8
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia menginginkan kehidupannya bermakna. Makna hidup meaning of life merupakan sesuatu yang dianggap penting, dirasakan
berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan hidupnya.
1
Makna hidup adalah nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus
dipenuhi dan mengarah pada kegiatan-kegiatnnya. Oleh sebab itu, meraih hidup bermakna merupakan motivasi utama pada diri manusia. Karena setiap
orang senantiasa menginginkan dirinya menjadi orang yang berguna dan berharga bagi keluarganya, lingkungan dan masyarakatnya serta dirinya
sendiri. Penghayatan hidup bermakna dapat diraih dengan mengaktualisasikan kesadaran diri, pengembangan diri, moralitas, transendensi diri, kebebasan dan
tanggung jawab.
2
Dengan kata lain, meraih hidup bermakna adalah menjalani kehidupan dengan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan
kehampaan, mempunyai tujuan hidup yang jelas sehingga mempunyai kegiatan yang terarah.
Pengertian makna hidup di atas menunujukan bahwa di dalamnya terkandung juga tujuan hidup, yakni hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi,
1
Hanna Djuhana Bastman, Meraih Hidup Bermakna, Jakarta : Paramadina, 1996, Cet. Ke-1, h.14.
2
Ibid., h.132.
9
seperti terpenuhinya kebutuhan materi dan spiritual. Bila makna hidup bisa berhasil dan sukses dipenuhi, maka kehidupan ini sangat berarti meaningful
yang pada gilirannya akan menimbulkan kebahagiaan. Itulah hidup bermakna.
3
Sebaliknya, seseorang yang tidak berhasil menemukan dan merealisasikan arti hidup akan menghayati hidupnya tanpa dan tak bermakna
meaningles yang biasanya gerbang ke arah kesesatan dan penderitaan. Kehidupan modern yang sarat dengan tantangan dan godaan sering-
sering menjadikan seseorang lupa akan makna dan hakikat kehidupan duniawi yang serba fana.
4
Abad modern, yang diawali oleh Descartes dan Newton, melahirkan pandangan hidup mekanistik dan atomik. Abad ini ditandai oleh
perkembangan sains dan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan yang berhasil mencipatakan peradaban modern yang menekankan pada rasionalitas,
sekularisme, pola hidup materealistik dan menjanjikan berbagai kemajuan.
5
Di sisi lain, manusia modern lebih berorientasi pada gaya hidup serba
keberadaan. Etos kesuksesan material menjadi pandangan dan tujuan hidup mereka. Dan materialisme telah memproyeksikan dan mengukuhkan
kapitalisme yang memaksa manusia untuk menjadi hedonistik dan konsumeristis. Bila hedonistik itu adalah pandangan hidup yang menganggap
bahwa kesenangan dan kenikmatan materi itu menjadi tujuan utama bagi
3
Hanna Djuhana Bastman, Makna Hidup Bagi Manusia Modern, Dalam Rekontruksi dan Renungan Religius Islam
, Jakarta : Paramadina, 1996, Cet. Ke-1, h.14.
4
Miftah Faridi, dalam Pengantar Buku Hakikat Dzikir Jalan Taat Menuju Allah, Depok : Intuisi Press, 2003, Cet. Ke-1, h.9.
5
Akbar S. Ahmed, Posmodernisme; Bahaya Dan Harapan Bagi Islam, Bandung : Mizan, 1996, Cet. Ke-4, h.22.
10
kehidupan ini.
6
Dan kaum konsumer adalah mereka yang selalu diperbudak oleh kebutuhan-kebutuhan di luar dirinya sendiri. Konsumsi tidak lagi sekedar
berkaitan dengan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi rutilitas atau kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, akan tetapi berkaitan dengan unsur-
unsur simbolik untuk menandai kelas, status atau simbol sosial tertentu. Dalam masyarakat konsumer, barang-barang pada akhirnya menjadi pada
sebuah tempat para konsumer menemukan makna kehidupan.
7
Sehingga mereka kehilangan jati dirinya sendiri. Inilah salah satu fenomena
keterasingan pada masyarakat modern yang menimbulkan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, spiritual, dan moral. Kemungkinan, fonomena
krisis itu mengejawantah dalam bentuk keterasingan diri dari sosial: kekerasan, kekejaman, kriminalitas, konflik dan sebagainya. Semua itu
menunjukan bahwa dalam kegelimangan materi kehidupan modern, kemakmuran jasmani yang melimpah, kebudayaan yang bertumpu pada
kebendaan ternyata melahirkan kegersangan ruhaniah.
8
Persoalan yang ada di lingkungan masyarakat sekarang ini ialah kehidupan yang ingin selalu mengutamakan dunia, mengejar dan merebut
kekuasaan. Ketika manusia merasakan kehampaan ruhaniah dengan mengutamakan dunia, seperti yang terjadi dewasa ini, manusia kembali
kepada hakikat jati dirinya yang sejati. Hal ini dimaksudkan, hakikat jati diri
6
A.M. Saefuddin et.al, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, Bandung : Mizan, 1998, Cet. Ke-4, h.19.
7
Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang Dilipat, Bandung : Mizan, 1999, Cet. Ke-3, h.145.
8
Ahmad Fuad Fanani, Spiritualitas dan Krisis Medernitas, Sinar Pagi Jakarta, 31 Oktober 1997, h.5
11
dirasakan ketika manusia menghubungkan dirinya lahir batin dengan Allah melalui dzikir, manusia modern membutuhkan wirid, shalat, sunnah dan
dzikir, baik melalui tarekat maupun tidak. Dzikir bukan sekedar repitisi lisan, melainkan merasakan dan
meresapkan keagungan Allah, kebaikan Allah, nikmat-nikamat-Nya, dan memikirkan kekurangan hamba dalam bersyukur dan kelemahannya dalam
memenuhi hak-hak Allah, serta mengakui nikmat-nikmat lahiriah dan batiniah. Jadi, dalam dzikir terdapat pemikiran dan perenungan. Kesadaran
mengenai dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan hamba kepada- Nya, dan perenungan mengenai nikmat-nikmat Allah kepadanya dan
kewajiban untuk mensyukurinya. Jika seorang hamba sudah merasakan makna dzikir, maka setiap ia mengingat Allah, ia akan berkonsentrasi penuh dengan
keseluruhan dirinya, dan hadir bersama Allah dengan totalitasnya. Ia tidak sibuk dengan selain diri-Nya, dan tidak juga lengah dari mengingat diri-Nya,
sampai keagungan Allah menguasai hatinya. Hamba pada saat mencapai dzikir maknanya, maka hilanglah bencana kelalaian, dan terhapuslah dari
dalam hatinya segala hubungan dan alasan. Sebab, hubungan hati dengan Allah menjadikan sang manusia kosong dari segala-galanya selain Allah.
Maka tidak ada ruang bagi dunia, syahwat, terlebih kepada kesalahan dan dosa. Dzikir adalah sarana pengosongan hati dari segala interes, yang dalam
12
ungkapan filosofisnya merupakan sarana keterpisahan zat dari obyek eksternal, atau dari ketergantungan kepada keinginan tertentu.
9
Salah satu jalan menepis kehampaan spiritual dan nestapa keterasingan itu adalah dengan mengembalikan manusia modern pada jati dirinya kepada
fitrah agama dengan sebuah alternatif yaitu Dzikrullah. Dengan berdzikir di sini, manusia bisa lebih baik didalam kehidupannya. Tak diragukan lagi
bahwa dzikir adalah sarana para sufi menuju kehidupan ruhaniah mereka yang sebenarnya. Karena seseorang yang sedang berdzikir benar-benar tenggelam
di hadapan Allah sehingga ia keluar dari kelalaian menuju musyahadah kesaksian
dan mukasyafah
keterbukaan. Karenanya,
para sufi
mengutamakan dzikir atas seluruh perbuatan lainnya, dan mengistimewakan dzikir atas ragam ibadah apapun, seperti jihad dan shalat. Karena dalam
pandangan mereka, dzikir adalah tujuan dari shalat.
10
Dalam buku Ensiklopedi Nasional Indonesia, dzikir berarti mengingat kepada Allah dengan menghayati kehadiran-Nya, kemahasucian-Nya,
kemahaterpujian-Nya, dan kemahabesaran-Nya. Dzikir merupakan sikap batin yang biasanya diungkapkan melalui ucapan tahlil la ilaha illallah, tasbih
subhanallah, tahmid alhamdulillah, dan takbir allahuakbar
11
Menurut Mustafa Zahri, tarekat adalah jalan atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang di contohkan oleh Nabi
9
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, I, h. 264-270
10
Al-Qusyayri, al-Risalah,
Hanna Djuhana Bastman, Meraih Hidup Bermakna
, Jakarta : Paramadina, 1996, Cet. Ke-1.
h. 101
11
Djohan Effendi, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1989, jilid 4c, Dzikir, h.436.
13
Muhammad SAW dan dikerjakan oleh para sahabat, tabiin, tabiit tabiin turun menurun sampai kepada guru-guru secara berantai pada masa ini.
12
Di antara jamaah yang banyak diikuti pola dzikir dan tarekatnya di Nusantara adalah Syaikh Abdul Qadir Jailani, beliau lahir di kota Jilan pada
tahun 470 H 1077 M. Wafat di Kota Baghdad pada tahun 561 H 1166 M. Baliau ulama yang ahli di bidang ushul dan fiqh dalam Mazhab Hanbali, dia
seorang sufi besar di zamannya, dan pendiri tarekat Kadiriah. Ia juga disebut dengan nama Abdul Qadir al-Jili. Di Baghdad ia dikenal dengan panggilan al-
Jami. Nama lengkapnya adalah Muhiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Salih Zangi Dost al-Jailani. Ada pula yang mengatakan bahwa nama
lengkapnya adalah Muhiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Salih Zangi Dost Musa bin Abi Abdillah bin Yahya az-Zahid Muhammad bin Daud
bin Musa bin Abdillah bin Musa al-Jun bin Abdul Muhsin bin Hasan al- Musanna bin Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA. Menurut garis
keturunan ini, ia termasuk cucu Nabi Muhammad SAW. Abdul Qadir Jailani lahir dan di didik dalam lingkungan keluarga sufi.
Ia tumbuh di bawah tempaan Ibu Fatimah binti Abdullah as-SaumaI dan kakeknya Syeikh Abdullah as-SaumaI, keduanya Wali. Sejak kecil beliau
berbeda dengan anak yang lainnya, ia tidak suka bermain. Sejak usia dini ia terus mematangkan kekuatan batin yang dimilikinya dan mulai belajar
mengaji pada umur sepuluh tahun.
12
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu, 1995, cet. I, h. 56.
14
Dalam usia 18 tahun ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu 488 H1095 M. karena tidak diterima di Madrasah Nizamiyah yang pada waktu
itu dipimpin oleh seorang sufi besar, Ahmad al-Ghazali, Abdul Qadir Jailani mengikuti pelajaran fiqh mazhab Hanbali dari Abu Sad Mubarak al-
Mukharrimi pemimpin sekolah hukum Hanbali sampai ia mendapat ijazah dari gurunya tersebut. Mulai tahun 521 H1127 M Abdul Qadir Jailani
mengajar dan berfatwa dalam mazhab tersebut kepada masyarakat luas sampai akhir hidupnya.
13
Adapun motif jamaah Majlis dzikir Pondok Pesantren Al-Ishlah mengikuti wirid dzikir Syaikh Abdul Qadir Jailani adalah, mereka selalu ingin
mengharapkan berkah dan kesehatan jiwanya, sehingga mereka merasakan dekat dengan Allah SWT, karena dzikir adalah mengingat Allah SWT yang
bisa melahirkan cinta kepada-Nya, dan mengosongkan hati dari kecintaan serta ketertarikan dunia fana ini.
Kaum muslimin yang mengikuti wirid dzikir Syaikh Abdul Qadir Jailani pada prinsipnya terbagi kedalam dua kelompok; Pertama kelompok
yang mengikuti wirid dzikir Syaikh Abdul Qadir Jailani ini dengan cara mengikuti tarekat Qadiriyah, tarekat yang di nisbahkan kepada Syaikh Abdul
Qadir Jailani. Kedua, kelompok yang mengikuti wirid dzikir Syaikh Abdul Qadir Jailani dengan tanpa mengikuti terkat Qadiriyah.
13
Abdullah Taufik. Dr. Prof. Ensiklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1999, jilid 1, Aba-Far, h.17.
15
Pondok Pesantren Al-Ishlah yang terletak di wilayah Cikarang Utara, termasuk kelompok yang kedua. Pesantren ini hanya melakkukan wirid dan
dzikirnya Syaikh Abdul Qadir Jailani tanpa tarekat Qadriyah. Pesantren ini di selenggarakan wirid dzikirnya setiap bulan minggu kedua pada hari selasa
malam Kliwon. Sementara itu, harapan Majlis Dzikir Pondok Pesantren Al-Ishlah
untuk mendapatkan berkah, kesehatan mental, kedekatan dengan Allah dan kecintaan yang mendalam kepada pengamalan wirid dzikir Syaikh Abdul
Qadir Jailani. Secara akademik masih menyisakan ruang pertanyaan. Apakah hal itu sebatas harapan atau benar-benar sudah menjadi kenyataan?
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, penulis meneliti
Majlis Dzikir tersebut dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Isi Pesan Dakwah Dalam Kegiatan Dzikir Syaikh Abdul Qadir Jailani Di
Majlis Dzikir Pondok Pesantren Al-Ishlah Cikarang Utara, Bekasi, Jawa- Barat”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah