Generasi Baru Intelegensia Muslim

satunya, maka ide tentang reformasi birokrasi dan gerakan transformasi sosial juga akan disertakan. Kedua, pembahasan akan masuk pada melemahnya kooptasi negara atas peran politik kaum Muslim. Pada moment ini, kecenderungan negara yang lebih akomodatif terhadap aspirasi politik Islam akan didedahkan dengan mengungkap beberapa bukti. Ketiga, ingin melihat orisinilitas gagasan Bahtiar Effendy tentang hubungan Islam dan negara. Pada pembahasan ini akan diurai arah baru hubungan yang tepat antara Islam dan negara yang ditawarkan Bahtiar. Selain itu, perlu ditambahkan, bahwa apakah ide tersebut bisa disebut ”baru” dalam spektrum hubungan Islam dan negara pada umumnya; serta mampukah ia mempertahankan hubungan tersebut secara ajek. Keempat, catatan kritis yang ingin melihat beberapa ruang yang tidak diisi oleh Bahtiar mengenai hubungan Islam dan negara, serta menguji kekuatan dan kelemahan gagasan-gagasannya.

1. Generasi Baru Intelegensia Muslim

Periode tahun 1980-an dan 1990-an, sebagaimana ditengarai oleh Yudi Latif, 2 merupakan masa “panen raya” bagi intelegensia Muslim Indonesia dari berbagai gerakan. Hal itu dibuktikan bukan hanya karena jumlah intelegensia Muslim yang memiliki kualifikasi-kualifikasi pendidikan tinggi mencapai tingkatan yang belum pernah ada sebelumnya, melainkan juga jumlah mereka yang meraih gelar pasca-sarjana dari luar negeri, terutama dari universitas- universitas di Barat khususnya Amerika Serikat, juga lebih besar dibandingkan dengan periode manapun dalam sejarah Indonesia. 2 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan, 2005, h. 580. Profil pendidikan penduduk Indonesia berdasarkan agama, yang didasarkan pada Survei Antarsensus Indonesia yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik, menunjukkan bahwa dari tahun 1976 sampai 1995, kelompok penduduk Muslim mengalami peningkatan pendidikan secara ajek, terutama setalah akhir 1980-an. 3 Akses terhadap pendidikan Barat ini, pada gilirannya, memberikan kontribusi besar terhadap pergeseran paradigma hubungan Islam dan negara karena ide-ide mereka lebih inklusif. Selain akses terhadap pendidikan Barat, transformasi ide-ide pemikir Barat tentang tema-tema pembaharuan, khususnya hubungan Islam dan negara, bagi mahasiswa Islam di Indonesia juga cukup memberi pencerahan. Bahtiar menengarai, pertukaran ide yang begitu intens dengan beberapa pemikir sekular Barat, 4 membuat generasi intelegensia Muslim ini mendiagnosa bahwa permusuhan akut antara Islam dan negara berkaitan erat dengan dimensi-dimensi teologi atau filosofis filsafat politik Islam. Landasan-landasan teologis atau filosofis tersebut, membentuk dan mempengaruhi pemikiran dan praktik para politisi Muslim generasi awal. Aktivis dan pemikir Muslim pertama ini memahami Islam secara komprehensif tetapi literal yang menganggap Islam sebagai agama yang sempurna; mengurusi segala urusan di dunia, termasuk masalah-masalah kecil seperti makan dan minum, apalagi masalah besar, seperti masalah kenegaraan. 3 Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, h. 580. 4 Beberapa buku yang cukup berpengaruh di kalangan generasi intelgensia Muslim baru ini adalah karangan seorang teolog berkebangsaan Amerika Serikat bernama, Harvey Cox. Judul bukunya adalah: “The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective. Selain itu, buku berjudul Basic Demands and Fundamental Values of Socialist Democratic Party. Buku ini merupakan buku pedoman ideologi Partai Demokrat Sosial di Jerman Barat. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, h. 139; Djohan Effendi Ismet Natsir penyunting, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES, 2003, h. 162. Pandangan yang demikian, berimplikasi pada aspirasi mereka yang berpretensi untuk mengatur negara menurut Islam, menerapkan hukum agama Islam dalam negara secara formal dan legal, dan tidak memberi kebebasan kepada warga negara untuk berkeyakinan sesuai agama madzhab yang dianutnya. Dengan demikian, menurut Bahtiar, intelgensia Muslim baru ini melihat bahwa komunitas politik Islam sebelumnya mengalami kesulitan besar dalam mencari titik temu pandangan teologis-filosofis mereka dengan realitas politik Nusantara. Berbagai epos sejarah sebelumnya menunjukkan bahwa ikhtiar membangun sebuah hubungan yang kaku, formalistik dan legalistik, antara Islam dan negara berujung pada kegagalan; mengalami pertengkaran yang akut; bahkan pada level tertentu menjurus pada kekerasan. Kegagalan ini, demikian Bahtiar, disadari betul oleh intelegensia Muslim berikutnya dengan mempertanyakan seluruh rumusan dasar perjuangan politik Islam generasi Natsir: baik menyangkut ketepatan strategi, efektifitas taktik, dan cita-cita politik Islam. Tokoh-tokoh terkemuka dari generasi baru intelegensia Muslim, seperti Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Nurcholish Madjid keberatan dengan gagasan pemikir dan aktivis Islam sebelumnya yang ingin menempatkan Islam sebagai sebuah ideologi atau pemikiran: bahwa negara merupakan perpanjangan atau bagian integral dari Islam. Dikatakan, ”Meskipun Islam, sebagai agama, mempunyai ajaran-ajaran sosial-politik, ia bukanlah sebuah ideologi. Ideolog Islam itu tidak ada.” 5 Pernyataan salah satu eksponen generasi intelegensia Muslim baru ini, yaitu Dawam Rahardjo, membuktikan bahwa mereka betul-betul mempunyai perspektif baru dalam melihat hubungan Islam, 5 Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press, 2001, h. 12-13. dan sama sekali tidak berpretensi unuk menjadikan Islam sebagai sebuah ideologi apapun. Bahtiar Effendy mencatat, bahwa semua eksponen dari intelegensia Muslim baru ini mempunyai pemahaman kurang lebih sama dengan Dawam. Djohan Effendy dan Ahmad Wahib misalnya, ia menegaskan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah memproklamasikan berdirinya sebuah negara Islam. 6 Dengan gagasan ini, Djohan dan Wahib sepertinya berikhtiar dengan gigih melakukan terobosan-terobosan pemahaman keagamaan yang lebih terbuka inklusif menyangkut hubungan Islam dan negara. Keterbukaan mereka setidaknya bisa mempertemukan antara Islam dan negara yang sebelumnya bermusuhan. Lebih dari itu, dengan pemahaman yang demikian, mereka lebih berpretensi menempatkan seluruh warga negara pada status yang sama, baik dalam haknya maupun dalam kewajibannya. Sebagai intelegensia Muslim baru yang bernaung di bawah organisasi HMI Yogyakarta, Dawam, Djohan, dan Wahib—tanpa menafikan yang lain— menyerukan perlunya penyegaran pemahaman terhadap Islam. Perlu diakui, pada tahun 1970-an, bahwa di tubuh HMI tumbuh subur ide-ide pembaharuan yang dimotori oleh para aktivis-aktivis di atas. Selain di HMI, punggawa-punggawa di atas adalah peserta tetap kelompok diskusi Limited Group 1967-1971, di bawah asuhan Mukti Ali. Menurut Bahtiar, melalui diskusi-diskusi yang intens, baik dalam lingkungan HMI ataupun di Limited Group, mereka melakukan terobosan penting dalam penyegaran pemahaman keagamaan sehingga sampai pada poin- poin berikut. 7 6 Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 13. 7 Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 15. Pertama, generasi intelegensia Muslim baru ini berpandangan bahwa tidak ada bukti yang valid bahwa al-Qur’an dan Sunnah meniscayakan kaum Muslim untuk mendirikan negara Islam. Sejarah politik Nabi Muhammad bagi mereka tidak memberi eksemplar tentang proklamasi negara Islam. Dengan demikian, para punggawa tersebut tidak sependapat dengan agenda politik para pemimpin dan aktivis Islam generasi awal yang berpretensi untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, dan ingin menerapkan hukum Islam secara legal formal. Kedua, eksponen intelegensia Muslim baru ini mengakui bahwa Islam memiliki nilai-nilai etis atau prinsip-prinsip sosial-politik. Namun demikian, mereka tidak beranggapan bahwa Islam sebagai ideologi. Ideologi Islam, demikian kata mereka, tidak ada. Lebih dari itu, mereka berkesimpulan bahwa menjadikan Islam sebagai ideologi berujung pada reduksionisme Islam. Ketiga,Islam itu bersifat permanen dan universal sehingga tafsir terhadapnya tak dapat dibatasi hanya pada aspek formal dan legal. Sebaliknya, tafsir terhadap ajaran Islam harus didasarakan pada pemahaman yang paripurna atas teks dan semangan al-Qur’an dan Sunnah. Keempat, mereka mempercayai hanya Allah yang memiliki kebenaran mutlak. Karenanya pemahaman orang atas doktrin Islam bersifat terbatas dan relatif. Karena doktrin Islam itu multitafsir dan Islam sendiri tidak mengenal struktur kependetaan dalam beragama, maka tak ada seorangpun yang berhak mengklaim bahwa pemahamannya mengenai Islam lebih benar daripada pemahaman orang lain. Dalam kacamata Bahtiar, ide-ide di atas merupakan torobosan baru bagi perkembangan format politik Islam. Lebih jauh, ia menegaskan bahwa generasi intelegensia Muslim baru ini menganjurkan perlunya perumusan agenda politik Islam secara baru, yang lebih berorientasi pada isi ketimbang simbol. Oleh karena itu, mereka tidak mempunyai alasan yang cukup kuat untuk tidak menerima Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Dengan kata lain, mereka meneguhkan bahwa keterikatan komunitas Muslim haruslah pada nilai-nilai Islam, daripada ke lembaga sosial-politik, kendati memakai simbol-sismbol Islam. 8 Klimaks dari terobosan intelegensia Muslim baru ini, menurut Bahtiar, terletak pada gagasan mendiang Nurcholish Madjid—sapaan akrabnya Cak Nur— yang dituangkan dalam sebua paper berjudul, ”Keharusan Pembaruan Pemikian dan Masalah Integrasi Umat,” yang disampaikan pada awal tahun 1970-an. Analisanya yang tajam dan mengena pada kondisi umat Islam yang sedang mandeg, ia menawarkan sebuah pembaharuan bagi umat Islam, karena komunitas Muslim kehilangan daya dobrak psikologis dalam perjuangan mereka. Poin penting dari analisis-analisisnya dalam paper tersebut, menyangkut hubungan Islam dan negara adalah jargon ”Islam Yes, Partai Islam, No”, serta keharusan ”sekularisasi.” Bahtiar menempatkan gagasan Cak Nur, tentang ”Islam Yes, Partai Islam, No,” sebagai ikhtiar untuk mendorong umat Islam agar mengarahkan komitmen mereka kepada nilai-nilai Islam, bukan kepada partai-partai Islam, kendati menggunakan simbol Islam. Sementara terminologi kontroversial Cak Nur, mengenai ”sekularisasi,” lebih ditujukn untuk menempatakan sesuatu secara proporsional. Karena ia menganggap bahwa para penanggap dan pengkritiknya 8 Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 15. ahistoris dalam menafsirkan terhadap ide yang digagasanya, berulangkali Nurcholish Madjid membedakan sekularisasi dengan sekularisme. Menurutnya, sekularisasi tidak dimaksudkan untuk menerapkan sekularisme, karena “Secularism is the name for an ideology, a new closed word view which funtion very much like a new religion” sekularisme adalah nama untuk sebuah ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup yang fungsinya sangat mirip dengan sebuah agama baru. 9 Para pengkritiknya menganggap bahwa sekularisasi tanpa sekularisme adalah mustahil. Sekularisasi tidak lain adalah penerapan sekularisme. Kritik itu kemudian disambut oleh Cak Nur dengan menjelaskan secara lebih detail dan hati-hati terhadap istilah yang menjadi polemik itu. Cak Nur tetap konsisten pada pendiriannya bahwa sekularisasi bukanlah bertujuan untuk menerapkan sekularisme. Ia mencoba menempatkan istilah sekularisasi secara tepat melalui analogi istilah: sekularisasi dan “sosialisasi.” Menurutnya, istilah sosialisasi yang dalam bahasa Inggrisnya socialised medicine pengobatan yang disosialisasikan, 10 belum tentu merupakan penerapan sosialisme. Di negara- negara kapatalis justru sosialisasi pengobatan itu terjadi dengan pesat sekali. Demikian juga dengan istilah sekularisasi, belum tentu merupakan penerapan sekularisme. Dengan menganalogikan istilah sekularisasi dan sosialisasi seperti di atas Cak Nur berharap agar para pengkritiknya bisa membedakan apa yang dimaksud dengan sekularisasi dan sekularisme. Lebih jauh, Cak Nur mengakui bahwa sekularisasi bisa saja dimengerti sebagai proses sosial politik menuju sekularisme, dengan implikasi paling 9 Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1993, h. 207. 10 Madjid, Islam Kemodernan, h. 221. ekstrimnya adalah pemisahan secara total agama dari negara. Namun, pengertian seperti ini bukanlah satu-satunya pengertian yang bisa dijadikan rujukan. Pengertian lain dari sekularisasi yang bisa dijadikan rujukan adalah yang bersifat sosiologis, bukan filosofis. Misalnya Talcot Parson dan Robert N. Bellah, yang menegaskan bahwa sekularisasi, dalam pengertian sosiologis, adalah pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya, dan tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai kemasyarakatan. Bahkan, proses pembebasan dari takhayul itu semata-mata terjadi karena dorongan, atau merupakan kelanjutan logis dari suatu bentuk orientasi keagamaan, khususnya monoteisme. 11 Sekularisasi dalam pengertian ini, berpangkal dari monoteisme yang antara lain berakibat pada penurunan nilai pranata-pranata sosial baik kesukuan, kekeluargaan dan, lainnya dan menjadikan pusat kesucian hanya kepada Tuhan. Dengan demikian, kata sekularisasi dalam pengertian sosiologis mengandung arti pembebasan, yaitu pembebasan dari sikap penyucian yang tidak pada tempatnya. Karena itu, ia mengandung makna “desakralisasi,” yaitu pencopotan ketabuan dan kesakralan dari obyek-obyek yang semestinya tidak tabu dan tidak sakral. Namun, kendati pengertian sosiologis sekularisasi itu relatif banyak digunakan oleh para ilmuan sosial, harus diakui bahwa masih tetap ada kontroversi di sekitar istilah itu. Sebagaimana diakui Cak Nur, hal itu terjadi karena sekularisme sendiri lahir pada zaman Pencerahan Eropa yang mempunyai semangat anti-agama. Sehingga cukup sulit untuk menentukan kapan proses 11 Madjid, Islam Kemodernan, h. 258. sekularisasi dalam pengertian sosiologisnya berhenti dan berubah menjadi penerapan sekularisme secara filosofis. 12 Sejalan dengan ikhtiar tersebut, pemikir-pemikir lain seperti Harun Nasution, Munawir Sjadzali, dan Abdurrahman Wahid, dalam pandangan Bahtiar, juga mengemukakan pandangan-pandangan teologis lain yang ”kurang lebih sama.” Pada prinsipnya, mereka semua lebih menekankan isi substance daripada bentuk form dalam menerjemahkan Islam hubungannya dengan negara. Komunitas politik Muslim, demikian Bahtiar, tidak harus mengartikulasikan aspirasi politiknya secara formalistik-legalistik, namun harus berkomitmen kepada nilai-nilai Islam yang lebih substansialistik.

2. Keterlibatan Dalam Birokrasi