Telah diuji pada Tanggal : 22 Januari 2011
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Anggota :
1. Prof. Sanwani Nasution, SH 2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
3. Dr. Dedi Harianto, SH, MHum 4. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Pembukaan tanah di suatu tempat termasuk di suatu pulau merupakan awal dari lahirnya kepemilikan tanah bagi individu, yang menurut hukum adat harus
dikuasai secara terus menerus. Penguasaan tanah merupakan unsur utama lahirnya hak atas tanah. Bukti pemilikan dan penguasaan atas tanah secara tertulis disebut
sebagai alas hak. Sekalipun telah ada penguasaan fisik dan ada alas hak, namun pemilikan tanah yang berada pada suatu pulau tidak serta merta memberikan hak
sepenuhnya kepada penghuni, sebab keberadaan suatu pulau tidak saja untuk kepentingan pribadi penghuninya, tetapi ada aspek politik dan pertahanan keamanan.
Untuk itu perlu diteliti aspek kepemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah tersebut di suatu pulau.
Untuk mengkaji hal tersebut dilakukan penelitian bersifat deskriptif kualitatif,
dengan metode pendekatan yuridis normatif dan dianalisis dengan kenyataan di lapangan, dengan mengambil sumber data dari data sekunder.
Dari hasil temuan penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Pola kepemilikan dan penguasaan atas tanah di wilayah Pulau Batam khususnya
di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat didasarkan pada penguasaan fisik oleh penduduk dan diakui oleh aparat pemerintah daerah yang didukung oleh alas hak
yang diterbitkan oleh aparat kelurahan, Namun kepemilikan tanah oleh masyarakat belum dapat disertipikatkan karena terbentur dengan aturan
pengelolaan Pulau Batam yang diberikan Hak Pengelolaan kepada Otorita Batam, juga belum adanya ketentuan khusus yang mengatur penetapan hak atas
tanah yang berada di pulau-pulau kecil.
2. Pelaksanaan penggunaan tanah di wilayah Pulau Batam terdapat dualisme, yakni dilakukan oleh Otorita Batam berdasarkan pemberian Hak Pengelolaan dan juga
dilakukan oleh Pemerintah Kota Batam, pada kenyataannya penggunaan tanah tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan RTRW Kota Batam baik
oleh Pemerintah Daerah maupun oleh warga masyarakat.
3. Perlindungan hukum terhadap kepemilikan rakyat atas tanah di Pulau Batam hanya secara minimal, yakni dengan cara menolak permohonan pendaftaran Hak
Pengelolaan apabila masih ada penguasaan rakyat di atasnya. Seharusnya dilakukan secara maksimal dengan melakukan pendaftaran atas tanah milik
rakyat.
Terhadap hal tersebut di atas, maka disarankan agar aspek pemilikan dan penguasaan tanah menjadi pertimbangan dalam pemberian hak atas tanah di Pulau
Batam dan dapat disertipikatkan tanah milik rakyat tersebut atau diberikan hak atas tanah di atas Hak Pengelolaan.
Kata Kunci : Pemilikan, penguasaan dan penggunaan, Pemberian perlindungan
hukum, Hak atas tanah di suatu pulau
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Land opening in one place including in one island is the beginning of the land ownership for someone, which based on customary law must be informed to customary
people and must be given a special mark. Land ownership are the main elements of the birth of land rights. Written land ownership which explains legal relationship between
the land and its owner called land title. Eventhough there are control over land and land title as ownership evidence, however land ownership in one island is not automatically
given to people who live there, but there are other aspects, such as political aspect and security aspect. Therefore it is important to investigate ownership aspect, land control
and land use in one island. Based on those things, it is needed to study about the implementation of land management, land ownership, land control and land use of one
island.
Descriptive-Qualitative research is used to study this research, with normative law approaching method which based on regulations and analyzed based on fact on the
field by taking secondary data sources. Based on research, it is conklused that :
1. Land ownership and Land Control on islands located in Batam Island especially in
Sekikir Island and Bulat Island based on physical control by people and admitted by the local government and supported by written ownership rights enacted by village
apparatus aparat kelurahan. However, land ownership of the people could not be certificated because it is collided by management regulation of Batam island
stipulated by President, by the handover of Rights of Management to Batam Authority Government over Batam Island and surrounding areas.
2. There are dualism of the implementation over land use over islands in Batam area,
done by Batam Authority based on Rights of Management to plan land use, and done by Batam Local Government. In fact, that land use has not been fully implemented
on field based on regional spatial planning of Batam Local Government Regulation No. 20 Year 2001 jo. No. 2 Year 2004 either by Local Government or by people.
3. Law protection of people’s land ownership in Batam Island is minimum, by refusing
application of rights of management registration if there is occupation by people. It should be done maximally by implementing land registration of people’s land,
because by registrating people’s land, land registration to reach legal protection for land owner.
Based on those things abovementioned, it is suggested that ownership aspect and land control become consideration on land issues in Batam Island and people’s land
could be certificated or could be given Rights of Management. Land use aspect should be implemented based on Regional Spatial Planning of Batam City and confirmed through
decree and certificate. Keywords : Ownership, Control and Use, Conferment of legal protection, Land rights
of an island
Universitas Sumatera Utara
B A B I P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang Permasalahan
Negara Indonesia disebut sebagai negara kepulauan, karena berdasarkan data yang ada, terdapat sekitar 17.508 tujuh belas ribu lima ratus delapan buah pulau
besar dan kecil dengan pulau utama yaitu Pulau Kalimantan, Pulau Irian atau Papua, Pulau Sulawesi, Pulau Sumatera dan Pulau Jawa.
Di samping itu, negara Indonesia wajar disebut negara kepulauan karena secara gramatikal, kata Indonesia berasal dari Bahasa Yunani, yakni ”Indos” yang
berarti ”India” dan ”Nesos” yang berarti ”Pulau”. Berdasarkan asal kata tersebut, Indonesia bermakna Kepulauan India atau kepulauan yang berada di wilayah India.
Selain dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia juga tercatat sebagai negara dengan garis pantai terpanjang nomor dua setelah Kanada.
1
Gugusan pulau-pulau yang ada di Indonesia ada yang ditempati dan ada yang tidak ditempati oleh manusia, bahkan masih banyak yang belum diberi nama. Pulau-
pulau yang ditempati oleh manusia umumnya adalah pulau-pulau yang besar, sedangkan pulau-pulau yang tidak ditempati biasanya pulau-pulau kecil yang tidak
tersedia sumber daya alam untuk mendukung kelangsungan kehidupan manusia di dalam pulau tersebut, seperti ketersediaan bahan kebutuhan pokok manusia.
1
Gamal Komandoko, Ensiklopedia Pelajar dan Umum, Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2010, halaman 7
1
Universitas Sumatera Utara
Apabila pulau-pulau tersebut dihuni oleh manusia, maka manusia membutuhkan bidang-bidang tanah yang merupakan bagian-bagian kecil dari pulau
tersebut baik untuk membangun rumah tempat tinggalnya perumahan maupun untuk tempat berusaha mencari nafkah sehari-hari berupa lahan pertanianperladangan non-
perumahan. Manusia yang menghuni pulau-pulau tersebut semula melakukan pembukaan
tanah baik sendiri maupun berkelompok, selanjutnya diusahai dengan bertani atau berladang.
Pembukaan tanah di suatu tempat tertentu termasuk di suatu pulau merupakan awal dari lahirnya kepemilikan tanah bagi individu atau kelompok, yang menurut
hukum adat pembukaan tanah tersebut haruslah diberitahukan kepada persekutuan hukum dan diberi tanda tertentu.
2
Selanjutnya tanah yang dibuka tersebut dijadikan sebagai tempat berusaha dan atau di atasnya dibangun tempat tinggal yang dikuasai oleh masing-masing orang
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, selanjutnya penguasaan tanah tersebut berlangsung secara terus menerus dan bahkan turun temurun.
Penguasaan tanah yang dilakukan secara terus-menerus menimbulkan hubungan nyata manusia dengan tanah, sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan
2
Mukhtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Jakarta : Republika, 2008, halaman 59
Universitas Sumatera Utara
dan tindakan pengolahan nyata atas tanah adalah unsur utama lahirnya hak atas tanah.
3
Berdasarkan penguasaan dan tindakan pengolahan nyata atas tanah secara berkesinambungan tersebut, penghuni di pulau-pulau dimaksud mempunyai
hubungan hukum dengan tanah yang ditempati dan diusahakannya, kemudian hubungan hukum tersebut diakui oleh penguasa adat setempat atau pemerintah
lokaldaerah yang bersangkutan yang ditandai dengan pengakuan secara tertulis maupun secara lisan.
Pengakuan secara tertulis dapat berbentuk surat pernyataan atau surat keterangan atau surat keputusan dari pejabat yang berwenang yang menyatakan
bahwa yang bersangkutan benar menguasai dan mengusahakan bidang tanah tertentu dan tidak ada pihak lain yang mempermasalahkannya.
Bukti penguasaan atas tanah secara tertulis yang menerangkan adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah disebut sebagai alas
hak.
4
Apabila sudah ada alas hak, maka tanah yang dikuasai tersebut telah membenarkan kepunyaan dari yang menguasainya dan kata ”kepunyaan” secara
keperdataan dapat juga dikatakan sebagai ”milik”.
3
Ibid . halaman 61
3
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung : Mandar Maju, 2008, halaman 234
4
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung : Mandar Maju, 2008, halaman 234
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat juga merumuskan milik sebagai suatu hak dan hak milik itu merupakan suatu klaim yang dapat dipaksakan oleh masyarakat atau negara, oleh
adat, kesepakatan dan hukum. Para ahli juga selalu menganggap milik sebagai suatu hak yang berarti klaim yang dapat dipaksakan, ancaman paksaan untuk menjamin
suatu hak yang dipandang bersifat asasi, karena milik itu perlu merealisasikan alam fundamental manusia, oleh karena itu milik adalah sesuatu hak alamiah.
5
Akan tetapi sekalipun telah ada alas hak atau penguasaan secara fisik dan pengolahan nyata atas tanah atau juga bahkan telah disebut sebagai kepunyaan atau
kepemilikan atas tanah, maka pemilikan atau penguasaan atas tanah yang berada pada suatu pulau, tidak serta merta memberikan hak dan keleluasaan kepada penghuninya
untuk menguasai sepenuhnya, sebab keberadaan suatu pulau tidak saja untuk kepentingan pribadi penghuninya dan masyarakat setempat, tetapi ada aspek-aspek
lain yang melingkupinya, seperti aspek politik dan pertahanan keamanan. Oleh karena itu keberadaan suatu pulau mempunyai arti yang strategis,
karena di atasnya ada kepentingan ekonomi orang-perorang dan masyarakat setempat dan juga ada kepentingan politik dan keamanan dari negarapemerintah.
Adanya berbagai kepentingan yang diletakkan di atas suatu pulau tersebut, tentunya diperlukan pengaturan yang memberikan jaminan kepastian hukum terhadap
penguasaan dan penggunaan tanahnya sehingga kepentingan para pihak tersebut
5
Aslan Noor, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Rakyat Indonesia, Ditinjau Dari Ajaran Hak Asasi Manusia
, Bandung : Mandar Maju, 2006, halaman 27
Universitas Sumatera Utara
tidak saling berbenturan dan saling meniadakan dan tujuan pemanfaatan pulau baik secara ekonomi, sosial maupun secara politik dapat tercapai.
Pengaturan terhadap penguasaan dan penggunaan tanah yang ada di pulau- pulau mengacu kepada pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah di atas
permukaan bumi pada pada umumnya, yakni untuk kepentingan pemerintah maupun kepentingan rakyat.
Dalam hal ini kepentingan rakyat berkaitan dengan hak-hak yang dapat dikuasai dan dimiliki atau dapat diberikan oleh Negara kepada rakyatnya atas obyek
tanah tertentu yang berada di atas suatu pulau. Menyangkut hak-hak rakyat tersebut, konstitusi Negara menjamin adanya
hak-hak dasar rakyat, tidak hanya terhadap hak-hak atas tanah tetapi juga terhadap hak-hak dasar lainnya yang memang diemban oleh rakyat dan wajib dilindungi oleh
negara. Hak-hak dasar merupakan kondisi dasar yang harus ada dan tersedia dalam
kehidupan, baik yang sifatnya individual maupun kolektif. Hak-hak dasar yang lahir oleh karena proses kesejahteraan dan proses perjalanan bangsa selama ini yang
mewujud dalam banyak hal, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rasa aman, rasa nyaman, kebebasan, keadilan dan dalam berbagai bentuk lainnya.
Hampir semua hal yang berkaitan dengan hak-hak dasar rakyat langsung atau tidak langsung berkaitan dengan persoalan pertanahan. Hak-hak dasar rakyat yang
mewujud dalam bentuk keadilan, misalnya seperti tidak berkaitan dengan pertanahan, tetapi karena tanah dan pertanahan merupakan sumber-sumber utama kemakmuran,
Universitas Sumatera Utara
sumber utama ekonomi dan bahkan politik, maka pengaturan penataan, penguasaan dan pemilikannya menjadi indikator penting dari keadilan.
6
Menyangkut masalah pertanahan yang disebut sebagai sumber-sumber utama kesejahteraan dan menjadi indikator penting dari keadilan dikonstatir dalam Pasal 33
ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Penggunaan bumi, air dan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat tersebut menunjukkan bahwa tujuan pemanfaatannya semata-mata untuk mensejahterakan rakyat sekaligus dengan memperhatikan aspek keadilan yang
ditunjukkan dari kata sebesar-besarnya, artinya hasil dari penggunaan dan pemanfaatan bumi, air dan kekayaan alam tersebut bukan untuk perseorangan atau
kelompok tertentu tetapi untuk rakyat banyak. Selanjutnya kebijakan di bidang pengelolaan bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sumber daya agraria diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
atau disebut juga dengan Undang-undang Pokok Agraria UUPA. Kemudian aturan tersebut ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat organik, baik dalam bentuk
6
Joyo Winoto, Kepala Badan Pertanahan Nasional, pengarahan pada pembukaan Simposium Nasional tentang Secondary Mortgage Facility SMF di Denpasar-Bali, Desember 2005 sebagaimana
dimuat Majalah Renvoy, No. 32Th.IIIJanuari 2006, halaman 12
Universitas Sumatera Utara
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden, peraturan menteri, keputusan menteri dan lain-lain.
Pasal 2 UUPA mengatur bahwa “bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
negara”. Pengertian bumi meliputi permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di atasnya, pengertian air adalah perairan pedalaman
maupun laut wilayah Indonesia, sedang pengertian ruang angkasa adalah ruang di atas bumi dan di atas perairan.
7
Lingkup permukaan bumi tersebut meliputi tanah yang ada di seluruh Indonesia sesuai dengan konsep kesatuan seluruh wilayah Indonesia sebagai kesatuan
tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, maksudnya tanah tidak semata-mata hak dari pemiliknya tetapi juga merupakan hak bersama rakyat Indonesia yang merupakan
semacam hubungan hak ulayat Bangsa Indonesia.
8
Kemudian Pasal 4 UUPA menentukan bahwa atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak
atas tanah yang dapat diberikan kepada perorangan maupun badan hukum subyek hak.
Hak-hak atas tanah tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
7
Pasal 1 ayat 4, 5 dan 6 UUPA.
8
Lutfi I Nasution, Pembaruan Agraria Dalam Konteks Pembangunan Ekonomi, Makalah disampaikan pada Seminar Reformasi Kembar Hukum dan Ekonomi, dalam rangka Dies Natalis ke-
52 USU, Medan, 14 Agustus 2004, halaman 9
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dan dalam batas-batas menurut ketentuan peraturan perundangan. Dengan kata lain mengalokasikan kekuasaan hak atas tanah
oleh negara kepada orang atau badan hukum yang dilakukan secara terukur supaya dapat digunakan bagi kelangsungan hidup setiap orang secara bersama-sama.
9
Oleh karena itu secara konsepsional, seluruh permukaan bumi tanah yang ada di seluruh wilayah Indonesia, sejatinya dapat dimiliki dan diberikan hak-hak atas
tanah kepada setiap warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk yang berada di kepulauan atau
merupakan pulau atau juga pulau-pulau kecil yang ada di seantero nusantara. Namun dalam tataran operasionalnya, hak-hak atas tanah tidak dapat
diberikan untuk seluruh permukaan bumi di seluruh Indonesia, karena sejak tahun 1967 terjadi perceraian beberapa sektor dari yang semula diatur dalam UUPA, yakni
ketika diterbitkan beberapa undang-undang yang bersifat sektoral. Undang-undang sektoral tersebut seperti Undang-undang Nomor 5 tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pertambangan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Undang-undang Nomor 11 Tahun
1974 tentang Pengairan telah diubah dengan Undang Undang Nomor 7 tahun 2004, Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang telah diubah dengan
9
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996, halaman 33.
Universitas Sumatera Utara
Undang Undang Nomor 26 tahun 2007 yang diharapkan sebagai suatu undang- undang yang akan disinkronkan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan bumi, air dan
ruang udara.
10
Saat ini telah diterbitkan pula Undang Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, yang obyeknya juga tanah yang
ada di pulau dan pesisir dan dalam pengelolaannya dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, tanpa menyebut keterlibatan instansi Badan Pertanahan
Nasional. Dengan adanya undang-undang yang bersifat sektoral tersebut, maka
kewenangan untuk memberikan hak-hak atas tanah dibatasi hanya sepanjang tidak mencakup lingkungan atau kawasan atau bidang-bidang tanah yang diatur oleh
undang-undang dimaksud. Di samping itu sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUPA bahwa terdapat
pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah untuk kawasan tertentu berdasarkan rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaannya, baik yang
disusun perencanaannya oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk : 1. keperluan negara;
2. keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya; 3. keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain
kesejahteraan;
10
AP Parlindungan, Komentar Atas Undang Undang Penataan Ruang Bandung : Mandar Maju, 1993, halaman. 2.
Universitas Sumatera Utara
4. keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; dan
5. keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan. Perencanaan yang bermaksud menyediakan tanah untuk berbagai keperluan
tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku diatur dalam Rencana Umum Tata Ruang RUTR yang dibuat secara hierarki mulai dari tingkat Nasional, Provinsi,
sampai KabupatenKota sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 jo Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Kemudian secara khusus yang mengenai bidang-bidang tanah telah ada pengaturan penataannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah, yang juga ada menyinggung tentang pengaturan pulau-pulau kecil.
Pulau-pulau tersebut yang merupakan ruang daratan merupakan kawasan penting dalam penguasaan dan penggunaan tanahnya karena selain dapat
dimanfaatkan untuk tempat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan pangan seperti usaha pertanian, peternakan, perikanantambak, industri dan pertambangan,
sumber energi, tempat penelitian dan percobaan, kawasan pariwisata juga dapat difungsikan untuk kepentingan yang lebih tinggi, antara lain menyangkut masalah
lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan atau kepentingan masyarakat setempat khususnya nelayan dan pekebun.
Sedang di sisi lain, kawasan pulau-pulau tersebut juga tidak tertutup kemungkinan ada yang hilang secara alami, baik karena abrasi pantai, tenggelam atau
Universitas Sumatera Utara
hilang karena naiknya permukaan laut disebabkan pemanasan global atau karena gempa bumi tsunami atau sebaliknya dapat saja bertambah luas karena munculnya
tanah timbul akibat gelombang laut. Selain itu, kawasan pulau-pulau tersebut juga dapat diperluas dengan cara ditimbun reklamasi untuk kepentingan tertentu.
Bahkan belakangan ini muncul kecenderungan pengkaplingan dan penjualan pulau-pulau oleh sekelompok orang, seperti kasus jual beli pulau Bidadari
di Nusa Tenggara Timur yang dijual oleh Haji Yusuf, penduduk setempat kepada pihak warga negara asing Ernest Lewandowski, Warga Negara Inggiris pada tahun
2006 lalu. Penjualan pulau tersebut mendapat reaksi beragam dari berbagai kalangan, termasuk Menteri Dalam Negeri saat itu M. Ma’ruf yang menyatakan pembelian
Pulau Bidadari oleh warga Inggiris tersebut menyalahi prosedur karena dilakukan di bawah tangan, padahal izin yang diberikan adalah untuk investasi.
11
Terjadinya jual beli pulau Bidadari tersebut menimbulkan persoalan tersendiri, apalagi dijual kepada orang asing, sebab dapat berpotensi menimbulkan
ancaman keamanan dalam konteks kenegaraan, juga jelas-jelas menyalahi aturan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UUPA yang melarang orang asing
mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan tanah yang ada di Indonesia. Mengingat urgennya fungsi dan manfaat pulau-pulau yang sebagian dapat
dimanfaatkan sebagai tempat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia namun sekaligus pemanfaatan yang tidak terencana dapat merusak ekosistem
11
Harian Republika, dengan judul Pulau Bidadari Dijual Di Bawah Tangan, terbitan tanggal 2 Maret 2006.
Universitas Sumatera Utara
sehingga perlu perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup di sekitarnya, maka berdasarkan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 ditentukan bahwa
penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang-bidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, waduk dan atau sempadan sungai,
harus memperhatikan kepentingan umum dan keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati
serta kelestarian fungsi lingkungan. Kemudian bagian dari pulau-pulau tersebut terdapat sempadan pantai, karena
itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 ditentukan bahwa kawasan sempadan pantai dikategorikan sebagai kawasan lindung atau kawasan
perlindungan setempat.
12
Semula oleh UUPA tidak ada diatur mengenai pulau-pulau dan sempadan pantai tersebut apakah dapat diberikan hak-hak atas tanah, selanjutnya berdasarkan
Pasal 60 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dinyatakan bahwa pemberian Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai
13
atas sebidang tanah yang seluruhnya merupakan
12
Lihat juga Penjelasan Pasal 4 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang menegaskan bahwa sempadan pantai dikategorikan sebagai kawasan
lindungkawasan perlindungan setempat.
13
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan Pasal 28
UUPA, Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun Pasal 35 UUPA, Hak
Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung
oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalm keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan
pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala
Universitas Sumatera Utara
pulau atau berbatasan dengan pantai akan diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan Surat Edaran Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 500-1197 Tanggal 3 Juni
1997, antara lain dinyatakan bahwa : “Permohonan hak atas tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau berbatasan
dengan pantai untuk tidak dilayani sampai dikeluarkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut.”
Selanjutnya berdasarkan Surat Edaran Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 500-1698 Tanggal 14 Juli 1997 antara lain dinyatakan
bahwa : “Permohonan ijin lokasi dan permohonan hak atas tanah yang berbatasan dengan
pantai masih dimungkinkan diproses yang dilakukan secara hati-hati dan selektif dan permohonan yang diajukan setelah tanggal 3 Juli 1997 agar dilaporkan kepada
Menteri untuk mendapat petunjuk pelaksanaan lebih lanjut.” Ketentuan yang lebih tegas diatur dalam Pasal 11 ayat 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang mengatur bahwa terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada haknya dapat
diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan hutan.
sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini Pasal 41 UUPA Moekijat, Kamus Agraria, Bandung : Mandar Maju, 1996, halaman 38, 39 dan 41 .
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan
budidaya harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak boleh mengganggu fungsi alam, tidak mengubah benteng alam dan
ekosistem alami. Dalam hal ini pemilikan dan penguasaan atas tanah menjadi faktor penting
untuk dapat memanfaatkan dan menggunakan tanahnya, namun dalam penggunaan tanah tersebut ada aturan yang membatasi kewenangan dari yang menguasai tanah
tersebut. AP Parlindungan menyatakan, “dikuasai” dan “dipergunakan” harus
dibedakan, dalam arti bahwa dipergunakan itu sebagai tujuan daripada dikuasai dan kedua kata tersebut tidak ada sangkut pautnya dalam hubungan sebab akibat.
14
Sekalipun dinyatakan bahwa dipergunakan sebagai tujuan daripada dikuasai, namun pengertian tersebut berbeda antara konsepsi yang dianut oleh Pemerintah
melalui peraturan perundangan dengan pengertian yang dianut oleh masyarakat, dalam hal ini masyarakat memandang bahwa apabila sebidang tanah dikuasainya
maka penggunaannya juga sesuai dengan kepentingannya. Hal ini dapat dimengerti karena sejak dahulu terdapat perbedaan antara
perasaan hukum rakyat dan kesadaran hukum penguasa atas tanah. Perselisihan
14
AP Parlindungan, 1993, Op.cit, halaman 42
Universitas Sumatera Utara
mengenai tanah antara rakyat dan pemerintah secara umum telah terjadi karena pandangan yang berbeda mengenai konsep hak atas tanah.
15
Dalam kaitan
ini, peraturan
perundang-undangan memandang
diperkenankannya diberikan hak atas tanah pada suatu pulau termasuk pada kawasan pantainya dengan ketentuan penggunaannya harus disesuaikan dengan fungsi
kawasan yakni sebagai kawasan lindung, sungguhpun pengaturan untuk pemberian hak atas tanah pada suatu pulau masih menunggu aturan pelaksanaannya. Sedang
masyarakat beranggapan bahwa penguasaan atas tanah berkaitan erat dengan penggunaannya, menguasai tanah berarti dapat menggunakannya juga.
Kemudian perkembangan terakhir, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil yang
diundangkan pada tanggal 17 Juli 2007. Pengaturan tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
tersebut terdapat ketentuan adanya perizinan dengan bentuk Hak Pengusahaan Perairan Pesisir HP-3 yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan
KKP, sementara dalam hal pengelolaan tanah di kawasan pantai dan juga di pulau- pulau kecil dapat juga diberikan hak atas tanah oleh Instansi Badan Pertanahan
Nasional.
15
BF. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta: Toko Gunung Agung, 2005, halaman 4
Universitas Sumatera Utara
Sungguhpun menurut pendapat Bomer Pasaribu, anggota Komisi IV DPR-RI dinyatakan HP-3 hanya terbatas pada permukaan laut dan kolam air sampai dengan
permukaan dasar laut, HP-3 tidak menyangkut hak atas tanahnya.
16
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai pola pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah pada suatu pulau dan perlindungan
hukum atas pemilikan tanahnya, dengan tetap mempedomani peraturan perundang- undangan yang berlaku, khususnya yang terdapat di Kepulauan Batam dengan studi
di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat, Kelurahan Pulau Setokok, Kecamatan Bulang, Kota Batam.
Pemilihan lokasi penelitian di Kepulauan Batam dimaksud didasarkan pada pertimbangan bahwa Kepulauan Batam yang merupakan salah satu daerah yang
menjadi bagian dari Provinsi Kepulauan Riau. Provinsi Kepulauan Riau sendiri berdiri sejak tahun 2002 tercatat sebagai
provinsi ke-33 di Indonesia dengan dasar pembentukannya Undang Undang Nomor 25 tahun 2002, yang terdiri dari 6 enam daerah otonom, yakni Kabupaten Karimun,
Kabupaten Bintan, Kabupaten Lingga, Kabupaten Natuna, Kota Batam dan Kota Tanjung Pinang.
Kota Batam terdiri dari beberapa pulau, di antaranya pulau yang relatif besar adalah Pulau Batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang, sehingga tepat dikatakan
dengan sebutan kepulauan Batam, luas wilayah Pulau Batam saja sekitar 415 empat
16
Majalah Gatra, dengan judul laporan “Upaya Sinergi dengan Pemangku Kepentingan”, terbitan 22 Agustus 2007,
Universitas Sumatera Utara
ratus lima belas km2 namun apabila disebutkan Kepulauan Batam luasnya mencapai 715 tujuh ratus lima belas km2.
17
Pemilihan lokasi penelitian tersebut juga dikaitkan dengan adanya pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah di pulau-pulau yang ada di kawasan tersebut yang
pengaturannya dilaksanakan oleh satu badan khusus yang diberi nama Otorita Batam, di samping ada juga Pemerintahan otonom yaitu Pemerintah Kota Batam yang juga
diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan pengaturan di bidang pertanahan.
Sementara secara faktual penguasaan tanah di tempat tersebut dilakukan oleh berbagai pihak baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat setempat
dengan penggunaan tanah untuk berbagai kegiatan seperti untuk pemukiman penduduk, pelabuhan dengan segala sarana dan prasarananya, usaha industri dengan
infrastukturnya, usaha perikanan dan kelautan, usaha pariwisata dan usaha lain- lainnya, sehingga perlu diteliti lebih lanjut bagaimana pola pemilikan tanah dan
penggunaan tanahnya serta perlindungan hukum atas pemilikan tanah di Pulau Batam, khususnya di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
17
http:www.Batam.go.id
Universitas Sumatera Utara
1. Bagaimanakah pola kepemilikan dan penguasaan tanah pada pulau-pulau di
wilayah Kepulauan Batam? 2.
Bagaimanakah pelaksanaan penggunaan tanah pada pulau-pulau di wilayah Kepulauan Batam ?
3. Apakah ada upaya perlindungan hukum terhadap pemilikan dan penguasaan
tanah di pulau-pulau di wilayah Kepulauan Batam tersebut?.
C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pola kepemilikan dan penguasaan tanah pada pulau-pulau di
wilayah Kepulauan Batam 2.
Untuk mengetahui pelaksanaan penggunaan tanah pada pulau-pulau di wilayah Kepulauan Batam
3. Untuk menelusuri perlindungan hukum terhadap pemilikan dan penguasaan
tanah di pulau-pulau di wilayah Kepulauan Batam tersebut
D. Manfaat Penelitian
Di samping untuk mengetahui tujuan yang hendak dicapai, penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat, yaitu :
1. Memberikan gambaran yang jelas tentang pemilikan dan penguasaan tanah pada suatu pulau di Kepulauan Batam
2. Memberikan informasi dan pendapat yuridis kepada berbagai pihak, baik kepada Pemerintah khususnya Badan Pertanahan Nasional dan Pemerintah Daerah
Universitas Sumatera Utara
untuk mencari solusi yang dapat mewujudkan tujuan pemilikan, penguasaan dan penggunaana tanah pada suatu pulau sehingga bermanfaat dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat dan kebutuhan pembangunan.
E. Keaslian Penelitian
Setelah dilakukan pengamatan terhadap Tesis dan Disertasi yang ada di perpustakaan Universitas Sumatera Utara USU Medan, sepanjang yang diketahui
belum ada suatu penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Pasca Sarjana ataupun orang lain yang membahas tentang Hak Kepemilikan dan Penguasaan Atas Tanah di
Wilayah Kepulauan Batam. Dengan demikian penelitian ini benar-benar asli dan bukan hasil ciplakan dari penelitian atau penulisan orang lain.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
Penelitian ini menyangkut kepemilikan atas tanah di Pulau di Wilayah kepulauan Batam pembahasannya lebih banyak kepada perilaku masyarakat dalam
melakukan pemilikan dan penguasaan tanah dan adanya pengakuan dari Pemerintah termasuk dalam penataan penggunaannya serta melegalkan haknya, maka kerangka
teori yang diambil tidak lebih dari ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan dalam bertindak bagi masyarakat dan pemerintah.
Akan tetapi dalam pengaturan sesuatu obyek dapat saja telah ada sistem hukum yang menatanya, namun situasi di lapangan terutama pada lapisan masyarakat
selalu berada pada jalinan hubungan-hubungan yang dapat diprediksi dan tidak sistematis, masyarakat dengan keinginan dan kebutuhannya terus-menerus bergerak
secara dinamis.
Universitas Sumatera Utara
Hal demikian terjadi karena dalam masyarakat banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, misalnya kekuatan-kekuatan kekuasaan dan saling tarik-menarik
dan berbenturan di dalamnya dan menimbulkan ketidakteraturan, dengan kata lain hukum dan masyarakat bukan sebagai sesuatu yang sistematis, tetapi penuh dengan
ketidakteraturan, inilah yang disebut dengan teori ketidakteraturan hukum Theories of legal disorder
yang dikembangkan oleh Charles Sampford.
18
Namun seharusnya peranan hukum dapat menjamin adanya suatu keteraturan terutama dalam kondisi masyarakat yang sedang membangun, karena keteraturan
tersebut merupakan salah satu tujuan dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.
19
Berdasarkan teori di atas yang dijadikan kerangka berpikir dalam penelitian ini guna melihat situasi hubungan hukum antara masyarakat dengan tanah dalam hal
ini antara hak kepemilikan atas pulau dikaitkan antara peraturan perundang-undangan dengan kenyataan di lapangan, termasuk tujuan hukum dalam menciptakan
keteraturan terutama dalam kondisi masyarakat yang sedang membangun. Kerangka teori itu sendiri menurut M. Solly Lubis disebut sebagai landasan
teori yakni suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan problem yang dijadikan bahan perbandingan,
18
HR. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali,
Bandung : PT. Rafika Aditama, 2005, halaman 105-108
19
Mochtar Kusumaatmaja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung : Bina Cipta, 1986, halaman 3
Universitas Sumatera Utara
pegangan teoritis, mungkin disetujui atau tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.
20
Dari pijakan kerangka teori hukum tersebut, maka konsepsi yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah dengan meninjau peraturan perundang-
undangan mengenai obyek yang diteliti dan menggambarkan kenyataannya di lapangan, yang diuraikan dalam tiga variabel, yakni :
1. pemilikan tanah; 2. penggunaan tanah dan;
3. keberadaan kepulauan dengan segala lingkup aturan dan uraiannya.
Pertama, mengenai Kepemilikan Tanah, ketentuan hukumnya dilihat dari
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengatur bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang tekandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Aturan dasar dalam konstitusi menyangkut pengelolaan sumber daya alam
tersebut termasuk dalam pengertian ”dikuasai oleh Negara” tersebut kemudian dijabarkan dalam UUPA. Dalam Pasal 2 ayat 1 UUPA ditentukan:
”Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai
20
M. Solly Lubis dalam Muhammad Yamin, Gadai Tanah Sebagai Lembaga Pembiayaan Rakyat Kecil,
Medan : Pustaka Bangsa Press, 2004, halaman 36
Universitas Sumatera Utara
organisasi seluruh rakyat Indonesia. Kemudian pada ayat 2 diuraikan bahwa hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa”.
Dalam penjelasan UUPA dijelaskan bahwa pengertian ”dikuasai” bukan berarti ”dimiliki” akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada
Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk melakukan wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat 2 UUPA tersebut.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa kekuasaan negara mengenai tanah mencakup tanah yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan negara
mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberikan kekuasaan kepada yang
mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut.
Sedangkan kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh, artinya negara
dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya.
Universitas Sumatera Utara
Isi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai sumber daya alam oleh negara tersebut semata-mata bersifat publik yaitu wewenang untuk mengatur
wewenang regulasi dan bukan wewenang untuk menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang
bersifat peribadi.
21
Secara teoritis, penyebutan ketentuan konstitusional mengenai Hak Menguasai dari Negara ini sesungguhnya bersifat deklaratif, artinya dengan atau tanpa
penyebutan ketentuan tersebut setiap negara tetap mempunyai hak menguasai negara. Namun demikian, ketentuan tersebut tetap penting untuk mengkonfirmasi eksistensi
dari hak menguasai negara tersebut dan menunjukkan sifat hubungan antara negara dan tanah.
22
Sejalan dengan hal tersebut di atas, maka pada Pasal 2 dan 4 UUPA mengatur bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, dan atas dasar hak menguasai dari negara tersebut ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang
dapat diberikan kepada perorangan maupun badan hukum subyek hak. Hak-hak atas tanah tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah
yang bersangkutan sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
21
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria, Yogyakarta :
Citra Media, 2007, halaman 5
22
Oloan Sitorus dan HM Zaki Sierrad, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar dan Implementasi
, Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2006, halaman 60
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dan dalam batas-batas menurut ketentuan peraturan perundangan.
Dengan kata lain mengalokasikan kekuasaan hak atas tanah oleh negara kepada orang atau badan hukum yang dilakukan secara terukur supaya dapat
digunakan bagi kelangsungan hidup setiap orang secara bersama-sama.
23
Dari ketentuan yang terdapat dalam UUPA dapat dilihat bahwa Negara memberikan hak-hak atas tanah kepada perorangan atau badan hukum subyek hak,
bahkan menjamin, mengakui, melindungi hak-hak tersebut untuk dimanfaatkan dalam rangka mensejahterakan kehidupannya dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-
wenang oleh siapapun. Akan tetapi Negara tidak hanya memberikan begitu saja hak-hak atas tanah
tersebut kepada subyek hak untuk dimanfaatkan dalam rangka mensejahterakan kehidupannya, tetapi Negara juga memberikan jaminan kepastian hukum terhadap
hak-hak atas tanah tersebut melalui pendaftaran tanah. Kegiatan pendaftaran tanah menurut Pasal 19 ayat 2 meliputi :
1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; 2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak atas tanahnya;
3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
23
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996, halaman 33.
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan pendaftaran tanah baik untuk pendaftaran pertama kali maupun untuk pendaftaran yang berkelanjutan berupa pendaftaran peralihan haknya, baru
dapat dilakukan apabila subyek hak dapat membuktikan adanya hubungan hubungan baik yang bersifat keperdataan perorangan maupun bersifat publik tanah yang
dikuasai oleh instansi Pemerintah atau tanah hak ulayat masyarakat hukum adat antara subyek hak dengan tanahnya.
24
Hubungan hukum tersebut dapat dibuktikan dengan cara menguasai secara fisik tanah yang bersangkutan dan atau mempunyai bukti yuridis atas penguasaan
tanahnya Bukti yuridis atas penguasaan tanah tersebut dapat saja dalam bentuk
keputusan dari pejabat di masa lalu yang berwenang memberikan hak penguasaan kepada subyek hak untuk menguasai tanah dimaksud dan dapat juga dalam bentuk
akta otentik yang diterbitkan oleh pejabat umum yang menunjukkan tanah tersebut diperolehnya
akibat adanya
perbuatan hukum
berupa perjanjian
pemindahanperalihan hak atau dapat juga melalui pembukaan tanah menurut sistem hukum adat.
Bila dikatakan perolehan hak atas tanah, maka tersirat adanya perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hak, hal ini sejalan dengan pengertian perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan yang dikembangkan oleh Pasal 1 angka 2 Undang-
24
Hak Ulayat adalah hak atas tanah yang berdasarkan pada Hukum Adat yang merupakan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya.
Hubungan hukum tersebut berisi wewenang dan kewajiban Maria SW. Sumardjono, Tanah Dalam Perspketif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya
, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2008, halaman 170
Universitas Sumatera Utara
Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Tanah dan atau Bangunan BPHTB yakni perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya
hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan, seperti jual beli, tukar-menukar, hibah, wasiat, hibah wasiat, pewarisan dan lain-lain, yang
pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur undang-undang.
Namun perolehan hak atas tanah juga termasuk dalam hal perbuatan hukum orang untuk mendapatkan tanah dengan melakukan penguasaan tanah secara fisik
berupa penggarapan atau pembukaan tanah. Bahkan lahirnya pemilikan tanah bagi individu menurut sistem hukum adat
umumnya diawali dengan pembukaan tanah yang diberitahukan kepada persekutuan hukum dan diberikan tanda bahwa tanah itu telah digarap.
25
Dari pembukaan tanah tersebut apabila terus dikuasai dan diusahakan secara terus menerus dan mendapat persetujuan pemerintahan desapersekutuan adat akan
melahirkan hak wenang pilih lalu menjadi hak menarik hasil, selanjutnya jika dari upaya penguasaan dan pengusahaan tanah tersebut telah beberapa kali panen dan
tetap mengolah tanahnya secara tidak terputus lalu diperolehnya hak milik atas tanah.
26
25
Mukhtar Wahid, Op.cit, halaman 59
25
Mukhtar Wahid, Op.cit, halaman 59
26
Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 2006, halaman 78- 79
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu penguasaan dan pengusahaan atas tanah merupakan hal penting dalam mengatur lalu lintas hukum di bidang pertanahan. Penguasaan tersebut
dapat juga sebagai permulaan adanya hak, bahkan ada yang menyebut penguasaan tanah tersebut sudah merupakan suatu ”hak”. Kata ”penguasaan” menunjukkan
adanya suatu hubungan antara tanah dengan yang mempunyainya.
27
Hubungan hukum tersebut berupa hubungan nyata manusia dengan tanah, sebab tanpa hubungan nyata tersebut maka tidak akan lahir suatu hak apapun atas
tanah.
28
Artinya ada sesuatu hal yang mengikat antara orang dengan tanah tersebut, ikatan tersebut ditunjukkan dengan suatu tanda bahwa tanah tersebut telah dikuasai
dan dimilikinya. Tanda tersebut bisa berbentuk fisik maupun bisa berbentuk bukti tertulis.
Menurut Boedi Harsono, hubungan penguasaan dapat dipergunakan dalam arti yuridis maupun fisik.
29
Penguasaan dalam arti yuridis maksudnya hubungan tersebut ditunjukkan dengan adanya alas hak dari penguasaan tanahnya, apabila telah ada alas
hak, maka hubungan tanah dengan obyek tanahnya sendiri telah dilandasi dengan suatu hak.
Sedangkan penguasaan tanah dalam arti fisik menunjukkan adanya hubungan langsung antara tanah dengan yang empunya tanah tersebut, misalnya didiami dengan
27
Badan Pertanahan Nasional, Hak Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional, Jakarta, 2002, halaman 18
28
Mukhtar Wahid, op.cit., halaman 61
29
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta : Penerbit Djambatan, 1994, halaman 19
Universitas Sumatera Utara
mendirikan rumah tinggal atau ditanami dengan tanaman produktif untuk tanah pertanian.
Penguasaan tanah dapat menjadi pertanda adanya pemilikan dan hal tersebut juga dapat merupakan permulaan adanya atau diberikannya hak atas tanah, dengan
perkataan lain penguasaan tanah secara fisik merupakan salah satu faktor utama dalam rangka pemberian hak atas tanahnya, sungguhpun penguasaan tanah dapat saja
dilakukan oleh orang yang tidak berhak atau hanya sebagai penyewa. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, dapat dijelaskan bahwa sekalipun tidak ada alat-alat bukti penguasaan secara yuridis, namun apabila dalam kenyataan bidang tanah tersebut
telah dikuasai secara fisik secara terus menerus selama 20 tahun dengan itikat baik, maka dapat dilegitimasi penetapanpemberian haknya kepada yang bersangkutan
dengan memberikan alat bukti tertulis. Penguasaan tanah tersebut dapat dikatakan lengkap untuk disebut sebagai
pemilikan tanah apabila didukung oleh bukti tertulis berupa surat-surat tanah yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.
Jadi faktor penguasaan secara fisik tersebut masih harus diikuti dengan syarat- syarat tertentu sehingga dapat dikatakan sebagai pemilikan atau permulaan adanya
hak yakni dilakukan secara terus menerus, dengan jangka waktu tertentu dan dilakukan dengan itikat baik, sebaiknya dilengkapi dengan bukti tertulis, baru
kemudian dapat diberikan tanda bukti penguasaannya.
Universitas Sumatera Utara
Unsur jangka waktu tersebut ditentukan secara limitatif yakni minimal 20 dua puluh tahun, namun unsur itikat baik tidak ada dijelaskan pengertiannya. Hal itu
dimengerti karena itikat baik itu sendiri tidak ada pengertian yang diterima secara universal, hanya saja pengertian itikat baik memiliki dua dimensi, pertama dimensi
subyektif yang berarti mengarah kepada makna kejujuran, sedang dimensi kedua dimensi obyektif yang berarti kerasionalan dan kepatutan atau keadilan.
30
Terhadap pemilikan dan penguasaan tanah yang dibuktikan dengan alat bukti secara tertulis dapat disebut juga alas hak. Alas hak diartikan sebagai bukti pemilikan
atau penguasaan atas tanah secara yuridis dapat berupa alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang
mempunyai tanah, dapat juga berupa riwayat pemilikan tanah yang pernah diterbitkan oleh pejabat pemerintah sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang
berwenang. Alas hak secara yuridis ini biasanya dituangkan dalam bentuk tertulis dengan
suatu surat keputusan, surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di bawah tangan dan lain-lain.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997, alas hak tersebut diberi istilah data yuridis, yakni keterangan mengenai
30
Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, halaman 347
Universitas Sumatera Utara
status hukum bidang tanah, pemegang haknya, dan pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.
Secara perdata, dengan adanya hubungan yang mempunyai tanah dengan tanahnya yang dibuktikan dengan penguasaan fisik secara nyata di lapangan atau ada
alas hak berupa data yuridis berarti telah dilandasi dengan suatu hak, tanah tersebut sudah berada dalam penguasannya atau telah menjadi miliknya.
Pemilikan atas tanah secara yuridis selalu mengandung kewenangan untuk menguasai fisik tanahnya, oleh karena pemilikan secara yuridis memberikan alas hak
terhadap adanya hubungan hukum mengenai tanah yang bersangkutan. Apabila tanahnya sudah dikuasai secara fisik dan sudah ada alas haknya, maka persoalannya
hanya menindaklanjuti alas hak yang melandasi hubungan tersebut menjadi hak atas tanah yang ditetapkan dan diakui oleh Negara agar hubungan tersebut memperoleh
perlindungan hukum. Proses penetapan dan pengakuan alas hak menjadi hak atas tanah disebut pendaftaran tanah yang produknya adalah sertipikat tanah.
Oleh karena itu alas hak sebenarnya sudah merupakan suatu legitimasi awal atau pengakuan atas penguasaan tanah oleh subyek hak yang bersangkutan, namun
idealnya agar penguasaan suatu bidang tanah juga mendapat legitimasi dari Negara, maka harus dilandasi dengan suatu hak atas tanah yang ditetapkan oleh Negara
Pemerintah. AP. Parlindungan menyatakan bahwa alas hak atau dasar penguasaan atas
tanah dapat diterbitkan karena penetapan pemerintah atau ketentuan peraturan perundangan, maupun karena suatu perjanjian khusus yang diadakan untuk
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan suatu hak di atas hak tanah lain misalnya Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik juga karena ketentuan konversi hak atas tanah.
Sedangkan ketentuan pendakuan maupun karena kadaluarsa memperoleh suatu hak dengan lembaga uitwijzingprocedure sebagaimana diatur dalam Pasal 548
KUH Perdata tidak dikenal dalam UUPA, sungguhpun pewarisan merupakan juga salah satu alas hak.
Alas hak itu sendiri adalah bukti penguasaan atas tanah secara yuridis dapat
berupa alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah, dapat berupa riwayat pemilikan tanah
yang pernah diterbitkan oleh pejabat pemerintah sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang berwenang. Alas hak secara yuridis ini biasanya
dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan, surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di bawah tangan dan
lain-lain
31
Dinyatakan juga bahwa alas hak
32
untuk tanah menurut UUPA adalah bersifat derivative
, artinya berasal dari ketentuan peraturan perundang-undangan dan dari hak-hak yang ada sebelumnya, seperti hak-hak adat atas tanah dan hak-hak yang
berasal dari hak-hak Barat,
33
dengan catatan dilakukan penyesuaian dengan ketentuan
31
AP. Parlindungan, Beberapa Masalah Dalam UUPA, Bandung : Mandar Maju, 1993, halaman 69-70.
32
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung : Mandar Maju, 2008, halaman 237.
33
AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 1993, halaman 3
Universitas Sumatera Utara
yang baru yang dalam Hukum Agraria dikenal dengan istilah konversi. Maksud dari konversi hak atas tanah tersebut adalah perubahan hak lama atas tanah menjadi hak
baru sebagaimana yang diatur dalam UUPA.
34
Sedang menurut AP. Parlindungan, konversi adalah bagaimana pengaturan dari hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk dalam
system UUPA.
35
Konversi dibagi dalam tiga jenis, yaitu 1 konversi hak yang berasal dari tanah hak barat yaitu hak eigendom, opstal, erfpacht; 2 konversi hak yang berasal dari
tanah hak Indonesia yaitu terhadap hak erfpach yang altijdurend, hak agrarische eigendom dan hak gogolan dan 3 konversi hak yang berasal dari tanah bekas
swapraja, yaitu terhadap hak anggaduh, hak grant, hak konsesi dan sewa untuk perumahan dan kebun besar.
36
Jadi secara normatif bukti penguasaan atau pemilikan atas suatu bidang tanah yang diterbitkan oleh pemerintah sebelumnya dasar penguasaanalas hak lama
masih tetap diakui sebagai dasar penguasaan atas tanah karena diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang
berlaku pada masa itu.
34
Ali Ahmad Chomzah, Hukum Agraria, Jilid-I Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2004, halaman 80.
35
AP. Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, Bandung : Mandar Maju, 1993, halaman 94.
36
Emri, Pelaksanaan Konversi Tanah Grant Sultan di Kota Medan, Tesis, Medan, PPS USU, 2005, halaman 83.
Universitas Sumatera Utara
Hak-hak adat maupun hak-hak Barat yang dijadikan sebagai alas hak tersebut ada yang sudah didaftar pada zaman Hindia Belanda dan ada yang belum didaftar.
Pendaftaran hak atas tanah pada waktu itu hanya pada hak atas tanah yang tunduk pada KUH Perdata, sungguhpun ada juga orang-orang Bumi Putera yang mempunyai
hak atas tanah yang berstatus hak Barat selain golongan Eropa dan Timur Asing termasuk golongan China.
Untuk Golongan Bumi Putera umumnya tidak ada suatu hukum pendaftaran tanah yang bersifat uniform, sungguhpun ada secara sporadis ditemukan beberapa
pendaftaran yang sederhana dan belum sempurna seperti Grant Sultan Deli, Geran lama, Geran Kejuran, pendaftaran tanah yang terdapat di kepulauan Lingga-Riau, di
daerah Yogyakarta dan Surakarta dan di lain-lain daerah yang sudah berkembang dan menirukan system pendaftaran kadaster. Sebaliknya juga dikenal pendaftaran tanah
pajak, seperti pipil, girik, petuk, ketitir, letter C yang dilakukan oleh Kantor Pajak di Pulau Jawa.
37
Selain itu ditemukan juga alas hak atas tanah berupa surat-surat yang dibuat oleh para Notaris atau yang dibuat oleh Camat dengan berbagai ragam bentuk untuk
menciptakan bukti tertulis dari tanah-tanah yang dikuasai oleh warga masyarakat. Penerbitan bukti-bukti penguasaan tanah tersebut ada yang dibuat di atas
tanah yang belum dikonversi maupun tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara dan kemudian tanah dimaksud diduduki oleh rakyat baik dengan sengaja ataupun diatur
37
Ibid., halaman 76.
Universitas Sumatera Utara
oleh Kepala-kepala Desa dan disahkan oleh para Camat, seolah-olah tanah tersebut telah merupakan hak seseorang ataupun termasuk kategori hak-hak adat.
38
Khusus terhadap tanah yang dikuasai langsung oleh Negara yang telah dikuasai oleh seseorang, maka surat-surat tersebutlah yang dijadikan sebagai alas hak
atau bukti perolehan atau pemilikan tanah yang diajdikan sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengajukan permohonan pendaftaran tanahnya.
Bukti kepemilikan hak-hak atas tanah yang dapat diajukan sebagai kelengkapan persyaratan permohonan hak atas tanah yang diketegorikan sebagai alas
hak telah ditentukan secara limitatif dalam Penjelasan Pasal 24 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Pasal 60 ayat 1
Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah, yakni : a. Grosse
akta hak
eigendom yang
diterbitkan berdasarkan
Overschrijvingsordonantie Staatsblad 1834-27 yang telah dibubuhi catatan
bahwa hak eigendomnya dikonversi menjadi hak milik atau, b. Grosse
akta hak
eigendom yang
diterbitkan berdasarkan
Overschrijvingsordonantie Staatsblad 1834-27 sejak berlakunya UUPA sampai
tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 di daerah yang bersangkutan,
38
Ibid., halaman 3.
Universitas Sumatera Utara
c. Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan;
d. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 tahun 1959;
e. Surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban mendaftarkan
haknya, tetapi dipenuhi semua kewajiban yang ada f. Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang disaksikan oleh Kepala
AdatKepala DesaKelurahan yang dibuat sebelum PP ini; g. Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahya belum
dibukukan; h. Akta Ikrar Wakaf surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai
dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977; atau i. Risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang yang berwenang yang tanahnya
belum dibukukan; j. Surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil
oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; atau k. Petuk Pajak Bumi Landrente, girik, pipil, kekitir dan verponding Indonesia
sebelum berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961; l. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan; atau
Universitas Sumatera Utara
m. Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan-ketentuan Konversi
UUPA. Surat-surat yang dikategorikan sebagai alas hak atau data yuridis atas tanah
pada dasarnya merupakan keterangan tertulis mengenai perolehan tanah oleh seseorang, misalnya saja dengan berupa pelepasan hak bekas pemegang hak,
pernyataan tidak keberatan dari bekas pemegang hak tentunya setelah ada ganti rugi. Syarat ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 4 ayat 1 Peraturan Menteri
Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan
yang bunyinya sebelum mengajukan permohonan hak atas tanah, pemohon harus menguasai tanah yang dimohonkan yang dibuktikan dengan data yuridis dan data
fisik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
39
Selanjutnya Pasal 10 ayat 2, Pasal 18 ayat 2 angka 2, Pasal 34 angka 2 dan Pasal 50 angka 2 Peraturan tersebut ditentukan bahwa data yuridis atau alas hak
antara lain sertipikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah atau tanah yang dibeli dari Pemerintah, Akta PPAT, akta
pelepasan hak, putusan pengadilan, akta pelepasan kawasan hutan, akta pelepasan bekas tanah milik adat dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya.
39
Djoko Walijatun, Persyaratan Permohonan hak, Majalah Renvoy No. 10.34.III, Maret 2006, halaman 65.
Universitas Sumatera Utara
Penguasaan tanah tersebut menurut pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 adalah hubungan hukum antara orang-perorang, kelompok
orang, atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.
Setelah dibuktikan adanya hubungan hukum atau penguasaan atas tanah yang dimiliki oleh subyek hak, maka Pemerintah sebagai pemangku Hak Menguasai
Negara yang berwenang melakukan pengaturan dan menentukan hubungan- hubungan hukum antara orang dengan tanah, melaksanakan tugasnya memberikan
hak-hak atas tanah yang dibuktikan dengan penerbitan keputusan pemberian haknya. Sedangkan terhadap pemilikan atau penguasaan atas tanah yang ditandai
dengan adanya hak-hak lama berasal dari hak-hak Adat dan hak-hak Barat, dilakukan pengaturannya dengan menegaskan atau mengakui hak-hak lama
konversi. Selanjutnya kepada penerima hak atau yang ditegaskandiakui hak-hak
lamanya diterbitkan produk hukum berupa sertipikat tanah yang berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat dan memberikan jaminan kepastian hukum atas
penguasaanpemilikana tanahnya.
Kedua, mengenai Penggunaan Tanah, dalam hal ini perlu dibahas karena
pemilikan tanah berkaitan erat dengan penggunaan tanah, sebab penggunaan tanah selain dapat menjadi pertimbangan dalam penentuan jenis hak atas tanah yang akan
diberikan juga mempunyai kedudukan sangat penting dalam kehidupan dan penghidupan manusia, karena tanah dapat dimanfaatkan secara horizontal maupun
Universitas Sumatera Utara
vertikal, dengan fungsi tanah sebagai hasil, penghasil dan tempat, dalam hal ini secara horizontal dapat berupa yang ada di atas permukaan bumi berupa sumber daya hutan,
tanaman pangan dan berbagai jenis tanaman lainnya maupun secara vertikal yang tersimpan di tubuh bumi berupa sumber daya tambang dan sumber daya air.
40
Pembahasan tentang penggunaan tanah ini semakin relevan karena obyek yang diteliti adalah pemilikan atas suatu pulau, yang dalam pemanfaatannya
bersinggungan dengan aspek-aspek lain seperti aspek politik dan pertahanan keamanan serta rencana-rencana Pemerintah dengan pengaturan atas penggunaan,
peruntukan dan pemanfaatan tanah yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah. RTRW.
Terhadap penggunaan tanah ini dapat dilihat aturan hukumnya sebagaimana
dalam Pasal 14 ayat 1 UUPA yang menentukan bahwa Pemerintah diberikan
kewenangan membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya : 1. untuk keperluan negara;
2. untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
3. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
40
Mukhtar Wahid, op.cit, halaman 3
Universitas Sumatera Utara
4. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; dan
5. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan. Kemudian pada ayat 2 dinyatakan bahwa berdasarkan rencana umum
tersebut, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-
masing. Penjelasan umum UUPA point II angka 8 ditentukan bahwa dengan adanya
rencana planning tersebut maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan
rakyat. Sebagai tindak lanjut dari Pasal 14 UUPA, diterbitkan Undang Undang
Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang disempurnakan dengan Undang Undang Nomor 37 tahun 2007.
Pasal 1 angka 3 Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 disebutkan bahwa penatagunaan ruang adalah proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Selanjutnya pada Pasal 14 ayat 2 diatur bahwa perencanaan tata ruang
mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumber daya alam. Dalam hal ini
penatagunaan tanah merupakan bagian dari penatagunaan ruang.
Universitas Sumatera Utara
Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 jo. Undang Undang Nomor 37 tahun 2007 tersebut belum operasional khususnya mengenai penatagunaan tanah. Oleh
karena itu Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah.
41
Pengertian dari penggunaan tanah menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang
merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. Pada Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tersebut ditentukan
bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Kemudian dalam Pasal 8 diwajibkan kepada pemegang hak atas tanah untuk
menggunakan dan dapat memanfaatkan tanah sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah serta memelihara tanah dan mencegah kerusakan tanah.
Sungguhpun demikian, dalam Pasal 9 dan 10 ditentukan bahwa pentapan Rencana Tata Ruang Wilayah tidak mempengaruhi status hubungan hukum atas
tanah, hanya saja penyelesaian administrasi pertanahan dilaksanakan apabila pemegang hak atas tanah memenuhi syarat-syarat menggunakan dan memanfaatkan
tanahnya sesuai dengan Rencana Tata Ruang. Selanjutnya dalam Pasal 11 ditegaskan bahwa terhadap tanah dalam kawasan
lindung dan kawasan cagar budaya yang belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan hutan dan pada lokasi situs.
41
Suardi, Hukum Agraria Jakarta : Badan Penerbit Iblam, 2005, halaman 91
Universitas Sumatera Utara
Hanya saja sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat 1 penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus sesuai dengan
fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah. Hal yang khusus diatur dalam Pasal 15 yang sesuai dengan obyek penelitian
ini, yakni penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang- bidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, sempadan waduk dan
atau sempadan sungai harus memperhatikan : a kepentingan umum; b keterbatasan daya
dukung, pembangunan
yang berkelanjutan,
keterkaitan ekosistem,
keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan. Dengan demikian, terdapat pengaturan penggunaan dan pemanfaatan tanah
dalam kawasan tertentu termasuk pada kawasan pulau-pulau kecil dengan persyaratan yang sedemikian rupa yang dikaitkan dengan kepentingan umum dan isu lingkungan
hidup.
Ketiga, mengenai keberadaan pulau, dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah pulau-pulau kecil. Pengertian dari pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 dua ribu kilometer persegi beserta kesatuan
ekosistemnya.
42
Penguasaan dan penggunaan tanah juga pendaftarannya termasuk yang berada di pulau-pulau kecil sejatinya menjadi obyek yang diatur dalam Undang Undang
Pokok Agraria sebagaimana diatur dalam Pasal 1, 2, 14 dan 19 UUPA.
42
Pasal 1 angka 3 Undang Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Universitas Sumatera Utara
Khusus tentang pengaturan penatagunaan tanahnya, telah ada disinggung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
Dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 ditentukan bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang-bidang
tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, sempadan waduk dan atau sempadan sungai, harus memperhatikan : a kepentingan umum dan ; b keterbatasan
daya dukung,
pembangunan yang
berkelanjutan, keterkaitan
ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan.
Dalam penjelasan pasal tersebut diuraikan bahwa pulau kecil adalah pulau yang luasan dan jumlah penduduknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pada hakekatnya pulau kecil dan kawasan pesisir khususnya yang berkaitan dengan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan di bidang-bidang tanah
yang berada di sepanjang pantai memiliki keunikan tersendiri baik dari segi kegiatan sosial, ekonomi, lingkungan dan sumber daya alam lainnya.
Hanya saja ketentuan tentang pemilikan dan penguasaan tanahnya di pulau- pulau kecil, termasuk pemberian hak dan pendaftaran tanahnya, hingga saat ini belum
ada pengaturannya, sebab berdasarkan Pasal 60 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dinyatakan
bahwa pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas sebidang tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau berbatasan dengan pantai akan
diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Bahkan berdasarkan Surat Edaran Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 500-1197 Tanggal 3 Juni 1997 dinyatakan bahwa
permohonan hak atas tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau berbatasan dengan pantai untuk tidak dilayani sampai dikeluarkannya Peraturan Pemerintah yang
mengatur hal tersebut. Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah tersebut hingga saat ini belum diterbitkan.
Namun dengan terbitnya Undang Undang Nomor 27 tahun 2007, telah mengambil obyek yang sama untuk diaturnya yakni wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil, sebab pengertian dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya
pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara lebih jelas diatur dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Ruang lingkup
pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah
darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 dua belas mil laut diukur dari garis pantai.
Dengan adanya pengaturan dalam Undang Undang Nomor 27 tahun 2007 tersebut, maka dalam penelitian akan dilihat juga tentang pengaturan dalam pemilikan
tanah di pulau-pulau kecil.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pengaturannya, pulau-pulau kecil selalu disandingkan dengan kawasan pesisir atau kawasan pantainya, karena pulau-pulau kecil tersebut dikelilingi pantai
atau pesisir. Oleh karena itu membicarakan masalah pulau-pulau kecil tidak lepas dari masalah kawasan pantainya.
Pengaturan tentang kawasan pantai atau disebut juga dengan sempadan pantai menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian fungsi pantai. Kawasan pantai atau sempadan pantai tersebut termasuk salah satu bagian dari
kawasan lindung.
43
Hal itu dapat dilihat dari penjelasan Pasal 4 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang menjelaskan
bahwa : ”kawasan Lindung tersebut meliputi kawasan yang memberikan perlindungan
kawasan bawahannya yang mencakup kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, kawasan perlindungan setempat yang mencakup sempadan
pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danauwaduk, kawasan sekitar mata air, kawasan terbukit hijau termasuk di dalamnya hutan kota, kawasan suaka alam yang
mencakup kawasan cagar alam, suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam yang
43
Kawasan Lindung menurut ketentuan Pasal 1 angka 21 Undang Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
Universitas Sumatera Utara
mencakup taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, kawasan cagar budaya, kawasan rawan bencana alam yang mencakup antara lain kawasan rawan
letusan gunung api, gempa bumi, tanah longsor serta gelombang pasang dan banjir, kawasan lindung lainnya mencakup taman buru, cagar biosfir, kawasan perlindungan
plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa dan kawasan pantai berhutan bakau”. Menurut ketentuan Pasal 14 Keputuasn Presiden Nomor 32 Tahun 1990,
kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi
ke arah darat. Hal itu dikuatkan lagi dalam Pasal 56 Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun
2008 tentang Rencana Umum Tata Ruang Nasional, yang menentukan bahwa sempadan pantai ditetapkan dengan kriteria :
1. Daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 seratus meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat; atau;
2. Daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai.
Tentang pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah pada kawasan pantai tersebut, Pasal 11 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Pentagunaan Tanah menentukan bahwa terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan
hutan, dengan catatan sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 13 bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus sesuai
Universitas Sumatera Utara
dengan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak boleh mengganggu fungsi alam, tidak mengubah benteng alam dan ekosistem alami.
Dengan demikian, sekalipun tanah yang berada di daerah kawasan lindung, termasuk di dalamnya kawasansempadan pantai, maka kawasan tersebut tetap dapat
diakui penguasaan oleh orang-orang atau badan hukum atas tanah tersebut, namun penggunaan atas tanah pada kawasan tersebut harus disesuaikan dengan fungsi
kawasan dan juga ketentuan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah setempat. Pemilikan tanah pada kawasan sempadan pantai dapat dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka sudah barang tentu, pemilikan tanah di daratannya berupa pulau-pulau kecil diakui, hanya saja tidak dapat
dilindungi sepenuhnya karena berkaitan dengan adanya kepentingan negara yang lebih besar seperti kepentingan politik, pertanahan dan keamanan.
Untuk menghindari kesimpangsiuran mengenai pengertian istilah-istilah yang dipakai dalam penulisan tesis ini, perlu dikemukakan definisi operasional dari istilah-
istilah tersebut. Hak
artinya kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh undang undang, aturan dsb.
44
Kepemilikan kata dasarnya milik, artinya kepunyaan, pemilikan adalah perbuatan, proses, cara, perbuatan memiliki,
sedangkan kepemilikan adalah perihal pemilikan.
45
44
Pusat Bahasa-Departemen Pendidikan Nasional, op.cit., halaman 474
45
Ibid, halaman 914
Universitas Sumatera Utara
Penguasaan tanah dimaksudkan dalam hal ini sesuai dengan yang ditentukan
dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah adalah hubungan hukum antara orang-perorang, kelompok
orang, atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.
Pulau adalah tanah daratan yang dikelilingi air di laut, sungai atau danau.
46
Wilayah artinya daerah kekuasaan, pemerintahan, pengawasan dsb atau lingkungan
daerah provinsi, Kabupaten, Kecamatan,
47
atau ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan aspek fungsional.
48
Pulau Batam , adalah salah satu kepulauan yang ada Provinsi Kepulauan Riau
yang terdiri dari beberapa pulau, di antaranya pulau yang relatif besar adalah Pulau Batam sendiri, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan pulau-pulau sekitarnya, luas
wilayah Pulau Batam sekitar 415 km2 namun apabila disebutkan Kepulauan Batam luasnya mencapai 715 km2.
49
Dengan demikian, terdapat pengertian yang tegas dan jelas dari istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini, sehingga tidak akan timbul salah tafsir
dalam rangka memahami substansinya secara utuh.
46
Ibid, halaman 1115
47
Ibid, halaman 1562
48
Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008
49
http:www.Batam.go.id
Universitas Sumatera Utara
G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengkategorikan sebagai penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif. Bersifat deskriptif maksudnya penelitian yang bertujuan
untuk melukiskan keadaan obyek atau peristiwanya.
50
Sedang kualitatif diartikan sebagai kegiatan menganalisi data secara komprehenship, yaitu data sekunder dari berbagai kepustakaan dan literatur baik yang
berupa buku, peraturan perundangan, disertasi, tesis dan hasil penelitian lainnya maupun informasi dari media massa.
Metode yang dipakai untuk mengetahui isi dokumen tersebut adalah analisis isi content analysis, sehingga dengan sifat penelitian ini dapat diperoleh gambaran
yang seteliti mungkin tentang data faktual yang berhubungan dengan obyek yang diteliti tersebut.
2. Metode Pendekatan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan dianalisis dengan doktrin dari para sarjana
hukum. Dalam hal ini penelitian dilakukan untuk menemukan hukum in-konkrito dan juga penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal.
51
50
Sutrisno Hadi, Metodologi Reseacht, Yogjakarta : Andi Offset, 1989, halaman 3
51
Menurut Ronny Hanitijo Sumitro, penelitian yuridis normatif terdiri atas 1 penelitian inventarisasi hukum positif; 2 penelitian terhadap asas-asas hukum; 3 penelitian untuk menemukan
hukum in-konkrito; 4 penelitian terhadap sistematika hukum; dan 5 penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal Ronny Hanitijo Soemitro, Methodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri,
Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988 halaman 12.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian dengan metode yuridis normatif ini diambil dengan pertimbangan bahwa pendekatan ini dipandang cukup layak untuk diterapkan, karena dengan
metode penelitian ini akan diperoleh data dan informasi secara menyeluruh yang bersifat normatif baik dari hukum primer, sekunder maupun tertier. Data atau
informasi yang didapatkan akan diambil perbandingannya dengan peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengaturan pemilikan tanah pada suatu pulau.
4. Sumber Data
Berdasarkan sifat penelitian tersebut di atas, maka data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder. Data Sekunder dimaksudkan antara lain meliputi bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Untuk memperdalam data sekunder tersebut dilakukan wawancara terhadap
responden yang ditentukan, yaitu pejabat pada Kantor Pertanahan Kota Batam, pejabat pada Kantor Otorita Batam, pejabat Kelurahan dan penduduk setempat.
Teknik wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan secara mendalam depth intervieu.
5. Teknik Pengumpulan Data