Sebagaimana seorang pemikir terkemuka, setelah mendiskripsikan berbagai perkembangan politik Islam kaitannya dengan negara, Bahtiar Effendy
mencoba memecah kebuntuan akut dengan memberi arah baru hubungan antara Islam dan negara yang ideal. Menurutnya, dalam dua puluh tahun terakhir,
perkembangan hubungan Islam dan negara semakin ditemukan titik-temunya, terutama, berkat lahirnya generasi intelgensia Muslim baru dengan berbagai
agenda dan cita-cita politiknya yang lebih mengedepankan nilai-nilai daripada simbol-simbol.
Dalam perkembangannya, gerakan dan formulasi baru tersebut berimplikasi pada pencarian yang memungkinkan antara Islam dengan sistem
yang dianut negara-bangsa modern pada umumnya, yaitu demokrasi. Dalam tilikan Bahtiar, Islam dan demokrasi bisa dipertemukan melalui prasarat-prasarat
tertentu, dan negara-negara Muslim, khususnya di Indonesia, tidak terlalu sulit untuk menerima demokrasi dengan prasarat-prasarat tertentu pula. Oleh karena
itu, dengan adanya penerimaan terhadap demokrasi—karena keduanya memang bisa dipertemukan—akan berimplikasi pada hubungan Islam dan negara yang
lebih ”integratif.”
1. Penerimaan terhadap Demokrasi
Bahtiar mengakui, bahwa bergulirnya demokrasi yang dianut dalam sistem negara-bangsa dunia Islam, termasuk di Indonesia, tidak serta merta diterima
begitu saja. Ia selalu melalui pergulatan panjang karena demokrasi hadir secara tidak ramah; ia berbarengan dengan serbuan kolonialisme yang notabene rekayasa
kaum penjajah sebagai upaya untuk melumpuhkan daya resistensi kekuatan
terpenting Bumiputra. Dalam konteks ini, demokrasi sedari awalnya telah saling berhadapan dengan Islamisasi.
Hal ini mengandung implikasi yang sangat penting, karena untuk kurun panjang sejarah pra-kolonial Indonesia, Islam berperan penting sebagai semen
perekat yang paling kuat dalam mempersatukan gugus-gugus manusia dari pelbagai latar geografis, bahasa, budaya, dan sejarah. Sejarah pra-kolonial
Indonesia, sebagaimana banyak dikatakan para ahli, tidak memiliki pengalaman persatuan nasional. Bisa dikatakan, satu-satunya faktor pemersatu yang paling
efektif dalam perjuangan nasional untuk kemerdekaan adalah jaringan sentimen kolektif yang bersumber dari solidaritas umat Islam.
Basis afirmasi dari nasionalisme relegius seperti itu adalah bahwa perbedaan identitas kelompok keagamaan membentuk jurang yang tak
terjembatani antara penguasa dan yang dikuasai, bahwa pemerintah Kristen Belanda tidak memiliki hak moral untuk memerintah umat Islam. Karena Islam
tampil sebagai elemen dasar nasionalisme Indonesia, setidaknya pada tahap awal perjuangan kebangsaan Indonesia, dan menjadi agen utama yang memproduksi
“bahasa” keresahan dan pemberontakan, bisa dipahami jika kekuatan-kekuatan kolonial memberikan perhatian yang besar pada proyek sekularisasi sebagai upaya
untuk mengenyahkan Islam dari ranah politik political sphere. Dampak dari semua itu, adalah terseretnya sebagian komunitas politik
Muslim Nusantara untuk memposisikan diri berlawanan dengan demokrasi yang diwariskan oleh kolonial Belanda. Posisi yang demikian, kemudian dianggap
menjadi salah satu—jika tidak semuanya—penyebab bahwa Islam seakan-akan tidak ditemukan unsur-unsur kesamaannya dengan demokrasi. Hal itu bisa
dibuktikan, misalnya, dari karya-karya para ahli yang membahas tentang demokrasi, sedikit sekali—jika tidak ingin dikatakan tidak ada—yang
memasukkan dunia Islam sebagai tema bahasannya. Menurut Bahtiar, hasrat untuk meminggirkan sebagian besar dunia Islam,
dan seluruh negara Arab, dari survei demokrasi ini berpijak di atas argumentasi bahwa negara-negara ini secara keseluruhan tidak memiliki pengalaman yang
memadai tentang demokrasi, dan lebih dari itu, menurut mereka, dunia Islam tidak mempunyai prospek untuk melakukan proses transisi menuju demokrasi, atau
paling minimal transisi ke semi-demokrasi. Bahkan, pemikir seperti Huntington dan Fukuyama, demikian Bahtiar, sampai pada kesimpulan yang agak gegabah:
bahwa Islam secara inherent tidaklah sesuai dengan demokrasi dan malah menjadi ancaman besar terhadap kegiatan-kigiatan demokrasi liberal.
25
Persepsi yang demikian, bagi Bahtiar, terbentuk karena adanya pandangan yang tunggal terhadap Islam. Terlebih lagi, pikiran seperti ini hanya merujuk pada
kegiatan sementara aktivis Muslim militan dan radikal, khususnya yang berkecambah di Timur Tengah. Fatalnya, istilah seperti Islam militan, radikal
Islam, Islam extrimis, dan sejenisnya digunakan secara serampangan, dan dianggap mencakup seluruh pemimpin, negara, dan organisasi yang berada di
dunia Islam.
26
Anggapan sebagian besar pengamat Barat tentang Islam yang bersifat tunggal itu, berasal dari pemahaman mereka yang terbatas tentang sifat
dan esensi Islam, baik dalam tataran ide sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an
25
Bahtiar Effendy, “Demokrasi dan Agama: Eksistensi Agama dalam Politik Indonesia,” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF ed., Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan
dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 2005, h, 155-172.
26
Akbar S. Ahmed, Posmedernisme Islam: Tantangan dan Harapan, Bandung: Mizan, 1997, h.
dan Sunnah ataupun historis sebagaiamana tergambarkan dalam pengalaman kesejarahan komunitas Muslim.
Bahtiar melihat, bahwa kesalahan para pengamat Barat terletak pada ketidakmampuan mereka untuk memahami Islam sebagai agama yang multitafsir.
Bahwa dalam mozaik gerakan Islam, tidak hanya semata-mata gerakan Islam fundamentalis—yang ingin menerapkan hukum agama dalam negara—yang
tumbuh, tetapi juga gerakan-gerakan Islam yang lebih menekankan nilai-nilai dan substansi juga mulai berkecambah di hampir deretan dunia-dunia Islam. Oleh
karena itu, seharusnya para pengamat Barat jangan menerapkan standar ganda dengan mengekspos secara besar-besaran, misalnya fundamentalime Islam, tetapi
mereka juga harus menoleh terhadap gerakan-gerakan Islam yang relatif “liberal.” Dalam konteks Indonesia, seperti dijelaskan dalam pembahasan terdahulu,
terdapat dua mainstream dalam melihat Islam dan demokrasi. Mainstream pertama, khususnya generasi Natsir, menurut Bahtiar, sesungguhnya melihat
kesesuaian Islam dan demokrasi. Namun, pola tafsir yang dikembangkan oleh Natsir ambigu, dan mengatasi pemikirannya tentang demokrasi, sehingga
berpretensi mengharuskan pemeluknya untuk mengkaitkan Islam secara legalistik dan formalistik dengan seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali dalam aspek
politik kenegaraan. Ia melihat bahwa esensi dari doktrin Islam adalah bahwa setiap pemeluknya harus mendasarkan diri dengan nilai-nilai Islam sehingga
berimplikasi pada sebuah pemahaman bahwa seluruh kebijakan yang dirumuskan tidak boleh bertentangan dengan Islam.
27
27
Effendy, “Demokrasi dan Agama,” h. 155-172.
Pandangan yang demikian, mengganggu berkembangnya sebuah sistem politik yang pluralistik, khususnya di sebuah negara di mana konstruk sosial dan
keagamaannya sangat beragam. Lebih dari itu, Bahtiar meyakini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa model pemikiran seperti itu telah mempunyai
andil—meskipun tidak harus dianggap sebagai faktor penyebab—dalam runtuhnya sistem demokrasi konstitusional di Indonensia pada tahun 19950-an,
28
di mana perdebatan di Konstituante untuk merumuskan undang-undang dasar tidak bisa dipertemukan antara golongan agama dan nasionalis.
Mainstream kedua melihat, khususnya generasi intelgensia Muslim baru, bahwa al-Qura’an dan Sunnah tidak memberikan panduan yang jelas dan detil
tentang model hubungan Islam dan sistem politik modern. Eksponen ini hanya meyakini bahwa Islam memiliki prinsip etis dalam nilai-nilai universal Islam
yang relevan bagi pengelolaan sistem politik modern. Para penganut paham ini selalu menunjukkan bahwa al-Qur’an dan Sunnah sarat dengan ide-ide normatif
tentang musyawarah syura, keadilan al-‘adl, dan persamaan yang sejajar dengan prinsip-prinsip demokrasi.
29
Dengan demikian, mereka berpendapat bahwa hubungan Islam dan politik tidak harus bersifat kaku yang harus legalistik-formalistik, tetapi harus bersifat
substansialistik, yaitu melalui nilai-nilai. Selama sistem politik negara berdiri di atas prinsip-prinsip musyawarah, keadilan, dan persamaaan, maka sudah absah
untuk dikatakan bahwa dasar negara tersebut sudah sesuai dengan semangat Islam. Dalam konteks normatif, prinsip-prinsip politik Islam sama sekali tidak
bertentangan dengan demokrasi, dan bahkan nsesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
28
Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 119.
29
Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 120.
Model pemikiran Islam yang diperjuangkan oleh genersi intelgensia Muslim baru ini, yaitu yang lebih substansialistik—sebuah posisi yang
menekankan pada pentingnya isi daripada bentuk, nilai daripada simbol—dapat mendorong berkembangnya kehidupan politik yang demokratis. Oleh karena itu,
sudah cukup kuat alasan untuk menerima demokrasi; karena demokrasi pada prinsipnya sesuai dengan nilai-nilai Islam; begitu juga sebaliknya, nilai-nilai
demokrasi sesuai dengan prinsip politik Islam, khususnya musyawarah, keadilan, dan persamaan.
Berpijak dari persoalan di atas, Bahtiar berkesimpulah bahwa pemahaman keagamaan keislaman yang lebih menekankan nilai-nilai, landasan etis,
inspirasi, atau substansilah—dalam istilah Bahtiar tertransformasikan—yang mempunyai tingkat kesesuaian yang tinggi dengan demokrasi. Sementara
pandangan keagamaan yang lebih menekankan legal-formal sangat sulit dipertemukan dengan demokrasi, kecuali gerakan dan pemikiran yang seperti ini
ditransformasikan menjadi pemahaman keagamaan keislaman yang lebih menekankan nilai-nilai universal seperti yang menjadi mainstream kedua.
2. Islam dan Negara: Menuju Hubungan yang Integratif