti mayoritas umat Islam yang lain, Natsir percaya akan watak Islam yang
holisitik dan hadir dalam setiap keadaan dan zaman. Natsir percaya,
16
Effendy, Islam dan Negara, h. 75.
17
Meski Soekarno beragama Islam, ia menganut faham substansialistik dengan keyakinan bahwa, lewat perwakilan yang demokratis-karena posisinya sebagai umat yang mayoritas- Islam
akan mampu menyusun dan menentukan agenda-agenda negara yang pada akhirnya akan menghasilkan rumusan-rumusan kebijakan yang diresapi nilai-nilai Islam. Oleh karena itu,
otentisitas ‘negara Islam’ tidak pertama-pertama diditunjukkan oleh penerimaan legal formal Islam sebagai dasar ideologi dan konstitusi negara, melainkan melalui ‘api’ dan semangat Islam dalam
kebijakan-kebijakan negara. Soekarno menyatakan kembali argumen pemisahan Islam dan negara pada tahun 1945 dalam sidang BPUPKI. Dalam badan itu, bersama kelompok nasionalis lainnya,
ia terlibat dalam perdebatan resmi dengan kelompok Islam untuk menemukan kompromi mengenai rumusan ideologis dan pengaturan konstitusional Indonesia merdeka. Effendy, Islam dan Negara,
h. 76-77.
sesungguhnya Islam lebih dari satu sistem agama saja dan merupakan kebudayaan yang lengkap. Baginya, Islam tidak sekedar memuat praktik-praktik ibadah,
melainkan juga mengandung prinsip-prisip umum yang relevan untuk mengatur hubungan antara individu dan masyarakat bahkan negara.
Untuk menjembatani berbagai perbedaan di antara dua kelompok tersebut dalam merumuskan dasar negara untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia,
dibentuklah sebuah panitia kecil yang terdiri dari Soekarno, Hatta, Ahmad Subardjo, Muhammad Yamin, Abikusno Tjokrosujoso, A. Kahar Muzakkir, Agus
Salim, A. Wahid Hasjim, dan A.A. Maramis. Panitia kecil ini menyusun sebuah kesepakatan bersama yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Intinya, piagam ini
mengesahkan Pancasila sebagai dasar negara dengan penambahan, bahwa sila ketuhanannya dilengkapi hingga menjadi kalimat “Percaya kepada Tuhan dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lahirnya Piagam Jakarta ini dapat dipahami sebagai bentuk kompromi antar kedua kubu
yang berseberangan guna menyongsong kemerdekaan Indonesia meski sehari setelah kemerdekaan diproklamirkan, teks dalam sila ketuhanan “Dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” terus diperdebatkan yang mengarah pada kecenderungan untuk dihapuskan.
18
Setelah memproklamirkan kemerdekaannya, selama hampir lima tahun Indonesia memasuki masa-masa revolusi 1945-1950. Menyusul kekalahan
Jepang dari sekutu, Belanda bermaksud untuk kembali menjajah kepulauan
18
Dikisahkan seorang angkatan laut Jepang datang ke Hatta dan melaporkan bawha orang-orang kristen yang berdomisili di wilayah timur Nusantara tidak akan bergabung dengan
Indonesia jika beberapa unsur dalam Piagam Jakarta yaitu kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya tidak dihapuskan. Menanggapi hal itu, kelompok Islam bersepakat untuk
mencabut kalimat sakral tersebut digantikan dengan kalimat “Ketuhan Yang Maha Esa”. Ada beberapa alasan mengapa tokoh Islam bersedia menghapus tujuh kata tersebut. Di antara alasan
yang penting karena alasan situasi yang berlangsung menyusul diproklamirkannya kemerdekaan mengharuskan para pendiri bangsa ini untuk bersatu, khususnya untuk mengusir Belanda.
Nusantara. Selama periode ini, praktis tidak ada perdebatan serius antara aktivis Islam dengan kelompok Nasionalis. Perdebatan yang sempat menghangat seputar
hubungan Islam dan negara dihentikan. Sejenak mereka bersedia melupakan perdebatan-perdebtan ideologis di antara mereka. Dan tidak diragukan lagi, pada
masa itu, para pendiri republik merasa bahwa mereka harus mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru
merdeka dan mencegah kembali Belanda berkuasa. Akibat tidak adanya pertikaian, kedua kelompok ini mampu
mengembangkan hubungan politik yang relatif harmonis. Sementara kelompok nasionalis tetap memegang kemudi kekuasaan, pada saat yang bersamaan pada
Desember 1949, Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada Reublik Indonesia, kelompok Islam mulai memperlihatkan kekuatannya dalam kancah politik
nasional. Dengan Masyumi sebagai satu-satunya kendaraan politik, kelompok Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang cukup besar.
C. Islam Sebagai Kekuatan Ideologi Politik di Indonesia