B. Zaman Orde Baru
Di masa orde baru, hubungan Islam dan negara mengalami perubahan dan perkembangan yang signifakan. Pada awalnya, pemerintah orde baru menaruh
kecurigaan terhadap kelompok Islam karena kemampuan Islam dalam menggerakann massa yang dalam waktu singkat dapat melawan kekuasaan orde
baru. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa orde baru lebih suka memperlakukan Islam sebagai agama dan sistem kepercayaan saja, ketimbang
sebagai ideologi politik. Inilah yang disebut Bahtiar Effendy sebagai penjinakan idealisme dan aktivitas politik Islam .
Di antara kebijakan mencolok orde baru yang dapat menjinakkan kekuatan politik Islam adalah penetapan asas tunggal bagi seluruh partai politik dan Ormas.
Kebijakan orde baru ini menandai puncak atau selesainya program de-Islamisasi politik pada masa orde baru. Pada saat itu, partai politik Islam seolah-olah sudah
tamat. Setidaknya, dengan kebijakan itu secara formal semua partai politik hanya mempunyai asas tunggal tunggal pancasila dan tidak ada yang mempunyai asas
agama tertentu, termasuk Islam. Kondisi penjinakan politik Islam seperti di atas, pada tahun 1990-an
berangsur berubah. Pada saat itu, sebagai bentuk kebijakan orde baru yang berubah maka, dibentuklah ICMI, Bank Muamalat, Pelaksanaan Festival Istiqlal,
sistem pendidikan nasional, UU peradilan agama, dan lain sebagainya. Kondisi inilah yang menurut banyak kalangan menunjukkan bahwa, umat Islam justeru
diakomodasi oleh negara saat tidak ada lagi partai politik Islam. Kondisi seperti ini menurut Bahtiar Effendy sebagai masa bulan madu antara Islam dan negara.
Setidaknya ada tiga pola hubungan yang terjadi antara Islam dan orde baru yang berkuasa selama 32 tahun. Pertama, di tahun 70-an hubungan Islam dan
orde baru bersifat konfrontatif, rivalitas atau antagonis. Dalam kurun waktu tersebut, hubungan Islam dan negara tampak renggang, bertolak belakang,
bermusuhan, bahkan bertentangan. Periode ini ditandai dengan kuatnya negara yang secara ideologi politik menguasai wacana pemikiran sosial politik di
kalangan masyarakat. Hubungan tidak akur ini dimuali ketika orde baru mengandaskan harapan-harapan politik Islam agar politik Islam bisa bermain di
kancah nasional. Salah satu upaya orde baru untuk mengandaskan harapan politik Islam yaitu dengan menolak merehabilitasi Masyumi dan hanya membebaskan
para aktivisnya yang pernah dipenjaran Soekarno. Di dalam fase ini juga, orde baru hanya memberlakukan Islam sebatas memajukan kesalehan pribadi dan
menentang politisasi agama.
29
Kedua, hubungan Islam dan orde baru bersifat reaktif kritis atau resiplokal, yaitu suatu hubungan yang mengarah pada tumbuhnya saling pengertian timbal
balik serta pemahaman di antara kedua belah pihak. Dalam periode yang berlangsung antara 1980-an hingga periode 1990-an ini, mulai timbul kesadaran
pemerintah bahwa Islam merupakan denominasi politik yang tidak bisa dikesampingkan. Pada periode ini, orde baru mulai memandang Islam sebagai
yang mayoritas sebagai faktor dan modal yang tidak bisa diabaikan. Sedangkan pola ketiga bersifat akomodatif atau integratif simbiosis. Pola
hubungan saling mengerti ini berlangsung antara awal hingga akhir 1990-an yang ditandai dengan responsifnya pemerintah yang antara lain ditandai dengan
29
Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan M. Amien Rais. Jakarta:Penerbit Teraju, 2005 cet. I, h. 168-190
lahirnya sejumlah kebijakan yang akomdatif terhadap kelompok Islam. Bukti akomodasi itu bisa dikategorkan dalam empat jenis yaitu akomodasi struktural,
akomodasi legislatif, akomodasi infrastruktural, dan akomodasi kultural.
BAB IV PANDANGAN BAHTIAR EFFENDY TENTANG HUBUNGAN
ISLAM DAN NEGARA DI INDONESIA
A. Pergeseran Paradigma Hubungan Islam dan Negara