Penelitian dengan metode yuridis normatif ini diambil dengan pertimbangan bahwa pendekatan ini dipandang cukup layak untuk diterapkan, karena dengan
metode penelitian ini akan diperoleh data dan informasi secara menyeluruh yang bersifat normatif baik dari hukum primer, sekunder maupun tertier. Data atau
informasi yang didapatkan akan diambil perbandingannya dengan peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengaturan pemilikan tanah pada suatu pulau.
4. Sumber Data
Berdasarkan sifat penelitian tersebut di atas, maka data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder. Data Sekunder dimaksudkan antara lain meliputi bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Untuk memperdalam data sekunder tersebut dilakukan wawancara terhadap
responden yang ditentukan, yaitu pejabat pada Kantor Pertanahan Kota Batam, pejabat pada Kantor Otorita Batam, pejabat Kelurahan dan penduduk setempat.
Teknik wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan secara mendalam depth intervieu.
5. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum normatif, maka teknik pengumpulan data
dimulai dengan menginventarisari peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan khususnya yang berkaitan dengan pole pemilikan tanah pada suatu pulau.
Setelah itu dibuat intisarinya, lalu peraturan perundangan tersebut dicocokkan dengan pelaksanaan dan kenyataannya di lapangan dengan mengumpulkan dokumen
Universitas Sumatera Utara
yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, selanjutnya data yang diperoleh tersebut dilengkapi dengan wawancara dengan narasumber yang ditentukan antara
lain sehingga diperoleh data yang komprehenship.
6. Alat Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dalam penelitian ini maka dipakailah alat pengumpulan data sebagai berikut :
a. Studi dokumen, dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang relevan dengan masalah yang ditelti
b. Wawancara, dilakukan dengan cara wawancara langsung dengan menggunakan pedoman wawancara, sehingga diperoleh data yang dalam dan lengkap sehingga
dapat digunakan untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan.
7. Analisis Data
Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat deskriptif kualitatif. Maka setelah diperoleh data sekunder, dilakukanlah pengelompokan data yang sama sesuai
dengan kategori yang ditentukan. Penelusuran data dalam penelitian ini mulai dari aspek pemilikan atas tanah,
aspek penggunaan atas tanah dan juga aturan mengenai pulau termasuk mengenai data lapangan yang merupakan kenyataan dan pelaksanaannya yang ditemui di
lapangan, kemudian diuji dan dianalisis dengan teori hukum yang ada serta peraturan perundangan yang berlaku.
Universitas Sumatera Utara
Setelah itu dengan menggunakan metode deduktif, ditarik suatu kesimpulan dari data yang teah selesai dianalisis dimaksud yang merupakan hasil penelitian.
http:www.batam.go.idhomesejarah_ob.php Sejarah Singkat
Batam mulai dikembangkan sejak awal tahun 1970-an sebagai basis logistik dan operasional untuk industri minyak dan gas bumi oleh pertamina. Kemudian
berdasarkan Kepres No. 41 tahun 1973, pembangunan Batam dipercayakan kepada lembaga pemerintah yang bernama Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam atau
lebigh dikenal dengan Otorita Batam. Pengembangan Pulau Batam terbagi dalam beberapa periode . Periode pertama yaitu
tahun 1971-1976 dikenal dengan nama Periode Persiapan yang dipimpin oleh Dr.Ibnu Sutowo. Periode kedua adalah Periode Konsolidasi 1976-1978 dipimpin
oleh Prof.Dr.JB.Sumarlin , Setelah itu adalah Peride Pembangunan Sarana Prasarana dan Penanaman Modal
yang berlangsung selama 20 tahun. Yaitu tahun 1978-1998, yang diketuai Prof.Dr.BJ. Habibie Kepemimpinan berikutnya dipegang
oleh J.E Habibie yaitu bulan maret sd juli 1998. Periode ini dikenal dengan nama Pembangunan Prasarana dan Penanaman Modal Lanjutan . Kemudian sejak tahun
1998 sampai sekarang, dibawah kepemimpinan Ismeth Abdullah dinamakan Periode Pengembangan Pembangunan Prasarana dan Penanaman Modal Lanjutan
dengan perhatian lebih besar pada kesejahteraan rakyat dan perbaikan iklim investasi.
Dalam rangka melaksanakan visi dan misinya mengembangkan Batam, maka dibangunlah insfrastruktur modern yang berstandar internasional serta berbagai
Universitas Sumatera Utara
fasilitas lainnya, sehingga saat Pariwisata yang diminati dan mampu bersaing dengan kawasan serupa Asia Pasifik.
Berbagai kemajuan pun telah banyak dicapai, seperti tersediannya berbagai lapangan usaha yang mampu menampung angkatan kerja yang berasal hampir dari seluruh
daerah di tanah air. Begitu juga dengan jumlah penerimaan daerah maupaun pusat dari waktu kewaktu terus meningkat. Hal ini tidak lain karena disebabkan oleh
maraknya kegiatan industri, perdagangan, alih kapan dan pariwisataan didaerah. Namun sebagai daerah yang berkembang pesat, Batam juga tidak luput dari
munculnya berbagai masalah sosial. Untuk itulah, maka dalam rangka penyempurnaan pengembangan pulau Batam yang
sedang berlangsung, maka pembangunan saat ini difokuskan kepadakesejahteraan masyarakat dengan menjalankan program social development. Hal ini diharapkan
mampu mengatasi berbagai macam persoalan sosial yang timbul sebagai eksternalitas negatif dari pembangunan yang telah terjadi selama 30 tahun tersebut.
KEPPRES No 74, 1971 Pengembangan Pembangunan Pulau Batam KEPPRES No 41, 1973 Daerah Industri Pulau Batam
KEPPRES No 33, 1974 Penunjukan dan Penetapan Beberapa Wilayah Usaha
Bonded Warehouse di Daerah Pulau Batam
SK MENDAGRI No 43, 1977 Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah
Industri Pulau Batam
KEPPRES No 41, 1978 Penetapan Seluruh Daerah Industri Pulau Batam Sebagai
Wilayah Usaha Bonded Warehouse
Universitas Sumatera Utara
Peraturan Pemerintah No 34, 1983 Pembentukan Kotamadya Batam di Wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I Riau
KEPPRES No 7, 1984 Hubungan Kerja Antara Kotamadya Batam dengan Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam
KEPPRES No 56, 1984 Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri
Pulau Batam dan Penetapannya sebagai Wilayah Usaha Bonded Warehouse
KEPPRES No 28, 1992 Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri
Pulau Batam dan Penetapannya sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikat
SK KETUA BPN No 9-VIII-1993 Pengelolaan dan Pengurusan Tanah di Daerah
Industri Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau-Pulau disekitarnya
KEPPRES No 94, 1998 Penyempurnaan atas Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun
1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam
UU No 53, 1999 Pembentukan Kota Batam dan Kedudukan Badan Otorita Batam
dalam Pembangunan Batam
SK MENDAGRI No 43, 1977 Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah
Industri Pulau Batam
SK KETUA BPN No 9-VIII-1993 Pengelolaan dan Pengurusan Tanah di Daerah
Industri Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau-Pulau disekitarnya
Universitas Sumatera Utara
BAB II POLA KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN TANAH PADA
PULAU-PULAU DI WILAYAH PULAU BATAM
A. Gambaran Lokasi Penelitian
Lokasi yang dipilih untuk melakukan penelitian ini adalah Pulau Batam, tepatnya pada 2 dua pulau kecil yakni Pulau Sekikir dan Pulau Bulat yang secara
administratif berada di Kelurahan Pulau Setokok, Kecamatan Bulang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Pulau Batam memiliki kedudukan yang khusus bila dibandingkan dengan daerah atau pulau
lain di Indonesia, terutama dalam hal pengelolaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui suatu badan yang dibentuk untuk itu yakni Otorita
Pengembangan Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Otorita Batam, sungguhpun dalam proses perjalanannya mengalami berbagai perkembangan dan
penyebutan untuk badan yang mengelola tersebut. Namun hal yang terpenting untuk dikaji dan menjadi pertimbangan kuat untuk
melakukan penelitian ini adalah aspek pertanahan yang melingkupinya, terutama mengenai status hukum dari pemilikan dan penguasaan tanah yang dilakukan oleh
badan pengelola, pemerintah daerah maupun masyarakat setempat, terutama atas tanah-tanah yang ada di pulau-pulau di kawasan kepulauan Batam.
54
Universitas Sumatera Utara
Apalagi belakangan ini perkembangan di Pulau Batam makin menarik sehubungan dengan dijadikannya Pulau Batam sebagai kawasan perdagangan bebas
dan pelabuhan bebas Batam sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
menggantikan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam yang menjadikan Batam sebagai kawasan pengembangan daerah
industri, yang dapat berimplikasi terhadap kebijakan di bidang pertanahan. Demikian juga dari segi penggunaannya, terdapat berbagai kegiatan usaha
oleh berbagai kalangan dalam rangka menggunakan bidang-bidang tanah yang ada di Pulau Batam, maka pengaturan penggunaan tanah tersebut perlu ditelusuri lebih jauh
keterkaitan kerja antara badan pengelola dengan pemerintah daerah setempat dalam membuat perencanaan penggunaan tanah untuk berbagai kepentingan, seperti untuk
usaha industri, pariwisata, budidaya, perkotaan, pedesaan, pemerintahan, konservasi, fasilitas umum dan lain-lain.
Berdasarkan catatan sejarah,
52
Batam mulai dikembangkan sejak awal 1970- an sebagai basis logistik dan operasional untuk industri minyak dan gas bumi oleh
Pertamina. Sungguhpun di tempat itu telah ada perkampungan tua sebagai lingkungan tempat tinggal penduduk asli Kota Batam sebelum tahun 1970 saat Batam mulai
dibangun. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah
Industri Pulau Batam, pembangunan Batam dipercayakan kepada lembaga
Universitas Sumatera Utara
pemerintah yang bernama Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Otorita Batam.
Pengembangan Pulau Batam terbagi dalam beberapa periode, dengan penjelasan sebagai berikut :
”Periode pertama yaitu tahun 1971-1976 dikenal dengan nama Periode Persiapan
yang dipimpin oleh Dr. Ibnu Sutowo. Periode kedua adalah Periode Konsolidasi 1976-1978 dipimpin oleh Prof.
Dr. JB.Sumarlin. Setelah itu adalah Periode Pembangunan Sarana Prasarana dan Penanaman Modal
yang berlangsung selama 20 tahun, yaitu tahun 1978- 1998, yang diketuai Prof. Dr. BJ. Habibie.
Kepemimpinan berikutnya dipegang oleh J.E Habibie yaitu bulan Maret sd Juli 1998. Periode ini dikenal dengan nama Pembangunan Prasarana dan
Penanaman Modal Lanjutan. Kemudian sejak tahun 1998 sampai 2005, di bawah kepemimpinan Ismeth
Abdullah dan dinamakan Periode Pengembangan Pembangunan Prasarana dan Penanaman Modal Lanjutan
dengan perhatian lebih besar pada kesejahteraan rakyat dan perbaikan iklim investasi.
Selanjutnya sejak tahun 2005 sampai sekarang dikenal dengan periode pengembangan Batam, dengan penekanan pada peningkatan sarana dan
52
http:www.batam.go.idhomesejarah_ob.php
Universitas Sumatera Utara
prasarana, penanaman modal serta kualitas lingkungan hidup, yang dipimpin oleh Mustofa Wijaya”.
53
Dalam rangka mengimplementasikan tugas dan fungsi dari Badan yang menangani pengembangan Pulau Batam tersebut, maka dibangunlah insfrastruktur
modern yang berstandar internasional serta berbagai fasilitas lainnya, seperti jalan arteri dan kolektor, bandar udara dan pelabuhan laut, penyediaan air baku dan sarana
penunjang lainnya seperti rumah sakit dan sarana umum lainnya, sehingga menjadi daya tarik bari investor menanamkan modalnya di Pulau Batam.
Apalagi Pulau Batam sejak awal dikembangkan sebagai kawasan industri. Bila hal itu tercapai, maka Pulau Batam tidak hanya sebagai kawasan industri juga
suatu saat dapat dijadikan sebagai daerah pengembangan pariwisata yang diminati dan mampu bersaing dengan kawasan serupa Asia Pasifik. Saat ini Pulau Batam terus
berkembang dan dapat disaksikan bahwa kegiatan industri, perdagangan, perkapalan dan pariwisata sedang marak di daerah ini.
Perkembangan dan kemajuan ini dapat berdampak pada tersedianya berbagai lapangan usaha yang mampu menampung angkatan kerja yang berasal hampir dari
seluruh daerah di tanah air, juga akan berakibat positif pada peningkatan penerimaan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
53
Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Development Progress of Batam Indonesia, Edisi
Pertama 2010, halaman 5
Universitas Sumatera Utara
Secara geografis Pulau Batam yang dikenal sebagai wilayah Kota Batam mempunyai letak yang sangat strategis yaitu jalur pelayanan internasional dengan
jarak 12,5 mil laut dari Negara Singapura. Letak Pulau Batam terbentang antara 0º25’29” sd 1º15’00”Lintang Utara dan
103º34’35” sd 104º26’04” Bujur Timur dengan total wilayah darat dan wilayah laut seluas 3.990,00 Km2, terdiri dari daratan seluas 1.038,43 km2 dan lautan seluas
2.951,57 km2. Wilayah Pulau Batam terdapat lebih dari 400 empat ratus pulau dan 329
tiga ratus dua puluh sembilan pulau di antaranya telah diberi nama, termasuk di dalamnya pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan negara, yang berbatasan dengan :
Sebelah Utara : Negara SingapuraMalaysia Sebelah Timur
: Kabupaten Bintan dan Tanjung Pinang Sebelah Selatan : Kabupaten Lingga
Sebelah Barat : Kabupaten Karimun dan Laut internasional Kemudian secara administratif pemerintahan, pada awalnya Pulau Batam
merupakan salah satu kecamatan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Kepulaun Riau, berikutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1983 dibentuk
Kotamadya Administratif Batam terdiri dari 3 tiga kecamatan, yakni Kecamatan Belakang Padang, Kecamatan Batam Barat dan Kecamatan Batam Timur.
Selanjutnya Kota Batam sebagai daerah otonom dibentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 53 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan,
Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten
Universitas Sumatera Utara
Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam, yang diikuti dengan melakukan penataan kewilayahan yakni melalui pemekaran baik
kecamatan maupun kelurahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pemerintah Kota Batam.
Saat ini berdasarkan Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 2 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004 – 2014, Kota Batam
terdiri dari 8 delapan wilayah Kecamatan dan 64 enam puluh empat kelurahan, yaitu :
a. Kecamatan Sekupang, yang mencakup :
1. Kelurahan Sungai Harapan 2. Kelurahan Tanjung pinggir
3. Kelurahan Tanjung Riau 4. Kelurahan Tanjung Uncang
5. Kelurahan Tiban Lidah 6. Keluahan Patam Lestari
7. Kelurahan Tiban Asri 8. Kelurahan Tiban Lama
b. Kecamatan Lubuk Baja, yang mencakup
1. Kelurahan Batu Selicin 2. Kelurahan Lubuk Baja Kota
3. Kelurahan Kampung Pelita 4. Kelurahan Pangkalan Petai
Universitas Sumatera Utara
5. Kelurahan Tanjung Uma c.
Kecamatan Batu Ampar, yang mencakup 1. Kelurahan Bukit Senyum
2. Kelurahan Sungai Jodoh 3. Kelurahan Batu Merah
4. Kelurahan Kampung Seraya 5. Kelurahan Bengkong Harapan
6. Kelurahan Bukit Jodoh 7. Kelurahan Harapan Baru
8. Kelurahan Bengkong Laut d.
Kecamatan Nongsa, yang mencakup 1. Kelurahan Batu Besar
2. Kelurahan Nongsa 3. Kelurahan Kabil
4. Kelurahan Teluk Tering 5. Kelurahan Belian
6. Kelurahan Baloi Permai 7. Kelurahan Baloi
8. Kelurahan Ngenang e.
Kecamatan Sei Beduk, yang mencakup 1. Kelurahan Muka Kuning
2. Kelurahan Batuaji
Universitas Sumatera Utara
3. Kelurahan Sagulung 4. Kelurahan Tanjung Piayu
f. Kecamatan Galang, yang mencakup
1. Kelurahan Sijantung 2. Kelurahan Karas
3. Kelurahan Galang Baru 4. Kelurahan Sembulang
5. Kelurahan Rempang Cate 6. Kelurahan Subang Mas
7. Kelurahan Pulau Abang g.
Kecamatan Bulang, yang mencakup 1. Kelurahan Bulang Lintang
2. Kelurahan Pulau Buluh 3. Kelurahan Temoyong
4. Kelurahan Batu Legong 5. Kelurahan Pantai Gelam
6. Kelurahan Pulau Setokok h.
Kecamatan Belakang Padang, yang mencakup 1. Kelurahan Belakang Padang
2. Kelurahan Pemping 3. Kelurahan Kasu
4. Kelurahan Pecong
Universitas Sumatera Utara
5. Kelurahan Pulau Terong Daerah yang dijadikan obyek penelitian adalah Kecamatan Bulang, yakni di
Kelurahan Pulau Setokok, tepatnya berada di 2 dua buah pulau di daerah tersebut yakni Pulau Sekikir dan Pulau Bulat.
Berdasarkan keterangan staf Lurah Setokok,
54
wilayah Kelurahan Setokok meliputi seluas 4.700 Ha, berbatasan dengan :
Sebelah utara : Sei Beduk Sebelah Selatan
: Pulau Panjang Galang Sebelah Barat : Pulau Temoyong
Sebelah Timur : Rempang Cate
Kelurahan Pulau Setokok sendiri terdapat sebanyak 27 dua puluh tujuh pulau, namun yang saat ini sudah dihuni oleh penduduk sebanyak 6 enam pulau,
yakni Pulau Kalo, Pulau Setokok, Pulau Teluk Air, Pulau Nipah, Pulau Akar dan Pulau Panjang.
Sementara Pulau Sekikir dan Pulau Bulat yang ada di wilayah tersebut dikategorikan sebagai pulau yang belum dihuni oleh penduduk, sungguhpun saat
peninjauan ke lapangan, di Pulau Sekikir dan Pulau Buat sudah ada penduduk yang berdiam di tempat tersebut, masing-masing 1 satu keluarga dan sudah ada rumah
tempat tinggalnya.
54
Wawancara dengan Rahmad, staf Lurah Setokok, tanggal 1 Oktober 2010
Universitas Sumatera Utara
Pulau Bulat berada sekitar 1 km ke arah Barat dari Pulau Setokok, luasnya sekitar 2 Ha, kemudian Pulau Sekikir lebih jauh lagi sekitar 500 meter dari Pulau
Sekikir dan luasnya sekitar 50 Ha. Oleh karena Pulau Sekikir dan Pulau Bulat yang berada di wilayah Pulau
Setokok dan merupakan bagian dari wilayah Kota Batam, di dalamnya telah ada penduduk dan ada pemilikan dan penguasaan tanah berupa rumah tempat tinggal dan
usaha perladangan, maka ditentukan kedua pulau tersebut sebagai lokasi penelitian, untuk melihat aspek pemilikan atas tanah di wilayah tersebut.
B. Pengaturan Kepemilikan dan Penguasaan Tanah
Pengertian pemilikan adalah kepunyaan bersifat perdata, dalam hal ini kepemilikan tanah adalah hubungan hukum antara orang per-orang, kelompok orang
atau badan hukum tertentu dengan tanah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok
Agraria.
55
Hubungan hukum tersebut ditunjukkan dengan adanya alat-alat bukti yang ditentukan oleh ketentuan hukum yang ada dan berlaku, baik secara tertulis,
pengakuan dan kesaksian pihak lain maupun secara faktual yang ditunjukkan dengan adanya tanda-tanda pada obyek tanahnya, seperti tanda batas bidang tanah berupa
patok, parit, pagar atau tanda batas alam seperti jalan, sungai, lembah, bukit,
55
Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
Universitas Sumatera Utara
pepohonan dan lain-lain, maupun bentuk penguasaan atau pengusahaan secara fisik di lapangan.
Berdasarkan catatan sejarah, sejak dahulu pemilikan dan penguasaan atas tanah menjadi faktor penting diberikan atau dilegalisasikannya hak atas tanah oleh
penguasa kepada seseorang yang secara faktualfisik telah menguasai bidang tanah tersebut dengan itikad baik.
Sungguhpun banyak di daerah-daerah tertentu, pemilikan tanah tidak disertai dengan bukti alas hak secara tertulis sebagaimana sifat Hukum Adat umumnya tidak
tertulis, bukti pemilikan tanah hanya didasarkan pada penguasaan secara fisik atas tanah tersebut yang juga diakui kebenarannya oleh masyarakat setempat, yang
ditandai dengan pengakuan dari pengetua adat atau aparat desa setempat. Pemilikan atas tanah baik ada ataupun tidak ada bukti alas hak tertulis dapat
dikategorikan berdasarkan Hukum Adat dan juga didasarkan pada Hukum Barat, khusus yang didasarkan pada Hukum Adat ditemukan karakteristik yang berbeda di
masing-masing daerah lingkungan hukum adat sesuai dengan adat setempat Sebagaimana diketahui bahwa menurut Hukum Adat, pada awalnya status
tanah-tanah di Indonesia berasal dari hak ulayat, yakni hak desa menurut adat dan kemauannya untuk menguasai tanah dalam lingkungan daerahnya buat kepentingan
anggota-anggotanya atau untuk kepentingan orang lain orang asing dengan membayar ganti kerugian kepada desa, dalam hal mana desa itu sedikit banyak turut
Universitas Sumatera Utara
campur dengan pembukaan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap perkara- perkara yang terjadi di situ yang belum dapat diselesaikan.
56
Dapat juga disebutkan bahwa Hak Ulayat adalah hak atas tanah yang secara tradisional menurut hukum adat setempat merupakan tanah milik masyarakat secara
bersama dalam kerajaan-kerajaan kecil yang ada di berbagai daerah di seluruh Indonesia.
57
Secara formal pengertian hak ulayat disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat ditentukan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah :
”Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh Masyarakat Hukum Adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya
untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari
hubungan secara lahiriah dan bathiniah turun temurun dan tidak terputus antara Masyarakat Hukum Adat dengan wilayah yang bersangkutan”.
Selanjutnya ditentukan bahwa bagian-bagian dari hak ulayat ini dapat dikerjakan dan dikuasai oleh anggota masyarakat desamasyarakat hukum adat yang
kemudian menjadi hak perseoranganindividu. Pada umumnya hak perseorangan ini
56
Dirman, Perundang-undangan Agraria di Seluruh Indonesia, Jakarta : JB. Volters, 1958, halaman 36
57
A. Bazar Harahap Dkk, Tanah Ulayat Dalam Sistem Pertanahan Nasional, Jakarta : Sandipeda, 2005, halaman 4
Universitas Sumatera Utara
terbatas dan tidak begitu luas, yaitu hanya diakui selama hak itu dipergunakan untuk penghidupan sendiri dan keluarganya.
Apabila tanah itu tidak dikerjakan atau tidak dikuasai lagi, misalnya karena meninggalkan desa tersebut, maka tanah itu kembali menjadi tanah hak ulayat. Jadi
ada hubungan timbal balik antara hak-hak bersama dengan hak-hak individu, apabila hak-hak individu menguat maka hak-hak bersama akan melemah, demikian
sebaliknya.
58
Dengan demikian, menurut Hukum Adat dan dikuatkan dengan peraturan mengenai pendaftaran tanah, bukti pemilikan atas tanah hanya didasarkan pada
penguasaan atas tanah secara fisik yang ditandai dengan mengerjakan tanah tersebut secara aktif dan terus-menerus dapat menjadi faktor pendukung dilegalkannya hak
perorangan tersebut oleh penguasa adat, termasuk dengan memberikan bukti hak secara tertulis.
59
Sedang bukti pemilikan hanya didasarkan pada alat bukti lain berupa surat atau tanda tertentu tetapi tanahnya ditelantarkan tidak mendapat perlindungan Hukum
Adat, bahkan dengan azas rechtsverwerking, pihak ketiga yang menguasai tanah dengan itikad baik dapat dilegalkan sebagai pemilik sedang orang orang terdahulu
yang membiarkan tanahnya tidak dikerjakan selama jangka waktu terentu, dianggap
58
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta : Lembaga Perberdayaan Hukum Indonesia, 2005, halaman 121
59
Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Universitas Sumatera Utara
telah melepaskan haknya dan hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut.
60
Demikian juga pada zaman penjajahan Hindia Belanda yang didasarkan pada Hukum Barat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dan 7 ayat 1 Reglement Agraria
untuk Sumatera Barat, ditentukan bahwa pemilikan dan penguasaan atas suatu bidang tanah dilihat sebagai telah adanya hak atas tanah, artinya tanah yang telah dipakai
untuk diduduki atau dikerjakan dengan kekal, dapat menjadi milik atau kepunyaan orang yang membuka atau yang memakai tanah itu.
61
Bahkan menurut domeinbeginsel Stb. 1870 Nomor 118 ditentukan bahwa sekalipun status tanah tersebut masih merupakan pinjaman, misalnya raja
meminjamkan tanah kepada pembesar-pembesarnya selanjutnya pembesar-pembesar itu meminjamkan bagiannya lagi kepada warga desa, maka warga desa yang
meminjam dan menguasai serta mengerjakan tanah tersebut diakui sebagai pemilik tanah.
62
Setelah Indonesia merdeka dan disusun peraturan perundang-undangan tentang keagrariaan sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 5 tahun 1960 atau lebih
dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria UUPA, ternyata pemilikan atas
60
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya
, Jakarta : Penerbit Djambatan, Jakarta, edisi revisi, cetakan ke-9, 2003, halaman 483
61
Dirman, 1958, op.cit.,, halaman 54
62
Bushar Muhammad, Asas-asar Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta : Pradnya Paramita, 1984, halaman 69
Universitas Sumatera Utara
tanah tidak bisa dilepaskan dari faktor penguasaan tanah, bahkan pemilikan atas tanah diperlukan syarat mutlak penguasaan atas tanah tersebut, terutama tanah pertanian.
Pasal 10 UUPA mengatur bahwa ”setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan
atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan”. Demikian juga memiliki tanah dengan tidak menguasainya atau dengan kata
lain menelantarkan tanahnya dengan sengaja, maka pada dasarnya telah bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, yakni dapat menjadi salah satu penyebab hilangnya
kepemilikan atau dihapuskannya hak atas tanah tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 27, 34 dan 40 UUPA.
Pemilikan atas tanah yang didasarkan pada penguasaan tanah oleh masyarakat setempat atas rumah tempat tinggal yang telah dibangun sejak lama sebenarnya dapat
dijadikan alasan formal untuk diberikan haknya, sekalipun pemilikan tanah tersebut tidak didukung oleh surat-surat tanahnya data yuridis. Hal tersebut dikuatkan oleh
ketentuan Pasal 24 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mengatur sebagai berikut :
“Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian, pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang
tanah yang bersangkutan selama 20 dua puluh tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahulunya, dengan syarat:
Universitas Sumatera Utara
a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh
kesaksian orang yang dapat dipercaya; b. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desakelurahan yang bersangkutan ataupun
pihak lainnya.” Dalam penjelasan pasal ini diuraikan bahwa ketentuan ini memberi jalan
keluar apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan atas tanahnya, baik yang berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat dipercaya.
Dalam hal demikian pembukuan hak dapat dilakukan tidak berdasarkan bukti kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti penguasaan fisik yang telah dilakukan oleh
pemohon dan pendahulunya. Faktor pemilikan tanah dengan dasar penguasaan atas tanah merupakan hal
penting untuk mengakui kepemilikan seseorang atas tanah, sebab pengertian dari pemilikan atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hubungan nyata dengan
barang yang ada dalam kekuasaannya. Oleh karena itu sulit bagi seseorang untuk dapat membayangkan adanya suatu sistem hukum apabila di situ tidak dijumpai
adanya pengakuan dan pengaturan tentang pemilikan atau penguasaan.
63
63
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, halaman 30.
Universitas Sumatera Utara
Pengakuan terhadap pemilikan tanah yang didasarkan pada penguasaan secara fisik bidang tanah boleh dilakukan oleh seseorang atas suatu barang merupakan
modal yang utama agar seseorang tersebut dapat mempertahankan kehidupannya, sebab pada saat itu, ia tidak memerlukan pengakuan atau legitimasi lain kecuali
pengakuan pemilikan barang yang ada dalam kekuasaannya tersebut. Masalah pemilikan tanah dengan dasar penguasaan secara fisik bidang tanah,
seharusnya tidak dapat diabaikan sama sekali oleh hukum, walaupun soal pemilikan tersebut hanya atas dasar penguasaan bersifat faktual atau fisik saja tanpa ada bukti
konkrit yang tertulis. Namun hukum dituntut untuk memberikan kepastian mengenai pemilikan tersebut. Jika hukum sudah mulai masuk, maka ia harus memutuskan
apakah seseorang akan mendapat perlindungan pengakuan dan perlindungan terhadap pemilikan atau tidak.
Jika hukum memutuskan akan mendapatkan pengakuan dan perlindungan terhadap pemilikan seseorang atas suatu barang, maka hukum akan melindungi orang
tersebut dari gangguan orang lain, karena di sini hukum berhadapan dengan persoalan yang bersifat faktual, sehingga ukuran untuk memberikan keputusan tersebut bersifat
faktual juga.
64
Berdasarkan argumentasi tersebut sebenarnya pemilikan atas tanah yang didasarkan pada penguasaan atas suatu bidang tanah sudah menjadi faktor yang
menentukan pemilikan tanah tersebut atau dengan kata lain pemilikan tersebut dapat
64
Ibid, halaman 31
Universitas Sumatera Utara
juga sebagai permulaan adanya hak, bahkan ada yang menyebut pemilikan dengan dasar penguasaan tanah tersebut sudah merupakan suatu ”hak”. Kata ”pemilikan atas
dasar penguasaan” menunjukkan adanya suatu hubungan antara tanah dengan yang mempunyainya.
65
Dengan demikian, faktor pemilikan atas dasar penguasaan atas tanah secara fisik merupakan hal penting dalam memberikan hak atas tanah kepada seseorang,
bahkan sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, sebidang tanah dapat didaftarkan apabila telah dikuasai secara fisik oleh
seseorang selama 20 tahun berturut-turut, sekalipun itu tidak didukung oleh bukti- bukti tertulis mengenai penguasaan atas tanah tersebut.
Oleh karena itu tidak cukup hanya dengan memiliki dengan cara menguasainya secara yuridis yaitu dengan memegang surat-surat tanahnya saja, tetapi
harus ada kepemilikan yang didasarkan penguasaan secara fisik atas tanah. Selanjutnya pemilikan atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA, dapat dilegalisasi
dengan pemberian hak atas tanah oleh Pemerintah. Hal tersebut diatur dalam Pasal 22 ayat 2, Pasal 31 dan Pasal 37 UUPA mengatur bahwa terjadinya hak atas tanah
salah satunya adalah melalui penetapan Pemerintah. Penetapan Pemerintah tersebut selain dilakukan terhadap obyek tanah yang
bukti haknya merupakan hak-hak lama baik bekas hak Barat maupun bekas Hak Adat juga dilakukan terhadap obyek tanah yang statusnya berasal dari tanah yang
65
Badan Pertanahan Nasional, Hak Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional, 2002, halaman 18
Universitas Sumatera Utara
dikuasai langsung oleh Negara. Isi dari penetapan Pemerintah tersebut adalah pemberian atau penetapan hak atas tanah kepada subyek hak baik perseorangan
maupun badan hukum dengan obyek suatu bidang tanah tertentu . Berdasarkan ketentuan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
pemberian hak atas tanah termasuk dalam kategori pembuktian hak baru. Pembuktian hak baru tersebut didahului dengan suatu penetapan pemberian hak atas tanah dari
pejabat yang berwenang memberikan hak tersebut menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Obyek tanah yang dapat diperlakukan dengan
proses pemberian hak dimaksud umumnya adalah atas tanah yang berasal dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala BPN Nomor 3 tahun 1999 jo Pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun 1999 ditegaskan bahwa ”yang dimaksud dengan pemberian hak atas tanah adalah penetapan Pemerintah yang memberikan
suatu hak atas tanah Negara, perpanjangan jangka waktu hak, pembaharuan hak, perubahan hak, termasuk pemberian hak di atas Hak Pengelolaan.”
Dalam proses penetapan Pemerintah yang wujudnya pemberian penetapan hak atas tanah tersebut, dapat dilakukan apabila terlebih dahulu dibuktikan adanya
hubungan hukum antara orang dengan tanahnya yang merupakan bukti atau dasar penguasaan atas tanahnya hak keperdataan atau alas haknya, baik yang diterbitkan
oleh pejabat yang berwenang maupun pernyataan yang dibuat sendiri oleh orang yang
Universitas Sumatera Utara
menguasai tanah tersebut apabila sejak awal dialah yang pertama mengerjakan bidang tanah dimaksud.
Bahkan dalam penetapan hak, apabila tidak ada alas hak secara tertulis, maka bukti penguasaan tersebut cukup dengan adanya penguasaan secara fisik sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut. Terhadap penguasaan tanah yang dibuktikan dengan alat bukti secara tertulis
dapat disebut juga alas hak. Alas hak diartikan sebagai bukti penguasaan atas tanah secara yuridis dapat berupa alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan
adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah, dapat juga berupa riwayat pemilikan tanah yang pernah diterbitkan oleh pejabat Pemerintah
sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang berwenang. Alas hak secara yuridis ini biasanya dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan,
surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di bawah tangan dan lain-lain.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, alas hak
tersebut diberi istilah data yuridis, yakni keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya, dan pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.
Secara perdata, dengan adanya hubungan yang mempunyai tanah dengan tanahnya yang dibuktikan dengan penguasaan fisik secara nyata di lapangan atau ada
alas hak berupa data yuridis berarti telah dilandasi dengan suatu hak keperdataan, tanah tersebut sudah berada dalam penguasaannya atau telah menjadi miliknya.
Universitas Sumatera Utara
Pemilikan tanah secara yuridis selalu mengandung kewenangan yang diberikan hukum untuk menguasai fisik tanahnya. Oleh karena itu penguasaan yuridis
memberikan alas hak terhadap adanya hubungan hukum mengenai tanah yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, ”penguasaan tanah adalah hubungan
hukum antara orang-perorang, kelompok orang, atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.” Apabila tanahnya sudah dikuasai secara fisik dan sudah ada alas haknya, maka
persoalannya hanya menindaklanjuti alas hak yang melandasi hubungan tersebut menjadi hak atas tanah yang ditetapkan dan diakui oleh Pemerintah agar hubungan
tersebut memperoleh perlindungan hukum. Proses alas hak menjadi hak atas tanah yang diformalkan melalui penetapan Pemerintah disebut pendaftaran tanah yang
produknya adalah sertipikat tanah. Oleh karena itu dasar penguasaan atau alas hak sebenarnya sudah merupakan
suatu legitimasi awal atau pengakuan atas pemilikan tanah oleh subyek hak yang bersangkutan, namun idealnya agar pemilikan suatu bidang tanah juga mendapat
legitimasi dari Negara, maka harus diformalkan yang dilandasi dengan suatu hak atas tanah yang ditetapkan oleh Negara Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
AP. Parlindungan menyatakan bahwa dasar penguasaan atau alas hak sebagaimana diatur dalam UUPA dapat diterbitkan haknya karena penetapan
Pemerintah atau ketentuan peraturan perundang-undangan, maupun karena suatu perjanjian khusus yang diadakan untuk menimbulkan suatu hak atas tanah di atas hak
tanah lain misalnya Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik dan juga karena ketentuan konversi hak, sedangkan ketentuan pendakuan maupun karena kadaluarsa
memperoleh suatu hak dengan lembaga uitwijzingprocedure sebagaimana diatur dalam pasal 548 KUH Perdata tidak dikenal dalam UUPA, sungguhpun pewarisan
merupakan juga salah satu alas hak.
66
Dinyatakan juga bahwa dasar penguasaan atau alas hak untuk tanah menurut UUPA adalah bersifat derivative, artinya berasal dari ketentuan peraturan perundang-
undangan dan dari hak-hak yang ada sebelumnya, seperti Hak-hak Adat atas tanah dan hak-hak yang berasal dari Hak-hak Barat,
67
Jadi secara normatif bukti penguasaan atau pemilikan atas suatu bidang tanah yang diterbitkan oleh Pemerintah sebelumnya dasar penguasaanalas hak lama
masih tetap diakui sebagai dasar penguasaan atas tanah karena diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang
berlaku pada masa itu. Hak-hak Adat maupun Hak-hak Barat yang dijadikan sebagai alas hak
tersebut ada yang sudah didaftar pada zaman Hindia Belanda dan ada yang belum
66
AP. Parlindungan, Beberapa Masalah Dalam UUPA, Op.cit, halaman 69-70.
67
AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Op.cit,
Universitas Sumatera Utara
didaftar. Pendaftaran hak atas tanah pada waktu itu hanya pada hak-hak atas tanah yang tunduk pada KUH Perdata BW, sungguhpun ada juga orang-orang pribumi
yang mempunyai hak atas tanah yang berstatus Hak-hak Barat selain golongan Eropa dan Golongan Timur Asing termasuk golongan China setelah menyatakan dirinya
tunduk pada Hukum Eropa . Untuk Golongan Bumi Putera umumnya tidak ada suatu hukum pendaftaran
tanah yang bersifat uniform, sungguhpun ada secara sporadis ditemukan beberapa pendaftaran yang sederhana dan belum sempurna seperti Grant Sultan Deli, Grant
lama, Grant Kejuran, pendaftaran tanah yang terdapat di kepulauan Lingga-Riau, di daerah Yogyakarta dan Surakarta dan di lain-lain daerah yang sudah berkembang dan
menirukan sistem pendaftaran kadaster. Sebaliknya juga dikenal pendaftaran tanah pajak, seperti pipil, girik, petuk, ketitir, letter C yang dilakukan oleh Kantor Pajak di
Pulau Jawa.
68
Bukti kepemilikan hak-hak atas tanah yang dapat diajukan sebagai kelengkapan persyaratan permohonan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam
Penjelasan Pasal 24 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Pasal 60 ayat 1 Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala BPN Nomor 3 Tahun 1997
dapat dikategorikan sebagai alas hak, sungguhpun sebagaimana diuraikan di atas bahwa terhadap alas hak dimaksud dapat diproses pendaftaran tanahnya melalui
konversi atau pengakuanpenegasan hak atas tanah
68
Ibid., halaman 76.
Universitas Sumatera Utara
Surat-surat yang dikategorikan sebagai dasar penguasaan atau alas hak atau data yuridis atas tanah pada dasarnya merupakan keterangan tertulis mengenai
perolehan tanah oleh seseorang, misalnya saja dengan berupa pelepasan hak bekas pemegang hak, pernyataan tidak keberatan dari bekas pemegang hak tentunya setelah
ada ganti rugi. Syarat ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 4 ayat 1 Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan yang bunyinya sebelum mengajukan permohonan hak atas tanah, pemohon harus
menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
69
Selanjutnya Pasal 9 ayat 2 angka 2 dan Pasal 18 ayat 2 angka 2 Peraturan tersebut menegaskan bahwa alas hak atau data yuridis dapat berupa sertipikat, girik,
surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta
pelepasan hak, termasuk juga akta pelepasan kawasan hutan, akta pelepasan bekas tanah milik adat dan surat bukti perolehan tanah lainnya.
Berdasarkan pemilikan tanah yang ditandai dengan adanya penguasaan atau alas hak atau data yuridis tersebut yang ditunjukkan dengan adanya hubungan hukum
antara orang dengan tanahnya, maka dapat ditindaklanjuti dengan memformalkan atau melegalisasi asetnya masyarakat.
69
Djoko Walijatun, Persyaratan Permohonan hak, Majalah Renvoy No. 10.34.III, Maret 2006, halaman 65.
Universitas Sumatera Utara
Apabila hubungan hukum tersebut diformalkan atau dilegalisasi oleh Negara, sehingga Negara memberikan dan menentukan kewenangan, kewajiban danatau
larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang dihakinya, maka pemilikan tanah tersebut dapat menjadi hak atas tanah.
70
Hak atas tanah dapat diartikan sebagai lembaga hukum jika belum dihubungkan dengan tanah dan subyek tertentu, juga hak pemilikan dan penguasaan
atas tanah dapat merupakan hubungan yang konkrit subjektief recht jika dihubungkan dengan tanah tertentu dan subyek tertentu sebagai pemegang haknya.
71
Menurut Boedi Harsono, hak-hak atas tanah yang dikenal dalam Hukum Tanah khusunya dalam UUPA, dapat disusun dalam jenjang tata susunan atau
hirarkhi sebagai berikut : 1.
Hak Bangsa Indonesia Pasal 1 2.
Hak Menguasai dari Negara Pasal 20 3.
Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada Pasal 3
4. Hak-hak perorangan :
a. Hak-hak atas tanah Pasal 4 :
70
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta : Penerbit Djambatan, 1994, halaman 203
71
Ibid
Universitas Sumatera Utara
- Primer : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan yang diberikan oleh Negara, Hak Pakai, yang diberikan oleh
Negara dan Hak Pengelolaan Pasal 16 - Sekunder: Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, yang diberikan oleh
pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa dan lain-lainnya Pasal 37, 41 dan
53 b. Wakaf Pasal 49
c. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun Undang-undang Nomor 161985 tentang Rumah Susun
d. Hak jaminan atas tanah : - Hak Tanggungan Pasal 23, 33, 39 dan 51
- Fidusia Undang-undang Nomor 16 tahun 1985.
72
Khusus terhadap Hak Pengelolaan, sebenarnya tidak disebutkan secara konkrit dalam UUPA, tetapi hanya disebutkan sebagai hak-hak lain yang akan ditetapkan
dengan undang-undang.
73
Bila berbicara mengenai hak hak atas tanah, maka hal tersebut merupakan tindak lanjut dari proses kegiatan pemerintah yang melakukan penetapan hak
terhadap kepemilikan dan penguasaan atas tanah oleh masyarakat.
72
Ibid., halaman 204-205
73
Istilah Hak Pengelolaan disebutkan pertama kali dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 1965 yang mengatur tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas tanah Negara.
Sebelumnya dikenal dengan sebutan Hak Penguasaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini, kepemilikan dan penguasaan atas tanah menjadi dasar diberikan dan ditetapkannya hak atas tanah kepada yang memiliki dan menguasai
tanah tersebut. Dengan demikian hubungan hukum antara orang dengan tanahnya melahirkan
kepemilikan dan secara perdata pemilikan atas tanah oleh warga masyarakat cukup dibuktikan dengan dasar penguasaan atau alas hak secara terulis sebagaimana
disebutkan di atas, namun dalam sistem Hukum Agraria, maka pemilikan tanah saja tidak cukup untuk diberikan jaminan kepastian hukum oleh Negara Pemerintah,
tetapi harus ditindaklanjuti dengan legalisasi hak atas tanah melalui proses penetapan hak dan pendaftaran tanahnya yang hasilnya sertipikat tanah.
C. Kepemilikan dan Penguasaan Tanah di Pulau Bulat dan Pulau Sekikir
Berdasarkan aspek pemilikan atas tanah sebagaimana diuraikan di atas, maka akan ditinjau pemilikan tanah di Pulau Batam, khususnya di lokasi penelitian, yakni
Pulau Sekikir dan Pulau Bulat. Pada Pulau Sekikir dan Pulau Bulat secara faktual terdapat pemilikan yang
didasarkan atas penguasaan tanah secara fisik yang dibuktikan dengan adanya rumah tempat tinggal yang didirikan di masing-masing pulau tersebut.
Khusus di Pulau Bulat, ditemui satu keluarga yang menjaganya dan mendiami pulau tersebut sejak beberapa tahun terakhir ini yaitu Syafruddin alias Awang Puding.
Nomor 8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara dan hak itu merupakan terjemahan dari ”Beheersrecht”
Universitas Sumatera Utara
Menurut Syafruddin,
74
dia telah mendirikan rumah tempat tinggal di pulau tersebut dan dijadikan juga sebagai tempat peristirahatan dan tempat memancing bagi
penduduk setempat. Rumah tersebut dibangun oleh Syafruddin sejak tahun 2005. Menurut Syafruddin, dari dulu Pulau Bulat dipunyai oleh satu orang saja
yakni Bahar Dahlan, yang merupakan orangtuanya dan semula hanya digunakan untuk berladang. Oleh karena hanya dijadikan sebagai tempat berladang, maka
sebagaimana dinyatakan oleh Rahmat, staf Lurah Setokok, Pulau Bulat dikategorikan sebagai Pulau tak berpenghuni.
75
Pemilikan atas tanah di pulau-pulau tersebut dibuat oleh yang bersangkutan yang dikuatkan oleh Kepala Kelurahan atau surat-surat tanah yang dibuat oleh Kepala
Kelurahan Setokok. Sedang di Pulau Sekikir, menurut penuturan Arman Dahlan, penduduk Pulau
Setokok yang ditemui sedang berladang di Pulau tersebut, semula diusahai oleh lebih dari 15 lima belas orang penduduk Pulau Setokok dan dijadikan lahan perladangan,
namun karena tidak diurus dengan baik, maka usaha perladangan tersebut tidak berkembang dan sempat ditinggalkan warga setempat beberapa tahun sehingga
menjadi semak belukar. Belakangan ini, Pulau Sekikir kembali diusahai oleh penduduk setempat
untuk usaha berladang, namun yang aktif berladang di pulau tersebut dengan menanami tanah miliknya hanya satu orang lagi, yakni Arman Dahlan. Di lapangan,
74
Wawancara dilakukan pada tanggal 30 September 2010 di Pulau Setokok.
75
Wawancara dengan Rahmad, staf Lurah Setokok, tanggal 1 Oktober 2010
Universitas Sumatera Utara
ditemukan banyak tanaman pertanian baik tanaman keras seperti mangga, durian, kelapa dan lain-lain serta tanaman palawija seperti singkong, pepaya, cabai dan lain-
lain sayuran. Khusus tanaman keras baru ditanami sekitar dua tahun ini dan belum
menghasilkan buah-buahan, sedangkan untuk tanaman palawija, menurut Dahlan, telah ditanami sejak lama dan tidak terputus sejak dulu.
Bukti pemilikan atas bidang-bidang tanah oleh masing-masing warga setempat di Pulau Sekikir tersebut ditandai dengan surat-surat tanah yang dibuat oleh
Kepala DesaLurah Setokok. Menurut Rahmat, staf Lurah Setokok, secara umum warga di Kelurahan
Setokok hanya memiliki surat-surat pemilikan tanah berupa Surat Keterangan Riwayat PemilikanPenguasaan Tanah yang ditandatangani oleh Lurah Setokok dan
hanya satu surat lama yang pernah dijumpainya berbentuk Grant atas nama Jambul. Dengan adanya surat Grant tersebut, maka masyarakat di Pulau Batam yang sudah
lama berdiam di pulau tersebut terutama di kampung-kampung tua masih menganggap status tanah yang dimikinya sebagai tanah adat.
Terhadap kampung-kampung tua yang sudah ada sebelum tahun 1970 ketika ditetapkan Pulau Batam sebagai daerah pengembangan industri, menurut Rahmat,
sudah ada peraturan Walikota untuk melestarikannya dan tanahnya menjadi disebutkan sebagai tanah adat, termasuk kampung tua yang ada di Pulau Setokok.
Namun di luar kampung tua yang ada di wilayah Kelurahan Pulau Setokok, termasuk di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat, surat-surat tanah yang ditemukan sama
Universitas Sumatera Utara
dengan surat-surat tanah yang dijumpai di Pulau Setokok dan surat tanah tersebut dibuat di bawah tahun 2004, sebab sejak tahun 2004 telah ada larangan dari Walikota
kepada para Camat dan Lurah untuk tidak menerbitkan surat-surat tanah warganya, sehingga sampai saat ini yang dipegang oleh warga sebagai bukti pemilikan tanahnya
adalah Surat Ketarangan Riwayat Pemilikan Tanah tersebut. Khusus di Pulau Sekikir, ditemukan beberapa Surat Keterangan Riwayat
PemilikanPengusaan Tanah yang diterbitkan oleh Lurah Setokok pada tahun 2002 yang diketahui Camat Bulang dengan register tanggal 12 September 2002 dan
disaksikan oleh Ketua RT 01 dan Ketua RT 05, dengan sebagai berikut : Tabel 1
Daftar Surat Tanah Warga Pulau Sekikir
No. Nama Pemilik
Luas Tanah m2
Tanggal Surat Nomor Register
Kantor Camat 1
Arman 20.000
20 Juni 2002 No.09CBIX2002
2 Timat Rahmat
20.000 20 Juni 2002
No.10CBIX2002 3
Amir 20.000
20 Juni 2001 No.11CBIX2002
4 Kamaruddin
20.000 20 Juni 2002
No.11CBIX2002 5
Irwan 20.000
20 Juni 2002 No.12CBIX2002
6 Kemat
20.000 20 Juni 2002
No.13CBIX2002 7
Rani 20.000
20 Juni 2002 No.14CBIX2002
8 Saiful
20.000 20 Juni 2002
No.15CBIX2002 9
Ramli 20.000
20 Juni 2002 No.16CBIX2002
10 E v i
20.000 20 Juni 2002
No.17CBIX2002 11
Cahaya 20.000
20 Juni 2002 No.18CBIX2002
Sumber : Kantor Lurah Setokok, 2010
Universitas Sumatera Utara
Bukti pemilikan atas tanah dengan bentuk Surat Keterangan Riwayat Pemilikan Penguasaan Tanah diakui keberadaan dan kebenarannya oleh penduduk
setempat. Hingga saat ini, di Kelurahan Setokok umumnya dan khususnya di Pulau
Sekikir dan Pulau Bulat, belum ada diterbitkan sertipikat atas tanah kepada masyarakat. Sementara itu berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kantor
Pertanahan Kota Batam, di Kelurahan Setokok khususnya di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat, belum ada diterbitkan sertipikat hak atas tanah kepada penduduk setempat .
Menurut M. Rizal, Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan pada Kantor Pertanahan Kota Batam,
76
selama ini masyarakat di daerah Pulau Batam dan pulau-pulau sekitarnya, termasuk pemilik dari Pulau Sekikir ada yang datang hendak
mengajukan permohonan hak atas tanah, namun belum dapat dilayani, karena seluruh wilayah kepulauan Batam sudah harus diterbitkan Hak Pengelolaan sesuai dengan
Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 dan Nomor 28 tahun 1992, jadi terlebih dahulu tanah yang ada di wilayah Kepulauan Batam diberikan Hak Pengelolaan
kepada Otorita Batam, baru dapat diberikan hak atas tanah perseorangan kepada pihak ketiga di atas tanah Hak Pengelolaan.
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa secara yuridis formal, pemilikan tanah di wilayah kepulauan Batam termasuk di Pulau Sekikir dan Pulau
Bulat yang didasarkan pada penguasaan fisik bidang tanahnya oleh penduduk
76
Wawancara tanggal 30 September 2010 di Kantor Pertanahan Kota Batam
Universitas Sumatera Utara
setempat diakui keberadaannya baik oleh aparat pemerintah kelurahan maupun masyarakat terlebih-lebih telah didukung oleh alas hak secara tertulis yang diterbitkan
oleh aparat kelurahan setempat, sungguhpun tidak dapat dilegalkan dengan bukti formal melalui penerbitan sertipikat hak atas tanah oleh instansi pemerintah yang
mengelola bidang pertanahan karena terbentur dengan aturan pengelolaan Pulau Batam yang ditetapkan oleh Presiden.
D. Aturan Pengelolaan Pulau Batam
Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa sekalipun masyarakat di wilayah kepulauan Batam mempunyai bukti kepemilikan atas tanah berdasarkan penguasaan
dan didukung oleh alas hak berupa surat tanah yang diterbitkan oleh aparat kelurahan, namun tidak dapat diterbitkan sertipikat karena telah ditetapkan oleh pemerintah
sebagai obyek Hak Pengelolaan. Penetapan Pulau Batam sebagai wilayah pengembangan pembangunan
sekaligus sebagai daerah obyek Hak Pengelolaan pertama kali didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 74 tahun 1971 tentang Pengembangan Pembangunan
Pulau Batam, kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam.
Setelah diteliti dari berbagai pengaturan yang ada, maka beberapa pengaturan dan kebijakan Pemerintah mengenai pengelolaan Pulau Batam dapat dikategorikan
dalam beberapa hal, yakni tentang lembagabadan pengelola, tentang wilayah lingkungan kerja dan tentang pengelolaan pertanahan.
Universitas Sumatera Utara
1. Lembaga Badan Pengelola
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam, maka ditetapkan lembaga pengelola yang terdiri dari badan
pengawas, badan otorita pengembangan dan perusahaan perseroan pengusahaan Daerah Industri Pulau Batam.
Kemudian dilakukan perubahan pertama, dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 45 tahun 1978 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor
41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam, dalam hal ini ada perubahan susunan badan pengawas.
Kedua keputusan Preiden Nomor 58 tahun 1989 tentang Perubahan Keputusan
Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 45 tahun 1978, dalam hal ini
perubahan susunan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. Ketiga,
diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 94 tahun 1998 tentang Penyempurnaan Atas Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah
Industri Pulau Batam, dalam hal ini mengubah dewan pembina, otorita pengembangan dan perusahaan perseroan pengelola.
Keempat , melalui Keputusan Presiden Nomor 113 tahun 2000 tentang
Perubahan Keempat atas Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam.
Universitas Sumatera Utara
Kelima, dengan Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 2005 tentang Perubahan
Kelima atas Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam.
Kemudian dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 36 tahun 2000 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti undang Undang Nomor 1 tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang Undang
dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, ditentukan bahwa Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam diganti menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Perdangaan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, berikut pengalihan asetnya.
2. Wilayah Kerja