untuk mencari solusi yang dapat mewujudkan tujuan pemilikan, penguasaan dan penggunaana tanah pada suatu pulau sehingga bermanfaat dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat dan kebutuhan pembangunan.
E. Keaslian Penelitian
Setelah dilakukan pengamatan terhadap Tesis dan Disertasi yang ada di perpustakaan Universitas Sumatera Utara USU Medan, sepanjang yang diketahui
belum ada suatu penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Pasca Sarjana ataupun orang lain yang membahas tentang Hak Kepemilikan dan Penguasaan Atas Tanah di
Wilayah Kepulauan Batam. Dengan demikian penelitian ini benar-benar asli dan bukan hasil ciplakan dari penelitian atau penulisan orang lain.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
Penelitian ini menyangkut kepemilikan atas tanah di Pulau di Wilayah kepulauan Batam pembahasannya lebih banyak kepada perilaku masyarakat dalam
melakukan pemilikan dan penguasaan tanah dan adanya pengakuan dari Pemerintah termasuk dalam penataan penggunaannya serta melegalkan haknya, maka kerangka
teori yang diambil tidak lebih dari ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan dalam bertindak bagi masyarakat dan pemerintah.
Akan tetapi dalam pengaturan sesuatu obyek dapat saja telah ada sistem hukum yang menatanya, namun situasi di lapangan terutama pada lapisan masyarakat
selalu berada pada jalinan hubungan-hubungan yang dapat diprediksi dan tidak sistematis, masyarakat dengan keinginan dan kebutuhannya terus-menerus bergerak
secara dinamis.
Universitas Sumatera Utara
Hal demikian terjadi karena dalam masyarakat banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, misalnya kekuatan-kekuatan kekuasaan dan saling tarik-menarik
dan berbenturan di dalamnya dan menimbulkan ketidakteraturan, dengan kata lain hukum dan masyarakat bukan sebagai sesuatu yang sistematis, tetapi penuh dengan
ketidakteraturan, inilah yang disebut dengan teori ketidakteraturan hukum Theories of legal disorder
yang dikembangkan oleh Charles Sampford.
18
Namun seharusnya peranan hukum dapat menjamin adanya suatu keteraturan terutama dalam kondisi masyarakat yang sedang membangun, karena keteraturan
tersebut merupakan salah satu tujuan dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.
19
Berdasarkan teori di atas yang dijadikan kerangka berpikir dalam penelitian ini guna melihat situasi hubungan hukum antara masyarakat dengan tanah dalam hal
ini antara hak kepemilikan atas pulau dikaitkan antara peraturan perundang-undangan dengan kenyataan di lapangan, termasuk tujuan hukum dalam menciptakan
keteraturan terutama dalam kondisi masyarakat yang sedang membangun. Kerangka teori itu sendiri menurut M. Solly Lubis disebut sebagai landasan
teori yakni suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan problem yang dijadikan bahan perbandingan,
18
HR. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali,
Bandung : PT. Rafika Aditama, 2005, halaman 105-108
19
Mochtar Kusumaatmaja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung : Bina Cipta, 1986, halaman 3
Universitas Sumatera Utara
pegangan teoritis, mungkin disetujui atau tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.
20
Dari pijakan kerangka teori hukum tersebut, maka konsepsi yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah dengan meninjau peraturan perundang-
undangan mengenai obyek yang diteliti dan menggambarkan kenyataannya di lapangan, yang diuraikan dalam tiga variabel, yakni :
1. pemilikan tanah; 2. penggunaan tanah dan;
3. keberadaan kepulauan dengan segala lingkup aturan dan uraiannya.
Pertama, mengenai Kepemilikan Tanah, ketentuan hukumnya dilihat dari
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengatur bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang tekandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Aturan dasar dalam konstitusi menyangkut pengelolaan sumber daya alam
tersebut termasuk dalam pengertian ”dikuasai oleh Negara” tersebut kemudian dijabarkan dalam UUPA. Dalam Pasal 2 ayat 1 UUPA ditentukan:
”Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai
20
M. Solly Lubis dalam Muhammad Yamin, Gadai Tanah Sebagai Lembaga Pembiayaan Rakyat Kecil,
Medan : Pustaka Bangsa Press, 2004, halaman 36
Universitas Sumatera Utara
organisasi seluruh rakyat Indonesia. Kemudian pada ayat 2 diuraikan bahwa hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa”.
Dalam penjelasan UUPA dijelaskan bahwa pengertian ”dikuasai” bukan berarti ”dimiliki” akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada
Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk melakukan wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat 2 UUPA tersebut.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa kekuasaan negara mengenai tanah mencakup tanah yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan negara
mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberikan kekuasaan kepada yang
mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut.
Sedangkan kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh, artinya negara
dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya.
Universitas Sumatera Utara
Isi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai sumber daya alam oleh negara tersebut semata-mata bersifat publik yaitu wewenang untuk mengatur
wewenang regulasi dan bukan wewenang untuk menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang
bersifat peribadi.
21
Secara teoritis, penyebutan ketentuan konstitusional mengenai Hak Menguasai dari Negara ini sesungguhnya bersifat deklaratif, artinya dengan atau tanpa
penyebutan ketentuan tersebut setiap negara tetap mempunyai hak menguasai negara. Namun demikian, ketentuan tersebut tetap penting untuk mengkonfirmasi eksistensi
dari hak menguasai negara tersebut dan menunjukkan sifat hubungan antara negara dan tanah.
22
Sejalan dengan hal tersebut di atas, maka pada Pasal 2 dan 4 UUPA mengatur bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, dan atas dasar hak menguasai dari negara tersebut ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang
dapat diberikan kepada perorangan maupun badan hukum subyek hak. Hak-hak atas tanah tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah
yang bersangkutan sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
21
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria, Yogyakarta :
Citra Media, 2007, halaman 5
22
Oloan Sitorus dan HM Zaki Sierrad, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar dan Implementasi
, Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2006, halaman 60
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dan dalam batas-batas menurut ketentuan peraturan perundangan.
Dengan kata lain mengalokasikan kekuasaan hak atas tanah oleh negara kepada orang atau badan hukum yang dilakukan secara terukur supaya dapat
digunakan bagi kelangsungan hidup setiap orang secara bersama-sama.
23
Dari ketentuan yang terdapat dalam UUPA dapat dilihat bahwa Negara memberikan hak-hak atas tanah kepada perorangan atau badan hukum subyek hak,
bahkan menjamin, mengakui, melindungi hak-hak tersebut untuk dimanfaatkan dalam rangka mensejahterakan kehidupannya dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-
wenang oleh siapapun. Akan tetapi Negara tidak hanya memberikan begitu saja hak-hak atas tanah
tersebut kepada subyek hak untuk dimanfaatkan dalam rangka mensejahterakan kehidupannya, tetapi Negara juga memberikan jaminan kepastian hukum terhadap
hak-hak atas tanah tersebut melalui pendaftaran tanah. Kegiatan pendaftaran tanah menurut Pasal 19 ayat 2 meliputi :
1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; 2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak atas tanahnya;
3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
23
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996, halaman 33.
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan pendaftaran tanah baik untuk pendaftaran pertama kali maupun untuk pendaftaran yang berkelanjutan berupa pendaftaran peralihan haknya, baru
dapat dilakukan apabila subyek hak dapat membuktikan adanya hubungan hubungan baik yang bersifat keperdataan perorangan maupun bersifat publik tanah yang
dikuasai oleh instansi Pemerintah atau tanah hak ulayat masyarakat hukum adat antara subyek hak dengan tanahnya.
24
Hubungan hukum tersebut dapat dibuktikan dengan cara menguasai secara fisik tanah yang bersangkutan dan atau mempunyai bukti yuridis atas penguasaan
tanahnya Bukti yuridis atas penguasaan tanah tersebut dapat saja dalam bentuk
keputusan dari pejabat di masa lalu yang berwenang memberikan hak penguasaan kepada subyek hak untuk menguasai tanah dimaksud dan dapat juga dalam bentuk
akta otentik yang diterbitkan oleh pejabat umum yang menunjukkan tanah tersebut diperolehnya
akibat adanya
perbuatan hukum
berupa perjanjian
pemindahanperalihan hak atau dapat juga melalui pembukaan tanah menurut sistem hukum adat.
Bila dikatakan perolehan hak atas tanah, maka tersirat adanya perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hak, hal ini sejalan dengan pengertian perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan yang dikembangkan oleh Pasal 1 angka 2 Undang-
24
Hak Ulayat adalah hak atas tanah yang berdasarkan pada Hukum Adat yang merupakan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya.
Hubungan hukum tersebut berisi wewenang dan kewajiban Maria SW. Sumardjono, Tanah Dalam Perspketif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya
, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2008, halaman 170
Universitas Sumatera Utara
Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Tanah dan atau Bangunan BPHTB yakni perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya
hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan, seperti jual beli, tukar-menukar, hibah, wasiat, hibah wasiat, pewarisan dan lain-lain, yang
pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur undang-undang.
Namun perolehan hak atas tanah juga termasuk dalam hal perbuatan hukum orang untuk mendapatkan tanah dengan melakukan penguasaan tanah secara fisik
berupa penggarapan atau pembukaan tanah. Bahkan lahirnya pemilikan tanah bagi individu menurut sistem hukum adat
umumnya diawali dengan pembukaan tanah yang diberitahukan kepada persekutuan hukum dan diberikan tanda bahwa tanah itu telah digarap.
25
Dari pembukaan tanah tersebut apabila terus dikuasai dan diusahakan secara terus menerus dan mendapat persetujuan pemerintahan desapersekutuan adat akan
melahirkan hak wenang pilih lalu menjadi hak menarik hasil, selanjutnya jika dari upaya penguasaan dan pengusahaan tanah tersebut telah beberapa kali panen dan
tetap mengolah tanahnya secara tidak terputus lalu diperolehnya hak milik atas tanah.
26
25
Mukhtar Wahid, Op.cit, halaman 59
25
Mukhtar Wahid, Op.cit, halaman 59
26
Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 2006, halaman 78- 79
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu penguasaan dan pengusahaan atas tanah merupakan hal penting dalam mengatur lalu lintas hukum di bidang pertanahan. Penguasaan tersebut
dapat juga sebagai permulaan adanya hak, bahkan ada yang menyebut penguasaan tanah tersebut sudah merupakan suatu ”hak”. Kata ”penguasaan” menunjukkan
adanya suatu hubungan antara tanah dengan yang mempunyainya.
27
Hubungan hukum tersebut berupa hubungan nyata manusia dengan tanah, sebab tanpa hubungan nyata tersebut maka tidak akan lahir suatu hak apapun atas
tanah.
28
Artinya ada sesuatu hal yang mengikat antara orang dengan tanah tersebut, ikatan tersebut ditunjukkan dengan suatu tanda bahwa tanah tersebut telah dikuasai
dan dimilikinya. Tanda tersebut bisa berbentuk fisik maupun bisa berbentuk bukti tertulis.
Menurut Boedi Harsono, hubungan penguasaan dapat dipergunakan dalam arti yuridis maupun fisik.
29
Penguasaan dalam arti yuridis maksudnya hubungan tersebut ditunjukkan dengan adanya alas hak dari penguasaan tanahnya, apabila telah ada alas
hak, maka hubungan tanah dengan obyek tanahnya sendiri telah dilandasi dengan suatu hak.
Sedangkan penguasaan tanah dalam arti fisik menunjukkan adanya hubungan langsung antara tanah dengan yang empunya tanah tersebut, misalnya didiami dengan
27
Badan Pertanahan Nasional, Hak Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional, Jakarta, 2002, halaman 18
28
Mukhtar Wahid, op.cit., halaman 61
29
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta : Penerbit Djambatan, 1994, halaman 19
Universitas Sumatera Utara
mendirikan rumah tinggal atau ditanami dengan tanaman produktif untuk tanah pertanian.
Penguasaan tanah dapat menjadi pertanda adanya pemilikan dan hal tersebut juga dapat merupakan permulaan adanya atau diberikannya hak atas tanah, dengan
perkataan lain penguasaan tanah secara fisik merupakan salah satu faktor utama dalam rangka pemberian hak atas tanahnya, sungguhpun penguasaan tanah dapat saja
dilakukan oleh orang yang tidak berhak atau hanya sebagai penyewa. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, dapat dijelaskan bahwa sekalipun tidak ada alat-alat bukti penguasaan secara yuridis, namun apabila dalam kenyataan bidang tanah tersebut
telah dikuasai secara fisik secara terus menerus selama 20 tahun dengan itikat baik, maka dapat dilegitimasi penetapanpemberian haknya kepada yang bersangkutan
dengan memberikan alat bukti tertulis. Penguasaan tanah tersebut dapat dikatakan lengkap untuk disebut sebagai
pemilikan tanah apabila didukung oleh bukti tertulis berupa surat-surat tanah yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.
Jadi faktor penguasaan secara fisik tersebut masih harus diikuti dengan syarat- syarat tertentu sehingga dapat dikatakan sebagai pemilikan atau permulaan adanya
hak yakni dilakukan secara terus menerus, dengan jangka waktu tertentu dan dilakukan dengan itikat baik, sebaiknya dilengkapi dengan bukti tertulis, baru
kemudian dapat diberikan tanda bukti penguasaannya.
Universitas Sumatera Utara
Unsur jangka waktu tersebut ditentukan secara limitatif yakni minimal 20 dua puluh tahun, namun unsur itikat baik tidak ada dijelaskan pengertiannya. Hal itu
dimengerti karena itikat baik itu sendiri tidak ada pengertian yang diterima secara universal, hanya saja pengertian itikat baik memiliki dua dimensi, pertama dimensi
subyektif yang berarti mengarah kepada makna kejujuran, sedang dimensi kedua dimensi obyektif yang berarti kerasionalan dan kepatutan atau keadilan.
30
Terhadap pemilikan dan penguasaan tanah yang dibuktikan dengan alat bukti secara tertulis dapat disebut juga alas hak. Alas hak diartikan sebagai bukti pemilikan
atau penguasaan atas tanah secara yuridis dapat berupa alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang
mempunyai tanah, dapat juga berupa riwayat pemilikan tanah yang pernah diterbitkan oleh pejabat pemerintah sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang
berwenang. Alas hak secara yuridis ini biasanya dituangkan dalam bentuk tertulis dengan
suatu surat keputusan, surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di bawah tangan dan lain-lain.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997, alas hak tersebut diberi istilah data yuridis, yakni keterangan mengenai
30
Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, halaman 347
Universitas Sumatera Utara
status hukum bidang tanah, pemegang haknya, dan pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.
Secara perdata, dengan adanya hubungan yang mempunyai tanah dengan tanahnya yang dibuktikan dengan penguasaan fisik secara nyata di lapangan atau ada
alas hak berupa data yuridis berarti telah dilandasi dengan suatu hak, tanah tersebut sudah berada dalam penguasannya atau telah menjadi miliknya.
Pemilikan atas tanah secara yuridis selalu mengandung kewenangan untuk menguasai fisik tanahnya, oleh karena pemilikan secara yuridis memberikan alas hak
terhadap adanya hubungan hukum mengenai tanah yang bersangkutan. Apabila tanahnya sudah dikuasai secara fisik dan sudah ada alas haknya, maka persoalannya
hanya menindaklanjuti alas hak yang melandasi hubungan tersebut menjadi hak atas tanah yang ditetapkan dan diakui oleh Negara agar hubungan tersebut memperoleh
perlindungan hukum. Proses penetapan dan pengakuan alas hak menjadi hak atas tanah disebut pendaftaran tanah yang produknya adalah sertipikat tanah.
Oleh karena itu alas hak sebenarnya sudah merupakan suatu legitimasi awal atau pengakuan atas penguasaan tanah oleh subyek hak yang bersangkutan, namun
idealnya agar penguasaan suatu bidang tanah juga mendapat legitimasi dari Negara, maka harus dilandasi dengan suatu hak atas tanah yang ditetapkan oleh Negara
Pemerintah. AP. Parlindungan menyatakan bahwa alas hak atau dasar penguasaan atas
tanah dapat diterbitkan karena penetapan pemerintah atau ketentuan peraturan perundangan, maupun karena suatu perjanjian khusus yang diadakan untuk
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan suatu hak di atas hak tanah lain misalnya Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik juga karena ketentuan konversi hak atas tanah.
Sedangkan ketentuan pendakuan maupun karena kadaluarsa memperoleh suatu hak dengan lembaga uitwijzingprocedure sebagaimana diatur dalam Pasal 548
KUH Perdata tidak dikenal dalam UUPA, sungguhpun pewarisan merupakan juga salah satu alas hak.
Alas hak itu sendiri adalah bukti penguasaan atas tanah secara yuridis dapat
berupa alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah, dapat berupa riwayat pemilikan tanah
yang pernah diterbitkan oleh pejabat pemerintah sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang berwenang. Alas hak secara yuridis ini biasanya
dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan, surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di bawah tangan dan
lain-lain
31
Dinyatakan juga bahwa alas hak
32
untuk tanah menurut UUPA adalah bersifat derivative
, artinya berasal dari ketentuan peraturan perundang-undangan dan dari hak-hak yang ada sebelumnya, seperti hak-hak adat atas tanah dan hak-hak yang
berasal dari hak-hak Barat,
33
dengan catatan dilakukan penyesuaian dengan ketentuan
31
AP. Parlindungan, Beberapa Masalah Dalam UUPA, Bandung : Mandar Maju, 1993, halaman 69-70.
32
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung : Mandar Maju, 2008, halaman 237.
33
AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 1993, halaman 3
Universitas Sumatera Utara
yang baru yang dalam Hukum Agraria dikenal dengan istilah konversi. Maksud dari konversi hak atas tanah tersebut adalah perubahan hak lama atas tanah menjadi hak
baru sebagaimana yang diatur dalam UUPA.
34
Sedang menurut AP. Parlindungan, konversi adalah bagaimana pengaturan dari hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk dalam
system UUPA.
35
Konversi dibagi dalam tiga jenis, yaitu 1 konversi hak yang berasal dari tanah hak barat yaitu hak eigendom, opstal, erfpacht; 2 konversi hak yang berasal dari
tanah hak Indonesia yaitu terhadap hak erfpach yang altijdurend, hak agrarische eigendom dan hak gogolan dan 3 konversi hak yang berasal dari tanah bekas
swapraja, yaitu terhadap hak anggaduh, hak grant, hak konsesi dan sewa untuk perumahan dan kebun besar.
36
Jadi secara normatif bukti penguasaan atau pemilikan atas suatu bidang tanah yang diterbitkan oleh pemerintah sebelumnya dasar penguasaanalas hak lama
masih tetap diakui sebagai dasar penguasaan atas tanah karena diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang
berlaku pada masa itu.
34
Ali Ahmad Chomzah, Hukum Agraria, Jilid-I Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2004, halaman 80.
35
AP. Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, Bandung : Mandar Maju, 1993, halaman 94.
36
Emri, Pelaksanaan Konversi Tanah Grant Sultan di Kota Medan, Tesis, Medan, PPS USU, 2005, halaman 83.
Universitas Sumatera Utara
Hak-hak adat maupun hak-hak Barat yang dijadikan sebagai alas hak tersebut ada yang sudah didaftar pada zaman Hindia Belanda dan ada yang belum didaftar.
Pendaftaran hak atas tanah pada waktu itu hanya pada hak atas tanah yang tunduk pada KUH Perdata, sungguhpun ada juga orang-orang Bumi Putera yang mempunyai
hak atas tanah yang berstatus hak Barat selain golongan Eropa dan Timur Asing termasuk golongan China.
Untuk Golongan Bumi Putera umumnya tidak ada suatu hukum pendaftaran tanah yang bersifat uniform, sungguhpun ada secara sporadis ditemukan beberapa
pendaftaran yang sederhana dan belum sempurna seperti Grant Sultan Deli, Geran lama, Geran Kejuran, pendaftaran tanah yang terdapat di kepulauan Lingga-Riau, di
daerah Yogyakarta dan Surakarta dan di lain-lain daerah yang sudah berkembang dan menirukan system pendaftaran kadaster. Sebaliknya juga dikenal pendaftaran tanah
pajak, seperti pipil, girik, petuk, ketitir, letter C yang dilakukan oleh Kantor Pajak di Pulau Jawa.
37
Selain itu ditemukan juga alas hak atas tanah berupa surat-surat yang dibuat oleh para Notaris atau yang dibuat oleh Camat dengan berbagai ragam bentuk untuk
menciptakan bukti tertulis dari tanah-tanah yang dikuasai oleh warga masyarakat. Penerbitan bukti-bukti penguasaan tanah tersebut ada yang dibuat di atas
tanah yang belum dikonversi maupun tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara dan kemudian tanah dimaksud diduduki oleh rakyat baik dengan sengaja ataupun diatur
37
Ibid., halaman 76.
Universitas Sumatera Utara
oleh Kepala-kepala Desa dan disahkan oleh para Camat, seolah-olah tanah tersebut telah merupakan hak seseorang ataupun termasuk kategori hak-hak adat.
38
Khusus terhadap tanah yang dikuasai langsung oleh Negara yang telah dikuasai oleh seseorang, maka surat-surat tersebutlah yang dijadikan sebagai alas hak
atau bukti perolehan atau pemilikan tanah yang diajdikan sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengajukan permohonan pendaftaran tanahnya.
Bukti kepemilikan hak-hak atas tanah yang dapat diajukan sebagai kelengkapan persyaratan permohonan hak atas tanah yang diketegorikan sebagai alas
hak telah ditentukan secara limitatif dalam Penjelasan Pasal 24 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Pasal 60 ayat 1
Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah, yakni : a. Grosse
akta hak
eigendom yang
diterbitkan berdasarkan
Overschrijvingsordonantie Staatsblad 1834-27 yang telah dibubuhi catatan
bahwa hak eigendomnya dikonversi menjadi hak milik atau, b. Grosse
akta hak
eigendom yang
diterbitkan berdasarkan
Overschrijvingsordonantie Staatsblad 1834-27 sejak berlakunya UUPA sampai
tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 di daerah yang bersangkutan,
38
Ibid., halaman 3.
Universitas Sumatera Utara
c. Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan;
d. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 tahun 1959;
e. Surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban mendaftarkan
haknya, tetapi dipenuhi semua kewajiban yang ada f. Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang disaksikan oleh Kepala
AdatKepala DesaKelurahan yang dibuat sebelum PP ini; g. Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahya belum
dibukukan; h. Akta Ikrar Wakaf surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai
dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977; atau i. Risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang yang berwenang yang tanahnya
belum dibukukan; j. Surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil
oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; atau k. Petuk Pajak Bumi Landrente, girik, pipil, kekitir dan verponding Indonesia
sebelum berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961; l. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan; atau
Universitas Sumatera Utara
m. Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan-ketentuan Konversi
UUPA. Surat-surat yang dikategorikan sebagai alas hak atau data yuridis atas tanah
pada dasarnya merupakan keterangan tertulis mengenai perolehan tanah oleh seseorang, misalnya saja dengan berupa pelepasan hak bekas pemegang hak,
pernyataan tidak keberatan dari bekas pemegang hak tentunya setelah ada ganti rugi. Syarat ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 4 ayat 1 Peraturan Menteri
Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan
yang bunyinya sebelum mengajukan permohonan hak atas tanah, pemohon harus menguasai tanah yang dimohonkan yang dibuktikan dengan data yuridis dan data
fisik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
39
Selanjutnya Pasal 10 ayat 2, Pasal 18 ayat 2 angka 2, Pasal 34 angka 2 dan Pasal 50 angka 2 Peraturan tersebut ditentukan bahwa data yuridis atau alas hak
antara lain sertipikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah atau tanah yang dibeli dari Pemerintah, Akta PPAT, akta
pelepasan hak, putusan pengadilan, akta pelepasan kawasan hutan, akta pelepasan bekas tanah milik adat dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya.
39
Djoko Walijatun, Persyaratan Permohonan hak, Majalah Renvoy No. 10.34.III, Maret 2006, halaman 65.
Universitas Sumatera Utara
Penguasaan tanah tersebut menurut pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 adalah hubungan hukum antara orang-perorang, kelompok
orang, atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.
Setelah dibuktikan adanya hubungan hukum atau penguasaan atas tanah yang dimiliki oleh subyek hak, maka Pemerintah sebagai pemangku Hak Menguasai
Negara yang berwenang melakukan pengaturan dan menentukan hubungan- hubungan hukum antara orang dengan tanah, melaksanakan tugasnya memberikan
hak-hak atas tanah yang dibuktikan dengan penerbitan keputusan pemberian haknya. Sedangkan terhadap pemilikan atau penguasaan atas tanah yang ditandai
dengan adanya hak-hak lama berasal dari hak-hak Adat dan hak-hak Barat, dilakukan pengaturannya dengan menegaskan atau mengakui hak-hak lama
konversi. Selanjutnya kepada penerima hak atau yang ditegaskandiakui hak-hak
lamanya diterbitkan produk hukum berupa sertipikat tanah yang berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat dan memberikan jaminan kepastian hukum atas
penguasaanpemilikana tanahnya.
Kedua, mengenai Penggunaan Tanah, dalam hal ini perlu dibahas karena
pemilikan tanah berkaitan erat dengan penggunaan tanah, sebab penggunaan tanah selain dapat menjadi pertimbangan dalam penentuan jenis hak atas tanah yang akan
diberikan juga mempunyai kedudukan sangat penting dalam kehidupan dan penghidupan manusia, karena tanah dapat dimanfaatkan secara horizontal maupun
Universitas Sumatera Utara
vertikal, dengan fungsi tanah sebagai hasil, penghasil dan tempat, dalam hal ini secara horizontal dapat berupa yang ada di atas permukaan bumi berupa sumber daya hutan,
tanaman pangan dan berbagai jenis tanaman lainnya maupun secara vertikal yang tersimpan di tubuh bumi berupa sumber daya tambang dan sumber daya air.
40
Pembahasan tentang penggunaan tanah ini semakin relevan karena obyek yang diteliti adalah pemilikan atas suatu pulau, yang dalam pemanfaatannya
bersinggungan dengan aspek-aspek lain seperti aspek politik dan pertahanan keamanan serta rencana-rencana Pemerintah dengan pengaturan atas penggunaan,
peruntukan dan pemanfaatan tanah yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah. RTRW.
Terhadap penggunaan tanah ini dapat dilihat aturan hukumnya sebagaimana
dalam Pasal 14 ayat 1 UUPA yang menentukan bahwa Pemerintah diberikan
kewenangan membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya : 1. untuk keperluan negara;
2. untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
3. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
40
Mukhtar Wahid, op.cit, halaman 3
Universitas Sumatera Utara
4. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; dan
5. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan. Kemudian pada ayat 2 dinyatakan bahwa berdasarkan rencana umum
tersebut, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-
masing. Penjelasan umum UUPA point II angka 8 ditentukan bahwa dengan adanya
rencana planning tersebut maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan
rakyat. Sebagai tindak lanjut dari Pasal 14 UUPA, diterbitkan Undang Undang
Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang disempurnakan dengan Undang Undang Nomor 37 tahun 2007.
Pasal 1 angka 3 Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 disebutkan bahwa penatagunaan ruang adalah proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Selanjutnya pada Pasal 14 ayat 2 diatur bahwa perencanaan tata ruang
mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumber daya alam. Dalam hal ini
penatagunaan tanah merupakan bagian dari penatagunaan ruang.
Universitas Sumatera Utara
Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 jo. Undang Undang Nomor 37 tahun 2007 tersebut belum operasional khususnya mengenai penatagunaan tanah. Oleh
karena itu Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah.
41
Pengertian dari penggunaan tanah menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang
merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. Pada Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tersebut ditentukan
bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Kemudian dalam Pasal 8 diwajibkan kepada pemegang hak atas tanah untuk
menggunakan dan dapat memanfaatkan tanah sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah serta memelihara tanah dan mencegah kerusakan tanah.
Sungguhpun demikian, dalam Pasal 9 dan 10 ditentukan bahwa pentapan Rencana Tata Ruang Wilayah tidak mempengaruhi status hubungan hukum atas
tanah, hanya saja penyelesaian administrasi pertanahan dilaksanakan apabila pemegang hak atas tanah memenuhi syarat-syarat menggunakan dan memanfaatkan
tanahnya sesuai dengan Rencana Tata Ruang. Selanjutnya dalam Pasal 11 ditegaskan bahwa terhadap tanah dalam kawasan
lindung dan kawasan cagar budaya yang belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan hutan dan pada lokasi situs.
41
Suardi, Hukum Agraria Jakarta : Badan Penerbit Iblam, 2005, halaman 91
Universitas Sumatera Utara
Hanya saja sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat 1 penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus sesuai dengan
fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah. Hal yang khusus diatur dalam Pasal 15 yang sesuai dengan obyek penelitian
ini, yakni penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang- bidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, sempadan waduk dan
atau sempadan sungai harus memperhatikan : a kepentingan umum; b keterbatasan daya
dukung, pembangunan
yang berkelanjutan,
keterkaitan ekosistem,
keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan. Dengan demikian, terdapat pengaturan penggunaan dan pemanfaatan tanah
dalam kawasan tertentu termasuk pada kawasan pulau-pulau kecil dengan persyaratan yang sedemikian rupa yang dikaitkan dengan kepentingan umum dan isu lingkungan
hidup.
Ketiga, mengenai keberadaan pulau, dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah pulau-pulau kecil. Pengertian dari pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 dua ribu kilometer persegi beserta kesatuan
ekosistemnya.
42
Penguasaan dan penggunaan tanah juga pendaftarannya termasuk yang berada di pulau-pulau kecil sejatinya menjadi obyek yang diatur dalam Undang Undang
Pokok Agraria sebagaimana diatur dalam Pasal 1, 2, 14 dan 19 UUPA.
42
Pasal 1 angka 3 Undang Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Universitas Sumatera Utara
Khusus tentang pengaturan penatagunaan tanahnya, telah ada disinggung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
Dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 ditentukan bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang-bidang
tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, sempadan waduk dan atau sempadan sungai, harus memperhatikan : a kepentingan umum dan ; b keterbatasan
daya dukung,
pembangunan yang
berkelanjutan, keterkaitan
ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan.
Dalam penjelasan pasal tersebut diuraikan bahwa pulau kecil adalah pulau yang luasan dan jumlah penduduknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pada hakekatnya pulau kecil dan kawasan pesisir khususnya yang berkaitan dengan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan di bidang-bidang tanah
yang berada di sepanjang pantai memiliki keunikan tersendiri baik dari segi kegiatan sosial, ekonomi, lingkungan dan sumber daya alam lainnya.
Hanya saja ketentuan tentang pemilikan dan penguasaan tanahnya di pulau- pulau kecil, termasuk pemberian hak dan pendaftaran tanahnya, hingga saat ini belum
ada pengaturannya, sebab berdasarkan Pasal 60 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dinyatakan
bahwa pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas sebidang tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau berbatasan dengan pantai akan
diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Bahkan berdasarkan Surat Edaran Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 500-1197 Tanggal 3 Juni 1997 dinyatakan bahwa
permohonan hak atas tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau berbatasan dengan pantai untuk tidak dilayani sampai dikeluarkannya Peraturan Pemerintah yang
mengatur hal tersebut. Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah tersebut hingga saat ini belum diterbitkan.
Namun dengan terbitnya Undang Undang Nomor 27 tahun 2007, telah mengambil obyek yang sama untuk diaturnya yakni wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil, sebab pengertian dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya
pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara lebih jelas diatur dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Ruang lingkup
pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah
darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 dua belas mil laut diukur dari garis pantai.
Dengan adanya pengaturan dalam Undang Undang Nomor 27 tahun 2007 tersebut, maka dalam penelitian akan dilihat juga tentang pengaturan dalam pemilikan
tanah di pulau-pulau kecil.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pengaturannya, pulau-pulau kecil selalu disandingkan dengan kawasan pesisir atau kawasan pantainya, karena pulau-pulau kecil tersebut dikelilingi pantai
atau pesisir. Oleh karena itu membicarakan masalah pulau-pulau kecil tidak lepas dari masalah kawasan pantainya.
Pengaturan tentang kawasan pantai atau disebut juga dengan sempadan pantai menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian fungsi pantai. Kawasan pantai atau sempadan pantai tersebut termasuk salah satu bagian dari
kawasan lindung.
43
Hal itu dapat dilihat dari penjelasan Pasal 4 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang menjelaskan
bahwa : ”kawasan Lindung tersebut meliputi kawasan yang memberikan perlindungan
kawasan bawahannya yang mencakup kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, kawasan perlindungan setempat yang mencakup sempadan
pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danauwaduk, kawasan sekitar mata air, kawasan terbukit hijau termasuk di dalamnya hutan kota, kawasan suaka alam yang
mencakup kawasan cagar alam, suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam yang
43
Kawasan Lindung menurut ketentuan Pasal 1 angka 21 Undang Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
Universitas Sumatera Utara
mencakup taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, kawasan cagar budaya, kawasan rawan bencana alam yang mencakup antara lain kawasan rawan
letusan gunung api, gempa bumi, tanah longsor serta gelombang pasang dan banjir, kawasan lindung lainnya mencakup taman buru, cagar biosfir, kawasan perlindungan
plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa dan kawasan pantai berhutan bakau”. Menurut ketentuan Pasal 14 Keputuasn Presiden Nomor 32 Tahun 1990,
kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi
ke arah darat. Hal itu dikuatkan lagi dalam Pasal 56 Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun
2008 tentang Rencana Umum Tata Ruang Nasional, yang menentukan bahwa sempadan pantai ditetapkan dengan kriteria :
1. Daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 seratus meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat; atau;
2. Daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai.
Tentang pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah pada kawasan pantai tersebut, Pasal 11 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Pentagunaan Tanah menentukan bahwa terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan
hutan, dengan catatan sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 13 bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus sesuai
Universitas Sumatera Utara
dengan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak boleh mengganggu fungsi alam, tidak mengubah benteng alam dan ekosistem alami.
Dengan demikian, sekalipun tanah yang berada di daerah kawasan lindung, termasuk di dalamnya kawasansempadan pantai, maka kawasan tersebut tetap dapat
diakui penguasaan oleh orang-orang atau badan hukum atas tanah tersebut, namun penggunaan atas tanah pada kawasan tersebut harus disesuaikan dengan fungsi
kawasan dan juga ketentuan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah setempat. Pemilikan tanah pada kawasan sempadan pantai dapat dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka sudah barang tentu, pemilikan tanah di daratannya berupa pulau-pulau kecil diakui, hanya saja tidak dapat
dilindungi sepenuhnya karena berkaitan dengan adanya kepentingan negara yang lebih besar seperti kepentingan politik, pertanahan dan keamanan.
Untuk menghindari kesimpangsiuran mengenai pengertian istilah-istilah yang dipakai dalam penulisan tesis ini, perlu dikemukakan definisi operasional dari istilah-
istilah tersebut. Hak
artinya kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh undang undang, aturan dsb.
44
Kepemilikan kata dasarnya milik, artinya kepunyaan, pemilikan adalah perbuatan, proses, cara, perbuatan memiliki,
sedangkan kepemilikan adalah perihal pemilikan.
45
44
Pusat Bahasa-Departemen Pendidikan Nasional, op.cit., halaman 474
45
Ibid, halaman 914
Universitas Sumatera Utara
Penguasaan tanah dimaksudkan dalam hal ini sesuai dengan yang ditentukan
dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah adalah hubungan hukum antara orang-perorang, kelompok
orang, atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.
Pulau adalah tanah daratan yang dikelilingi air di laut, sungai atau danau.
46
Wilayah artinya daerah kekuasaan, pemerintahan, pengawasan dsb atau lingkungan
daerah provinsi, Kabupaten, Kecamatan,
47
atau ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan aspek fungsional.
48
Pulau Batam , adalah salah satu kepulauan yang ada Provinsi Kepulauan Riau
yang terdiri dari beberapa pulau, di antaranya pulau yang relatif besar adalah Pulau Batam sendiri, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan pulau-pulau sekitarnya, luas
wilayah Pulau Batam sekitar 415 km2 namun apabila disebutkan Kepulauan Batam luasnya mencapai 715 km2.
49
Dengan demikian, terdapat pengertian yang tegas dan jelas dari istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini, sehingga tidak akan timbul salah tafsir
dalam rangka memahami substansinya secara utuh.
46
Ibid, halaman 1115
47
Ibid, halaman 1562
48
Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008
49
http:www.Batam.go.id
Universitas Sumatera Utara
G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian