B A B I P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang Permasalahan
Negara Indonesia disebut sebagai negara kepulauan, karena berdasarkan data yang ada, terdapat sekitar 17.508 tujuh belas ribu lima ratus delapan buah pulau
besar dan kecil dengan pulau utama yaitu Pulau Kalimantan, Pulau Irian atau Papua, Pulau Sulawesi, Pulau Sumatera dan Pulau Jawa.
Di samping itu, negara Indonesia wajar disebut negara kepulauan karena secara gramatikal, kata Indonesia berasal dari Bahasa Yunani, yakni ”Indos” yang
berarti ”India” dan ”Nesos” yang berarti ”Pulau”. Berdasarkan asal kata tersebut, Indonesia bermakna Kepulauan India atau kepulauan yang berada di wilayah India.
Selain dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia juga tercatat sebagai negara dengan garis pantai terpanjang nomor dua setelah Kanada.
1
Gugusan pulau-pulau yang ada di Indonesia ada yang ditempati dan ada yang tidak ditempati oleh manusia, bahkan masih banyak yang belum diberi nama. Pulau-
pulau yang ditempati oleh manusia umumnya adalah pulau-pulau yang besar, sedangkan pulau-pulau yang tidak ditempati biasanya pulau-pulau kecil yang tidak
tersedia sumber daya alam untuk mendukung kelangsungan kehidupan manusia di dalam pulau tersebut, seperti ketersediaan bahan kebutuhan pokok manusia.
1
Gamal Komandoko, Ensiklopedia Pelajar dan Umum, Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2010, halaman 7
1
Universitas Sumatera Utara
Apabila pulau-pulau tersebut dihuni oleh manusia, maka manusia membutuhkan bidang-bidang tanah yang merupakan bagian-bagian kecil dari pulau
tersebut baik untuk membangun rumah tempat tinggalnya perumahan maupun untuk tempat berusaha mencari nafkah sehari-hari berupa lahan pertanianperladangan non-
perumahan. Manusia yang menghuni pulau-pulau tersebut semula melakukan pembukaan
tanah baik sendiri maupun berkelompok, selanjutnya diusahai dengan bertani atau berladang.
Pembukaan tanah di suatu tempat tertentu termasuk di suatu pulau merupakan awal dari lahirnya kepemilikan tanah bagi individu atau kelompok, yang menurut
hukum adat pembukaan tanah tersebut haruslah diberitahukan kepada persekutuan hukum dan diberi tanda tertentu.
2
Selanjutnya tanah yang dibuka tersebut dijadikan sebagai tempat berusaha dan atau di atasnya dibangun tempat tinggal yang dikuasai oleh masing-masing orang
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, selanjutnya penguasaan tanah tersebut berlangsung secara terus menerus dan bahkan turun temurun.
Penguasaan tanah yang dilakukan secara terus-menerus menimbulkan hubungan nyata manusia dengan tanah, sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan
2
Mukhtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Jakarta : Republika, 2008, halaman 59
Universitas Sumatera Utara
dan tindakan pengolahan nyata atas tanah adalah unsur utama lahirnya hak atas tanah.
3
Berdasarkan penguasaan dan tindakan pengolahan nyata atas tanah secara berkesinambungan tersebut, penghuni di pulau-pulau dimaksud mempunyai
hubungan hukum dengan tanah yang ditempati dan diusahakannya, kemudian hubungan hukum tersebut diakui oleh penguasa adat setempat atau pemerintah
lokaldaerah yang bersangkutan yang ditandai dengan pengakuan secara tertulis maupun secara lisan.
Pengakuan secara tertulis dapat berbentuk surat pernyataan atau surat keterangan atau surat keputusan dari pejabat yang berwenang yang menyatakan
bahwa yang bersangkutan benar menguasai dan mengusahakan bidang tanah tertentu dan tidak ada pihak lain yang mempermasalahkannya.
Bukti penguasaan atas tanah secara tertulis yang menerangkan adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah disebut sebagai alas
hak.
4
Apabila sudah ada alas hak, maka tanah yang dikuasai tersebut telah membenarkan kepunyaan dari yang menguasainya dan kata ”kepunyaan” secara
keperdataan dapat juga dikatakan sebagai ”milik”.
3
Ibid . halaman 61
3
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung : Mandar Maju, 2008, halaman 234
4
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung : Mandar Maju, 2008, halaman 234
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat juga merumuskan milik sebagai suatu hak dan hak milik itu merupakan suatu klaim yang dapat dipaksakan oleh masyarakat atau negara, oleh
adat, kesepakatan dan hukum. Para ahli juga selalu menganggap milik sebagai suatu hak yang berarti klaim yang dapat dipaksakan, ancaman paksaan untuk menjamin
suatu hak yang dipandang bersifat asasi, karena milik itu perlu merealisasikan alam fundamental manusia, oleh karena itu milik adalah sesuatu hak alamiah.
5
Akan tetapi sekalipun telah ada alas hak atau penguasaan secara fisik dan pengolahan nyata atas tanah atau juga bahkan telah disebut sebagai kepunyaan atau
kepemilikan atas tanah, maka pemilikan atau penguasaan atas tanah yang berada pada suatu pulau, tidak serta merta memberikan hak dan keleluasaan kepada penghuninya
untuk menguasai sepenuhnya, sebab keberadaan suatu pulau tidak saja untuk kepentingan pribadi penghuninya dan masyarakat setempat, tetapi ada aspek-aspek
lain yang melingkupinya, seperti aspek politik dan pertahanan keamanan. Oleh karena itu keberadaan suatu pulau mempunyai arti yang strategis,
karena di atasnya ada kepentingan ekonomi orang-perorang dan masyarakat setempat dan juga ada kepentingan politik dan keamanan dari negarapemerintah.
Adanya berbagai kepentingan yang diletakkan di atas suatu pulau tersebut, tentunya diperlukan pengaturan yang memberikan jaminan kepastian hukum terhadap
penguasaan dan penggunaan tanahnya sehingga kepentingan para pihak tersebut
5
Aslan Noor, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Rakyat Indonesia, Ditinjau Dari Ajaran Hak Asasi Manusia
, Bandung : Mandar Maju, 2006, halaman 27
Universitas Sumatera Utara
tidak saling berbenturan dan saling meniadakan dan tujuan pemanfaatan pulau baik secara ekonomi, sosial maupun secara politik dapat tercapai.
Pengaturan terhadap penguasaan dan penggunaan tanah yang ada di pulau- pulau mengacu kepada pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah di atas
permukaan bumi pada pada umumnya, yakni untuk kepentingan pemerintah maupun kepentingan rakyat.
Dalam hal ini kepentingan rakyat berkaitan dengan hak-hak yang dapat dikuasai dan dimiliki atau dapat diberikan oleh Negara kepada rakyatnya atas obyek
tanah tertentu yang berada di atas suatu pulau. Menyangkut hak-hak rakyat tersebut, konstitusi Negara menjamin adanya
hak-hak dasar rakyat, tidak hanya terhadap hak-hak atas tanah tetapi juga terhadap hak-hak dasar lainnya yang memang diemban oleh rakyat dan wajib dilindungi oleh
negara. Hak-hak dasar merupakan kondisi dasar yang harus ada dan tersedia dalam
kehidupan, baik yang sifatnya individual maupun kolektif. Hak-hak dasar yang lahir oleh karena proses kesejahteraan dan proses perjalanan bangsa selama ini yang
mewujud dalam banyak hal, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rasa aman, rasa nyaman, kebebasan, keadilan dan dalam berbagai bentuk lainnya.
Hampir semua hal yang berkaitan dengan hak-hak dasar rakyat langsung atau tidak langsung berkaitan dengan persoalan pertanahan. Hak-hak dasar rakyat yang
mewujud dalam bentuk keadilan, misalnya seperti tidak berkaitan dengan pertanahan, tetapi karena tanah dan pertanahan merupakan sumber-sumber utama kemakmuran,
Universitas Sumatera Utara
sumber utama ekonomi dan bahkan politik, maka pengaturan penataan, penguasaan dan pemilikannya menjadi indikator penting dari keadilan.
6
Menyangkut masalah pertanahan yang disebut sebagai sumber-sumber utama kesejahteraan dan menjadi indikator penting dari keadilan dikonstatir dalam Pasal 33
ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Penggunaan bumi, air dan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat tersebut menunjukkan bahwa tujuan pemanfaatannya semata-mata untuk mensejahterakan rakyat sekaligus dengan memperhatikan aspek keadilan yang
ditunjukkan dari kata sebesar-besarnya, artinya hasil dari penggunaan dan pemanfaatan bumi, air dan kekayaan alam tersebut bukan untuk perseorangan atau
kelompok tertentu tetapi untuk rakyat banyak. Selanjutnya kebijakan di bidang pengelolaan bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sumber daya agraria diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
atau disebut juga dengan Undang-undang Pokok Agraria UUPA. Kemudian aturan tersebut ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat organik, baik dalam bentuk
6
Joyo Winoto, Kepala Badan Pertanahan Nasional, pengarahan pada pembukaan Simposium Nasional tentang Secondary Mortgage Facility SMF di Denpasar-Bali, Desember 2005 sebagaimana
dimuat Majalah Renvoy, No. 32Th.IIIJanuari 2006, halaman 12
Universitas Sumatera Utara
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden, peraturan menteri, keputusan menteri dan lain-lain.
Pasal 2 UUPA mengatur bahwa “bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
negara”. Pengertian bumi meliputi permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di atasnya, pengertian air adalah perairan pedalaman
maupun laut wilayah Indonesia, sedang pengertian ruang angkasa adalah ruang di atas bumi dan di atas perairan.
7
Lingkup permukaan bumi tersebut meliputi tanah yang ada di seluruh Indonesia sesuai dengan konsep kesatuan seluruh wilayah Indonesia sebagai kesatuan
tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, maksudnya tanah tidak semata-mata hak dari pemiliknya tetapi juga merupakan hak bersama rakyat Indonesia yang merupakan
semacam hubungan hak ulayat Bangsa Indonesia.
8
Kemudian Pasal 4 UUPA menentukan bahwa atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak
atas tanah yang dapat diberikan kepada perorangan maupun badan hukum subyek hak.
Hak-hak atas tanah tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
7
Pasal 1 ayat 4, 5 dan 6 UUPA.
8
Lutfi I Nasution, Pembaruan Agraria Dalam Konteks Pembangunan Ekonomi, Makalah disampaikan pada Seminar Reformasi Kembar Hukum dan Ekonomi, dalam rangka Dies Natalis ke-
52 USU, Medan, 14 Agustus 2004, halaman 9
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dan dalam batas-batas menurut ketentuan peraturan perundangan. Dengan kata lain mengalokasikan kekuasaan hak atas tanah
oleh negara kepada orang atau badan hukum yang dilakukan secara terukur supaya dapat digunakan bagi kelangsungan hidup setiap orang secara bersama-sama.
9
Oleh karena itu secara konsepsional, seluruh permukaan bumi tanah yang ada di seluruh wilayah Indonesia, sejatinya dapat dimiliki dan diberikan hak-hak atas
tanah kepada setiap warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk yang berada di kepulauan atau
merupakan pulau atau juga pulau-pulau kecil yang ada di seantero nusantara. Namun dalam tataran operasionalnya, hak-hak atas tanah tidak dapat
diberikan untuk seluruh permukaan bumi di seluruh Indonesia, karena sejak tahun 1967 terjadi perceraian beberapa sektor dari yang semula diatur dalam UUPA, yakni
ketika diterbitkan beberapa undang-undang yang bersifat sektoral. Undang-undang sektoral tersebut seperti Undang-undang Nomor 5 tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pertambangan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Undang-undang Nomor 11 Tahun
1974 tentang Pengairan telah diubah dengan Undang Undang Nomor 7 tahun 2004, Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang telah diubah dengan
9
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996, halaman 33.
Universitas Sumatera Utara
Undang Undang Nomor 26 tahun 2007 yang diharapkan sebagai suatu undang- undang yang akan disinkronkan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan bumi, air dan
ruang udara.
10
Saat ini telah diterbitkan pula Undang Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, yang obyeknya juga tanah yang
ada di pulau dan pesisir dan dalam pengelolaannya dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, tanpa menyebut keterlibatan instansi Badan Pertanahan
Nasional. Dengan adanya undang-undang yang bersifat sektoral tersebut, maka
kewenangan untuk memberikan hak-hak atas tanah dibatasi hanya sepanjang tidak mencakup lingkungan atau kawasan atau bidang-bidang tanah yang diatur oleh
undang-undang dimaksud. Di samping itu sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUPA bahwa terdapat
pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah untuk kawasan tertentu berdasarkan rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaannya, baik yang
disusun perencanaannya oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk : 1. keperluan negara;
2. keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya; 3. keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain
kesejahteraan;
10
AP Parlindungan, Komentar Atas Undang Undang Penataan Ruang Bandung : Mandar Maju, 1993, halaman. 2.
Universitas Sumatera Utara
4. keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; dan
5. keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan. Perencanaan yang bermaksud menyediakan tanah untuk berbagai keperluan
tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku diatur dalam Rencana Umum Tata Ruang RUTR yang dibuat secara hierarki mulai dari tingkat Nasional, Provinsi,
sampai KabupatenKota sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 jo Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Kemudian secara khusus yang mengenai bidang-bidang tanah telah ada pengaturan penataannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah, yang juga ada menyinggung tentang pengaturan pulau-pulau kecil.
Pulau-pulau tersebut yang merupakan ruang daratan merupakan kawasan penting dalam penguasaan dan penggunaan tanahnya karena selain dapat
dimanfaatkan untuk tempat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan pangan seperti usaha pertanian, peternakan, perikanantambak, industri dan pertambangan,
sumber energi, tempat penelitian dan percobaan, kawasan pariwisata juga dapat difungsikan untuk kepentingan yang lebih tinggi, antara lain menyangkut masalah
lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan atau kepentingan masyarakat setempat khususnya nelayan dan pekebun.
Sedang di sisi lain, kawasan pulau-pulau tersebut juga tidak tertutup kemungkinan ada yang hilang secara alami, baik karena abrasi pantai, tenggelam atau
Universitas Sumatera Utara
hilang karena naiknya permukaan laut disebabkan pemanasan global atau karena gempa bumi tsunami atau sebaliknya dapat saja bertambah luas karena munculnya
tanah timbul akibat gelombang laut. Selain itu, kawasan pulau-pulau tersebut juga dapat diperluas dengan cara ditimbun reklamasi untuk kepentingan tertentu.
Bahkan belakangan ini muncul kecenderungan pengkaplingan dan penjualan pulau-pulau oleh sekelompok orang, seperti kasus jual beli pulau Bidadari
di Nusa Tenggara Timur yang dijual oleh Haji Yusuf, penduduk setempat kepada pihak warga negara asing Ernest Lewandowski, Warga Negara Inggiris pada tahun
2006 lalu. Penjualan pulau tersebut mendapat reaksi beragam dari berbagai kalangan, termasuk Menteri Dalam Negeri saat itu M. Ma’ruf yang menyatakan pembelian
Pulau Bidadari oleh warga Inggiris tersebut menyalahi prosedur karena dilakukan di bawah tangan, padahal izin yang diberikan adalah untuk investasi.
11
Terjadinya jual beli pulau Bidadari tersebut menimbulkan persoalan tersendiri, apalagi dijual kepada orang asing, sebab dapat berpotensi menimbulkan
ancaman keamanan dalam konteks kenegaraan, juga jelas-jelas menyalahi aturan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UUPA yang melarang orang asing
mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan tanah yang ada di Indonesia. Mengingat urgennya fungsi dan manfaat pulau-pulau yang sebagian dapat
dimanfaatkan sebagai tempat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia namun sekaligus pemanfaatan yang tidak terencana dapat merusak ekosistem
11
Harian Republika, dengan judul Pulau Bidadari Dijual Di Bawah Tangan, terbitan tanggal 2 Maret 2006.
Universitas Sumatera Utara
sehingga perlu perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup di sekitarnya, maka berdasarkan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 ditentukan bahwa
penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang-bidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, waduk dan atau sempadan sungai,
harus memperhatikan kepentingan umum dan keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati
serta kelestarian fungsi lingkungan. Kemudian bagian dari pulau-pulau tersebut terdapat sempadan pantai, karena
itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 ditentukan bahwa kawasan sempadan pantai dikategorikan sebagai kawasan lindung atau kawasan
perlindungan setempat.
12
Semula oleh UUPA tidak ada diatur mengenai pulau-pulau dan sempadan pantai tersebut apakah dapat diberikan hak-hak atas tanah, selanjutnya berdasarkan
Pasal 60 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dinyatakan bahwa pemberian Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai
13
atas sebidang tanah yang seluruhnya merupakan
12
Lihat juga Penjelasan Pasal 4 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang menegaskan bahwa sempadan pantai dikategorikan sebagai kawasan
lindungkawasan perlindungan setempat.
13
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan Pasal 28
UUPA, Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun Pasal 35 UUPA, Hak
Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung
oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalm keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan
pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala
Universitas Sumatera Utara
pulau atau berbatasan dengan pantai akan diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan Surat Edaran Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 500-1197 Tanggal 3 Juni
1997, antara lain dinyatakan bahwa : “Permohonan hak atas tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau berbatasan
dengan pantai untuk tidak dilayani sampai dikeluarkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut.”
Selanjutnya berdasarkan Surat Edaran Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 500-1698 Tanggal 14 Juli 1997 antara lain dinyatakan
bahwa : “Permohonan ijin lokasi dan permohonan hak atas tanah yang berbatasan dengan
pantai masih dimungkinkan diproses yang dilakukan secara hati-hati dan selektif dan permohonan yang diajukan setelah tanggal 3 Juli 1997 agar dilaporkan kepada
Menteri untuk mendapat petunjuk pelaksanaan lebih lanjut.” Ketentuan yang lebih tegas diatur dalam Pasal 11 ayat 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang mengatur bahwa terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada haknya dapat
diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan hutan.
sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini Pasal 41 UUPA Moekijat, Kamus Agraria, Bandung : Mandar Maju, 1996, halaman 38, 39 dan 41 .
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan
budidaya harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak boleh mengganggu fungsi alam, tidak mengubah benteng alam dan
ekosistem alami. Dalam hal ini pemilikan dan penguasaan atas tanah menjadi faktor penting
untuk dapat memanfaatkan dan menggunakan tanahnya, namun dalam penggunaan tanah tersebut ada aturan yang membatasi kewenangan dari yang menguasai tanah
tersebut. AP Parlindungan menyatakan, “dikuasai” dan “dipergunakan” harus
dibedakan, dalam arti bahwa dipergunakan itu sebagai tujuan daripada dikuasai dan kedua kata tersebut tidak ada sangkut pautnya dalam hubungan sebab akibat.
14
Sekalipun dinyatakan bahwa dipergunakan sebagai tujuan daripada dikuasai, namun pengertian tersebut berbeda antara konsepsi yang dianut oleh Pemerintah
melalui peraturan perundangan dengan pengertian yang dianut oleh masyarakat, dalam hal ini masyarakat memandang bahwa apabila sebidang tanah dikuasainya
maka penggunaannya juga sesuai dengan kepentingannya. Hal ini dapat dimengerti karena sejak dahulu terdapat perbedaan antara
perasaan hukum rakyat dan kesadaran hukum penguasa atas tanah. Perselisihan
14
AP Parlindungan, 1993, Op.cit, halaman 42
Universitas Sumatera Utara
mengenai tanah antara rakyat dan pemerintah secara umum telah terjadi karena pandangan yang berbeda mengenai konsep hak atas tanah.
15
Dalam kaitan
ini, peraturan
perundang-undangan memandang
diperkenankannya diberikan hak atas tanah pada suatu pulau termasuk pada kawasan pantainya dengan ketentuan penggunaannya harus disesuaikan dengan fungsi
kawasan yakni sebagai kawasan lindung, sungguhpun pengaturan untuk pemberian hak atas tanah pada suatu pulau masih menunggu aturan pelaksanaannya. Sedang
masyarakat beranggapan bahwa penguasaan atas tanah berkaitan erat dengan penggunaannya, menguasai tanah berarti dapat menggunakannya juga.
Kemudian perkembangan terakhir, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil yang
diundangkan pada tanggal 17 Juli 2007. Pengaturan tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
tersebut terdapat ketentuan adanya perizinan dengan bentuk Hak Pengusahaan Perairan Pesisir HP-3 yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan
KKP, sementara dalam hal pengelolaan tanah di kawasan pantai dan juga di pulau- pulau kecil dapat juga diberikan hak atas tanah oleh Instansi Badan Pertanahan
Nasional.
15
BF. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta: Toko Gunung Agung, 2005, halaman 4
Universitas Sumatera Utara
Sungguhpun menurut pendapat Bomer Pasaribu, anggota Komisi IV DPR-RI dinyatakan HP-3 hanya terbatas pada permukaan laut dan kolam air sampai dengan
permukaan dasar laut, HP-3 tidak menyangkut hak atas tanahnya.
16
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai pola pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah pada suatu pulau dan perlindungan
hukum atas pemilikan tanahnya, dengan tetap mempedomani peraturan perundang- undangan yang berlaku, khususnya yang terdapat di Kepulauan Batam dengan studi
di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat, Kelurahan Pulau Setokok, Kecamatan Bulang, Kota Batam.
Pemilihan lokasi penelitian di Kepulauan Batam dimaksud didasarkan pada pertimbangan bahwa Kepulauan Batam yang merupakan salah satu daerah yang
menjadi bagian dari Provinsi Kepulauan Riau. Provinsi Kepulauan Riau sendiri berdiri sejak tahun 2002 tercatat sebagai
provinsi ke-33 di Indonesia dengan dasar pembentukannya Undang Undang Nomor 25 tahun 2002, yang terdiri dari 6 enam daerah otonom, yakni Kabupaten Karimun,
Kabupaten Bintan, Kabupaten Lingga, Kabupaten Natuna, Kota Batam dan Kota Tanjung Pinang.
Kota Batam terdiri dari beberapa pulau, di antaranya pulau yang relatif besar adalah Pulau Batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang, sehingga tepat dikatakan
dengan sebutan kepulauan Batam, luas wilayah Pulau Batam saja sekitar 415 empat
16
Majalah Gatra, dengan judul laporan “Upaya Sinergi dengan Pemangku Kepentingan”, terbitan 22 Agustus 2007,
Universitas Sumatera Utara
ratus lima belas km2 namun apabila disebutkan Kepulauan Batam luasnya mencapai 715 tujuh ratus lima belas km2.
17
Pemilihan lokasi penelitian tersebut juga dikaitkan dengan adanya pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah di pulau-pulau yang ada di kawasan tersebut yang
pengaturannya dilaksanakan oleh satu badan khusus yang diberi nama Otorita Batam, di samping ada juga Pemerintahan otonom yaitu Pemerintah Kota Batam yang juga
diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan pengaturan di bidang pertanahan.
Sementara secara faktual penguasaan tanah di tempat tersebut dilakukan oleh berbagai pihak baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat setempat
dengan penggunaan tanah untuk berbagai kegiatan seperti untuk pemukiman penduduk, pelabuhan dengan segala sarana dan prasarananya, usaha industri dengan
infrastukturnya, usaha perikanan dan kelautan, usaha pariwisata dan usaha lain- lainnya, sehingga perlu diteliti lebih lanjut bagaimana pola pemilikan tanah dan
penggunaan tanahnya serta perlindungan hukum atas pemilikan tanah di Pulau Batam, khususnya di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat.
B. Perumusan Masalah