Pulau Bulat berada sekitar 1 km ke arah Barat dari Pulau Setokok, luasnya sekitar 2 Ha, kemudian Pulau Sekikir lebih jauh lagi sekitar 500 meter dari Pulau
Sekikir dan luasnya sekitar 50 Ha. Oleh karena Pulau Sekikir dan Pulau Bulat yang berada di wilayah Pulau
Setokok dan merupakan bagian dari wilayah Kota Batam, di dalamnya telah ada penduduk dan ada pemilikan dan penguasaan tanah berupa rumah tempat tinggal dan
usaha perladangan, maka ditentukan kedua pulau tersebut sebagai lokasi penelitian, untuk melihat aspek pemilikan atas tanah di wilayah tersebut.
B. Pengaturan Kepemilikan dan Penguasaan Tanah
Pengertian pemilikan adalah kepunyaan bersifat perdata, dalam hal ini kepemilikan tanah adalah hubungan hukum antara orang per-orang, kelompok orang
atau badan hukum tertentu dengan tanah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok
Agraria.
55
Hubungan hukum tersebut ditunjukkan dengan adanya alat-alat bukti yang ditentukan oleh ketentuan hukum yang ada dan berlaku, baik secara tertulis,
pengakuan dan kesaksian pihak lain maupun secara faktual yang ditunjukkan dengan adanya tanda-tanda pada obyek tanahnya, seperti tanda batas bidang tanah berupa
patok, parit, pagar atau tanda batas alam seperti jalan, sungai, lembah, bukit,
55
Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
Universitas Sumatera Utara
pepohonan dan lain-lain, maupun bentuk penguasaan atau pengusahaan secara fisik di lapangan.
Berdasarkan catatan sejarah, sejak dahulu pemilikan dan penguasaan atas tanah menjadi faktor penting diberikan atau dilegalisasikannya hak atas tanah oleh
penguasa kepada seseorang yang secara faktualfisik telah menguasai bidang tanah tersebut dengan itikad baik.
Sungguhpun banyak di daerah-daerah tertentu, pemilikan tanah tidak disertai dengan bukti alas hak secara tertulis sebagaimana sifat Hukum Adat umumnya tidak
tertulis, bukti pemilikan tanah hanya didasarkan pada penguasaan secara fisik atas tanah tersebut yang juga diakui kebenarannya oleh masyarakat setempat, yang
ditandai dengan pengakuan dari pengetua adat atau aparat desa setempat. Pemilikan atas tanah baik ada ataupun tidak ada bukti alas hak tertulis dapat
dikategorikan berdasarkan Hukum Adat dan juga didasarkan pada Hukum Barat, khusus yang didasarkan pada Hukum Adat ditemukan karakteristik yang berbeda di
masing-masing daerah lingkungan hukum adat sesuai dengan adat setempat Sebagaimana diketahui bahwa menurut Hukum Adat, pada awalnya status
tanah-tanah di Indonesia berasal dari hak ulayat, yakni hak desa menurut adat dan kemauannya untuk menguasai tanah dalam lingkungan daerahnya buat kepentingan
anggota-anggotanya atau untuk kepentingan orang lain orang asing dengan membayar ganti kerugian kepada desa, dalam hal mana desa itu sedikit banyak turut
Universitas Sumatera Utara
campur dengan pembukaan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap perkara- perkara yang terjadi di situ yang belum dapat diselesaikan.
56
Dapat juga disebutkan bahwa Hak Ulayat adalah hak atas tanah yang secara tradisional menurut hukum adat setempat merupakan tanah milik masyarakat secara
bersama dalam kerajaan-kerajaan kecil yang ada di berbagai daerah di seluruh Indonesia.
57
Secara formal pengertian hak ulayat disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat ditentukan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah :
”Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh Masyarakat Hukum Adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya
untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari
hubungan secara lahiriah dan bathiniah turun temurun dan tidak terputus antara Masyarakat Hukum Adat dengan wilayah yang bersangkutan”.
Selanjutnya ditentukan bahwa bagian-bagian dari hak ulayat ini dapat dikerjakan dan dikuasai oleh anggota masyarakat desamasyarakat hukum adat yang
kemudian menjadi hak perseoranganindividu. Pada umumnya hak perseorangan ini
56
Dirman, Perundang-undangan Agraria di Seluruh Indonesia, Jakarta : JB. Volters, 1958, halaman 36
57
A. Bazar Harahap Dkk, Tanah Ulayat Dalam Sistem Pertanahan Nasional, Jakarta : Sandipeda, 2005, halaman 4
Universitas Sumatera Utara
terbatas dan tidak begitu luas, yaitu hanya diakui selama hak itu dipergunakan untuk penghidupan sendiri dan keluarganya.
Apabila tanah itu tidak dikerjakan atau tidak dikuasai lagi, misalnya karena meninggalkan desa tersebut, maka tanah itu kembali menjadi tanah hak ulayat. Jadi
ada hubungan timbal balik antara hak-hak bersama dengan hak-hak individu, apabila hak-hak individu menguat maka hak-hak bersama akan melemah, demikian
sebaliknya.
58
Dengan demikian, menurut Hukum Adat dan dikuatkan dengan peraturan mengenai pendaftaran tanah, bukti pemilikan atas tanah hanya didasarkan pada
penguasaan atas tanah secara fisik yang ditandai dengan mengerjakan tanah tersebut secara aktif dan terus-menerus dapat menjadi faktor pendukung dilegalkannya hak
perorangan tersebut oleh penguasa adat, termasuk dengan memberikan bukti hak secara tertulis.
59
Sedang bukti pemilikan hanya didasarkan pada alat bukti lain berupa surat atau tanda tertentu tetapi tanahnya ditelantarkan tidak mendapat perlindungan Hukum
Adat, bahkan dengan azas rechtsverwerking, pihak ketiga yang menguasai tanah dengan itikad baik dapat dilegalkan sebagai pemilik sedang orang orang terdahulu
yang membiarkan tanahnya tidak dikerjakan selama jangka waktu terentu, dianggap
58
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta : Lembaga Perberdayaan Hukum Indonesia, 2005, halaman 121
59
Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Universitas Sumatera Utara
telah melepaskan haknya dan hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut.
60
Demikian juga pada zaman penjajahan Hindia Belanda yang didasarkan pada Hukum Barat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dan 7 ayat 1 Reglement Agraria
untuk Sumatera Barat, ditentukan bahwa pemilikan dan penguasaan atas suatu bidang tanah dilihat sebagai telah adanya hak atas tanah, artinya tanah yang telah dipakai
untuk diduduki atau dikerjakan dengan kekal, dapat menjadi milik atau kepunyaan orang yang membuka atau yang memakai tanah itu.
61
Bahkan menurut domeinbeginsel Stb. 1870 Nomor 118 ditentukan bahwa sekalipun status tanah tersebut masih merupakan pinjaman, misalnya raja
meminjamkan tanah kepada pembesar-pembesarnya selanjutnya pembesar-pembesar itu meminjamkan bagiannya lagi kepada warga desa, maka warga desa yang
meminjam dan menguasai serta mengerjakan tanah tersebut diakui sebagai pemilik tanah.
62
Setelah Indonesia merdeka dan disusun peraturan perundang-undangan tentang keagrariaan sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 5 tahun 1960 atau lebih
dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria UUPA, ternyata pemilikan atas
60
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya
, Jakarta : Penerbit Djambatan, Jakarta, edisi revisi, cetakan ke-9, 2003, halaman 483
61
Dirman, 1958, op.cit.,, halaman 54
62
Bushar Muhammad, Asas-asar Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta : Pradnya Paramita, 1984, halaman 69
Universitas Sumatera Utara
tanah tidak bisa dilepaskan dari faktor penguasaan tanah, bahkan pemilikan atas tanah diperlukan syarat mutlak penguasaan atas tanah tersebut, terutama tanah pertanian.
Pasal 10 UUPA mengatur bahwa ”setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan
atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan”. Demikian juga memiliki tanah dengan tidak menguasainya atau dengan kata
lain menelantarkan tanahnya dengan sengaja, maka pada dasarnya telah bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, yakni dapat menjadi salah satu penyebab hilangnya
kepemilikan atau dihapuskannya hak atas tanah tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 27, 34 dan 40 UUPA.
Pemilikan atas tanah yang didasarkan pada penguasaan tanah oleh masyarakat setempat atas rumah tempat tinggal yang telah dibangun sejak lama sebenarnya dapat
dijadikan alasan formal untuk diberikan haknya, sekalipun pemilikan tanah tersebut tidak didukung oleh surat-surat tanahnya data yuridis. Hal tersebut dikuatkan oleh
ketentuan Pasal 24 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mengatur sebagai berikut :
“Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian, pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang
tanah yang bersangkutan selama 20 dua puluh tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahulunya, dengan syarat:
Universitas Sumatera Utara
a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh
kesaksian orang yang dapat dipercaya; b. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desakelurahan yang bersangkutan ataupun
pihak lainnya.” Dalam penjelasan pasal ini diuraikan bahwa ketentuan ini memberi jalan
keluar apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan atas tanahnya, baik yang berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat dipercaya.
Dalam hal demikian pembukuan hak dapat dilakukan tidak berdasarkan bukti kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti penguasaan fisik yang telah dilakukan oleh
pemohon dan pendahulunya. Faktor pemilikan tanah dengan dasar penguasaan atas tanah merupakan hal
penting untuk mengakui kepemilikan seseorang atas tanah, sebab pengertian dari pemilikan atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hubungan nyata dengan
barang yang ada dalam kekuasaannya. Oleh karena itu sulit bagi seseorang untuk dapat membayangkan adanya suatu sistem hukum apabila di situ tidak dijumpai
adanya pengakuan dan pengaturan tentang pemilikan atau penguasaan.
63
63
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, halaman 30.
Universitas Sumatera Utara
Pengakuan terhadap pemilikan tanah yang didasarkan pada penguasaan secara fisik bidang tanah boleh dilakukan oleh seseorang atas suatu barang merupakan
modal yang utama agar seseorang tersebut dapat mempertahankan kehidupannya, sebab pada saat itu, ia tidak memerlukan pengakuan atau legitimasi lain kecuali
pengakuan pemilikan barang yang ada dalam kekuasaannya tersebut. Masalah pemilikan tanah dengan dasar penguasaan secara fisik bidang tanah,
seharusnya tidak dapat diabaikan sama sekali oleh hukum, walaupun soal pemilikan tersebut hanya atas dasar penguasaan bersifat faktual atau fisik saja tanpa ada bukti
konkrit yang tertulis. Namun hukum dituntut untuk memberikan kepastian mengenai pemilikan tersebut. Jika hukum sudah mulai masuk, maka ia harus memutuskan
apakah seseorang akan mendapat perlindungan pengakuan dan perlindungan terhadap pemilikan atau tidak.
Jika hukum memutuskan akan mendapatkan pengakuan dan perlindungan terhadap pemilikan seseorang atas suatu barang, maka hukum akan melindungi orang
tersebut dari gangguan orang lain, karena di sini hukum berhadapan dengan persoalan yang bersifat faktual, sehingga ukuran untuk memberikan keputusan tersebut bersifat
faktual juga.
64
Berdasarkan argumentasi tersebut sebenarnya pemilikan atas tanah yang didasarkan pada penguasaan atas suatu bidang tanah sudah menjadi faktor yang
menentukan pemilikan tanah tersebut atau dengan kata lain pemilikan tersebut dapat
64
Ibid, halaman 31
Universitas Sumatera Utara
juga sebagai permulaan adanya hak, bahkan ada yang menyebut pemilikan dengan dasar penguasaan tanah tersebut sudah merupakan suatu ”hak”. Kata ”pemilikan atas
dasar penguasaan” menunjukkan adanya suatu hubungan antara tanah dengan yang mempunyainya.
65
Dengan demikian, faktor pemilikan atas dasar penguasaan atas tanah secara fisik merupakan hal penting dalam memberikan hak atas tanah kepada seseorang,
bahkan sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, sebidang tanah dapat didaftarkan apabila telah dikuasai secara fisik oleh
seseorang selama 20 tahun berturut-turut, sekalipun itu tidak didukung oleh bukti- bukti tertulis mengenai penguasaan atas tanah tersebut.
Oleh karena itu tidak cukup hanya dengan memiliki dengan cara menguasainya secara yuridis yaitu dengan memegang surat-surat tanahnya saja, tetapi
harus ada kepemilikan yang didasarkan penguasaan secara fisik atas tanah. Selanjutnya pemilikan atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA, dapat dilegalisasi
dengan pemberian hak atas tanah oleh Pemerintah. Hal tersebut diatur dalam Pasal 22 ayat 2, Pasal 31 dan Pasal 37 UUPA mengatur bahwa terjadinya hak atas tanah
salah satunya adalah melalui penetapan Pemerintah. Penetapan Pemerintah tersebut selain dilakukan terhadap obyek tanah yang
bukti haknya merupakan hak-hak lama baik bekas hak Barat maupun bekas Hak Adat juga dilakukan terhadap obyek tanah yang statusnya berasal dari tanah yang
65
Badan Pertanahan Nasional, Hak Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional, 2002, halaman 18
Universitas Sumatera Utara
dikuasai langsung oleh Negara. Isi dari penetapan Pemerintah tersebut adalah pemberian atau penetapan hak atas tanah kepada subyek hak baik perseorangan
maupun badan hukum dengan obyek suatu bidang tanah tertentu . Berdasarkan ketentuan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
pemberian hak atas tanah termasuk dalam kategori pembuktian hak baru. Pembuktian hak baru tersebut didahului dengan suatu penetapan pemberian hak atas tanah dari
pejabat yang berwenang memberikan hak tersebut menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Obyek tanah yang dapat diperlakukan dengan
proses pemberian hak dimaksud umumnya adalah atas tanah yang berasal dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala BPN Nomor 3 tahun 1999 jo Pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun 1999 ditegaskan bahwa ”yang dimaksud dengan pemberian hak atas tanah adalah penetapan Pemerintah yang memberikan
suatu hak atas tanah Negara, perpanjangan jangka waktu hak, pembaharuan hak, perubahan hak, termasuk pemberian hak di atas Hak Pengelolaan.”
Dalam proses penetapan Pemerintah yang wujudnya pemberian penetapan hak atas tanah tersebut, dapat dilakukan apabila terlebih dahulu dibuktikan adanya
hubungan hukum antara orang dengan tanahnya yang merupakan bukti atau dasar penguasaan atas tanahnya hak keperdataan atau alas haknya, baik yang diterbitkan
oleh pejabat yang berwenang maupun pernyataan yang dibuat sendiri oleh orang yang
Universitas Sumatera Utara
menguasai tanah tersebut apabila sejak awal dialah yang pertama mengerjakan bidang tanah dimaksud.
Bahkan dalam penetapan hak, apabila tidak ada alas hak secara tertulis, maka bukti penguasaan tersebut cukup dengan adanya penguasaan secara fisik sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut. Terhadap penguasaan tanah yang dibuktikan dengan alat bukti secara tertulis
dapat disebut juga alas hak. Alas hak diartikan sebagai bukti penguasaan atas tanah secara yuridis dapat berupa alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan
adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah, dapat juga berupa riwayat pemilikan tanah yang pernah diterbitkan oleh pejabat Pemerintah
sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang berwenang. Alas hak secara yuridis ini biasanya dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan,
surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di bawah tangan dan lain-lain.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, alas hak
tersebut diberi istilah data yuridis, yakni keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya, dan pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.
Secara perdata, dengan adanya hubungan yang mempunyai tanah dengan tanahnya yang dibuktikan dengan penguasaan fisik secara nyata di lapangan atau ada
alas hak berupa data yuridis berarti telah dilandasi dengan suatu hak keperdataan, tanah tersebut sudah berada dalam penguasaannya atau telah menjadi miliknya.
Universitas Sumatera Utara
Pemilikan tanah secara yuridis selalu mengandung kewenangan yang diberikan hukum untuk menguasai fisik tanahnya. Oleh karena itu penguasaan yuridis
memberikan alas hak terhadap adanya hubungan hukum mengenai tanah yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, ”penguasaan tanah adalah hubungan
hukum antara orang-perorang, kelompok orang, atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.” Apabila tanahnya sudah dikuasai secara fisik dan sudah ada alas haknya, maka
persoalannya hanya menindaklanjuti alas hak yang melandasi hubungan tersebut menjadi hak atas tanah yang ditetapkan dan diakui oleh Pemerintah agar hubungan
tersebut memperoleh perlindungan hukum. Proses alas hak menjadi hak atas tanah yang diformalkan melalui penetapan Pemerintah disebut pendaftaran tanah yang
produknya adalah sertipikat tanah. Oleh karena itu dasar penguasaan atau alas hak sebenarnya sudah merupakan
suatu legitimasi awal atau pengakuan atas pemilikan tanah oleh subyek hak yang bersangkutan, namun idealnya agar pemilikan suatu bidang tanah juga mendapat
legitimasi dari Negara, maka harus diformalkan yang dilandasi dengan suatu hak atas tanah yang ditetapkan oleh Negara Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
AP. Parlindungan menyatakan bahwa dasar penguasaan atau alas hak sebagaimana diatur dalam UUPA dapat diterbitkan haknya karena penetapan
Pemerintah atau ketentuan peraturan perundang-undangan, maupun karena suatu perjanjian khusus yang diadakan untuk menimbulkan suatu hak atas tanah di atas hak
tanah lain misalnya Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik dan juga karena ketentuan konversi hak, sedangkan ketentuan pendakuan maupun karena kadaluarsa
memperoleh suatu hak dengan lembaga uitwijzingprocedure sebagaimana diatur dalam pasal 548 KUH Perdata tidak dikenal dalam UUPA, sungguhpun pewarisan
merupakan juga salah satu alas hak.
66
Dinyatakan juga bahwa dasar penguasaan atau alas hak untuk tanah menurut UUPA adalah bersifat derivative, artinya berasal dari ketentuan peraturan perundang-
undangan dan dari hak-hak yang ada sebelumnya, seperti Hak-hak Adat atas tanah dan hak-hak yang berasal dari Hak-hak Barat,
67
Jadi secara normatif bukti penguasaan atau pemilikan atas suatu bidang tanah yang diterbitkan oleh Pemerintah sebelumnya dasar penguasaanalas hak lama
masih tetap diakui sebagai dasar penguasaan atas tanah karena diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang
berlaku pada masa itu. Hak-hak Adat maupun Hak-hak Barat yang dijadikan sebagai alas hak
tersebut ada yang sudah didaftar pada zaman Hindia Belanda dan ada yang belum
66
AP. Parlindungan, Beberapa Masalah Dalam UUPA, Op.cit, halaman 69-70.
67
AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Op.cit,
Universitas Sumatera Utara
didaftar. Pendaftaran hak atas tanah pada waktu itu hanya pada hak-hak atas tanah yang tunduk pada KUH Perdata BW, sungguhpun ada juga orang-orang pribumi
yang mempunyai hak atas tanah yang berstatus Hak-hak Barat selain golongan Eropa dan Golongan Timur Asing termasuk golongan China setelah menyatakan dirinya
tunduk pada Hukum Eropa . Untuk Golongan Bumi Putera umumnya tidak ada suatu hukum pendaftaran
tanah yang bersifat uniform, sungguhpun ada secara sporadis ditemukan beberapa pendaftaran yang sederhana dan belum sempurna seperti Grant Sultan Deli, Grant
lama, Grant Kejuran, pendaftaran tanah yang terdapat di kepulauan Lingga-Riau, di daerah Yogyakarta dan Surakarta dan di lain-lain daerah yang sudah berkembang dan
menirukan sistem pendaftaran kadaster. Sebaliknya juga dikenal pendaftaran tanah pajak, seperti pipil, girik, petuk, ketitir, letter C yang dilakukan oleh Kantor Pajak di
Pulau Jawa.
68
Bukti kepemilikan hak-hak atas tanah yang dapat diajukan sebagai kelengkapan persyaratan permohonan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam
Penjelasan Pasal 24 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Pasal 60 ayat 1 Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala BPN Nomor 3 Tahun 1997
dapat dikategorikan sebagai alas hak, sungguhpun sebagaimana diuraikan di atas bahwa terhadap alas hak dimaksud dapat diproses pendaftaran tanahnya melalui
konversi atau pengakuanpenegasan hak atas tanah
68
Ibid., halaman 76.
Universitas Sumatera Utara
Surat-surat yang dikategorikan sebagai dasar penguasaan atau alas hak atau data yuridis atas tanah pada dasarnya merupakan keterangan tertulis mengenai
perolehan tanah oleh seseorang, misalnya saja dengan berupa pelepasan hak bekas pemegang hak, pernyataan tidak keberatan dari bekas pemegang hak tentunya setelah
ada ganti rugi. Syarat ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 4 ayat 1 Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan yang bunyinya sebelum mengajukan permohonan hak atas tanah, pemohon harus
menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
69
Selanjutnya Pasal 9 ayat 2 angka 2 dan Pasal 18 ayat 2 angka 2 Peraturan tersebut menegaskan bahwa alas hak atau data yuridis dapat berupa sertipikat, girik,
surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta
pelepasan hak, termasuk juga akta pelepasan kawasan hutan, akta pelepasan bekas tanah milik adat dan surat bukti perolehan tanah lainnya.
Berdasarkan pemilikan tanah yang ditandai dengan adanya penguasaan atau alas hak atau data yuridis tersebut yang ditunjukkan dengan adanya hubungan hukum
antara orang dengan tanahnya, maka dapat ditindaklanjuti dengan memformalkan atau melegalisasi asetnya masyarakat.
69
Djoko Walijatun, Persyaratan Permohonan hak, Majalah Renvoy No. 10.34.III, Maret 2006, halaman 65.
Universitas Sumatera Utara
Apabila hubungan hukum tersebut diformalkan atau dilegalisasi oleh Negara, sehingga Negara memberikan dan menentukan kewenangan, kewajiban danatau
larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang dihakinya, maka pemilikan tanah tersebut dapat menjadi hak atas tanah.
70
Hak atas tanah dapat diartikan sebagai lembaga hukum jika belum dihubungkan dengan tanah dan subyek tertentu, juga hak pemilikan dan penguasaan
atas tanah dapat merupakan hubungan yang konkrit subjektief recht jika dihubungkan dengan tanah tertentu dan subyek tertentu sebagai pemegang haknya.
71
Menurut Boedi Harsono, hak-hak atas tanah yang dikenal dalam Hukum Tanah khusunya dalam UUPA, dapat disusun dalam jenjang tata susunan atau
hirarkhi sebagai berikut : 1.
Hak Bangsa Indonesia Pasal 1 2.
Hak Menguasai dari Negara Pasal 20 3.
Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada Pasal 3
4. Hak-hak perorangan :
a. Hak-hak atas tanah Pasal 4 :
70
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta : Penerbit Djambatan, 1994, halaman 203
71
Ibid
Universitas Sumatera Utara
- Primer : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan yang diberikan oleh Negara, Hak Pakai, yang diberikan oleh
Negara dan Hak Pengelolaan Pasal 16 - Sekunder: Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, yang diberikan oleh
pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa dan lain-lainnya Pasal 37, 41 dan
53 b. Wakaf Pasal 49
c. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun Undang-undang Nomor 161985 tentang Rumah Susun
d. Hak jaminan atas tanah : - Hak Tanggungan Pasal 23, 33, 39 dan 51
- Fidusia Undang-undang Nomor 16 tahun 1985.
72
Khusus terhadap Hak Pengelolaan, sebenarnya tidak disebutkan secara konkrit dalam UUPA, tetapi hanya disebutkan sebagai hak-hak lain yang akan ditetapkan
dengan undang-undang.
73
Bila berbicara mengenai hak hak atas tanah, maka hal tersebut merupakan tindak lanjut dari proses kegiatan pemerintah yang melakukan penetapan hak
terhadap kepemilikan dan penguasaan atas tanah oleh masyarakat.
72
Ibid., halaman 204-205
73
Istilah Hak Pengelolaan disebutkan pertama kali dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 1965 yang mengatur tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas tanah Negara.
Sebelumnya dikenal dengan sebutan Hak Penguasaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini, kepemilikan dan penguasaan atas tanah menjadi dasar diberikan dan ditetapkannya hak atas tanah kepada yang memiliki dan menguasai
tanah tersebut. Dengan demikian hubungan hukum antara orang dengan tanahnya melahirkan
kepemilikan dan secara perdata pemilikan atas tanah oleh warga masyarakat cukup dibuktikan dengan dasar penguasaan atau alas hak secara terulis sebagaimana
disebutkan di atas, namun dalam sistem Hukum Agraria, maka pemilikan tanah saja tidak cukup untuk diberikan jaminan kepastian hukum oleh Negara Pemerintah,
tetapi harus ditindaklanjuti dengan legalisasi hak atas tanah melalui proses penetapan hak dan pendaftaran tanahnya yang hasilnya sertipikat tanah.
C. Kepemilikan dan Penguasaan Tanah di Pulau Bulat dan Pulau Sekikir